• Tidak ada hasil yang ditemukan

DATA DAN METODE .1 Data

Dalam dokumen Majalah SAINS DAN TEKNOLOGI DIRGANTARA (Halaman 39-46)

STORM MODEL)

2 DATA DAN METODE .1 Data

Data yang digunakan adalah

indeks Dst

(http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/dstdir/) dan foF2 ionosfer dari Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer (BPAA) Sumedang dengan koordinat geografis 6,91⁰ LS; 106,83⁰ BT (16,55⁰ LS; BT 179,95⁰ koordinat magnet).

Periode data yang diolah untuk studi kasus adalah 2005, 2006, dan 2016. Indeks Dst digunakan untuk mengidentifikasi kejadian badai geomagnet minimal kelas sedang (Dst < -79,3 nT) menurut kriteria yang diberikan oleh Tim SWIFtS Pussainsa.

Hasil identifikasi badai geomagnet sedang (Dst < -79,3 nT) menggunakan indeks Dst diperoleh lima kejadian badai geomagnet terpilih sebagai studi kasus. Pertimbangannya karena keberadaan data foF2 dari BPAA Sumedang dan indeks Dst pada kelima kejadian badai geomagnet tersebut lengkap. Kelima

badai geomagnet terpilih tersebut

93 2.2 Metode

Setelah terseleksi lima kejadian badai geomagnet maka kemudian dilaku-kan perhitungan variasi foF2 ionosfer BPAA Sumedang yang diakibatkan oleh masing-masing kejadian badai geomagnet

tersebut. Klasifikasi tingkat gangguan terhadap foF2 ionosfer menurut standar

Space Weather Information and Forecast Service (SWIFtS) di Pusat Sains Antariksa

LAPAN, ditampilkan pada Tabel 2-3.

Tabel 2-1: KLASIFIKASI INTENSITAS BADAI GEOMAGNET BERDASARKAN INDEKS Dst

No Kondisi Geomagnet Indeks K Geomagnet H(Dst)

1 Tenang (Quiet) 1-3  -25,4

2 Aktif (Active) 4 -25,5 – (-44,5)

3 Badai Lemah (Minor Storm) 5 -45 – (-79,2)

4 Badai Sedang (Moderate Storm) 6 -79,3 – (-139,6)

5 Badai Kuat (Major Storm) 7 -139,7 – (-245.9)

6 Badai Sangat Kuat (Severe

Storm)

 8  - 246

Tabel 2-2: DAFTAR KEJADIAN BADAI GEOMAGNET (Dst <-79,3 nT) YANG TERPILIH SEBAGAI STUDI KASUS

No Tanggal Kejadian Intensitas Badai Waktu Peak

1 20 Januari 2016 -93 nT 17.00 UT

2 14 April 2006 -98 nT 10.00 UT

3 24 Agustus 2005 -184 nT 12.00 UT

4 31 Agustus 2005 -122 nT 20.00 UT

5 11 September 2005 -139 nT 11.00 UT

Tabel 2-3: KLASIFIKASI BADAI IONOSFER BERDASARKAN DEVIASI foF2 IONOSFER ()

No Kondisi Geomagnet Durasi

1 Tenang (Quiet) -30% <  < 30%

2 Mulai terganggu(Minor)  > 30% < 10 menit

3 Badai Lemah (Moderat Storm)  > 30% < 60 menit

4 Badai Kuat (Strong Storm)  > 30% < 120 menit

5 Badai Sangat Kuat (Severe Storm)  > 30% < 240 menit

Variasi foF2 ionosfer BPAA Sumedang sebagai respon terhadap badai geomagnet dinotasikan dengan

foF2PTN. Formulasinya seperti ditampilkan pada pesamaan (2-1):

(2-1) ∆TOnset foF2SMD = TOnset (foF2SMD) -

TDstminimum (2-2) ∆T peakfoF2SMD= TPeak (foF2SMD) –

TDst minimum (2-3)

Dengan foF2Obs-PTN adalah foF2 ionosfer pengamatan di BPAA Pontianak dan

foF2Med-PTN adalah nilai median bulanan foF2 ionosfer di BPAA Pontianak. Hal sama juga dilakukan menggunakan data foF2 dari BPAA Sumedang pada kejadian badai geomagnet 20 Januari 2016.

