• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Domba

Domba merupakan salah satu hewan ternak yang banyak dikembangkan oleh masyarakat. Pemeliharaannya relatif mudah dan tidak membutuhkan banyak tenaga, sehingga ternak domba diusahakan sebagai sambilan. Domba juga memiliki daya adaptasi yang baik terhadap bermacam-macam hijauan pakan dan berbagai kondisi lingkungan (Mulyono 2003). Daging domba tidak berbau dan sebaran lemaknya (Marbling) merata membuat daging ini disukai oleh masyarakat (Munier 2008).

Perkembangan bangsa domba di dunia, awalnya berasal dari empat spesies domba liar. Spesies-spesies tersebut, ialah: domba moufflon (Ovis musimon) di Eropa dan Asia Barat, domba Urial (Ovis orientalis; Ovis vignei) di Afganistan hingga Asia Barat, domba Argali (Ovis ammon) di Asia Tengah, dan domba bighorn (Ovis canadensis) di Asia Utara dan Amerika Utara. Domba yang ada di Indonesia diperkirakan berasal dari Asia Barat dan India (Williamson dan Payne 1993). Jenis domba yang diternakan di Indonesia, kemudian dikenal dengan istilah domba lokal. Pada awalnya, jenis domba di Indonesia adalah domba Javanese-Thin-Tailed yang terdapat di Jawa Barat dan East-Java-Fat-Tailed yang terdapat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Selanjutnya, kedua tipe domba lokal tersebut menyebar hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Proses persilangan dan adaptasi terhadap lingkungan kemudian memunculkan jenis domba baru, yaitu domba priangan atau domba garut dan domba kisar. Domba garut merupakan hasil persilangan domba lokal dengan domba Merino dan Kaapstad (Duldjaman et al. 2006). Sedangkan domba kisar diduga merupakan hasil proses adaptasi domba ekor gemuk terhadap lingkungan di Maluku (Salamena 2006).

Domba ekor tipis atau Javanese-Thin-Tailed merupakan domba asli Indonesia dengan populasi terbesar berada di pulau Jawa. Populasi yang terpusat di Jawa membuat domba ini dikenal juga dengan nama domba jawa atau domba kacang. Nama domba ekor tipis mengacu pada ciri fisik ekor domba, yaitu kecil dan tipis. Ciri

lain dari domba ekor tipis adalah rambut domba yang umunya berwarna putih, kadang-kadang diselingi warna lain, seperti belang hitam atau cokelat. Domba betina umumnya tidak bertanduk, sedangkan domba jantan bertanduk kecil dan bentuknya melingkar. Bobot badan domba jantan dewasa berkisar 30 sampai dengan 40 kg, sedangkan bobot domba betina berkisar 15 sampai dengan 20 kg. Selain domba ekor tipis, domba lainnya yang banyak diternakan di Indonesia adalah domba ekor gemuk atau East-Java-Fat-Tailed. Sama seperti domba ekor tipis, ciri fisik utama dari domba ekor gemuk terletak pada ekornya. Ekor domba ini berbentuk panjang, lebar, tebal, besar, dan makin mengecil pada bagian ujung. Bentuk tersebut dikarenakan adanya timbunan lemak, yang berfungsi sebagai cadangan energi domba. Ciri lainnya adalah warna rambut domba yang umumnya putih dan tidak mempunyai tanduk, baik itu domba jantan maupun domba betina. Bobot badan domba jantan berkisar antara 50-70 kg, sedangkan domba betina berkisar antara 25-40 kg.

