• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data penilaian panelis terlatih terhadap sampel curd komersial

No. Panelis Kongkee Mico

(Padat) Giant

Tradisi-

onal Gemelli Sakura

1 Trancy 1.00 4.10 5.05 14.05 12.10 5.20 2 Tami 0.95 5.90 14.10 7.55 3 Melia 1.20 5.45 13.95 11.30 6.33 4 Nadea 1.00 5.50 14.05 11.35 7.00 5 Lukman 1.20 3.35 5.55 13.90 11.20 7.35 6 Rozak 1.00 3.60 14.00 11.60 7 Belinda 1.00 3.30 6.10 12.25 8 Rossy 1.00 4.80 5.55 14.00 11.80 9 Ajeng 0.95 5.80 14.10 7.40 10 Nadiah 3.80 14.00 11 Chintia 1.00 14.00 Rata-rata 1.03 3.83 5.61 14.02 11.66 6.80 SD 0.09 0.51 0.30 0.06 0.38 0.82 RSD a 8.46 13.41 5.34 0.42 3.25 12.08

PENGARUH K

SUHU TERH

FA

KONSENTRASI KOAGULAN CaSO

RHADAP PROSES KOAGULASI PROT

TEKSTUR CURD

SKRIPSI

DITA ADI SEPTIANITA

F 24053053

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

SO4.2H2O DAN

PROTEIN DAN

EFFECT OF CaSO

4

.2H

2

O (COAGULANT) CONCENTRATION

AND TEMPERATURE ON THE PROTEIN COAGULATION PROCESS

AND CURD TEXTURE

Dita Adi Septianita and Dahrul Syah

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.

Phone +62 813 80166208, e-mail: dita.adi.septianita@gmail.com

ABSTRACT

Texture is an important aspect to determine consumer preferences for products based curd, one of them is tofu. Differences in texture of are influenced by the parameters of the coagulation process which consists of coagulant concentration and coagulation temperature. Effect of differences in coagulation parameters was represented by the data of whey transmittance, whey protein content, pH value of whey, curd protein profiles, moisture content and total solids of curd, and curd texture (objectively by TPA devices). This study used CaSO4.2H2O as a coagulant for soybean milk with the

concentration of 0.015 N (A), 0.030 N (B), and 0.045 N (C). Soy milk was coagulated at the temperature of 60 and 80°C. Coagulation produced curd tofu and whey. The data suggest that whey C had the highest transmittance [23.52% (60°C) and 19.30% (80°C)], whey protein B had the lowest [0.448 mg/mL (80°C) and 0.390 mg/mL (60°C )], while the whey pH values were not significantly different in the range of 5.72 to 5.90. The curd C had the highest moisture content (wet basis) [20.63% (80°C) and 18.69% (60°C)] and the highest total solids/yields (raw material basis) [40.88% (60°C) and 37.75% (80°)]. The function f(x) = y = 2.896x + 1358 was obtained to correlate the curd texture by objective measurement (x) and the sensory evaluation (y). Curd C (80°C) had the highest hardness 2.474 (slightly hard) while the curd A (60°C) had the lowest hardness 1.164 (soft).

Meanwhile, the curd protein profiles consists of 7S globulin (β-conglycinin) and 11S globulin (glycinin) protein subunits. The 7S protein consists of subunits α, α’, and β, while the 7S protein consists of the acid subunits (A1, A2, A4, A6) and the base subunit. Percent of 11S subunits in the curd

increased with increasing concentration of coagulant in all the coagulation temperature. The percent of 7S subunits indicated otherwise, as well as its components, α+α’ and β. Overall, subunits of proteins that have an influence on the texture are the A1 subunit and the base subunit of the 11S

proteins with the highest Pearson correlation on the curd cohesiveness.