Sedangkan nilai  pengamatan

ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

= foF2observasi/ foF2Median (2-4)

dan

foF2= ((foF2data - foF2median)/

foF2Median) (2-5)

Selanjutnya dilakukan plot

foF2Obs-SMD dan foF2Med-SMD serta plot (foF2SMD dan indeks Dst. Kemudian

menentukan nilai  menggunakan

persamaan (1-3) sampai (1-7) dan peak

foF2SMD, ∆TOnsetfoF2SMD serta ∆T peak

foF2SMD menggunakan persamaan (1-8) sampai (1-10). Hasilnya kemudian

dianalisis dengan metode analisis

statistik. Hasil analisis kemudian

disimpulkan.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 3-1 menunjukkan contoh pola variasi foF2Obs-SMD dan foF2Med-SMD

serta Dst dan foF2SMD saat kejadian badai geomagnet 24 Agustus 2005.

Gambar 3-1: (A) Grafik pola variasi foF2Obs-SMD dan foF2Med-SMD serta Dst dan (B) foF2SMD saat kejadian badai geomagnet 24 Agustus 2005

95

Badai geomagnet 24 Agustus 2005 dipicu oleh kejadian flare M5,6 pada 22 Agustus 2015 yang berasosiasi dengan CME. Badai geomagnet tersebut ditandai dengan depresinya indeks Dst yang mencapai nilai minimum di -184 nT pukul 12.00 UT 24 Agustus 2005. Badai geomagnet ini menyebabkan gangguan pada foF2 ionosfer BPAA Sumedang. Dari Gambar 3-1 di atas terlihat bahwa onset gangguan foF2 ionosfer BPAA Sumedang terjadi pada pukul 11.00 UT 24 Agustus 2005 atau satu jam sebelum indeks Dst mencapai nilai minimumnya. Puncak gangguan foF2 ionosfer BPAA Sumedang terjadi beberapa saat kemudian atau bersamaan dengan fase recovery badai geomagnet. Dari Gambar 3-1 dan persamaan (2-4) dapat tentukan nilai foF2 BPAA Sumedang yang terdepresi maksimal yakni 5,46 MHz (pukul 14.00 LT 25 Agustus 2005) dan nilai median foF2-nya yakni 11,975 sehingga nilai  BPAA Sumedang adalah

0,54196242. Nilai  model dari

persamaan (1-3) sampai (1-7) dengan memasukkan total 33 nilai indeks Dst mundur dimulai dari nilai Dst minimum (-184 nT) = -424 nT, hasilnya seperti ditunjukkan pada Tabel 3-1. Terlihat bahwa nilai  model yang terdekat dengan nilai  data (0,542) adalah 1,99 dengan a4 = 40000. Nilai  model yang diperoleh tersebut empat kali dari nilai 

data atau kesalahannya sebesar 267,16%. Dengan demikian, dapat dikatakan akurasi  model untuk kejadian badai geomagnet 24 Agustus 205 kurang bagus.

Dari Gambar 3-1 juga diperoleh nilai pengamatan foF2SMD, ∆tonsetfoF2SMD

dan ∆tpeakfoF2SMD, seperti ditunjukkan pada Tabel 3-2. Nilai model foF2SMD, ∆tonsetfoF2SMD dan ∆tpeakfoF2SMD yang dihitung menggunakan persamaan (1-8) sampai (1-10) dengan memasukkan nilai indeks Dst minimum = -184 nT, juga ditampilkan pada Tabel 3-2.

Tabel 3-1: NILAI  MODEL BPAA SUMEDANG SAAT BADAI GEOMAGNET TANGGAL 24 AGUSTUS

2005 (Dst MINIMUM = -184 nT dan 33Dst = -424 nT)

Nilai Dst a4 = 30000 a4 = 32000 a4 = 34000 a4 = 40000 a4 = 41000 (Data)

(-424 nT) 2,03 2,08 2,26 4,19 1,99 0,542

Dengan () dirumuskan [(Mod-Data)/ Data)*100%] adalah deviasi antara nilai  model (1,99) untuk a4 = 41000 yakni nilai  model terkecil dan  data yakni 0,541962.

