• Tidak ada hasil yang ditemukan

Majalah SAINS DAN TEKNOLOGI DIRGANTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Majalah SAINS DAN TEKNOLOGI DIRGANTARA"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

Majalah

SAINS DAN TEKNOLOGI

DIRGANTARA

VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

DITERBITKAN OLEH :

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA

(2)

Majalah

SAINS DAN TEKNOLOGI

DIRGANTARA

SUSUNAN DEWAN PENYUNTING MAJALAH SAINS DAN TEKNOLOGI

DIRGANTARA

Penyunting: Ketua Anwar Santoso, M.Si

Anggota Dra. Sri Rubiyanti, M.Si. Ir. Endang Mugia GS, MT. Ir. Andi Mukhtar Tahir, MT. Dr. Teguh Harjana, M.Sc.

Lely Qodrita Avia, S.Si. Ir. Ediwan, MT.

SUSUNAN SEKRETARIAT REDAKSI MAJALAH SAINS DAN TEKNOLOGI

DIRGANTARA

Pemimpin Umum: Ir. Christianus R. Dewanto, M.Eng

Pemimpin Redaksi Pelaksana: Ir. Jasyanto, MM Redaksi Pelaksana: Mega Mardita, M.Si

Suryadi, S.Sos Aprian Rizki Fauzi, S.IK

Aulia Pradipta, S.S Tata Letak

M. Luthfi

Gambar cover, (atas) Pesawat terbang nir

awak LSU-05 dengan motor bakar piston siap diuji terbang; (bawah) Ilustrasi lapisan Ionosfer

pada siang dan malam

VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713 DARI MEJA PENYUNTING

Sidang pembaca yang terhormat,

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas perkenan dan karunia-Nya kepada kita, para Penulis, Dewan Penyunting dan Penyelenggara Administrasi, sehingga Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 dapat terbit.

Edisi kali ini menyajikan 5 (lima) makalah hasil penelitian para peneliti LAPAN, yaitu: “Variasi Longitudinal Kemunculan Sintilasi Ionosfer (Longitudinal Variation of Ionospheric Scintillation Occurrence)” ditulis oleh Sri Ekawati. Penelitian ini bertujuan menganalisis kemunculan sintilasi ionosfer secara longitudinal dari tiga GPS receiver di atas wilayah Indonesia pada 10 April 2013. “Karakteristik Motor Bakar Piston Pembangkit Gaya Dorong Pesawat Nir awak LSU-05 (judul makalah dalam bahasa inggris)” ditulis oleh Atik Bintoro. Melalui metode analitis, dan data spesifikasi teknik Pesawat LSU-05, telah dilakukan karakterisasi mesin propulsi untuk pesawat LSU-05 tersebut. Hal ini sebagai dukungan untuk mendapatkan Pesawat Terbang Nir awak LSU-05 yang andal dalam mencapai misi sebagai pesawat pembawa muatan.

Afni Restasari Menulis “Pengaruh Parameter Pengadukan Terhadap Kandungan Gugus Fungsi dalam Prepolimer HTPB: Tdi 15:1 Gagal Matang (Influences of Mixing Parameters on Functional Groups Contents in HTPB: Tdi 15:1 Fail Cured Prepolymer)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh parameter pengadukan terhadap kandungan gugus fungsi yang terkandung dalam prepolimer berbahan HTPB : TDI 15:1 gagal matang dengan menggunakan Spektrofotometri Inframerah.

Mamat Ruhimat menulis ”Variasi Hari Tenang Geomagnet Pada Saat Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016 (Variation Quiet Day of Geomagnetic During the Total Solar Eclipse March 9, 2016)” Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh gerhana matahari total terhadap medan geomagnet. Dengan mengeliminasi gangguan geomagnet dari variasi medan geomagnet harian, akan diperoleh pola hari tenang.

Judul makalah selanjutnya adalah “Estimasi Gangguan Fof2 Ionosfer Di Atas Sumedang Menggunakan Model Badai Ionosfer Empiris Dan Numerik (Estimation Of Fof2 Ionosphere Disturbance Over Sumedang Using Empirical And Numerical Ionospheric Storm Model)” ditulis oleh Anwar Santoso, Dadang Nurmali, Mira Juangsih, Iyus Edi Rusnadi, Sri Ekawati, Anton Winarko, dan Siska Filawati. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji akurasi kedua model badai ionosfer tersebut terhadap badai geomagnet. Studi kasus dilakukan saat badai geomagnet 20 Januari 2016, 14 April 2006, 24 dan 31 Agustus 2005 serta 11 September 2005. Data indeks Dst dan foF2 dari BPAA Sumedang pada tanggal tersebut diolah dan dianalisis.

Demikian makalah-makalah yang dapat kami sajikan dalam edisi kali ini, semoga sidang pembaca dapat mengambil manfaatnya. Selamat membaca

Penyunting

Penerbit :

LAPAN, JL. Pemuda Persil No. 1 Rawamangun, Jakarta Timur 13220 Telepon : 4892802, ext. 142,146 Fax : (021) 47882726 Email : publikasi@lapan.go.id Situs : http://www.lapan.go.id http://www.jurnal.lapan.go.id

 Majalah LAPAN terbit sejak 1976, pemberian volume, dan nomor sejak 1999. Sejak 2006 berganti nama menjadi Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara. Majalah LAPAN telah diklasifikasikan sebagai Majalah Ilmiah oleh Panitia Penilai Jabatan Peneliti-LIPI dengan Skep No. 9198/ SK/J.10/84, 30 November 1984.

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara terbit setiap enam bulan, majalah ilmiah bersifat nasional untuk publikasi penelitian, pengembangan, pemikiran, dan/atau ulasan ilmiah di bidang sains dan teknologi dirgantara, termasuk analisis dan informasi kedirgantaraan yang ditulis dalam bahasa Indonesia.

(3)

Majalah

SAINS DAN TEKNOLOGI

DIRGANTARA

VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

VARIASI LONGITUDINAL KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER

(LONGITUDINAL VARIATION OF IONOSPHERIC SCINTILLATION

OCCURRENCE)

Sri Ekawati ...

57 – 64

KARAKTERISTIK MOTOR BAKAR PISTON PEMBANGKIT GAYA

DORONG PESAWAT NIR AWAK LSU-05

Atik Bintoro ...

65 – 70

PENGARUH PARAMETER PENGADUKAN TERHADAP KANDUNGAN

GUGUS FUNGSI DALAM PREPOLIMER HTPB: TDI 15:1 GAGAL

MATANG

(INFLUENCES OF MIXING PARAMETERS ON FUNCTIONAL GROUPS

CONTENTS IN HTPB: TDI 15:1 FAIL CURED PREPOLYMER)

Afni Restasari ...

71 – 80

VARIASI HARI TENANG GEOMAGNET PADA SAAT GERHANA

MATAHARI TOTAL 9 MARET 2016

(VARIATION QUIET DAY OF GEOMAGNETIC DURING THE TOTAL

SOLAR ECLIPSE MARCH 9, 2016)

Mamat Ruhimat ...

81 – 88

ESTIMASI GANGGUAN foF2 IONOSFER DI ATAS SUMEDANG

MENGGUNAKAN MODEL BADAI IONOSFER EMPIRIS DAN

NUMERIK

(ESTIMATION OF foF2 IONOSPHERE DISTURBANCE OVER

SUMEDANG USING EMPIRICAL AND NUMERICAL IONOSPHERIC

STORM MODEL)

Anwar Santoso, Dadang Nurmali, Mira Juangsih, Iyus Edi Rusnadi,

Sri Ekawati, Anton Winarko, dan Siska Filawati ...

89 – 98

DITERBITKAN OLEH :

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, indonesia

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Hlm. 57 – 98 Jakarta, Desember 2016 ISSN 1907-0713

(CHARACTERI STIC OF PISTON ENGINE AS LSU-05 UAV'S THRUST GENERATOR)

(4)

57

VARIASI LONGITUDINAL KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER

(LONGITUDINAL VARIATION OF IONOSPHERIC SCINTILLATION

OCCURRENCE)

Sri Ekawati Pusat Sains Antariksa

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jln. DR. Djundjunan 133 Bandung 40173

e-mail: sri.ekawati@lapan.go.id

ABSTRACT

Ionospheric scintillation, which occurred after sunset, could cause satellite signal degradation. Ionosphere over vast Indonesian territory need to be known its perturbations. This research aimed to analyze longitudinal occurrence of ionospheric scintillation from three GPS receiver over Indonesian territory on April 10, 2013. Data was obtained from the GPS receiver at the Kototabang (-0.20⁰S; 100.32⁰E), Pontianak (-0.03⁰S; 109.33⁰E) and Manado station (1.48⁰N; 124.85⁰E) on April 10, 2013. This paper presents the preliminary result of ionospheric scintillation variation longitudinally over Indonesia. The results showed that the strong scintillation (S4 > 0.5) first detected in Manado station, one hour later detected in Pontianak and 30 minute later detected in Kototabang in duration of approximately 1.5 – 3 hours. The strong scintillation occurred at 20:00 to 21:00 local time. The most intense of ionospheric scintillation was around at 100⁰ E geographic longitude in duration up to 4 hours.

Keywords: Ionosphere, Scintillation, GPS, Plasma bubble

ABSTRAK

Sintilasi ionosfer, yang muncul setelah matahari terbenam, dapat menyebabkan degradasi sinyal satelit. Ionosfer di atas wilayah Indonesia yang luas perlu diketahui gangguannya. Penelitian ini bertujuan menganalisis kemunculan sintilasi ionosfer secara longitudinal dari tiga GPS receiver di atas wilayah Indonesia pada 10 April 2013. Data yang digunakan untuk keperluan analisis diperoleh dari penerima GPS di stasiun Kototabang (0,20⁰LS;100,32⁰BT), Pontianak (0,03⁰LS;109,33⁰BT) dan Manado (1,48⁰LU; 124,85⁰BT). Makalah ini merupakan hasil awal variasi sintilasi ionosfer secara longitudinal di atas Indonesia. Analisis terhadap hasil olah data menunjukkan kemunculan sintilasi kuat (S4 > 0,5) terlebih dahulu terdeteksi di stasiun Manado, satu jam kemudian di Pontianak dan 30 menit kemudian di Kototabang dengan durasi kurang lebih 1,5 – 3 jam. Puncak sintilasi kuat masing-masing stasiun terjadi pada pukul 20:00 – 21:00 waktu setempat. Intensitas sintilasi ionosfer sangat besar pada bujur geografis sekitar 100⁰ BT dengan durasi sintilasi mencapai 4 jam.