DITA ADI SEPTIANITA. F24053053. Pengaruh Konsentrasi Koagulan CaSO4.2H2O dan Suhu terhadap Proses Koagulasi Protein Dan Tekstur Curd. Di bawah bimbingan Dahrul Syah. 2011

RINGKASAN

Tekstur curd merupakan aspek mutu yang penting dalam produk berbasis curd. Contoh produk hasil koagulasi yang umum di Indonesia adalah tahu dan keju. Tekstur mempengaruhi preferensi konsumen ketika mereka membeli produk. Tahu yang diinginkan memiliki tekstur kompak, padat, seperti gel, tidak keras dan tidak terlampau lunak, serta mudah dalam penanganan untuk pengolahan selanjutnya. Teknologi koagulasi protein dalam pembentukan curd telah banyak dikaji dalam penelitian-penelitian sebelumnya. Curd protein dapat diperoleh dari sumber nabati yakni sari kacang-kacangan, seperti kacang kedelai (Glycine max), yang biasa disebut tahu. Parameter proses yang mempengaruhi mutu curd yang dihasilkan diantaranya adalah jenis koagulan dan konsentrasi koagulan. Perbedaan komponen proses koagulasi tersebut menyebabkan perbedaan mutu

curd, terutama dari segi tekstur curd yang dihasilkan.

Garam CaSO4.H2O dipilih sebagai koagulan dalam pengujian ini. Curd dihasilkan melalui

koagulasi pada skala produksi tahu (seperti di pabrik tahu) dan skala laboratorium. Tekstur tahu dianalisis secara objektif dan subjektif. Tekstur tahu skala makro dikorelasikan dengan komposisi protein skala mikro. Protein yang terkoagulasi membentuk molekul agregat dengan bobot molekul yang spesifik. Komposisi ini diperoleh melalui screening protein dengan metode elektroforesis. Sehingga diketahui bobot molekul protein spesifik (subunit protein) yang mempengaruhi tekstur curd

tahu yang dihasilkan pada konsentrasi koagulan CaSO4.H2O dan suhu koagulasi yang berbeda.

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, dengan perbedaan konsentrasi koagulan pada 0.015 N (A), 0.030 N (B), dan 0.045 N (C). CaSO4.H2O pada suhu 60°C dan 80°C. Tahap pertama adalah analisis

whey dan curd. Analisis whey terdiri atas pengukuran transmitan, kadar protein (metode Bradford), dan pH whey. Analisis curd terdiri atas pengukuran kadar protein curd/tahu dengan metode Bradford dan Kjeldahl, kadar air, total padatan dan tekstur curd secara objektif dengan Texture Profile Analyzer (TPA). Lalu, dilanjutkan ke tahap kedua yaitu analisis komponen protein spesifik curd yang terdiri atas ekstraksi protein curd dan elektroforesis protein terekstraksi. Tahap ini menghasilkan komposisi protein curd berdasarkan bobot molekulnya. Dan tahap ketiga adalah analisis subjektif tahu oleh panelis yang meliputi seleksi panelis terlatih dan pengujian atribut kekerasan tahu. Data ini digunakan untuk mendukung data analisis tekstur objektif sebelumnya. Kemudian dilanjutkan dengan analisis keterkaitan/korelasi antar parameter analisis yang terukur.

Data menunjukkan bahwa nilai transmittan whey tertinggi diperoleh whey C [23.52 (60°) dan 19.30% (80°C)], kadar protein whey terendah oleh whey B [0.448 mg/ml (80°) dan 0.390 mg/ml (60°C)], pH whey tidak berbeda signifikan dalam kisaran 5.72-5.90, kadar air curd tertinggi oleh curd

C [20.63% (80°C) dan 18.69 (60°C)], total padatan tertinggi curd (basis bahan baku kedelai) oleh

curd C [40.88% (60°C) dan 37.75 (80°)], dan kekerasan curd tertinggi 2.474 (agak keras) diperoleh oleh curd C (suhu 80°C) serta kekerasan terendah 1.164 (lunak) oleh curd A (suhu 60°C). Penentuan nilai kekerasan subjektif dilakukan dengan memasukkan nilai kekerasan objektif ke dalam persamaan tekstur yang diperoleh dengan pengujian organoleptik 8 tahu komersil. Fungsi tekstur objektif (x) terhadap tekstur subjektif (y) menggunakan persamaan y = 2.896x + 1.358.