Tabel 3-2: NILAI PENGAMATAN DAN MODEL foF2SMD; ∆tonsetfoF2SMD; ∆tpeakfoF2SMD SAAT BADAI GEOMAGNET 24 AGUSTUS 2005 (Dst MINIMUM = -184 nT)

Nilai Pengamatan Nilai Model Nilai Deviasi

foF2SMD ∆tonsetfoF2SMD ∆tpeakfoF2SMDfoF2SMD ∆tonsetfoF2SMD ∆tpeakfoF2SMDfoF2SMD ∆tonsetfoF2S MD ∆tpeakfoF2S MD -57,98% -1 jam 16 jam -52,65% -4,4 11,9 jam -9,2% 338,6 % -25,7 %

Terlihat bahwa nilai deviasi foF2SMD

sebesar -9,2% menunjukkan bahwa selisih antara hasil model dengan pengamatan relatif cukup kecil. Dengan demikian, model foF2SMD layak untuk digunakan. Nilai deviasi ∆tpeakfoF2SMD

sebesar -25,7% juga bisa dianggap cukup bagus. Sedangkan nilai deviasi ∆tonset

foF2SMD sebesar 338,6% tidak bagus. Hl ini menunjukkan bahwa terdapat selisih yang cukup besar antara hasil model

dengan pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa model untuk ∆tonsetfoF2SMD

masih perlu diperbaiki lebih lanjut. Cara yang sama seperti di atas juga diterapkan untuk kejadian badai geomagnet lainnya dalam studi kasus yakni 20 Januari 2016, 14 April 2006, 31 Agustus 2005, dan 11 September 2005. Hasilnya seperti ditunjukkan pada Tabel 3-3 dan Tabel 3-4.

Tabel 3-3: NILAI  MODEL BPAA SUMEDANG SAAT BADAI GEOMAGNET DALAM STUDI KASUS

Nilai Dst a4 = 30000 a4 = 32000 a4 = 34000 a4 = 40000 a4 = 41000 ( Data) () % 20-01-2016 -93 1,34 1,40 1,57 3,29 1,32 0,549 140,44 14-04-2006 -98 0,804 0,861 1,031 2,61 0,775 0,34 127,94 24-08-2005 -184 2,03 2,08 2,26 4,19 1,99 0,542 267,16 31-08-2005 -122 1,5 1,56 1,73 5,44 1,47 0,63 133,33 11-09-2005 -139 0,86 0,92 1,09 7,98 0,83 0,708 17,23

Dengan () dirumuskan [(Mod-Data)/ Data)*100%] adalah deviasi antara nilai  model untuk a4 = 6,304777 (nilai  model terkecil) dan  data yakni 0,541962.

Tabel 3-4: NILAI PENGAMATAN DAN MODEL foF2SMD; ∆tonsetfoF2SMD; ∆tpeakfoF2SMD PADA BADAI GEOMAGNET STUDI KASUS

Nilai Pengamatan Nilai Model Nilai Deviasi

(%) foF2S MD ∆tonsetfoF2S MD (Jam) ∆tpeakfoF2S MD (Jam) foF2SM D ∆tonsetfoF2S MD (Jam) ∆tpeakfoF2S MD (Jam) foF2S MD ∆tonsetfoF2S MD ∆tpeakfoF2S MD -32% 2.15 15.4 -49% 3 15 53,4 39,5 -2,6 20-01-2016 -35% 1.3 15 -61 7 18 -43 -82 -17 13-10-2016 -26% 5 49 -33,1% 1,8 15,2 27,1 -64,2 -69 14-04-2006 -58% -1 16 -52,6% -4,4 11,9 -9,2 338,6 -25,7 24-08-2005 -35% -1 28 -38,5% 0,07 14,3 9,4 -106,6 -49 31-08-2005 -63% 2 28 -42,4% -1,16 13,6 -32,9 -157,7 -51,3 11-09-2005

97

Dari Tabel 3-3, terlihat bahwa nilai  model = 0,83 bisa dianggap logis terjadi saat badai geomagnet 11 September 2005 dengan nilai a4 = 40000 atau hanya berbeda 17,23% dari  data. Nilai deviasi  model pada kejadian badai geomagnet 11 September 2006 terhadap data kurang dari 30% sehingga dapat dikategorikan  model sangat bagus.