Persilangan domba lokal dengan domba luar menghasilkan jenis domba lain, yaitu domba priangan. Domba ini berasal dari Kabupaten Garut, Jawa Barat sehingga dikenal juga dengan nama domba garut. Ciri fisik domba garut lebih besar dibandingkan domba ekor tipis dan domba ekor gemuk. Bobot badan domba jantan dewasa dapat mencapai 60-80 kg, sedangkan domba betina berkisar 30-40 kg. Ciri lainnya adalah daun telinga yang relatif kecil dan tanduk berukuran besar, yang hanya tumbuh pada domba jantan. Jenis domba luar yang dikembangkan di Indonesia, antara lain: domba merino, domba suffolk, dan domba dorset. Domba merino merupakan penghasil wol, dengan obot badan jantan dewasa berkisar antara 64-79 kg dan domba betina antara 45-75 kg. Domba suffolk merupakan domba pedaging, dengan bobot badan jantan mencapai 135-200 kg dan betina 100-150 kg. Sayangnya, bobot badan domba ini jika dikembangkan di Indonesia hanya dapat mencapai 60-80 kg. Berbeda dengan domba merino dan domba suffolk, domba dorset dapat dimanfaatkan sebagai penghasil wol maupun penghasil daging. Bobot badan domba jantan mencapai 100-125 kg dan domba betina 70-90 kg (Mulyono 2003).

2.2. Jamu Veteriner

Indonesia merupakan negara yang kaya akan bermacam-macam tanaman obat tradisional. Penggunaan obat-obatan tradisional untuk menyembuhkan penyakit ataupun sebagai suplemen telah dilakukan sejak lama. Pengalaman empiris masyarakat tentang khasiat obat-obatan tradisional kemudian diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini membuat penggunaan obat-obatan ini tetap bertahan hingga sekarang. Beberapa tumbuhan yang diketahui mempunyai khasiat sebagai sumber obat-obatan tradisional antara lain: lempuyang (zingiber), sambiloto (Andrographis paniculata), kayu manis (Cinnamomum burmannii), jahe (Zingiber officinale), dan merica (Piper nigrum). Kombinasi dari tumbuhan-tumbuhan ini akan menghasilkan ramuan jamu veteriner yang dapat digunakan sebagai suplemen pada ternak.

2.2.1. Lempuyang

Klasifikasi tanaman lempuyang ialah lempuyang berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, sub kelas Commelinidae, ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae, genus Zingiber, dan terdiri dari 3 spesies, yaitu: Zingiber aromaticum Val., Zingiber americans, dan Zingiber zerumbet Smith. Tanaman ini merupakan tumbuhan tahunan yang tumbuh liar pada tempat dengan ketinggian 0-1.200 m dpl. Tanaman yang dapat mencapai ketinggian 1,75 m ini, terdiri atas rimpang, batang, daun, dan bunga. Rimpang lempuyang berukuran besar dan berwarna kuning pucat. Batangnya merupakan batang semu yang terdiri atas helaian daun yang berbentuk bulat memanjang dengan ujung meruncing. Sementara itu, bunga lempuyang muncul dari umbi batang dan berbonggol di bagian atas (Muhlisah 1999).

Lempuyang terdiri dari tiga spesies yang sulit dibedakan satu dengan yang lainnya. Pertama, Lempuyang emprit (Zingiber amaricans). Ciri spesies ini adalah berasa pahit, pedas, dan baunnya tidak tajam. Lempunyang emprit mengandung minyak atsiri, diantaranya limonen dan zerumbon. Khasiat utamanya adalah sebagai penambah nafsu makan, mengatasi alergi, cacingan, disentri, darah kotor, influenza,

kolera, nyeri lambung, rematik, dan migren. Kedua, lempuyang gajah (Zingiber zerumbet). Cirinya adalah rasa pedas, tajam, dan bersifat hangat. Kandungan zat dan khasiat lempuyang gajah sama dengan lempuyang emprit (Zingiber amaricans). Perbedaan keduanya adalah lempuyang gajah (Zingiber zerumbet) memiliki bentuk yang relatif lebih besar. Ketiga, lempuyang wangi (Zingiber aromaticum). Sifat dari Lempuyang wangi adalah berasa pahit, pedas, dan aromatik. Kandungan zat kimiawinya sama dengan dua spesies lainnya. Perbedaan dengan spesies lempuyang lainnya adalah lempuyang wangi berwarna putih dan berbau wangi. Khasiat lempuyang wangi, antara lain sebagai analgesik, penambah nafsu makan, mengobati asma, cacingan, anemia, sembelit, TBC, maupun malaria (Hariana 2007; Sari 2006).