Koagulasi protein terjadi sempurna pada konsentrasi koagulan dan suhu yang optimum dengan waktu yang tepat sehingga jumlah protein sari kedelai yang terendapkan semakin banyak dan rendemen yang dihasilkan semakin besar. Struktur mikroskopis curd merupakan manifestasi dari jaringan molekul protein yang dibangun oleh ikatan intermolekul yang bersifat hidrofobik maupun elektrostatik. Dari titik konsentrasi 0.015, 0.030, dan 0.045 N, konsentrasi 0.030 dan 0.045 N memberikan kondisi koagulasi yang lebih baik dari konsentrasi 0.015 N. Dan dari rentang suhu 60- 80°C, suhu koagulasi 80°C menghasilkan curd yang memiliki total padatan dan kadar air yang lebih banyak daripada suhu 60°C. Sehingga dapat dikatakan bahwa konsentrasi 0.030-0.045 N memberikan kondisi koagulasi yang lebih baik daripada kosentrasi 0.015 N dan suhu 80°C lebih baik daripada suhu 60°C.

Sementara profil protein curd terdiri dari subunit protein globulin 7S (β-conglisinin) dan globulin 11S (glisinin). Protein 7S terdiri dari subunit α, α’, dan β, sedangkan protein 11S terdiri dari subunit asam (A1, A2, A4, A6) dan basa. Persen subunit 7S dalam curd menurun seiring peningkatan

konsentrasi koagulan di kedua suhu koagulasi, begitu juga dengan komponen α+α’ dan β. Sedangkan persen subunit 11S menunjukkan hal yang sebaliknya, walaupun kondisinya tidak serupa untuk komponen protein di dalamnya. Dari semua subunit, subunit protein yang memiliki pengaruh terhadap tekstur adalah subunit A1 dan subunit basa dari protein 11S dengan korelasi Pearson tertinggi

pada atribut daya kohesif curd.

Protein 11S menempati porsi paling besar dalam curd. Antar subunit protein dan variabel terukur yang menjadi parameter mutu tekstur curd memiliki korelasi satu sama lain yang diukur dengan analisis regresi linear. Keterkaitan antara atribut tekstur dan subunit protein tertinggi dimiliki oleh daya kohesif dan subunit A1 (korelasi Pearson = 0.4049, Yx = 0.4003 – 0.0610Xj) namun efeknya

tidak signifikan. Efek yang signifikan dan memiliki keterkaitan tertinggi dimiliki oleh daya kohesif dan subunit basa (korelasi Pearson = 0.3660, Yx = 0.1687 + 0.0470Xj) dengan efek linieritas yang

berarti, namun masih perlu dilakukan pengujian regresi lengkung. Keterkaitan tertinggi dimiliki oleh daya kohesif dan total padatan (%BBBK) (korelasi Pearson = 0.9613, Yx = 0.4921 – 0.1237Xj).

Linieritas terbaik (tidak perlu pengujian regresi lengkung) dimiliki oleh daya kohesif dan total padatan (%BB) (korelasi Pearson = 0.6894, Yx = 0.7935 + 0.0245Xj). Kekerasan curd memiliki keterkaitan

paling besar dengan kadar air (%BB) (korelasi Pearson = 0.6513, Yx = 0.1755 + 0.0048Xj).

Sementara kelengketan curd memiliki keterkaitan paling besar dengan total padatan (%BB) (korelasi Pearson = 0.6124, Yx = 0.8207 – 0.0096Xj). Keterkaitan tertinggi dan linieritas terbaik selanjutnya

dimiliki oleh total padatan (%BBBK) curd dan subunit basa (korelasi Pearson = 0.5258, Yx = 0.3806 -

0.0053Xj). Linieritas yang berarti pula dimiliki oleh total padatan (%BBBK) dengan subunit A1

(korelasi Pearson = 0.5156, Yx = 0.1512 + 0.0060Xj) namun efeknya tidak signifikan.

Maka secara umum, di antara subunit A1 dan subunit basa, subunit basa yang memiliki

pengaruh paling tinggi terhadap atribut tekstur, kadar air, dan total padatan. Sementara itu, subunit basa juga berpengaruh terhadap total padatan (%BBBK) yang merepresntasikan kesempurnaan koagulasi protein kedelai. Dan atribut tekstur yang paling dipengaruhi adalah daya kohesif curd, yaitu kemampuan curd dalam menahan deformasi kedua (dengan alat objektif maupun kunyahan subjektif).

Tekstur curd juga merupakan produk kestabilan struktur jaringan molekul protein bersama molekul organik lain di dalamnya untuk mengikat air. Daya ikat curd terhadap air menentukan kadar air tahu dipengaruhi oleh suhu koagulasi. Semakin tinggi suhu, semakin cepat koagulasi terjadi, semakin kasar matriks protein, semakin sedikit air yang terikat, semakin padat curd yang dibentuk. Semakin tinggi kadar air ketika struktur curd menyerupai gel pada konsentrasi tidak optimum, kemungkinan sinersesis terjadi akan semakin besar karena kekuatan ionik antarmolekul protein tidak maksimal.