Kata Kunci: Ionosfer, Sintilasi, GPS, Plasma bubble

1 PENDAHULUAN

Ionosfer di atas wilayah Indonesia secara longitudinal memiliki cakupan daerah yang luas yaitu dari 95⁰ BT

hingga 141⁰ BT dan memiliki jarak

busur sebesar 46⁰ (sekitar 5106

kilometer) sehingga terdapat perbedaan waktu selama 184 menit antara bagian paling timur dengan bagian paling barat. Adapun identifikasi masalah pada makalah ini adalah bagaimana mekanisme

kemunculan sintilasi ionosfer dari tiga alat penerima GPS yang berbeda posisi secara longitudinal, bagaimana pergerakan kemunculan gangguan plasma ionosfer secara longitudinal terhadap waktu dan berdasarkan posisi longitudinal, dimana-kah posisi kemunculan sintilasi yang paling intensif.

Ionosfer merupakan lapisan plasma yang melingkupi bumi berisi elektron, ion dan partikel bermuatan yang berada

(5)

di 50 – 1000 kilometer di atas permukaan bumi. Gambar 1-1 menunjukkan profil densitas elektron terhadap ketinggian. Densitas elektron di ionosfer bervariasi terhadap ketinggian dan nilai maksimum-nya yaitu sekitar 106 elektron/cm3

berada di ketinggian sekitar 300 – 400 km di atas permukaan bumi. Densitas elektron di ionosfer juga berbeda pada saat siang hari dan malam hari (Kelley, 1989). Gambar 1-2 menunjukkan ilustrasi pembentukan lapisan-lapisan ionosfer pada siang hari. Pada siang hari terjadi

proses ionisasi karena memperoleh radiasi dari matahari sehingga meng-hasilkan plasma ion-ion, elektron-elektron dan partikel bermuatan. Sedangkan pada malam hari, proses ionisasi akan berhenti dan berubah menjadi proses rekombinasi, yaitu proses bergabungnya kembali partikel bermuatan negatif dan positif sehingga menjadi partikel netral. Oleh karena itu, pada malam hari, lapisan D, E dan F akan menghilang dan menyisakan hanya lapisan F saja (Kelley, 1989).

Gambar 1-1: Profil densitas elektron (Ne) ionosfer terhadap ketinggian pada siang dan malam hari (Kelley,1989)

(6)

59

Gambar 1-2: Ilustrasi lapisan Ionosfer pada siang dan malam

Sintilasi ionosfer merupakan salah satu fenomena di lapisan ionosfer berupa turbulensi di ionosfer (Chaterjee dan Chakraborty, 2013). Fenomena sintilasi ionosfer di atas Indonesia, yang berada di daerah lintang rendah geomagnet, terjadi beberapa saat setelah transisi siang ke malam (Carrano et al., 2012; Abadi et al., 2014). Definisi sintilasi ionosfer secara umum adalah gangguan sinyal satelit saat melalui medium plasma ionosfer yang terganggu sehingga mengakibatkan fluktuasi amplitudo dan fase yang sangat cepat (Jacowski et al., 2012).

Kemunculan sintilasi ionosfer terjadi akibat ketidakstabilan di ionosfer dan munculnya plasma bubble pada saat transisi siang ke malam yang dikenal

dengan Reiyleigh-Taylor Instability

(Ossakow, 1981; Mendillo dan

Baumgardner, 1982; Ogawa et al., 2005).

Plasma bubble merupakan gelembung

plasma dengan konsentrasi plasma yang lebih rendah dibandingkan dengan sekitarnya. Plasma bubble tersebut tumbuh, berkembang dan bergerak ke arah atas kemudian bergerak ke arah lintang rendah geomagnet (Abdu et al., 1983).

Pada penelitian sebelumnya

(Ekawati et al., 2014) telah diperoleh kemunculan gangguan sintilasi tertinggi, selama periode Maret – Mei 2013, terjadi

pada 10 April 2013 yang diperoleh dari dua stasiun pengamatan (Pontianak dan Manado). Pada makalah tersebut juga tercatat bahwa aktivitas sintilasi ionosfer kuat di atas Manado terjadi satu jam lebih dahulu dibanding Pontianak. Namun, pada kejadian tersebut mekanismenya belum bisa dijelaskan secara mendalam. Pada makalah ini dianalisis data indeks S4 pada 10 April 2013 dan menambahkan data dari satu stasiun pengamatan lagi

yakni stasiun Kototabang. Tujuan

penelitian ini adalah mengetahui variasi longitudinal kemunculan sintilasi ionosfer di atas wilayah Indonesia dari tiga stasiun GPS receiver yang berbeda posisi secara longitudinal.

2 DATA DAN METODE

Data yang digunakan pada

makalah ini adalah data indeks S4 yang diperoleh dari tiga stasiun yaitu Kototabang, Pontianak, dan Manado. Indeks S4 merupakan indeks amplitudo sintilasi ionosfer yang dapat menunjukkan aktivitas gangguan ketidakstabilan serta turbulensi di ionosfer. Aktivitas sintilasi menurut Butcher (2005) mempunyai kategori lemah (0 < S4 ≤ 0,25), sedang (0,25 < S4 ≤ 0,5) dan kuat (0,5 < S4 ≤ 1). Secara posisi, ketiga GPS receiver yang

digunakan berbeda posisi secara

longitudinal dengan koodirnat seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2-1.

(7)

Tabel 2-1: LOKASI DAN TIPE GPS RECEIVER YANG DIGUNAKAN

No. Stasiun Koordinat Geografis Koordinat geomaget Nama GPS

Receiver

1 Kototabang 0,20o LS;100,32o BT 8.97o LS; 171.73o BT ISM

2 Pontianak 0.03o LS; 109.33o BT 8.82o LS; 180.72o BT GISTM

3 Manado 1.48o LU; 124.85o BT 6.87o LS; 196.07o BT GISTM

Data indeks S4 pada 10 April 2013 dari tiga GPS receiver tersebut

di-plot terhadap waktu. Namun, sebelumnya

terlebih dahulu dilakukan filter sudut elevasi yang lebih besar dari 30⁰ (Otsuka, 2009). Kemudian menandai kapan terjadi indeks yang lebih besar dari 0,5. Indeks S4 yang lebih besar dari 0,5 mengindikasikan sintilasi kuat yang berpotensi mengganggu sinyal satelit (Banerjee et al., 1992). Hasil identifikasi (penandaan) waktu terjadinya sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) di atas Manado, Pontianak dan Kototabang kemudian dianalisis. Perhitungan waktu sintilasi kuat, selain waktu onset-nya juga durasinya.

Untuk melihat pergerakan atau variasi longitudinal sintilasi ionosfer maka di-plot longitude terhadap waktu yang diperoleh dengan menghitung posisi Ionospheric Pierce Point (IPP) yang diperoleh dari nilai sudut elevasi dan azimut posisi satelit serta nilai ketinggian h ionosfer pada 350 kilometer di atas permukaan bumi (Husin A,. et. al., 2015). Setiap kotak pada plot longitude terhadap waktu dibuat dengan resolusi adalah 1,5 derajat setiap 30 menit.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 3-1 menunjukkan plot indeks S4 terhadap waktu yang menunjukkan aktivitas sintilasi ionosfer di atas Manado (panel atas), Pontianak (panel tengah) dan Kototabang (panel bawah). Sumbu-x menunjukkan waktu selama 24 jam dan sumbu-y menunjukkan indeks S4 dari 0 – 1. GPS receiver mencatat indeks S4 ionosfer di atas Manado mulai meningkat lebih dari 0,5 pada pukul 11:19 UT (19:19 WITA), di atas Pontianak mulai meningkat pada

pukul 12:46 UT (19:46 WIB) dan di atas Kototabang 13:10 UT (20:10 WIB). Sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤1) lebih dahulu terdeteksi di stasiun Manado. Sekitar satu jam 27 menit kemudian terdeteksi di stasiun Pontianak dan 24 menit

kemudian terdeteksi di stasiun

Kototabang.

Secara terperinci waktu dan durasi kemunculan sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) pada 10 April 2013 dapat dilihat pada Tabel 3-1. Kolom 2 adalah nama stasiun, kolom 3 adalah waktu matahari terbenam, kolom 4 adalah waktu dimulainya sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1), kolom 5 adalah waktu berakhirnya sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1), kolom 6 adalah durasinya. Di Manado, Matahari terbenam pada sekitar pukul 09:50 UT. GPS receiver di Manado mencatat ada dua kemunculan sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) yang dimulai pada pukul 11:19 UT dengan durasi 1 jam 16 menit dan pada pukul 13:15 UT dengan durasi 29 menit. Di Pontianak, Matahari terbenam pada sekitar pukul 10:57 UT. GPS receiver di Pontianak mencatat ada dua kemunculan sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) yang dimulai pada pukul 12:46 UT dengan durasi 1 jam 3 menit dan pada pukul 14:19 UT dengan durasi 26 menit. Di Kototabang, Matahari terbenam sekitar pukul 11:32 UT. GPS receiver di Kototabang mencatat ada dua kemunculan sintilasi pada pukul 13:09 UT dengan durasi 2 jam 43 menit dan pada pukul 16:07 UT dengan durasi 21 menit. Durasi total kemunculan sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) yang paling lama terjadi di stasiun Kototabang. Dengan kata lain, gangguan turbulensi ionosfer atau sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) terjadi lebih intensif di atas daerah kototabang.