2.2.2. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

Klasifikasi tanaman sambiloto ialah sambiloto berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Asteridae, ordo Scrophulariales, famili Acanthaceae, genus Andrographis, dan spesies Andrographis paniculata Nees. Tanaman ini Sering ditemukan tumbuh pada dataran rendah dengan ketinggian 100 m dpl. Tingginya berkisar antara 40-90 cm, berdaun tunggal dengan panjang antara 2-8 cm dan lebar 1-3 cm. Buah sambiloto berbentuk lonjong, panjangnya sekitar 1,5 cm dan lebarnya sekitar 0,5 cm. Ciri lain dari sambiloto adalah rasanya yang pahit (Muhlisah 1999). Tanaman sambiloto disajikan pada gambar 1.

Gambar 1. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) (Sumber: http://www.plantamor.com/index.php?plant=96)

Sambiloto terbukti memiliki banyak khasiat, antara lain sebagai anti inflamasi, analgesik, antipiretik, antidiabetes, dan antispermatogenik. Selain itu, sambiloto juga dapat berguna untuk menurunkan tekanan darah, menurunkan kontraksi usus, meningkatkan nafsu makan, mencegah kerusakan hati dan jantung, serta sebagai imunomodulator. Penggunaan sambiloto sering diterapkan pada penderita demam, disentri, radang paru-paru, dan penyakit-penyakit lainnya (Setyawati 2009).

Khasiat yang beragam disebabkan oleh kandungan senyawa-senyawa kimia dalam sambiloto. Zat aktif utama yang berkhasiat obat adalah andrografolid yang kadarnya berkisar antara 2,5-4,6% dari berat kering. Kehadiran andrografolid merupakan faktor utama yang menyebabkan rasa sambiloto menjadi pahit. Senyawa lain yang terkandung dalam sambiloto adalah neo-andrografolid, panikulin, damar, asam kersik dan mineral. Mineral utama yang terkandung adalah kalium dengan kadar yang cukup tinggi, kalsium, dan natrium (Setyawati 2009). Senyawa kimia yang terkandung dalam sambiloto disajikan pada gambar 2.

Gambar 2. Senyawa kimia Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) (Sumber: Tipakorn 2002)

2.2.3. Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)

Kayu manis diklasifikasi berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Magnoliidae, ordo Laurales, famili Lauraceae, genus Cinnamomum, dan spesies Cinnamomum burmannii. Tanaman kayu manis dapat tumbuh hingga ketinggian 2000 m dpl dan tingginya mencapai 15 m. Secara morfologi, batang kayu manis berwarna hijau kecoklatan. Sementara itu, daun kayu manis yang muda berwarna merah dan daun yang tua berwarna hijau. Mahkota bunga berwarna kuning dan buahnya berwarna hijau saat muda, lalu menjadi hitam saat tua (Syukur dan Hernani 2002). Tanaman kayu manis disajikan pada gambar 3.

Gambar 3. Tanaman Kayu Manis (Cinnamomum burmannii) (Sumber: http://www.plantamor.com/index.php?plant=329)

Bagian kayu manis yang sering digunakan sebagai bahan obat-obatan adalah bagian kulit batang. Bahan obat ini berbau aromatik, berasa pedas dan manis, berbau wangi, dan bersifat hangat. Sifat-sifat tersebut ditimbulkan oleh zat-zat kimia yang terkandung dalamnya. Kayu manis mengandung minyak atsiri hingga mencapai 4% dengan muatan sinamilaldehida, eganol, tarpen, seskuiterpen, dan furfural. Selain itu, terdapat juga kandungan zat penyamak 2%, pati 4%, kalsium oksalat 4%, dan lender 4%. Kandungan tersebut membuat kulit batang kayu manis dapat digunakan untuk karminatifa, penghangat lambung, dan jika dikombinasikan dengan astringensia efektif untuk mengobati diare (Kartasapoetra 2004). Meskipun demikian, ternyata tidak hanya kulit pada bagian batang yang dapat digunakan sebagai bahan

obat-obatan. Menurut Hariana (2007) daun dan akar kayu manis juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan. Beberapa penyakit lainnya yang dapat diobati dengan bagian-bagian tersebut, antara lain asam urat (gout arthiritis), keropos tulang, hernia, dan muntah-muntah.