Kondisi optimum dipengaruhi oleh ketercapaian nilai pI dari suatu protein. Perbedaan parameter proses menghasilkan pH whey pada kisaran nilai 5.72-5.90 yang tidak berbeda signifikan. Semakin tinggi konsentrasi koagulan dan suhu koagulasi, nilai pH semakin mendekati pI glisinin (globulin 11S) yaitu 6.3-7.0. Semakin rendah konsentrasi koagulan dan suhu koagulasi, nilai pH semakin mendekati pI β-conglisinin (globulin 7S) yaitu 4.5-5.0. Suhu yang rendah mengakibatkan proses koagulasi berlangsung lebih lama, sehingga kemungkinan terjadinya pengasaman whey karena kadar protein yang tinggi lebih besar.

Adanya keterkaitan antara komposisi protein 11S-7S dan tekstur serta daya ikat air curd

disebabkan oleh ikatan disulfida (ikatan –SS–). Jaringan protein 11S memiliki ikatan disulfida yang lebih banyak daripada jaringan protein 7S. Oleh karena itu jumlah protein 11S dalam curd yang tinggi akan diikuti oleh tektstur curd yang lebih keras. Tetapi ketika jumlah protein 7S dalam curd mulai meningkat, tekstur curd mulai menurun. Dan kisaran 0.030-0.045 N pada suhu 80°C merupakan kondisi lebih baik bagi koagulasi protein 11S. Kondisi ini akan membentuk tahu yang agak keras yang dapat dicetak dengan alat pembuat tahu. Jika kondisi dibuat optimum bagi koagulasi protein 7S, tahu yang dihasilkan adalah tahu lembut yang berwujud gel dan tidak bisa dicetak dengan alat.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1LATAR BELAKANG

Tekstur curd merupakan aspek mutu yang penting dalam produk berbasis curd. Contoh produk hasil koagulasi yang umum di Indonesia adalah tahu dan keju. Tekstur mempengaruhi preferensi konsumen ketika mereka membeli produk. Tahu yang diinginkan memiliki tekstur kompak, padat, seperti gel, tidak keras dan tidak terlampau lunak, serta mudah dalam penanganan untuk pengolahan selanjutnya.

Teknologi koagulasi protein dalam pembentukan curd telah banyak dikaji dalam penelitian- penelitian sebelumnya. Curd protein dapat diperoleh dari sumber nabati yakni sari kacang-kacangan, seperti kacang kedelai (Glycine max), yang biasa disebut tahu. Berbagai parameter terukur yang mempengaruhi mutu curd yang dihasilkan, diantaranya adalah jenis koagulan dan konsentrasi koagulan (Kao et al. 2003). Perbedaan komponen proses koagulasi tersebut disertai suhu koagulasi yang diatur menyebabkan perbedaan mutu curd, terutama dari segi tekstur curd yang dihasilkan.

Kacang kedelai mengandung protein 35% bahkan pada varitas unggul kadar proteinnya dapat mencapai 40%-43% (Margono 1993). Tahu sendiri merupakan agregat protein yang diendapkan dari suspensi kedelai oleh koagulan protein. Protein kedelai dapat dibentuk gel curd jika sari kedelai telah mengalami pemanasan (Liu 1997). Pemanasan ini mendenaturasi protein dan membuka struktur kuartener protein yang akan mempermudah proses koagulasi.

Koagulasi protein terjadi saat asam amino memiliki muatan netral yang mangakibatkan kelarutannya menurun. Suasana ini disebut titik isoelektrik. Titik ini dapat dicapai dengan mengubah pH dan menambahkan garam ke dalam sari kacang kedelai. Garam yang umumnya digunakan adalah garam kalsium sulfat (CaSO4.H2O), yang memilihi bilangan valensi 2. Muatan 2+ dari logam Ca

dalam garam dapat menetralisir muatan negatif asam amino (Kohyama et al. 1995). Hal ini dapat meningkatkan interaksi hidrofobik sesama molekul asam amino sehingga protein teragregasi dan bobot molekul proteinnya meningkat. Dan terbentuklah endapan protein yang disebut curd atau tahu.