(8)

61

Gambar 3-1: Aktivitas sintilasi ionosfer pada 10 April 2013 di atas Manado (panel atas), di atas Pontianak (panel tengah) dan di atas Kototabang (panel bawah)

Tabel 3-1: WAKTU DAN DURASI KEMUNCULAN SINTILASI KUAT (0,5 < S4 ≤ 1) 10 APRIL 2013

No. Stasiun Matahari terbenam Mulai (UT) dalam desimal Akhir (UT) dalam desimal Durasi

Jam menit Total

1 Manado 17:50 WITA 09:50 UT 11:19 12:36 1 jam 16 menit 1 jam 45 menit 13:15 13:43 29 menit 2 Pontianak 17:57 WIB 10:57 UT 12:46 13:49 1 jam 3 menit 1 jam 29 menit 14:19 14:45 26 menit 3 Kototabang 18:32 WIB 11:32 UT 13:09 15:52 2 jam 43 menit 2 jam 54 menit 16:07 16:28 21 menit

Gambar 3-2 menunjukkan ilustrasi mekanisme terjadinya ketidakstabilan plasma ionosfer di atas wilayah Manado, Pontianak kemudian di Kototabang. Manado adalah wilayah Indonesia bagian tengah yang lebih dahulu mengalami pergantian siang ke malam dan terjadi ketidakstabilan plasma. Di stasiun Manado lebih dahulu terjadi pergantian

siang ke malam. Pontianak dan

Kototabang masih di belahan bumi siang, sehingga densitas plasma ionosfer

masih terbentuk di lapisan D, E, F1 dan F2 karena proses ionisasi. Sementara itu, ionosfer di atas Manado sudah mulai terjadi proses rekombinasi. Laju rekombinasi lapisan D dan E lebih cepat dibandingkan dengan lapisan di atasnya yakni lapisan F. Pergerakan plasma dari lapisan D ke F dipengaruhi oleh gravitasi dengan kekuatan = gXB. Kekuatan tersebut menyebabkan ion-ion bergerak spiral ke arah timur dengan kecepatan vE. Elektron-elektron yang massanya

(9)

jauh lebih ringan dibanding ion cenderung diam karena tidak terpengaruh gravitasi g. Akibatnya, akan terjadi polarisasi atau pengkutuban antara ion-ion yang bermuatan positif dengan elektron-elektron yang bermuatan negatif. Berdasarkan

hukum gaya Lorentz EXB, dengan B ke arah utara, E ke arah Timur, maka gaya Lorentz yang menuju ke arah atas menjadi inisiasi ketidakstabilan plasma. Sebaliknya, ketika E ke arah Barat maka EXB mengarah ke bawah.

Gambar 3-2: Ilustrasi aktivitas sintilasi ionosfer di atas Manado, Pontianak, dan Kototabang yang berbeda posisi secara longitudinal

(10)

63

Ketidakstabilan akan semakin tumbuh dan berkembang serta menjalar dari ekuator ke lintang rendah geomagnet mengikuti medan magnet B sebagai

guiding center. Ketidakstabilan plasma

yang menyebabkan sintilasi ionosfer tersebut akhirnya terdeteksi oleh stasiun

Manado. Selain itu, pertumbuhan

Rayleigh-Taylor Instability di ionosfer

semakin lama semakin berkembang dan bergerak ke arah atas membentuk seperti gelembung dengan konsentrasi plasma yang lebih rendah dibanding sekitarnya. Gambar 3-3 menunjukkan variasi atau dinamika longitudinal kemunculan sintilasi ionosfer pada 10 April 2013. Sumbu-x adalah longitude (bujur) dan sumbu-y adalah waktu. Warna menunjuk-kan indeks S4 dari 0 sampai dengan 1. Cakupan pengamatan dari tiga GPS

receiver adalah dari sekitar 85⁰ – 115⁰ BT. Sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) mulai muncul

di longitude paling timur yaitu di sekitar

longitude 115⁰ BT sekitar pukul 11:30 UT. Seiring dengan berjalannya waktu sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) bergerak, bergeser dan semakin kuat ke arah barat. Bila dilihat dari intensitas indeks S4-nya, periode waktu gangguan sintilasi yang mencapai nilai sekitar 0,9 terjadi pada pukul 20:00 – 21:00 waktu setempat. Dilihat dari durasinya, longitude yang paling intensif mengalami sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) adalah di daerah sekitar

longitude 100⁰ BT yang mencapai empat

jam yakni pukul 13:00 – 17:00 UT. Pada pukul 15:30 UT di longitude 113⁰-115⁰ BT, gangguan turbulensi ionosfer (sintilasi kuat) sudah kembali tenang atau normal. Sedangkan di daerah longitude 95⁰ – 103⁰ BT pada waktu yang bersamaan justru gangguannya sedang sangat intensif.

(11)

4 KESIMPULAN

Inisiasi kemunculan sintilasi ionosfer kuat (0,5 < S4 ≤ 1) terjadi sekitar pukul 19:00 waktu setempat atau rata-rata sekitar satu jam setelah matahari terbenam kemudian semakin intensif pada sekitar pukul 20:00 – 21:00 waktu setempat. Kemunculan sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) terjadi di longitude paling Timur terlebih dahulu kemudian bergerak ke arah Barat. Durasi kemunculan sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) atau turbulensi ionosfer setiap longitude bervariasi dari 1,5 jam sampai dengan lebih dari empat jam. Setelah itu, kondisi kembali tenang atau normal. Intensitas turbulensi ionosfer atau sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) lebih intensif di daerah yang lebih barat. Posisi geografis yang terintensif terjadi pada daerah sekitar 100⁰ BT dengan durasi sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) mencapai empat jam.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua tim bank data (tim scalling) bidang ionosfer dan telekomunikasi, staff balai pengamatan Pontianak dan Manado yang telah membantu menyedia-kan data GISTM. Penulis juga mengucap-kan terima kasih kepada P. Abadi dan Dr. Y. Otsuka, Nagoya University, Jepang yang telah menyediakan data Kototabang.

DAFTAR RUJUKAN

Abadi, P., Saito, S., dan Srigutomo,W., 2014. Low-latitude Scintillation Occurrences Around the Equatorial Anomaly Crest Over Indonesia, Ann. Geophys, 32, 7– 17, doi:10.5194/angeo-32-7-2014. Abdu, M. A., de Medeiros, R. T., Sobral, J. H. A.,

dan Bittencourt, J. A., 1983. Spread F Plasma Bubble Vertical Rise Velocities Determined from Spaced Ionosonde Observations, J. Geophys. Res., 88,

9197–9204, doi:10.1029/JA088iA11

p09197, 1983.

Husin A., Abadi,P. , Ekawati, S. , dan Marlia, D., 2015. Analisis Spasial Kemunculan Sintilasi Ionosfer Kuat Bulan Ekuinoks Periode 2013 di Indonesia, Jurnal Sains Dirgantara Vol.12 No.2 Juni 2015:77-86.

Banerjee, P. K., Dabas, R. S., dan Reddy, B. M. C., 1992. C and L Band Transionospheric

Scintillation Experiment: Some Results for Applications to Satellite Radio Systems, Radio Sci., 27, 955–969, doi: 10.1029/92RS01307.

Butcher, N., 2005. Daily Ionospheric Forecasting Service (DIFS) III, Annales of Geophysicae, 23:3591-3598, 2005.

Carrano, C.S, Valladares, C.E., dan Groves, K. M., 2012. Latitudinal and Local Time Variation of Ionospheric Turbulence Parameters During the Conjugate Point Equatorial Experiment in Brazil, International Journal of Geophysics Volume 2012, Article ID 103963, 16 pages, doi:10.1155/2012/103963. Chatterjee, S dan Chakraborty, S. K., 2013.

Variability of Ionospheric Scintillation Near the Equatorial Anomaly Crest of the Indian Zone, Ann. Geophys., 31, 697–711.

Ekawati, S., Srigutomo W. dan Jiyo, 2014. Analisis Kemunculan Sintilasi Ionosfer di atas Pontianak dan Manado, Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa 2013, ISBN: 978-979-1458-78-8.

Jacowski, Norbert, Yannick Béniguel, Giorgiana De Franceschi, Manuel Hernandez Pajares, Knut Stanley Jacobsen, Iwona Stanislawska, Lukasz Tomasik, René Wamant, dan Giller Wautelet, 2012. Monitoring, Tracking and Forecasting Ionospheic Pertubations using GNSS Techniques, Journal of Space Weather Space Clim. 2 (2012) A22,DOI:10. 1051/swsc/2012022.

Kelley, M.C., 1989.“The Earth’s Ionosfer: Plasma Physics and Electrodynamics, Acadeic Press, USA.

Mendillo, M. dan Baumgardner, J., 1982. Airglow Characteristics of Equatorial Plasma Depletions, J. Geophys. Res., 87, 7641–7652, 1982.

Ogawa, T., Sagawa, E., Otsuka, Y., Shiokawa, K., Immel, T. I., Mende, S. B., dan Wilkinson, P., 2005. Simultaneous Ground-and Satellite-based Airglow Observations of Geomagnetic Conjugate Plasma Bubbles in the Equatorial Anomaly, Earth Planet Space, 57, 385– 392, 2005.

Ossakow, S. L., 1981. Spread-F theories: A Review, J. Atmos. Terr. Phys.,43, 437–452, doi:10.1016/0021-9169(81)90107-0, 1981.

Otsuka, Y., Ogawa, T., dan Effendy, 2009.VHF Radar Observations of Nighttime F-Region Field- Aligned Irregularities over Kototabang, Indonesia, Earth Planet Space, 61, 431–437.