2.2.4. Jahe (Zingiber officinale R.)

Jahe diklasifikasi berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, sub kelas Commelinidae, ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae, genus Zingiber, spesies Zingiber officinale. Tanaman ini merupakan tanaman herba tegak yang dapat berumur tahunan. Tanaman yang dapat mencapai tinggi 0,4-1 m ini terdiri dari akar, batang, daun, dan bunga. Akar jahe berbentuk rimpang dengan bau yang harum dan berasa pedas. Batang jahe berupa batang semu yang tersusun dari helaian daun yang berbentuk langsing membulat dengan ujung melancip. Sementara itu, bagian Bunga berbentuk kerucut kecil dengan bagian ujung yang melancip (Muhlisah 1999). Tanaman jahe disajikan pada gambar 4.

Gambar 4. Jahe (Zingiber officinale)

(Sumber: http://www.plantamor.com/index.php?plant=1306)

Jahe berbau aromatik dan berasa pedas. Hal tersebut ditimbulkan oleh zat-zat yang terkandung di dalam jahe. Kandungan zat kimia jahe terdiri atas minyak atsiri 0,5-5,6%, pati 20-60%, damar, asam-asam organik, oleoresin, dan gingerin. Kandungan penyusun minyak atsiri adalah gingerol, zingibetol, zingiberin, borneol, kamfen, sineol dan falandren (Kartasapoetra 2004). Kandungan zat-zat yang tersebut membuat jahe dapat digunakan untuk mengobati rematik, luka, eksim, dan saraf

muka yang sakit (Muhlisah 1999). Selain itu, jahe juga dapat digunakan untuk mengobati batuk pilek, encok, dan pegal linu (Widiarti 2010).

2.2.5. Merica (Piper nigrum L.)

Merica diklasifikasi berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Magnoliidae, ordo Piperales, famili Piperaceae, genus Piper, dan spesies Piper nigrum. Tanaman yang dikenal juga dengan nama lada ini merupakan komoditas perkebunan yang telah lama dibudidayakan di Indonesia. Daerah pertumbuhannya terutama di wilayah Sumatera, Jawa, dan Ujung pandang. Merica telah lama digunakan oleh masyarakat sebagai bahan obat-obatan. Bagian dari merica yang utamanya digunakan adalah buah yang telah masak dan kering. Bentuknya bulat telur dengan ujung meruncing, permukaannya keriput, dan berwarna cokelat sampai cokelat kehitaman (Kartasapoetra 2004). Tanaman merica disajikan pada gambar 5.

Gambar 5. Merica (Piper nigrum L.)

(Sumber: http://www.plantamor.com/index.php?plant=1011)

Merica mengandung zat berkhasiat yang menimbulkan rasa pedas, aromatik, dan berbau khas. Zat-zat tersebut antara lain: alkaloid, protein, mineral, saponin, flavonoid, minyak atsiri, kavisin, resin, amilum, dihidrokarveol, kanyo-filene oksida, kriptone, tran pinocarrol, minyak lada, kamfena, boron, calamine, carvacrol chavicine, bisabolene, camphene, β-caryophyllene, terpenes, dan sesquiterpenes. Hal

ini membuat merica digunakan sebagai obat demam, masuk angin, rematik, impotensi, sakit lambung, hernia, frigiditas, muntah, panas dalam, perut kembung, asam urat, sakit perut, dan sakit kepala (Hariana 2007).

BAB

BAHAN DAN METODELOGI

3.1. Waktu dan tempat

Kegiatan penelitian ini berlangsung selama 9 bulan dari bulan Mei 2011 hingga bulan Januari 2012. Pelaksanaan penelitian berlangsung di kandang peternakan milik Mitra Maju yang beralamat di Jl. Manungal Baru No.1, desa Tegalwaru, kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor.

