• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. BAHAN DAN METODE

3.3. Metode penelitian

Penelitian ini diawali dengan pengolahan citra ALOS tahun 2008 dengan klasifikasi multispektral. Pengolahan ini terdiri dari 7 tahap yaitu koreksi

radiometrik, koreksi geometrik, pemisahan daerah daratan dan perairan, mengklasifikasi citra secara tidak terbimbing (Unsupervised Classification), survei lapang, akurasi data dan skoring. Prosedur pemetaan kondisi lamun ditampilkan dalam diagram alir pada Gambar 4.

16

Gambar 4. Diagram alir penelitian Citra satelit ALOS

Cropping wilayah yang ingin dikaji

Koreksi Radiometrik citra

Koreksi Geometrik citra

Pemisahan darat-laut Klasifikasi : 1. Unsupervised 2. Algoritma Lyzenga Survei Lapang Data Lapang Peta RBI skoring

Sebaran dan kondisi lamun

di perairan Pulau Pari

Persentase Penutupan lamun Biomasa lamun Jumlah spesies lamun Peta Klasifikasi Habitat Dasar Perairan

3.3.1. Pengolahan citra

Pengolahan citra dimulai dari pemotongan citra yang bertujuan untuk membatasi daerah yang akan diolah sesuai dengan lokasi penelitian. Perbaikan citra yang dilakukan setelah pemotongan citra bertujuan untuk mengembalikan tampilan citra sesuai dengan kenampakan aslinya dimuka bumi. Perbaikan citra terdiri dari dua proses yaitu koreksi geometrik dan koreksi radiometrik.

Citra satelit ALOS yang digunakan pada penelitian ini adalah citra hasil perekaman sensor AVNIR yang terdiri dari 4 band. Band 1, 2, dan 3 berturut-turut adalah band panjang gelombang biru, hijau, dan merah, sedangkan band 4 adalah band panjang gelombang inframerah dekat. Citra yang digunakan adalah level 1B, sehingga sudah terkoreksi radiometrik dan geometrik secara sistematik. Meskipun demikian, koreksi atmosferik tetap dilakukan kembali karena pada daerah bayangan bernilai digital lebih dari 0 (nol). Dari histogram dapat diketahui nilai minimal dari nilai digital citra tersebut. Nilai minimal ini digunakan sebagai nilai pengurang untuk nilai digital semua band (metode histogram adjustment). Koreksi geometrik bertujuan untuk memperbaiki posisi atau letak objek agar koordinatnya sesuai dengan koordinat geografi (posisi sebenarnya dibumi). Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan acuan Peta Rupa Bumi Digital Indonesia skala 1:25000 yang sudah diregristrasi terlebih dahulu.

Pengkelasan data citra menggunakan 2 metode yaitu penajaman citra dengan algoritma Lyzenga dan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised).

Pemakaian 2 metode ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil pengkelasan. Citra yang sudah terkoreksi diklasifikasi secara tak terbimbing (Unsupervised Classification) untuk mengkaji atau menganalisis sejumlah besar pixel yang tidak

18

dikenal dan membaginya dalam sejumlah kelas berdasarkan pengelompokan nilai digital citra. Warna yang nampak dalam citra yang menggambarkan vegetasi lamun adalah hijau kehitam-hitaman. Setelah pengambilan data lapang, titik posisi keberadaan lamun dari tiap stasiun dimasukkan ke dalam tiap kelas hasil klasifikasi tak terbimbing.

Pembanding dari klasifikasi tak terbimbing adalah penajaman citra dengan menggunakan algoritma Lyzenga. Proses penajaman ini merupakan proses penggabungan informasi dari 2 band yang bertujuan untuk mendapatkan penampakan habitat dasar perairan dengan menggunakan persamaan berikut (Green et al. , 2000).

Y = ln (TM 1) – [ki/kj ln (TM 2)]...(3) Keterangan :

Y = Citra hasil ekstraksi dasar perairan TM 1 = Band 1 (biru)

TM 2 = Band 2 (hijau)

ki/kj = Nilai Koefisien atenuasi Dimana :

ki/kj = a + √(a2

+ 1)...(4) a = (var TM 1 – Var TM 2)/(2 * Covar TM1 TM2)...(5)

Kemudian dilakukan klasifikasi terbimbing (Supervised Classification). Proses klasifikasi dilakukan dengan pemilihan kategori informasi yang diinginkan dan memilih training area untuk tiap kategori.