(12)

65

KARAKTERISTIK MOTOR BAKAR PISTON

PEMBANGKIT GAYA DORONG PESAWAT NIR AWAK LSU-05

(

CHARACTERISTIC OF PISTON ENGINE AS LSU-05 UAV'S THRUST

GENERATOR)

Atik Bintoro

Pusat Teknologi Penerbangan

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. Raya LAPAN, Sukamulya, Rumpin Bogor 16350 Indonesia

e-mail: atik.bintoro@lapan.go.id

ABSTRACT

LSU-05 Unmanned Aerial Vehicle (UAV) was resulted by Aeronautics Technology Center, Indonesian National Institute of Aeronautics and Space, LAPAN.This unmanned vehiclehas the piston combustion engine as power sources. Through analytical methods, and data plane LSU-05 technical specifications, has been carried out characterization propulsion engines for vehicle such LSU-05. It was a support to get performance of LSU-05 UAV reliable in achieving the mission as an air cargo carrier like payload. The characteristics of piston combustion engine in question were the output power of 14 HP/6400RPM or 11 HP/6000 RPM, and subsequently selected as the propulsion engine LSU-05 UAV.

Keywords: LSU-05, Piston, Combustion engine, Vehicle, Unmanned ABSTRAK

Pesawat terbang nir awak seri LSU-05 merupakan hasil litbangyasa Pustekbang LAPAN. Pesawat terbang nir awak ini bermesin motor bakar piston sebagai sumber tenaga. Melalui metode analitis, dan data spesifikasi teknik Pesawat LSU-05, telah dilakukan karakterisasi mesin propulsi untuk pesawat LSU-05 tersebut. Hal ini sebagai dukungan untuk mendapatkan Pesawat Terbang Nir awak LSU-05 yang andal dalam mencapai misi sebagai pesawat pembawa muatan. Adapun karakteristik motor bakar piston yang dimaksud adalah daya keluaran 14 HP/6400 rpm atau 11 HP/6000 rpm, dan selanjutnya dipilih sebagai mesin propulsi pesawat terbang nir awak LSU-05.

Kata kunci: LSU-05, Piston, Motor bakar, Pesawat, Nir awak

1 PENDAHULUAN

Motor bakar piston merupakan salah satu mesin pembangkit energi, termasuk menghasilkan gaya dorong dan gaya angkat sayap pesawat terbang nir awak. Dalam operasionalnya, memerlu-kan bahan bakar untuk menghasilmemerlu-kan perubahan energi, dari energi kimia menjadi energi panas dan tekanan di dalam ruang bakar, yaitu pada saat bahan bakar bereaksi dengan oksigen dan panas selama pembakaran ber-langsung. Pada motor bakar piston yang digunakan sebagai pembangkit energi dorong pesawat nir awak LSU-05 adalah energi yang dihasilkan pembakaran bahan bakar di dalam silinder ruang bakar.

Pembakarannya berlangsung sangat cepat, tetapi operasional motor bakar piston perlu waktu sekitar seratus sampai dengan seribu detik, atau tergantung jenis mesinnya. Motor bakar yang meng-gunakan sistem karburator atau pun sistem injeksi sebagai sarana untuk pencampuran bahan bakar dan oksigen yang berasal dari udara, sebelum masuk ke dalam silinder ruang bakar, diperlukan bahan bakar yang mudah menguap pada temperatur atmosfer dan membentuk

campuran dengan udara menjadi

campuran yang mudah terbakar. Energi dorong sebagai hasil pembakaran ini, selanjutnya digunakan untuk menggerak-kan piston dalam arah translasi bolak

(13)

balik, kemudian diteruskan ke batang hubung dan poros engkol menjadi gerakan putar, yang selanjutnya dapat memutar baling-baling propeler untuk menghasilkan gaya dorong dan menjadi-kan sayap pesawat terbang nir awak menghasilkan gaya angkat. Gaya dorong dan gaya angkat berfungsi untuk mewujudkan misi pesawat LSU-05 hasil rancang bangun Pustekbang LAPAN ini, agar dapat menjadi pesawat pembawa muatan. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa motor bakar piston memiliki peran penting dalam pencapaian misi pesawat LSU-05, terutama sebagai sumber tenaga untuk menghasilkan gaya dorong dan gaya angkat sayap pesawat. Oleh karena itu untuk mendapatkan pesawat LSU-05 yang andal diperlukan juga motor bakar piston yang andal, sehingga dirasa perlu dilakukan analisis karakterisasi motor bakar piston yang sesuai dengan kebutuhan Pesawat LSU-05.

2 MOTOR BAKAR PISTON SEBAGAI

PEMBANGKIT GAYA DORONG

PESAWAT TERBANG NIR AWAK

Gaya dorong pesawat terbang nir awak berasal dari daya keluaran motor bakar piston, yang merupakan hasil pembakaran bahan bakar. Pembakaran ini menimbulkan panas dan tekanan di dalam ruang bakar, sehingga mampu menghasilkan gerakan bolak balik piston, batang hubung dan putaran poros engkol. Adapun alur penggunaan bahan bakar misalnya bensin di dalam motor bakar piston, seperti tercantum pada Gambar 2-1.

Putaran poros engkol seperti pada Gambar 2-1, nomor 7 akan menghasilkan Torsi, yang selanjutnya dapat mem-bangkitkan daya motor. Salah satu manfaat daya ini, dapat digunakan sebagai penghasil usaha pemutar propeler untuk menghasilkan gaya dorong dan gaya angkat pada sayap pesawat seperti pada Gambar 2-2. Untuk kecepatan terbang Co, rapat massa udara ρud, luas

sapuan propeler As, jari-jari propelerRr,

dan koefisien gaya angkat Cl, akan

dihasilkan gaya angkat aerodinamik pesawat nir awak Fd sebesar (Bintoro,

2014): s ud o l d

C

C

A

F

0

.

5

2

(2-1)

Jika luas sapuan propeler berbentuk

lingkaran maka jari-jarinya dapat

dinyatakan menjadi:

ud o l d r

C

C

F

R

2

2

(2-2)

Gambar 2-1: Komponen sistem pembakaran bahan bakar bensin di motor bakar piston

Gambar 2-2: Propeler dan Pesawat Terbang Nir awak, a) Propeler dan b) Pesawat terbang nir awak lepas landas (Arismunandar, 2002; Bintoro, 2014)

(14)

67

Daya yang dihasilkan oleh propeler adalah (Arismunandar, 2002):

o d p

F

C

N

(2-3)

Torsi yang dihasilkan oleh daya Np pada

putaran propeler n adalah:

n

N

T

p (2-4)

2.1 Daya Mesin

Pada mesin propulsi, semisal motor bakar piston, bahan bakar hidrokarbon digunakan untuk menghasilkan daya mesin, melalui reaksi kimia pembakaran hidrokarbon. Besar daya bisa dihitung dengan persamaan daya sebagai hasil pembakaran, dan dapat dinyatakan dalam bentuk hubungan antara: Daya yang dihasilkan N (hp), Volume konsumsi bahan bakar permenit V (kg/menit), Kebutuhan massa udara permenit ρud

(kg/m3), Rasio berat udara dan bahan

bakar F, Panas pembakaran bahan bakar Qf (kcal/kg), dan Efisiensi termal ηth.

Persamaan daya (Hp) tersebut seperti di bawah ini (Goodger, 1975).

4500

427

1

f th ud

Q

F

F

V

N

(2-5)

2.2 Komposisi Kimia Bahan Bakar

Bahan bakar mesin propulsi baik bahan bakar cair, maupun gas, pada umumnya terdiri dari komposisi karbon dan hidrogen, yang dikenal sebagai bahan bakar hidrokarbon. Bahan bakar ini terkadang juga mempunyai tambahan sedikit unsur belerang dan oksigen. Beberapa jenis dan rumus kimia bahan bakar hidrokarbon yang berasal dari hasil petroleum seperti pada Tabel 2-1 (Goodger, 1975).

Sedangkan massa atom dan

molekul untuk beberapa elemen

hidrokarbon seperti terlihat pada Tabel 2-2 (Harker dan Backhurst, 1981).

Tabel 2-1: BEBERAPA MACAM BAHAN BAKAR HIDROKARBON Nomor Nama/ Rumus umum Contoh / Rumus Kimia 1 Parafin CnH2n+2 Metan CH4 2 Olefin CnH2n Propelina C3H6 3 Naptena CnH2n Ciklopropan C3H6 4 Alkena CnH2n-2 Acetilen C2H2 5 Aromatik CnH2n-6 Bensena C6H6

Tabel 2-2: MASSA ATOM DAN MOLEKUL ELEMEN HIDROKARBON Nama Rumus Kimia Massa Atom Mol Karbon C 12 12 Hidrogen H2 1 2 Oksigen O2 16 32 Belerang S 32 32 Nitrogen N2 14 28 Metan CH4 -- 42 Propelina C3H6 -- 42 Bensena C6H6 -- 78

2.3 Persamaan Stoikiometri

Pem-bakaran

Reaksi kimia selama pembakaran bahan bakar hidrokarbon, baik cair maupun gas merupakan reaksi kimia yang kompleks, namun demikian bisa dinyatakan ke dalam bentuk persamaan kimia sederhana. Reaksi kimia pembakar-an tersebut adalah (Sen, 1978; Goodger, 1977):

- Bahan bakar cair

C + O2= CO2 (2-4)

12 kg C + 32 kg O2 = 44 kg O2 (2-5)

12 kg C)1k mol C+1k mol O2=1 k mol CO2 (2-6)

2H2 + O2= 2 H2O (2-7)

4kg H2 + 32 kg O2 = 36 kg H2O (2-8)

(4kg H2) 2k mol H2 + 1 k mol O2 = 2

(15)

Jika diasumsikan bahwa rumus kimia bahan bakar adalah CnHm, jumlah

molekul (mol) bahan bakar n, jumlah mol hidrogen di dalam bahan bakar

m/2, dan jumlah molekul N2 per molekul

O2 di dalam persen udara sebesar 3,76

maka selama pembakaran, reaksi bahan bakar dengan udara dapat dinyatakan sebagai persamaan umum Stoikiometri, yaitu: (2-10) atau 2 2 2 2 2 4 76 . 3 2 4 76 . 3 4 N m n O H m nCO N m n O m n H Cn m                           (2-11)

Untuk pembakaran sempurna, secara teoritis untuk berat mol bahan bakar Mb

kg/kg bahan bakar, dengan konsumsi udara Gt yang diperlukan sebesar:

 

4

32

32

.