3.2. Alat dan bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan USG, timbangan, tambang, selotip, dan marker. Sementara itu, bahan-bahan yang digunakan adalah domba betina berjumlah 9 ekor, jamu veteriner, hormon PGF2 alpha (dinoprost dan tromethamin), vitamin B kompleks, anthelmintik, antibiotik dan selang penanda.

3.3. Kandang, Pakan, dan Minum

Kandang yang digunakan ialah kandang model panggung. Ketinggian kandang kira-kira 50 cm. Desain ini dimaksudkan agar kebersihan kandang relatif lebih terjaga, menekan pertumbuhan mikroorganisme, dan mengurangi paparan gas amoniak. Selanjutnya, pakan diberikan 3 kali dalam sehari, yaitu hijauan pada pagi dan siang hari, serta singkong pada siang hari. Air minum diberikan sacara ad libitum.

3.4. Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan 9 ekor domba betina yang tidak bunting dengan bobot badan berkisar antara 17-25 kg. Domba-domba tersebut diaklimatisasi selama 2 minggu dan diberikan anthelmintik, vitamin B kompleks, dan antibiotik. Hal ini dilakukan untuk menghindari infeksi domba oleh parasit dan bakteri. Selanjutnya, domba dikelompokan dalam 3 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 3 ekor domba. Kelompok pertama bertindak sebagai kontrol (tanpa perlakuan). Kelompok kedua diberi formula jamu veteriner dosis 15 mL/ekor, dan kelompok ketiga formula jamu veteriner 30 mL/ekor.

3.5. Tahap Perlakuan

Tahap awal perlakuan pada domba adalah sinkronisasi berahi induk domba. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan anak domba dengan umur lahir yang seragam. Agen sinkronisasi yang digunakan adalah PGF2 alpha konsentrasi 5 mg/mL sebanyak 7,5 mg/ekor. Penyuntikan dilakukan sebanyak dua kali dengan interval waktu 11 hari.

Perkawinan induk domba dilakukan sekitar 24-36 jam setelah penyuntikan. Domba yang telah menunjukan gejala estrus, berupa vulva yang terlihat merah, bengkak, dan berlendir. Perkawinan dilakukan dengan perbandingan 2:1. Setiap dua ekor domba betina dikawinkan dengan satu ekor penjantan. Perkawinan dibiarkan terjadi secara alami dalam waktu 48 jam. Setelah dikawinkan, induk domba dipisahkan dari pejantan dan dipelihara dalam kandang secara kelompok sesuai dengan perlakuan. Diagnosis kebuntingan menggunakan peralatan USG dilakukan 40 hari pasca perkawinan. Selanjutnya, pencekokan formula jamu veteriner dilakukan sekali setiap minggu hingga mencapai masa partus.

3.6. Pengukuran Bobot Badan Anak Domba

Domba dipelihara berkelompok sesuai perlakuan selama 5 bulan masa kebuntingan. Menjelang partus, pengamatan induk domba difokuskan pada tanda-tanda kelahiran. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kecelakaan pada anak domba yang akan dilahirkan. Setelah semua domba yang bunting partus, pengukuran bobot badan dilakukan pada kisaran waktu tidak lebih dari 24 jam. Bobot yang didapatkan tersebut merupakan bobot lahir anak domba. Selanjutnya, pengukuran bobot kembali dilakukan setiap bulan hingga anak domba berusia 3 bulan.

3.7. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (Anova) dan dilanjutkan dengan uji Duncan.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah anak, rataan bobot lahir, bobot sapih, total bobot lahir, dan jumlah anak sekelahiran pada kelompok domba kontrol dan perlakuan dengan pemberian jamu veteriner disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah anak, rataan bobot lahir, bobot sapih, total bobot lahir, dan jumlah anak sekelahiran pada kelompok domba kontrol dan perlakuan dengan pemberian jamu veteriner.