3.3.2. Pengambilan data lapang

Metode sampling yang dipilih adalah nonprobability random sampling. Berdasarkan metode ini maka akan dipilih secara acak sampel dari setiap kelas. Catat koordinat geografi titik sampling dengan menggunakan GPS dan catat habitat dasar yang berada di bawah permukaan air (karang, pasir atau lamun). Bentuk titik sampling yang dipilih adalah piksel. Pada penelitian ini didapatkan 116 titik sampel untuk penetuan kelas klasifikasi tak terbimbing (Lampiran 2) dan 92 titik sampel untuk uji akurasi (Lampiran 3).

Pengambilan data pada ekosistem padang lamun dilakukan dengan

menggunakan frame (1m x 1 m). Titik sampel lamun diambil secara acak dimana titik stasiun menyebar di sekitar perairan Pulau Pari. Kemudian perkirakan nilai persen penutupan lamun dan jenis spesies lamun yang terdapat dalam frame

berdasarkan acuan yang dikeluarkan oleh seagrasswacth dalam Mc.Kenzie(2003) yang terlampir pada Lampiran 5. Selain data persen penutupan lamun, data yang diambil untuk penelitian ini adalah data biomasa lamun dalam frame yang sama. Data biomasa lamun diperoleh dengan mengambil sampel daun lamun dari pucuk hingga substrat yang berada dalam frame 20 cm x 20 cm dengan

menggunakan sekop. Sampel kemudian dicuci dengan air untuk menghilangkan alga serta detritus yang menempel. Sampel yang telah dicuci lalu dikeringkan dan ditimbang berat basahnya. Untuk mendapatkan nilai biomasa, sampel dikeringkan dengan oven pada suhu 60 oC selama 24 jam sehingga didapatkan berat kering dari sampel. Foto-foto kegiatan penelitian terlampir di Lampiran 6.

20

3.3.3. Analisis data biomasa lamun

Nilai biomasa yang digunakan pada penelitian ini merupakan berat kering lamun dalam luasan area 0,04 m2 yang diperoleh dengan menggunakan rumus (Azkab, 1999): frame Luas ring ke Berat Biomassa ………..(6) Keterangan :

Biomasa = nila biomasa lamun dalam gbk/m2 (gram berat kering/m2) Berat kering = berat sampel lamun kering yang telah di oven (gbk)

Luas frame = luas area frame pada saat pengambilan sampel lamun (0,04 m2)

3.3.4. Penilaian kondisi lamun

Pengamatan kondisi titik stasiun lamun dilakukan pada 35 titik stasiun (Lampiran 9). Pada setiap titik stasiun lamun dilakukan penilaian kondisi lamun berdasarkan studi lapang persentase penutupan, jumlah jenis dan biomasa lamun secara kuantitatif dengan cara skoring. Teknik skoring yaitu dengan memberikan skor tertentu pada parameter penentu kondisi lamun dengan skor 5,3,1. Skor ini mencerminkan nilai setiap parameter kondisi lamun.

Kisaran nilai untuk pemberian skor pada setiap parameter berdasarkan data yang diperoleh (Supriyadi, 2010). Namun dilakukan pengecualian untuk

parameter persentase penutupan lamun yang berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 200 tahun 2004. Kisaran biomasa diperoleh dari hasil pembentukan kelas data menjadi 3 kelas dimana pada setiap kelasnya memiliki lebar kelas berdasarkan pada persamaan dibawah ini.

kelas jumlah min data max data kelas Lebar   ...(7)

Secara rinci tabel skoring dan klasifikasi peringkat kondisi lamun disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Skoring parameter penentu kondisi lamun

No Parameter Kisaran Skor

1. Jumlah jenis 1 2 3 1 3 5 2. Biomasa (gbk/m2) 2,43 – 47,99 48,00 – 93,56 93,57 – 139,13 1 3 5 3. Persentase penutupan (%)

(Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 200 tahun 2004)

< 29,9 30 – 59,9 ≥ 60 1 3 5 Jumlah skor dari ketiga parameter kemudian diklasifikasikan menjadi tiga peringkat yaitu kondisi lamun “baik”, “sedang”, dan “jelek” berdasarkan

persamaan 7 (Tabel 5).

Tabel 5. Klasifikasi kondisi titik stasiun lamun

Skor akhir Kondisi lamun

≤ 6 jelek

7-10 sedang

22

Dokumen terkait