4

m

n

M

x

G

b t (2-12)

- Bahan bakar gas

Di dalam pembakaran sempurna, reaksi kimia pembakaran bahan bakar gas, selalu terdapat kandungan oksigen, karbon dan hidrogen. Dengan asumsi bahwa n adalah jumlah mol karbon, m/2 mol hidrogen, dan r/2 adalah jumlah mol oksigen di dalam bahan bakar, sedangkan rumus umum bahan bakar adalah CnHmOr, maka persamaan reaksi

dengan udara, seperti di bawah ini.

(2-13)

Pembakaran sempurna secara teoritis untuk k mol bahan bakar gas, diperlukan volume udara kmol/kmol bahan bakar, sebesar:

2

4

76

.

4

n

m

r

V

ud (2-14)

2.4 Bahan Bakar Bensin

Bensin merupakan salah satu jenis bahan bakar yang digunakan pada motor bakar piston, sebagai pembangkit tenaga untuk menghasilkan gaya dorong pesawat nir awak. Bensin mempunyai kandungan hidrokarbon lebih dari 500 jenis rantai C5-C10, semisal Alkana rantai

lurus yang mudah terbakar, diantaranya adalah heptana, oktana dan n-nonana. Kandungan ini menyebabkan pembakaran bahan bakar bensin di dalam motor bakar piston, terjadi terlalu cepat sebelum piston tiba pada posisi yang tepat, dan terjadi fenomena ledakan atau knocking. Sedangkan kandungan alkana rantai bercabang adalah iso-oktana, bersifat sulit terbakar, dan tidak sering menimbulkan fenomena knocking pada saat pembakaran terjadi. Kemam-puan bensin dalam menghindari fenomena

knocking selama pembakaran bensin di

dalam motor bakar piston, dijadikan sebagai acuan menentukan mutu bensin, dengan satuan bilangan oktan, dari angka 0 untuk n-heptana yang mudah terbakar, sampai dengan angka 100 untuk iso-oktana yang sulit terbakar

(Anneahira, 2014). Berarti bensin

dengan nilai oktan tinggi relatif lebih sedikit menghasilkan knocking jika dibandingkan dengan nilai oktan yang lebih rendah.

3 KARAKTERISTIK MESIN PROPULSI PESAWAT LSU-05

Karakteristik mesin propulsi untuk pesawat terbang nir awak seri LSU-05, dapat diketahui melalui analisis terhadap data konfigurasi, spesifikasi teknik, bahan bakar yang akan digunakan, misi LSU-05, serta prosedur analisis.

3.1 Konfigurasi LSU-05

Konfigurasi pesawat terbang nir awak LSU-05 (Pustekbang, 2013; 2015) terlihat seperti pada Gambar 3-1, untuk

(16)

69

spesifikasinya terdapat pada Tabel 3-1, dan Bahan bakarnya pada Tabel 3-2.

Gambar 3-1: Konfigurasi LSU-05 Tabel 3-1: SPESIFIKASI PESAWAT TERBANG

NIR AWAK LSU-05

Komponen Spek Rentang sayap 5,50 Panjang pesawat 4,10 Tinggi 1,13 m MTOW 77,00 kg Berat kosong 31,00 kg Berat payload 30 kg

Berat bahan bakar 16,00 kg Kecepatan terbang 100 km/jam

Tabel 3-2: KARAKTERISTIK BAHAN BAKAR MESIN PESAWAT TERBANG NIR AWAK LSU-05

No. Jenis/Sifat bahan bakar 1 Bahan bakar hidrokarbon 2 Menghasilkan energi yang besar 3 Mudah menguap

4 Tidak iritasi di kulit 5 Titik nyala rendah 6 Tidak mudah teroksidasi

3.2 Prosedur Pemilihan Mesin Propulsi

Gambar 3-2: Prosedur pemilihan mesin propulsi

3.3 Hasil Karakterisasi Mesin Propulsi LSU-05

Karakterisasi mesin propulsi untuk pesawat terbang nir awak seri LSU-05,

dapat dilakukan melalui analisis

terhadap data konfigurasi, spesifikasi teknik, bahan bakar yang akan digunakan, dan misi LSU-05, sehingga ditemukan bagaimana hubungan antar parameter tersebut berlangsung, terutama untuk memenuhi misi pesawat terbang nir awak tersebut. Dari Tabel 3-1 diketahui bahwa Spesifikasi Pesawat nir awak LSU-05 untuk berat pesawat (MTOW) sebesar 77 kg, berarti mesin propulsi yang digunakan harus mampu menghasil-kan gaya dorong dan gaya angkat sayap melalui putaran propeler serta bentang sayap yang berukuran 5,50 m, sehingga mampu terbebani sebesar 77 kg. Disamping itu, disesuaikan juga dengan karakteristik bahan bakar hidrokarbon yang akan digunakan seperti pada Tabel 3-2, serta mampu terbang pada kecepatan 100 km/jam, dapat terpenuhi.

Salah satunya berdasarkan per-timbangan data di atas dan persamaan pehitungan yang telah disampaikan di Bab 2, maka telah dipilih oleh Tim Propulsi Litbangyasa LSU-05, yakni mesin propulsi berjenis motor bakar piston untuk mesin propulsi pesawat terbang nir awak LSU-05, seperti pada Gambar 3-3.

Gambar 3-3: Pesawat terbang nir awak LSU-05 dengan motor bakar piston siap diuji terbang

Sedangkan beberapa alternatif yang bisa digunakan, tercantum seperti pada Gambar 3-4 (MVVS, 2013) dan karakteristik mesin propulsinya seperti

(17)

pada Tabel 3-3. (Pustekbang, 2015; Bintoro dan Rachmat, 2013).

Gambar 3-4: Motor bakar piston sebagai Mesin Propulsi Pesawat Terbang Nir awak LSU-05 [11]

Tabel 3-3: KARAKTERISTIK TEKNIK MESIN PROPULSI PESAWAT TERBANG NIR AWAK LSU-05 (Pustekbang, 2015; Bintoro dan Rachmat, 2013)

Komponen Spesifikasi Lubang silinder 42 mm Ukuran piston 42 mm Berat motor utama 3100 gr Berat unit pembakaran 270 gr Tenaga yang dihasilkan 14 HP/6400 rpm 11 HP/6000 rpm Torsi maksimum 15 Nm /6100 rpm 12,7 Nm/5600 rpm Jenis bahan bakar 95 Oktan

Pelumasan Pelumas : Petrol =

1:40 Putaran mesin 1000 – 7500 rpm Perbandingan FAR 1:14,7 Sistem pengapian Karburator 4 KESIMPULAN

Dari uraian di atas diketahui bahwa untuk mendukung keandalan Pesawat Terbang Nir awak LSU-05, Tim Propulsi Litbangyasa LSU-05 telah melakukan karakterisasi mesin propulsi untuk pesawat LSU, melalui analisis terhadap data konfigurasi, spesifikasi

teknik, bahan bakar yang akan digunakan dan misi LSU-05. Sehingga diperoleh motor bakar piston dengan daya keluaran 14 HP/6400 rpm atau 11 HP/6000 rpm yang dipilih sebagai mesin propulsi pesawat terbang nir awak LSU-05.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

terwujudnya tulisan ini, terutama

kepada: Bapak Gunawan S. Prabowo - Kepala Pusat Teknologi Penerbangan-LAPAN, Bapak Agus Bayu Utama–Kepala

Bidang Diseminasi/Kepala Bidang

Teknologi Propulsi Pusat Teknologi Penerbangan LAPAN, Tim Propulsi Pusat

Teknologi Penerbangan, dan Tim

Litbangyasa LSU-05 Pusat Teknologi Penerbangan LAPAN.

DAFTAR RUJUKAN

Anneahira, 2014. Komponen Sistem Bahan Bakar Bensin, www.anneahira.com. Atik Bintoro, 2014. Penentuan Spesifikasi

Propeler Berdasarkan Kinerja Mesin Propulsi Pesawat Terbang nir awak LSU-05, Buku Bunga Rampai Hasil

Penelitian dan Pemikiran Ilmiah

tentang Teknologi Pesawat Terbang Tanpa Awak, Roket, serta Satelit 2014, Indonesia Book Project, Jakarta. Atik Bintoro, Dede Rachmat, 2013. Penentuan

Karakteristik EFI untuk Pesawat nir awak Jenis LSU-05, buku bunga rampai Penelitian dan Kajian Teknologi Pesawat Terbang, Indonesia Book Project, Jakarta.

EM. Goodger, 1975. Hydrocarbon Fuels, Macmillan, London.

EM. Goodger, 1977. Combustion Calculations, Macmillan, London.

JH. Harker and JR. Backhurst, 1981. Fuel and Energy, Academic Press, London. MVVS, 2013. Operating Instructions MVVS 116

IRS No : 33010, MVVS, Brno, Czech Republic, www.mvvs.cz.

Pustekbang, 2013. Pesawat nir awak LSU-05, Stand banner Hasil litbang Pusat Teknologi Penerbangan, LAPAN, Bogor. Pustekbang, 2015. Dokumentasi Pustekbang

LAPAN.

SP. Sen, 1978. Internal Combustion Engine, theory and Practice, Khanna Publishers, Delhi. Wiranto Arismunandar, 2002. Pengantar Turbin Gas dan Motor Propulsi, Penerbit ITB, Bandung, halaman 97-128.