Parameter Kontrol Dosis 15 Dosis 30

Jumlah anak (ekor) 5 7 6 Rataan bobot lahir 3,11±0,52a 3,78±0,68a 4,10±0,69a (kg)

Total bobot lahir 15,53 26,55 24,55 Per induk (kg)

Rasio anak per 1,67±0,58a 2,33±0,58a 2,00±0,00a Induk Tingkat kematian 40,00 14,29 0,00 Prasapih (%) Rataan bobot 11,49±0,47a 13,52±0,49b 13,61±0,75b badan sapih (kg) Total bobot 34,47 81,14 81,63 badan sapih (kg) Rasio anak 1,00±1,00 2,00±0,00 2,00±0,00 yang disapih per induk

Jumlah anak domba dari yang tertinggi sampai terendah adalah 7, 6, dan 5 masing-masing untuk kelompok dosis 15 mL/ekor, dosis 30 mL/ekor, dan kontrol. Perlakuan pemberian jamu veteriner pada induk setelah 1 bulan kebuntingan tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada peningkatan bobot lahir anak domba dan rasio anak per induk (p>0.05). Meskipun demikian, dengan mengabaikan jumlah anak per kelahiran, pemberian jamu veteriner mampu meningkatkan bobot lahir anak domba sebesar 21,07% (3,11 vs 3,94) dibanding kontrol. Rasio anak per induk pada kelompok yang diberi jamu veteriner juga mengalami peningkatan sebesar 22.92% (1.67 vs 2.16) dibanding kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa anak dari induk dengan pemberian jamu veteriner memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibanding kelompok kontrol. Perkembangan fetus periode prenatal menjadi penentu pertambahan bobot lahir dan pertumbuhan anakan pada periode berikutnya (Adriani et al. 2004).

Peningkatan ini diduga dipengaruhi oleh kandungan kimia yang terdapat dalam bahan-bahan penyusun jamu veteriner, yaitu lempuyang dan kayu manis. Lempuyang diketahui mempunyai khasiat sebagai penambah nafsu makan. Hal ini diduga disebabkan oleh senyawa zerumben, koriofler, kanfersionil. Selain itu, Lempuyang juga diketahui memilki daya antimikroba (Hariana 2007; Sari 2006). Menurut Purwanti et al. (2003) kandungan minyak atsiri yang terdapat dalam lempuyang mengandung senyawa α-caryophyllene yang memiliki aktivitas antimikroba yang sangat kuat. Akibatnya, nafsu makan induk meningkat dan aktivitas mikroorganisme patogen dapat terhambat sehingga berdampak positif bagi kesehatan induk dan fetus. Sementara itu, kayu manis diketahui mempunyai aktivitas dalam memperbaiki sistem peredaran darah dan sebagai antiinflamasi (Wang et al. 2009). Kandungan minyak atsiri kayu manis juga diketahui berkhasiat sebagai penghangat lambung dan efektif untuk antidiare (Kartasapoetra 2004). Efek tersebut diduga berperan penting dalam efisiensi pencernaan induk domba sehingga dapat meningkatkan bobot lahir anak domba.

Selanjutnya, rataan bobot badan anak (kg) pada awal kelahiran sampai bulan ke-3 pada kelompok domba kontrol dan perlakuan dengan pemberian jamu veteriner disajikan pada Gambar 6.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 0 1 2 3 R ataan B o b o t A n ak (K g )

Bulan Pertumbuhan Anak Domba

Gambar 6. Rataan bobot lahir dan bobot badan anak pada bulan ke-1 sampai ke-3 pada kelompok domba kontrol ( ) , pemberian jamu veteriner dosis 15 mL/ekor (■), dan pemberian formula jamu veteriner dosis 30 mL/ekor (▲).