Dari Tabel 3-4, terlihat bahwa nilai foF2SMD model untuk kejadian badai geomagnet 14 April 2006, 24 dan 31 Agustus 2005 mendekati nilai foF2SMD

pengamatan. Nilai deviasi diantara mereka berada di bawah 30%. Demikian juga untuk nilai deviasi ∆tpeakfoF2SMD

model dan pengamatan masih ada yang berada di bawah 30% yakni pada kejadian badai geomagnet 20 Januari 2016 (∆tpeak

foF2SMD = -2,7%) dan 24 Agustus 2005 (∆tpeakfoF2SMD = 25,7%). Jadi dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa baik model empiris global (Araujo-Pradere et

al., 2002) maupun model numerik lokal

sama-sama layak dipergunakan untuk kegiatan pemodelan badai ionosfer foF2 di BPAA Sumedang. Namun, memiliki akurasi dan sedikit kelebihan dibanding-kan model empiris. Kelebihan tersebut diantaranya adalah dapat mengestimasi durasi waktu antara Dst minimum dengan foF2SMD mencapai minimum (∆tpeakfoF2SMD) dandurasi waktu antara Dst minimum dengan onset foF2SMD

mulai terganggu (∆tonsetfoF2SMD). Oleh karena itu, cukup beralasan untuk lebih

mempertimbangkan model numerik

sebagai model gangguan foF2 ionosfer BPAA Sumedang (foF2SMD).

4 KESIMPULAN

Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa baik model empiris global (Araujo-Pradere et al., 2002) maupun model numerik lokal sama-sama layak dipergunakan untuk kegiatan pemodelan badai ionosfer foF2 di BPAA Sumedang. Namun, secara umum model numerik lokal memiliki keakuratan yang

relatif lebih baik dibandingkan model empiris global. Hal ini ditunjukkan dengan nilai deviasi foF2SMD model terhadap pengamatan kurang dari 30% pada kejadian badai geomagnet 14 April 2006 (foF2SMD = 27,1%), 24 (foF2SMD = -9,2%) dan 31 Agustus 2005 (foF2SMD = 9,4%). Demikian juga dengan nilai deviasi ∆TpeakfoF2SMD model, masih kurang dari 30% untuk kejadian badai geomagnet 20 Januari 2016 (∆tpeakfoF2SMD = -2,7%) dan 24 Agustus 2005 (∆tpeakfoF2SMD = 25,7%) sehingga model ∆TpeakfoF2SMD

juga cukup layak dipergunakan dalam kegiatan permodelan.

Selain itu, dapat dikatakan bahwa model numerik memiliki kelebihan dibandingkan model empiris. Kelebihan tersebut diantaranya adalah dapat mengestimasi durasi waktu antara Dst minimum dengan foF2SMD mencapai minimum (∆tpeakfoF2SMD) dan durasi waktu antara Dst minimum dengan onset foF2SMD mulai terganggu (∆tonset

foF2SMD).

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Pusat Sains Antariksa atas perkenannya menggunakan data ionosfer BPAA Sumedang. Terima kasih juga disampaikan kepada tim scaling ionogram yang telah men-scaling data ionogram untuk mendapatkan nilai foF2 (salah satu parameter ionosfer) BPAA Sumedang yang digunakan sebagai analisis dalam penelitian ini

DAFTAR RUJUKAN

Abdu, M. A., 1997. Major phenomena of the Equatorial Ionosphere Thermosphere System Under Disturbed Conditions, J. Atmos. Terr. Phys., 59, 1505–1519. Abdu, M. A., 2001. Outstanding Problems in the

Equatorial Ionosphere Thermosphere Electrodynamics Relevant to Spread-F, J. Atmos.Terr. Phys., 2001,63, 869–884. Araujo-Pradere, E. A., and Fuller-Rowell, 2000. T. J. A Model of a Perturbed Ionosphere using the Auroral Power as the Input, Geofis. Int., 39(1), 29–36.