(18)

71

PENGARUH PARAMETER PENGADUKAN TERHADAP KANDUNGAN

GUGUS FUNGSI DALAM PREPOLIMER HTPB:

TDI 15:1 GAGAL MATANG

(INFLUENCES OF MIXING PARAMETERS ON FUNCTIONAL GROUPS

CONTENTS IN HTPB: TDI 15:1 FAIL CURED PREPOLYMER)

Afni Restasari Pusat Teknologi Roket

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

Jl. Raya LAPAN, No. 2 Mekarsari, Rumpin Bogor 16350 Indonesia e-mail: afni.restasari@lapan.go.id

ABSTRACT

In a study of determining the best propellant binder composition that composed by HTPB 2014 and TDI 2013, the composition of HTPB: TDI 15: 1 is failed to be cured. Mixing parameters are supposed to influence the curing failure of the prepolymer. Identification of the functional groups contained in the prepolymer can provide a deeper knowledge about that influences. This study aimed to know the effect of mixing parameters on the functional groups contained in the fail cured prepolymer HTPB: TDI 15: 1 by using Infrared Spectrophotometer. The research methods include mixing characterization which are the calculation of Reynolds and Froud Numbers, and analysis of functional groups contained in the fail cured prepolymer HTPB: TDI 15: 1 by using FT-IR Shimadzu. It is known from the infrared spectrum that the fail cured prepolymer contains a stretching NH (3375.43 cm-1), OH (3527.8 cm-1), -NCO (2274.07 cm-1), -C = O (1732.08 cm-1), COC (1097.5 cm-1), Amide I

(1699.29 cm-1), Amide II (1537.27 cm-1), Amide III (1220.94 cm-1), 2, 6 - TDI (815.89 cm-1), free OH of

HTPB (3400.5 cm-1) and urea (1681.93 cm-1). It was concluded that the Reynolds number of 0.8698 -

0.8921 with a total stirring time of 20 minutes are able to cause the reaction of the urethane bond formation with the appearances of peaks of NH, OH, -NCO, -C = O and C-O-C and Amide I, II and III. However, the reaction is uncomplete with the peaks of 2,6-TDI and free hydroxyl. Meanwhile, Froud number prepolymer of 0.0142 has been capable of dissolving air that contain water vapor in mixing process, resulting in the formation of urea.

Keywords: Polyurethane, Mixing, Infrared spectroscopy

ABSTRAK

Dalam penelitian penentuan komposisi binder propelan terbaik dengan bahan HTPB 2014 dan TDI 2013, komposisi HTPB: TDI 15 : 1 menunjukkan kegagalan matang. Parameter pengadukan diduga berpengaruh terhadap kegagalan matang prepolimer. Identifikasi gugus–gugus fungsi yang terkandung dalam prepolimer dapat memberikan pengetahuan lebih dalam mengenai pengaruh tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh parameter pengadukan terhadap kandungan gugus fungsi yang terkandung dalam prepolimer berbahan HTPB : TDI 15:1 gagal matang dengan menggunakan Spektrofotometri Inframerah. Metode penelitian meliputi karakterisasi pengadukan, yaitu perhitungan Bilangan Reynold dan Froud serta analisa gugus fungsi dengan menggunakan FT-IR Shimadzu terhadap prepolimer gagal matang berbahan HTPB: TDI 15:1. Diketahui dari spektrum inframerah bahwa prepolimer gagal matang tersebut mengandung uluran NH (3375,43 cm-1), OH (3527,8 cm-1), -NCO (2274,07 cm-1), -C=O (1732,08 cm-1), C-O-C (1097,5 cm-1),

Amida I (1699,29 cm-1), Amida II (1537,27 cm-1), Amida III (1220,94 cm-1), 2,6 – TDI (815,89 cm-1), OH

bebas dari HTPB (3400,5 cm-1) dan urea (1681,93 cm-1). Disimpulkan bahwa bilangan Reynold

sebesar 0.8698 - 0.8921 dengan waktu pengadukan total 20 menit telah menyebabkan terjadinya reaksi pembentukan ikatan uretan dengan munculnya puncak uluran NH, OH, -NCO, -C=O dan C-O-C serta Amida I, II dan III. Namun, reaksi tersebut tidak sempurna yang ditandai dengan puncak dari 2,6-TDI dan hidroksil bebas. Sementara, bilangan Froud prepolimer yang sebesar 0,0142 telah mampu

(19)

72

melarutkan udara yang mengandung uap air saat proses pengadukan sehingga mengakibatkan terbentuknya urea.

Kata Kunci: Poliuretan, Mixing, Spektroskopi inframerah

1 PENDAHULUAN

Propelan padat komposit merupa-kan salah satu jenis propelan yang sedang dikembangkan LAPAN sebagai bahan bakar roket. Berdasarkan bentuk-nya, komposisi dasar propelan padat komposit meliputi kandungan cair (liquid

content) dan kandungan padat (solid content). Kandungan padat terdiri dari

oksidator seperti Ammonium perklorat dan fuel logam seperti serbuk aluminium. Sedangkan kandungan cair meliputi pembentuk binder, yaitu poliol dan

curing agent. Binder ini sering disebut

sebagai fuel binder karena selain ber-fungsi untuk merekatkan dan mendistri-busikan seluruh komponen propelan secara merata, banyaknya kandungan

karbon dalam binder juga turut

menyumbang energi yang dihasilkan oleh propelan seperti dituangkan pada persamaan 1-1 (Hagen, 2014; Martin dan Welch, 2003).

28C73H110O6 + 574NH4ClO4 →

287N2 + 574HCl+ 2044CO +

2401H2 + 0,36 kkal/gr

(1-1)

Dalam pengembangan komposisi propelan, sifat mekanik dan fisik merupakan pertimbangan yang paling penting untuk stabilitas dan kinerja propelan (Ramnarace, 2015). Hal ini

disebabkan propelan harus dapat

bertahan dalam berbagai jenis tekanan selama penanganan dan transportasi, siklus termal, pemantikan (ignition), dan percepatan saat penerbangan motor roket (Restasari et al., 2015; Mahanta dan Pathak, 2012). Propelan tidak boleh retak, memiliki pori yang besar maupun bagian yang tidak terikat pada lokasi dimanapun dan kapanpun. Sifat mekanik dan fisik

yang kurang baik dapat menyebabkan berbagai masalah diantaranya adalah retak pada siklus termal, terpisahnya propelan oleh karena penyusutan dan kualitas ikatan yang buruk, patah saat pemberian tekanan pada pemantikan

(ignition), degradasi propelan,

dan perubahan dimensi propelan

(Ramnarace, 2015).

Kualitas sifat mekanik propelan bergantung pada kualitas ikatan fuel

binder yang mengandung poliuretan.

Poliuretan terbentuk dari reaksi antara gugus hidroksil (OH) dari Hydroxy

Terminated Polybutadiene (HTPB) dengan

gugus isosianat (NCO) dari Toluene

diisocyanate (TDI) (Rosita, 2014). Reaksi

polimerisasi tersebut dapat berlangsung dengan empat mekanisme yang dijelaskan dengan persamaan 1-2, 1-3, 1-4 dan 1-5, dengan Mn adalah simbol untuk rantai

hidrokarbon dari HTPB dan Ar adalah

hidrokarbon dari TDI. Persamaan 1-2 menjelaskan reaksi awal terbentuknya kopolimer poliuretan dengan ujung NCO dan OH. Persamaan 1-3 menunjukkan mekanisme apabila kopolimer poliuretan bereaksi dengan gugus OH dari HTPB sehingga dihasilkan poliuretan dengan gugus OH di kedua ujungnya. Sementara, persamaan 1-4 ialah mekanisme yang terjadi apabila kopolimer poliuretan bereaksi dengan gugus NCO dari TDI sehingga terbentuk poliuretan yang memiliki gugus NCO di kedua ujungnya. Persamaan 1-5 terjadi apabila gugus uretan bereaksi dengan NCO dari TDI membentuk gugus karboizida. Persamaan ini dikenal dengan bentuk ikatan silang karena akan menghasilkan struktur ikatan silang yang memiliki tiga gugus ujung aktif (Wibowo, 2015a).

(20)

73

(1-3)

(1-4)

(1-5)

Selain dapat mengandung ikatan silang yang berjenis ikatan kovalen, poliuretan juga mengandung ikatan silang yang berjenis ikatan hidrogen seperti ditunjukkan pada Gambar 1-1. Gambar 1-1 menunjukkan bahwa ikatan hidrogen terbentuk ketika atom hidrogen (H) diapit oleh nitrogen (N) dan oksigen (O). Ikatan ini dapat terjadi antar gugus uretan yang terkandung dalam segmen keras poliuretan maupun antara gugus uretan dengan segmen lunak poliuretan yang mengandung gugus fungsi seperti eter pembentuk rantai hidrokarbon HTPB (Hagen, 2014; Ren et al., 2004).

Gambar 1-1: Ikatan hidrogen dalam poliuretan (Hagen, 2014)

Telah dilakukan berbagai penelitian untuk mendapatkan sifat mekanik propelan terbaik. Menurut Wibowo (2015b), sifat mekanik propelan yang baik dapat diperoleh dari komposisi OH/NCO sebesar 1,0 atau 0,9 dengan OH/NCO merupakan rasio dari bilangan hidroksil dari HTPB dan bilangan isosianat TDI. Menurut Rosita (2014),

sifat mekanik tersebut ditentukan oleh rasio massa HTPB : TDI. Erryani (2014) menyatakan bahwa rasio massa HTPB: TDI yang terbaik ialah yang menghasilkan propelan dengan kuat tarik yang tinggi dan elongasi di atas 5%. Dengan demikian, untuk mendapatkan komposisi propelan terbaik, rasio HTPB: TDI yang menghasil-kan sifat memenghasil-kanik prepolimer yang terbaik perlu ditentukan terlebih dahulu sebelum penentuan komposisi propelan, seperti yang telah dilakukan terhadap HTPB 2014 dan TDI 2013. Namun dalam penentuan tersebut, rasio massa HTPB: TDI 15 : 1 yang mengandung NCO/OH sebesar 1 menunjukkan kegagalan matang. Hal ini mengindikasikanadanya faktor lain yang berpengaruh terhadap sifat mekanik prepolimer yakni parameter pengadukan.