Perbedaan parameter proses dapat menyebabkan perbedaan komposisi agregat protein yang terbentuk dan berdampak pada tekstur curd yang dihasilkan. Agregat protein membentuk matriks

curd yang mempengaruhi kekompakan tekstur (Oakenfull et al. 1997). Matriks ini pula yang mampu mengikat air, yang turut berkonstribusi terhadap penentuan tekstur. Protein merupakan makromolekul oraganik yang memiliki bobot molekul bervariasi. Perlakuan temperatur koagulasi dan konsentrasi koagulan mempengaruhi mutu tekstur curd. Maka disinyalir perbedaan perlakuan tersebut juga akan menyebabkan perbedaan bobot molekul protein yang terkoagulasi.

1.2PERUMUSAN MASALAH

Adanya perbedaan perlakukan selama proses koagulasi protein menyebabkan perbedaan tekstur curd tahu yang dihasilkan. Parameter perlakuan meliputi konsentrasi koagulan dan suhu koagulasi. Garam CaSO4.H2O dipilih sebagai koagulan dalam pengujian ini. Curd dihasilkan melalui

koagulasi pada skala produksi tahu pada umumnya dan skala laboratorium. Tekstur tahu dianalisis secara objektif dan subjektif, yang didukung pula oleh data kadar air tahu tersebut. Tekstur tahu

objektif (dari curd yang diproduksi pada skala pabrik) dikorelasikan dengan komposisi protein curd (yang dibuat pada skala lab). Protein yang terkoagulasi membentuk molekul agregat dengan bobot molekul yang spesifik. Komposisi protein ini diperoleh melalui screening protein dengan metode elektroforesis.

1.3TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan mengetahui bobot molekul protein spesifik yang mempengaruhi tekstur

curd tahu yang dihasilkan pada konsentrasi koagulan CaSO4.H2O dan suhu koagulasi yang berbeda.

1.4MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengambilan keputusan dalam proses pembuatan tahu. Hal yang dipertimbangkan meliputi jenis koagulan, konsentrasi koagulan, dan suhu koagulasi. Karena faktor-faktor tersebut berkontribusi terhadap pembentukan tekstur tahu. Dan pula dapat menginisiasi konsep modifikasi tekstur curd melalui protein spesifik kedelai. Selain itu, progress penelitian ini dapat menjadi awal sekaligus lanjutan bagi penelitian lainnya terkait mutu tekstur produk semi solid hasil koagulasi protein.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1PROTEIN DALAM SISTEM PANGAN

Protein merupakan polimer yang disusun oleh asam amino, dengan jumlah yang lebih banyak dari peptida (2-50 asam amino), bahkan mencapai ratusan. Struktur protein dapat disusun oleh sekitar 100-2.000 unit asam amino. Berat molekul protein dapat mencapai sekitar 5.500 hingga 220.000 Dalton1 (Kusnandar 2010). Protein tersusun atas rangkaian 20 jenis asam amino yang berikatan kovalen dalam urutan yang khas. Semua asam amino yang ditemukan dalam protein memiliki susunan dasar yang sama, yaitu gugus karboksil dan gugus amina yang diikat pada atom karbon kiral (kecuali glisin). Perbedaan antar asam amino terletak pada rantai sampingnya (gugus R) yang bervariasi dalam hal struktur, ukuran, muatan listrik, serta kelarutannya dalam air. Lehninger (1995) mengutarakan bahwa ada empat golongan asam amino, yaitu golongan dengan gugus R non-polar (hidrofobik), golongan dengan gugus R polar tapi tidak bermuatan, golongan dengan gugus R bermuatan positif, dan golongan dengan gugus R bermuatan negatif.

Protein dapat digolongkan berdasarkan karakternya, antara lain berdasarkan susunan molekulnya, kelarutannya, adanya senyawa lain dalam molekul, tingkat degradasi, dan fungsinya. Menurut Kusnandar (2010), perbedaan rantai samping asam amino dalam protein membuat protein dapat dibagi ke dalam beberapa bentuk makromolekul, yaitu struktur primer, sekunder, tersier dan, kuartener. Struktur primer merupakan susunan linier asam amino dalam protein. Struktur sekunder adalah struktur polipeptida yang terlipat-lipat yang merupakan bentuk tiga dimensi dengan cabang- cabang rantai polipeptidanya tersusun saling berdekatan. Struktur sekunder ini memberikan bentuk α- heliks dan β-sheet. Struktur tersier merupakan susunan dari struktur sekunder yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan struktur kuartener adalah struktur protein yang melibatkan lebih dari satu rantai polipeptida yang terbentuk oleh adanya interaksi antar beberapa rantai molekul protein berbeda melalui ikatan-ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, interaksi elektrostatik, dan jembatan sulfida.