Perlakuan pemberian jamu veteriner pada induk domba terbukti dapat meningkatkan pertambahan bobot badan anak bulan ke-1 sampai bulan ke-3. Pada perlakuan pemberian dosis jamu veteriner 15 mL/ekor terjadi peningkatan bobot badan anak domba bulan ke-1 sampai bulan ke-3 sebesar 23,43% dibandingkan kontrol. Sementara itu, pada perlakuan dosis jamu veteriner 30 mL/ekor terjadi peningkatan bobot badan anak domba bulan ke-1 sampai ke-3 sebesar 12,65% dibandingkan kontrol. Peningkatan ini diduga dipengaruhi oleh asupan susu yang baik dari induk domba. Anak domba sepenuhnya bergantung pada susu induk hingga 7-8 minggu setelah lahir (Devendra & Burn 1994). Produksi susu induk selama laktasi dipengaruhi oleh ketersediaan glukosa dan asetat terutama sebagai sumber energi. Kadar glukosa hanya tinggi saat 1 jam setelah makan dan selanjutnya

menurun pada minggu ketiga sampai minggu keempat setelah laktasi. Efek ini terjadi lebih tajam pada induk dengan jumlah anak yang banyak (Mege et al.2007; De Blasio et al. 2007). Asupan pakan yang baik menentukan level glukosa dalam darah. Kandungan zerumben yang terdapat dalam jahe (Rapuru 2008) dan Lempuyang (Zingiber) diketahui mampu meningkatkan nafsu makan (Hariana 2007; Sari 2006). Akibat meningkatnya asupan pakan, terjadi peningkatan level glukosa. Sejalan dengan hal tersebut, jamu veteriner juga diduga dapat memperbaiki metabolisme glukosa. kandungan methylhydroxychalcone yang terdapat dalam kayu manis yang diduga menjadi penyebabnya. Hasil penelitian Taylor et al. (2001) berhasil membuktikan bahwa derivate methylhydroxychalcone mempunyai efek kerja yang menyerupai insulin dalam meningkatkan pengambilan glukosa. Hal ini menyebabkan induk domba perlakuan pemberian jamu veteriner yang memiliki rasio anak yang tinggi kemungkinan tetap memiliki produksi susu yang lebih baik dibandingkan kontrol.

Pertambahan bobot badan anak domba dari induk yang diberi jamu veteriner dosis 15 mL/ekor lebih tinggi dibandingkan anak domba dari induk yang diberi jamu veteriner dosis 30 mL/ekor. Peningkatan kadar sambiloto dalam jamu veteriner dosis 30 mL/ekor diduga menjadi penyebab pertambahan bobot badan dosis 30 mL/ekor lebih rendah dari dosis 15 mL/ekor. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ridwan (2006) yang menunjukan bahwa pemberian ekstrak sambiloto dosis rendah lebih baik dalam meningkatkan pertambahan bobot badan dan nilai konversi pakan dibandingkan dosis sedang dan tinggi. Selain itu, konsumsi sambiloto dalam jumlah yang besar juga dapat menyebabkan efek embriotoksik yang berakibat pada hambatan pertumbuhan, malformasi, hingga kematian intrauterin (Setyawati 2009).

Perlakuan pemberian jamu veteriner terbukti menurunkan tingkat kematian

prasapih. Tingkat kematian prasapih dari yang tertinggi ke terendah adalah 40%, 14.29%, dan 0%, masing-masing untuk kelompok kontrol, dosis 15 mL/ekor, dan

dosis 30 mL/ekor. Rasio anak yang disapih per induk juga mengalami peningkatan. Rasio anak yang disapih per induk pada kelompok dosis 15 mL/ekor dan dosis 30 mL/ekor dua kali lebih tinggi dibandingkan kontrol. Sutama et al. (1993) menyatakan

bahwa tingkat mortalitas berbanding lurus dengan jumlah anak per kelahiran. Tingkat mortalitas meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah anak per kelahiran. Meskipun demikian, jamu veteriner terbukti dapat menekan tingkat mortalitas sekalipun pada jumlah anak per kelahiran yang tinggi. Rasio anak pada kontrol, perlakuan dosis 15 mL/ekor, dan 30 mL/ekor masing-masing adalah 1,67, 2,33, dan 2,00. Hal ini mengindikasikan bahwa jamu veteriner berperan dalam meningkatkan kesehatan induk dan anak. Perpaduan zat-zat yang terdapat dalam jamu veteriner diduga merupakan penyebabnya. Minyak atsiri Lempuyang diketahui mengandung

Dokumen terkait