Parameter pengadukan menjadi penting untuk diperhatikan ketika dua bahan yang memiliki perbedaan viskositas, seperti HTPB dan TDI, dicampur sekaligus direaksikan. HTPB merupakan cairan kental yang berviskositas tinggi. Sementara TDI berviskositas rendah. Menurut Dickey (2015), mencampurkan dua bahan yang memiliki perbedaan viskositas lebih sulit daripada mencampur-kan dua bahan dengan sifat fisik yang mirip. Selanjutnya, beliau menyatakan bahwa menambahkan cairan berviskositas rendah ke cairan berviskositas tinggi, seperti pada penambahan TDI ke dalam HTPB, lebih sulit daripada menambahkan

(21)

74

cairan berviskositas tinggi ke cairan berviskositas rendah. Dengan sulitnya pencampuran, parameter pengadukan yang kurang tepat dapat menyebabkan terbentuknya produk samping seperti urea yang menyebabkan sifat mekanik prepolimer tidak mewakili komposisi bahannya. Reaksi pembentukan urea dari TDI dan air dijelaskan pada persamaan di Gambar 1-2 (Hagen, 2014;

Equipment Testing Procedures Committee,

2001).

Gambar 1-2: Reaksi Pembentukan Urea (Hagen, 2014)

Beberapa parameter pengadukan yang berkaitan dengan sifat viskositas bahan adalah jenis impeller, viskositas campuran, bilangan Reynold (Re), dan bilangan Froud (Fr). Jenis impeller yang khas meliputi impeller aliran radial, tangensial, aksial, bentuk jangkar, sekrup dan heliks. Jenis impeller berkontribusi pada pemerataan panas pencampuran. Sementara, viskositas campuran menen-tukan seberapa sulit gerakan atau aliran suatu cairan. Viskositas campuran yang kurang dari 100 cP (0,1 Pa.s) berefek sangat kecil. Sedangkan, efek viskositas yang lebih dari 10.000 cP (10 Pa.s) dapat mendominasi masalah pencampuran. Lebih lanjut, efek dari viskositas

direpresentasikan dengan bilangan

Reynold (Equipment Testing Procedures

Committee, 2001).

Bilangan Reynold (Re) menentukan aliran pencampuran (mixing) yang terjadi.

Re yang kurang dari 10 menunjukkan

terjadinya pencampuran laminar,

10-20.000 menunjukkan pencampuran

transisi dari laminar ke turbulen dan Re lebih dari 20.000 menunjukkan

pencam-puran turbulen (Equipment Testing

Procedures Committee, 2001). Menurut

Williams (2007), mekanisme primer yang membantu perkembangan pencampuran dengan bilangan Reynold rendah adalah difusi yang membutuhkan waktu yang lama untuk efektif.

Selain bilangan Reynold, bilangan Froud (Fr) yang merepresentasikan adanya vortex atau pusaran cairan yang terjadi di sekitar batang pengaduk juga perlu diperhatikan karena dapat membawa bahan secara spiral turun ke pusat (Dickey, 2015). Bilangan Froud diketahui secara linier mempengaruhi kedalaman

vortex (Smith dan During, 1991).

Pengaruh parameter pengadukan terhadap kesempurnaan ikatan prepolimer dapat diketahui dengan menganalisa kandungan gugus-gugus fungsi yang terkandung dalam prepolimer dengan Spektrofotometri Inframerah yang mana bilangan-bilangan gelombang yang ditinjau ialah yang menentukan keberadaan ikatan uretan, urea sebagai produk samping dan HTPB serta TDI sebagai reaktan (Rosita, 2015; Fessenden dan Fessenden, 1986). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh parameter pengadukan terhadap kandungan gugus fungsi yang terkandung dalam prepolimer berbahan HTPB : TDI 15:1 gagal matang dengan menggunakan Spektrofotometri Inframerah. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk menemukan teknik pengadukan yang tepat sehingga penentuan komposisi

binder propelan dapat berhasil dengan

baik.

2 METODOLOGI PENELITIAN

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah prepolimer poliuretan dengan rasio massa HTPB 2014 : TDI 2013 15 : 1 dan NCO/OH sebesar 1. Karakterisasi pengadukan yang meliputi perhitungan bilangan Reynold dan Froud dihitung berdasarkan data pada Tabel 2-1.

(22)

75

menggunakan persamaan 2-1 yang mana µ adalah viskositas cairan (Pa.s). Perhitungan massa jenis (ρ) atau densitas campuran dan bilangan Froud (Fr) masing–masing dilakukan dengan menggunakan persamaan 2-2 dan 2-3 (Equipment Testing Procedures Committee, 2001).

(2-1) (2-2)

(2-3) Analisa gugus-gugus fungsi dilakukan dengan menggunakan Spektrofotometer

Fourier Transform Infrared (FT-IR)

Shimadzu yang mampu merekam

spektra dengan bilangan gelombang 400 – 4000 cm-1. Analisa ini dilakukan dengan

mengidentifikasi bilangan– bilangan

gelombang yang tertuang pada Tabel 2-2.

Tabel 2-1: DATA PENGADUKAN PREPOLIMER HTPB : TDI 15:1

Jenis Impeller Impeller Aliran aksial, R 1342 Propeller stirrer, 4 blade

Diameter Impeller (D) 0,05 m

µ1 prepolimer pada 10 menit pertama

pengadukan 39 P = 3,9 Pa.s

µ2 prepolimer pada 10 menit kedua

pengadukan 40 P = 4 Pa.s

Total waktu pengadukan (menit) 20

Fraksi massa HTPB (x1) 0,9375

Fraksi massa TDI (x2) 0,0625

ρ HTPB 0,87 g/mL = 870 kg / m3

ρ TDI 1,21 g/mL = 1210 kg / m3

N (kecepatan putaran) 1,67 rev/s

g (percepatan gravitasi) 9,8 m.s-2

Tabel 2-2: BILANGAN-BILANGAN GELOMBANG YANG DIANALISA

Gugus Fungsi Bilangan gelombang (cm-1) Sumber

Uluran N-H 3360 – 3380; 3300 Malik, 2005; Gogoi et al., 2013

Tekukan N-H 1516 Gogoi et al., 2013

O-H 3530 – 3550 Malik, 2005

-NCO 2270 – 2280; 2272 - 2274 Malik, 2005; Gogoi et al., 2013

-C=O uretan 1720 - 1730 Malik, 2005

Uluran C-O-C 1100 Gogoi et al., 2013

Amida I 1700 – 1730 cm-1 Ren et al., 2004

Amida II 1500 – 1540 cm-1; 1530 – 1540

cm-1; 1500 – 1550 cm-1

Ren et al., 2004; Zhang et al., 2008; Nagle et al., 2007 Amida III 1200 – 1300 cm-1; 1220 –

1230 cm-1 Ren et al., 2004; Zhang et al., 2008 Gugus OH bebas dari HTPB 3350 – 3400 cm-1 Villar et al., 2011

Isomer 2,4-TDI 783 cm-1 Rosita, 2015

Isomer 2,6-TDI 815 cm-1 Rosita, 2015

Urea 1680 – 1690 cm-1 Malik, 2005

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Karakterisasi Pengadukan

Berdasarkan hasil perhitungan, diketahui bahwa densitas prepolimer HTPB : TDI 15:1 adalah sebesar 833,33

kg/m3. Data tersebut selanjutnya

digunakan untuk menghitung bilangan Reynold dan diketahui bahwa prepolimer tersebut memiliki bilangan Reynold yang menurun dari 0,8921 pada 10 menit

(23)

76

pertama pengadukan ke 0,8698 pada 10 menit kedua pengadukan. Penurunan bilangan Reynold dikarenakan meningkat-nya viskositas prepolimer dari 3,9 Pa.s menjadi 4 Pa.s dalam waktu 10 menit. Peningkatan viskositas ini menunjukkan peningkatan gugus uretan yang terbentuk melalui reaksi polimerisasi (Gogoi et al., 2013). Semakin banyak gugus uretan yang terbentuk, semakin banyak ikatan hidrogen yang terbentuk antara gugus NH dan karbonil pada ikatan uretan sehingga meningkatkan kekakuan dari jaringan (Chattopadhyay et al., 2007 ).

Menurut Equipment Testing

Procedures Committee (2001), viskositas

prepolimer HTPB : TDI 15:1 belum dikatakan mendominasi masalah pen-campuran. Namun demikian, viskositas yang lebih dari 0,1 Pa.s tersebut dikategori-kan sebagai nilai yang memiliki efek terhadap mudah tidaknya prepolimer

cair mengalir dalam pengadukan.

Sedangkan nilai bilangan Reynold yang sangat rendah pada prepolimer HTPB: TDI 15:1 menunjukkan bahwa aliran laminar mendominasi aliran yang terjadi selama pengadukan. Aliran laminar ini menyebabkan butuh waktu yang lama untuk mencapai pencampuran yang baik (Williams, 2007).

Di sisi lain, diketahui bilangan Froud prepolimer HTPB: TDI 15:1 sebesar 0,0142. Bilangan Froud secara linier mempengaruhi kedalaman vortex (Smith and During, 1991), sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan rendahnya bilangan Froud maka kedalaman vortex saat pengadukan prepolimer cair pun dangkal.