Kusnandar (2010) juga memaparkan bahwa protein dapat dikelompokan menjadi protein sederhana (simple protein), protein konjugasi (conjugated protein), dan protein turunan (derived protein). Protein sederhana adalah protein yang hanya mengandung residu asam amino. Protein sederhana dapat dikelompokkan menjadi protein globular dan protein fibrilar. Protein globular memiliki struktur molekul bulat (spherical), seperti albumin, globulin, histon, dan protemin. Protein fibrilar memiliki bentuk serat dan bersifat tidak larut dalam air. Protein ini banyak mengandung asam amino prolin, hidroksiprolin, sistein, dan sistin, yang biasanya menyusun struktur jaringan daging mamalia ataupun unggas. Selanjutnya, protein konjugasi, yaitu protein yang berikatan dengan molekul lainnya, seperti karbohidrat (glikoprotein), lemak (lipoprotein), logam (metaloprotein), dan fosfor (fosfoprotein). Sedangkan protein turunan adalah protein yang telah dimodifikasi sifat fungsionalnya, baik secara enzimatis maupun kimia. Protein hasil modifikasi ini dapat berubah sifat kelarutannya dalam air, sifat koagulasi, ataupun panjang rantainya. Skema pembentukan struktur protein bertahap dari primer ke kuartener hingga menjadi sebuah sistem pangan dalam curd tahu dapat dilihat pada Gambar 1.

1

Berat molekul protein sering juga dinyatakan dalam satuan Dalton, dimana satu Dalton sama dengan unit saru masa atom (atomic mass unit). Dengan demikian, protein dengan berat molekul 50.000 memiliki massa atom 50.000 Dalton atau 50 kDa (kilodalton).

Gambar 1. Ilustrasi pembentukan struktur protein dari asam amino yang sederhana hingga ke bentuk komples sebagai sistem pangan pada produk tahu (iopscience.iop.org, Kusnandar 2010, kvhs.nbed.nb.ca 2008, www.genome.gov 2006, Yasir 2007)

2.1.1

Sifat Fisikokimia Protein

Protein memiliki sifat fisikokimia yang dipengaruhi oleh jumlah dan jenis asam amino penyusunnya. Berat molekul protein yang sangat besar akan menghasilkan dispersi koloidal jika

protein dilarutkan dalam air. Apabila dalam suatu larutan protein ditambahkan garam, daya larut protein akan berkurang, akibatnya protein akan terpisah sebagai endapan. Peristiwa pemisahan protein ini disebut salting out.

Dalam larutan asam (pH rendah), gugus amino bereaksi dengan H+, sehingga protein bermuatan positif. Bila pada kondisi ini dilakukan elektrolisis, molekul protein akan bergerak ke arah katoda yang bermuatan negatif. Sebaliknya, dalam larutan basa (pH tinggi), molekul protein akan bermuatan negatif, sehingga molekul protein akan bergerak menuju anoda yang bermuatan positif. Pada pH tertentu yang disebut titik isoelektrik (pI), muatan gugus amino dan karboksil bebas akan saling menetralkan sehingga molekul bermuatan nol. Menurut Suciono (1995), pada titik isoelektriknya, muatan total masing-masing asam amino dalam protein sama dengan nol, artinya terjadi kesetimbangan antara gugus bermuatan positif dengan gugus bermuatan negatif. Interaksi elektrostatik antar asam amino akan maksimum karena muatan yang tidak sejenis cenderung untuk tarik menarik, fenomena ini dapat diamati melalui terjadinya penggumpalan protein.