Araujo-Pradere, E. A., and Fuller-Rowell T. J., 2002. STORM: An Empirical Storm-Time Ionospheric Correction Model, 2, Validation, Radio Sci., 37, 10.1029/ 2002 RS00 2620, in press.

Boudouridis, A., E. Zesta, L.R. Lyons, P.C. Anderson, and D. Lummerzheim, 2004. Magnetospheric Reconnection Driven by Solar Wind Pressure Fronts, Ann., Geophys., 22, 1367–1378.

Fuller-Rowell, T. J., M. V. Codrescu, Araujo-Pradere E. A. and I. Kutiev, 1998. Progress in Developing a Storm-Time Ionospheric Correction Model, Adv. Space Res., 22(6), 821–827.

Gonzalez, W. D., J. A. Joselyn, Y. Kamide, H. W. Kroehl, G. Rostoker, B. T. Tsurutani, and V. M. Vasyliunas, 1994. What is a Geomagnetic Storm?, J. Geophys. Res., 99, 5771–5792.

Gopalswamy, N., 2009. Halo Coronal Mass Ejections and Geomagnetic Storm, Earth Planet Space, 61, 1-3.

Khabarova O. V., 2007. Current Problems of Magnetic Storm Prediction and Possible Ways of their Solving, Sun and Geosphere, 32-37, 2(1).

Lusiani, Mumpuni E. S., dan Utama J. A., 2011. Analisis Kaitan Badai Geomagnet Dengan Badai Ionosfer Sebagai Dampak Kejadian Lontaran Massa Korona Matahari (Oktober-November 2003), Prosiding Sem. Himpunan Astronomi Indonesia, ITB Bandung.

Mannucci, A. J., B. T. Tsurutani, B. A. Iijima, A. Komjathy, A. Saito, W. D. Gonzalez, F. L. Guarnieri, J. U. Kozyra, and R. Skoug, 2005. Dayside Global Ionospheric Response to the Major Interplanetary Events of

October 29–30, 2003 Halloween Storms, Geophys. Res. Lett., 32, L12S02.

Mayaud, P. N., 1980. Derivation, Meaning and use of Geomagnetic Indices, Geophysical monograph 22. America Geophysical Union, Washington, DC.

O’Brien, T. P. and R. L. McPherron, 2000. An Empirical Phase Space Analysis of Ring Current Dynamics: Solar Wind Control of Injection and Decay, J. Geophys. Res., 105, 7707-7720.

Rastogi R. G., 1999. Morphological Aspects of a New Type of Counter Electrojet Event, Ann. Geophysicae, 17, pp. 210-219 EGS Springer-Verlag.

Russell C.T., 2006. The Solar Wind Interaction with the Earth’s Magnetosphere: Tutorial, Department of Earth and space sciences and Institute of Geophysics and Space Physics of University of California, Los Angeles. Santoso A., 2010. Identifikasi Kondisi Angin

Surya (Solar Wind) untuk Prediksi Badai Geomagnet, Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang, 275-283, 10 April 2010.

Santoso A., Juangsih M., Winarko A., Filawati S., Ekawati S., Nurmali D., dan Rusnadi I. E., 2016. Analisis Pengaruh Badai Geomagnet Terhadap Respon foF2 Ionosfer di BPAA Sumedang, Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa 2016, LAPAN (in progress).

Yatini C. Y., Jiyo, dan Ruhimat M., 2009. Badai Matahari dan Pengaruhnya pada Ionosfer dan Geomagnert di Indonesia, Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara, Vol. 4 No. 1, 17-24.

Berita Dirgantara Vol. ... No. ... Desember 2016 : hal… - …

(Pedoman Penulisan Majalah Sains Dirgantara)

Dalam dokumen Majalah SAINS DAN TEKNOLOGI DIRGANTARA (Halaman 39-46)

Dokumen terkait