3.2 Kandungan Gugus Fungsi

Analisa kandungan gugus fungsi yang terkandung dalam prepolimer poliuretan HTPB : TDI 15:1 gagal matang dilakukan dengan menggunakan FT-IR. Spektrofotometri Inframerah merupakan cara identifikasi jenis ikatan dalam molekul dengan menggunakan radiasi inframerah. Pada spektrofotometri tersebut radiasi ditembakkan ke sampel uji dalam bentuk paket-paket energi yang berbentuk foton. Radiasi yang telah melewati sampel memiliki intensitas foton yang lebih rendah daripada mulanya. Hal ini karena molekul sampel menyerap energi radiasi sehingga meng-akibatkan peningkatan amplitudo vibrasi atom-atom yang berikatan. Banyaknya energi yang diserap bergantung pada

perubahan dalam momen ikatan.

Perubahan intensitas foton kemudian diukur. Perubahan yang terekam tersebut menunjukkan kekhasan jenis ikatan tertentu (Rosita, 2015; Fessenden dan Fessenden, 1986).

Jenis vibrasi ada dua, yaitu vibrasi tekuk dan vibrasi ulur. Daerah di atas 1400 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur

dan digunakan untuk identifikasi gugus- gugus fungsi. Sementara, daerah di bawah 1400 cm-1 dapat menunjukkan

vibrasi ulur maupun tekuk. Daerah ini disebut daerah sidik jari karena setiap senyawa organik memiliki serapan yang unik disini (Fessenden dan Fessenden, 1986). Spektra prepolimer poliuretan dari 400 – 4000 cm-1 dapat dilihat pada

Gambar 3-1 dan hasil analisisnya disampaikan pada Tabel 3-1.

(24)

77

Gambar 3-1: Spektra Inframerah Prepolimer Poliuretan HTPB : TDI 15:1 Gagal Matang

Tabel 3-1: KANDUNGAN GUGUS FUNGSI PADA PREPOLIMER HTPB : TDI 15:1 GAGAL MATANG Jenis Gugus Fungsi Bilangan gelombang Rujukan (cm-1) Sumber Bilangan gelombang (cm-1) yang Terdeteksi Uretan Uluran N-H 3360 – 3380 Malik, 2005 3375,43 OH 3530 – 3550 Malik, 2005 3527,8 -NCO 2270 – 2280 Malik, 2005 2274,07

-C=O uretan 1720 – 1730 Malik, 2005 1732,08

Uluran C-O-C 1100 Gogoi et al., 2013 1097,5

Ikatan Hidrogen NH- - - C=O

Amida I 1700 – 1730 Ren et al., 2004 1699,29

Amida II 1530 – 1540 Zhang et al., 2008 1537,27

Amida III 1220 - 1230 Zhang et al., 2008 1220,94

2,6-TDI 815 Rosita, 2015 815,89

Urea 1680 - 1690 Malik, 2005 1681,93

OH bebas 3350 - 3400 Villar et al., 2011 3400,5

Gambar 3-2: Penjelasan asal puncak–puncak uretan pada spektrum inframerah 3.3 Pengaruh Pengadukan terhadap

Kandungan Gugus Fungsi Prepolimer Gagal Matang

Berdasarkan Tabel 3-1, diketahui bahwa parameter yang digunakan dalam proses pengadukan pada pembuatan prepolimer berbahan HTPB: TDI 15:1

telah berhasil menyebabkan terjadinya reaksi polimerisasi sehingga terbentuk ikatan uretan yang ditandai dengan munculnya spektra uluran NH, OH, -NCO, -C=O dan C-O-C, seperti dijelaskan pada Gambar 3-2, dengan Mn adalah simbol

untuk rantai hidrokarbon dari HTPB. 1732,08 cm-1 3527,8 cm -1 3375,43 cm-1 2274,07 cm-1 1097,5 cm-1

(25)

78

Selain itu, terbentuknya ikatan uretan juga ditandai dengan munculnya puncak–puncak Amida I pada 1699,29 cm-1, Amida II pada 1537,27 cm-1 dan

Amida III pada 1220,94 cm-1. Amida I, II,

III sama–sama menunjukkan adanya ikatan hidrogen yang mana atom hidrogen berada dekat diantara atom N dan O. Amida I termasuk penanda terbentuknya ikatan uretan. Amida III menunjukkan keberadaan ikatan hidrogen antara C=O pada gugus uretan satu dan N-H pada gugus uretan yang lain dimana gugus–gugus uretan tersebut menyusun segmen keras poliuretan. Sedangkan, Amida II menunjukkan ikatan hidrogen antara N-H pada gugus uretan di segmen keras poliuretan dengan gugus fungsi seperti eter (-O-) yang terkandung dalam rantai hidrokarbon HTPB pem-bentuk segmen lunak poliuretan (Ren et al., 2004).

Namun demikian, pada spektra inframerah (Gambar 4-1) juga terdeteksi ketidaksempurnaan reaksi. Hal ini ditun-jukkan dengan adanya puncak khas dari 2,6 – TDI pada bilangan gelombang 815,89 cm-1 dan gugus hidroksil (OH)

bebas dari HTPB pada 3400,5 cm-1. Isomer

2,6–TDI diketahui kurang reaktif dibanding 2,4 – TDI (Rosita, 2015), sehingga peng-adukan yang tidak optimal kurang memicu tumbukan yang dapat menyebabkan reaksi kimia antara gugus hidroksil (OH) HTPB dan gugus isosianat (NCO) pada 2,6 – TDI. Penyebab kekurangsempurnaan reaksi ini ialah bilangan Reynold yang terlalu kecil (di bawah 1) dan waktu pengadukan yang kurang lama. Hal ini karena aliran laminar, seperti yang ditunjukkan dengan bilangan Reynold prepolimer, membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai pencampuran yang baik yaitu lebih dari 20 menit

(Equipment Testing Procedures

Committee, 2001; Williams, 2007).

Terjadinya reaksi samping dalam prepolimer gagal matang diidentifikasi dengan adanya puncak urea pada

1681,93 cm-1. Menurut Hagen (2014),

proses terbentuknya urea melalui 2 tahap. Tahap pertama, gugus isosianat (NCO) dari TDI bereaksi dengan air membentuk senyawa amina primer dan karbon dioksida. Tahap kedua, amina primer bereaksi dengan gugus isosianat (NCO) lainnya membentuk urea. Pembentukan urea ini merugikan karena untuk mem-bentuk satu senyawa urea membutuhkan dua gugus isosianat. Sehingga gugus isosianat yang seharusnya bereaksi dengan gugus hidroksil (OH) dari HTPB untuk membentuk uretan berkurang dan terdapat HTPB yang sisa. Akibatnya, sifat mekanik dan fisis yang dimiliki prepolimer tidak lagi mewakili rasio NCO/OH seperti yang dirancang. Selain itu, karbondioksida yang dihasilkan dari reaksi pembentukan urea tampak mem-bentuk void (ruang kosong/pori) yang terjebak di dalam prepolimer sehingga mengakibatkan terbentuknya daerah rawan pecah (Hagen, 2014).

Molekul air yang menjadi reaktan terbentuknya urea dapat berupa uap air yang terkandung dalam kelembapan udara. Keikutsertaan uap air dalam reaksi prepolimer disebabkan oleh terbentuknya vortex selama pengadukan. Diketahui vortex pada permukaan dapat membawa bahan secara spiral turun ke pusat (Dickey, 2015). Dengan kata lain, adanya vortex, udara yang berada tepat di permukaan prepolimer dapat turut bercampur dengan prepolimer. Kedalaman

vortex ini berbanding linier dengan

bilangan Froud (Smith and During, 1991). Dengan demikian, bilangan Froud prepolimer sebesar 0,0142 telah mampu mengakibatkan terbentuknya urea.

4 KESIMPULAN

Berdasarkan analisis penelitian ini, diketahui bahwa bilangan Reynold sebesar 0,8698 – 0,8921 dengan waktu pengadukan total 20 menit telah dapat menyebabkan terjadinya reaksi pem-bentukan ikatan uretan dengan

Gambar

Gambar 1-1: Profil  densitas  elektron  (Ne)  ionosfer  terhadap  ketinggian  pada  siang  dan  malam  hari  (Kelley,1989)
Gambar 3-2 menunjukkan ilustrasi  mekanisme  terjadinya  ketidakstabilan  plasma ionosfer di atas wilayah Manado,  Pontianak  kemudian  di  Kototabang
Gambar 3-2: Ilustrasi  aktivitas  sintilasi  ionosfer  di  atas  Manado,  Pontianak,  dan  Kototabang    yang  berbeda posisi secara longitudinal
Gambar 3-3 menunjukkan variasi  atau  dinamika  longitudinal  kemunculan  sintilasi  ionosfer  pada  10  April  2013
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari penghantaran setiap skirt hingga penanganan distribusi unit yang telah dikemas: selain belt yang dikembangkan terutama untuk industri tembakau, banyak produk siegling

Di dalam pemindahan novel ke film Habibie dan Ainun terdapat juga perubahan bervariasi alur. Perubahan bervariasi alur tersebut terjadi pada saat Rudy berkunjung

Iklan luar ruang billboard akan menampilkan gambar yang menunjukkan sejarah dari Candi Ngempon dan Petirtaan Derekan.. Iklan billboard akan dapat dipasang di

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh leverage yang diukur dengan debt to equity ratio (DER)dan debt to assets ratio (DAR)terhadap kinerja keuangan

Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari sampai Februari 2011 dengan tujuan penelitian untuk mendeskripsikan kegiatan gula aren di Kenagarian Talang Maur Kecamatan Mungka

(2) Pimpinan unit kerja yang menangani keprotokolan pada Sekretariat Presiden dan/atau Sekretariat Wakil Presiden wajib melaporkan kerusakan TPP kunjungan ke luar

Apakah penerapan nilai dasar kode etik BPK RI dilihat dari aspek independensi, integritas, dan profesionalisme berpengaruh terhadap kinerja auditor pemerintah pada

Pengembangan Program Pendidikan Dokter Spesialis I Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD.. Soetomo dengan