2.1.2

Sifat Fungsional Protein

Sifat fungsional protein adalah sifat-sifat protein baik fisik maupun kimia yang mampu mempengaruhi tingkah laku protein dalam sistem pangan selama proses, penyimpanan, persiapan dan konsumsi. Protein memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap sifat fungsional dan kualitas dari sebagian besar produk pangan seperti susu, daging, keju, telur, dan roti. Mutu organoleptik dari produk pangan tersebut tergantung dari sifat fisik, kimia serta interaksi komponen protein (Kinsella 1982). Sifat-sifat fungsional protein akan mempengaruhi mutu organoleptik produk pangan, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat fungsional yang dapat dihasilkan protein

Sifat Umum Kriteria Fungsional

Organoleptik Warna, flavor

Kinestetik Tekstur, mouthfeel, kehalusan, kekeruhan

Hidrasi Kelarutan, pengembangan, absorpsi air, gelling, sineresis, viskositas, ketebalan Struktural Elastisitas, kohesifitas, chewiness, adhesi, agregasi, pembentukan ikatan

Rheologi Viskositas, gelasi

Enzimatik Koagulasi (rennet), keempukan (papain)

Sumber: Kinsella (1979)

Produk dengan karakteristik tertentu membutuhkan komponen mayor (contoh protein, karbohidrat, lemak) maupun komponen minor (contoh emulsifier) dengan karakter tertentu. Sifat sensori suatu produk seringkali terbentuk melalui interaksi antara komponen mayor dan komponen minor tersebut. Masing-masing komponen memiliki sifat fisikokimia yang unik (Damodaran 1982). Sehingga, produk pangan yang satu dengan lainnya membutuhkan karakteristik protein yang berbeda sesuai dengan interaksi yang terjadi, seperti yang terinci pada Tabel 2.

Tabel 2. Sifat fungsional protein serta mekanisme pembentukannya dalam sistem pangan

Sifat Fungsional Mekanisme Sistem Pangan

Daya ikat Ikatan hidrogen dengan air, pemerangkapan

air oleh protein

Daging, sosis, bakery, cake

Viskositas Pengikatan air Sup

Kohesi-adhesi Protein bertindak sebagai material adhesif Daging, sosis, produk pasta Elastisitas Ikatan hidrofobik, ikatan disulfida dalam gel Daging, bakery

Sumber: Kinsella (1982)

Sementara itu, Chaftel et al., (1985) mengklasifikasikan sifat fungsional protein ke dalam tiga golongan, yaitu: 1) sifat hidrasi, yaitu sifat yang ditentukan oleh interaksi protein-air, misalnya absorpsi air, kelarutan, dan viskositas; 2) sifat yang berhubungan dengan interaksi protein-protein, misalnya pengendapan, gelasi dan pembentukan serat-serat protein; 3) sifat permukaan yang terutama berhubungan dengan tegangan permukaan, misalnya pembentukan buih.

2.2PROTEIN KEDELAI

Protein merupakan komponen kimia tertinggi yang terkandung dalam kacang kedelai. Kedelai mengandung jumlah protein yang bervariasi (38-49%) (Saidu 2005). Menurut Koswara (1992), zat gizi dominan yang terdapat dalam kedelai adalah protein dan karbohidrat. Per 100 gramnya, kedelai kering mengandung 34.9 gram protein, 34.8 gram karbohidrat, 18.1 gram lemak, dan 227.0 mg kalsium. Sebagian besar protein terdapat pada bagian hipokotil dan kotiledonnya. Hanya 8.8% protein yang terdapat pada kulitnya.

Menurut Liu (1997), protein kedelai mengandung asam amino esensial yang lengkap dengan metionin sebagai asam amino pembatas. Leusin, isoleusin, lisin, dan valin merupakan asam amino yang paling tinggi yang terkandung di dalam kedelai. Kandungan protein yang tinggi menyebabkan protein memiliki peran yang penting dalam memberikan sifat-sifat fungsional yang khas Belitz dan Grosch (1999) menjelaskan bahwa protein kedelai juga dapat digolongkan ke dalam 4 fraksi berdasarkan kelarutannya, yaitu albumin (larut dalam air), globulin (larut dalam larutan garam), prolamin (larut dalam alkohol 70%) dan glutelin (larut dalam basa encer) (Belitz dan Grosch, 1999). Mereka menambahkan bahwa fraksinasi protein kacang-kacangan berdasarkan kelarutannya, seperti yang dilakukan oleh Osborne, menghasilkan tiga fraksi protein paling dominan dalam kacangkacangan, yaitu albumin, globulin, dan glutelin. Pada kedelai, distribusi ketiga fraksi protein

Dokumen terkait