Dicekok Jamu Veteriner Selama Periode Kebuntingan. Dibimbing oleh WASMEN
MANALU dan ANDRIYANTO
Sembilan ekor domba betina dengan bobot badan berkisar antara 17-25 kg digunakan untuk mengetahui pengaruh pencekokan jamu veteriner pada induk domba selama periode kebuntingan terhadap pertumbuhan anaknya. Induk domba dialokasikan sesuai rancangan acak kelompok ke dalam 3 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor domba. Kelompok pertama adalah kelompok kontrol, tanpa perlakuan. Kelompok kedua diberi jamu veteriner dosis 15 mL/ekor. Sementara itu, kelompok ketiga diberi jamu veteriner dosis 30 mL/ekor. Sinkronisasi siklus estrus dilakukan dengan penyuntikan PGF2 alpha dosis 7,5 mg/ekor sebanyak 2 kali dengan interval waktu 11 hari. Perkawinan induk domba dilakukan sekitar 24-36 jam setelah penyuntikan. Variabel yang diamati adalah bobot lahir dan pertambahan bobot badan anak domba. Hasil pengamatan menunjukan bahwa perlakuan pencekokan jamu veteriner pada induk domba selama periode kebuntingan mampu meningkatkan bobot lahir, rasio anak per induk, dan pertambahan bobot badan hingga mencapai masa sapih.
Treated with Jamu Veteriner during Pregnancy. Superviced by WASMEN
MANALU and ANDRIYANTO
Nine ewes (body weight ranging from 17 to 25 kg) were used to study the effect of jamu veteriner administration during pregnancy on the lamb growth. The experimental ewes were assigned into a randomized design with 3 treatments with 3 ewes per treatment. The first group was control, without jamu veteriner. The second group was treated with 15 mL/ewes of jamu veteriner. Meanwhile, the third group was treated with 30 mL/ewes of jamu veteriner. Estrous cycle of does were synchronized by injection of PGF2α at dosage of 7,5 mg/ewes twice with 11 days interval. The estrous-experimental ewes were mated naturally at 24 to 36 hour after the second injection of PGF2α. Parameters measured were lambs birth weight and preweaning growth. The result showed that administration of jamu veteriner during pregnancy increased lambs birth weight, lamb ratio per ewes, and preweaning growth.
Keywords: ewes, jamu veteriner, body weight, lambs.
KEBUNTINGAN
LEO SEPALENI SOINBALA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: Gambaran pertumbuhan anak domba dari induk yang dicekok jamu veteriner selama periode kebuntingan adalah benar-benar hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya-karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2012
Dicekok Jamu Veteriner Selama Periode Kebuntingan. Dibimbing oleh WASMEN
MANALU dan ANDRIYANTO
Sembilan ekor domba betina dengan bobot badan berkisar antara 17-25 kg digunakan untuk mengetahui pengaruh pencekokan jamu veteriner pada induk domba selama periode kebuntingan terhadap pertumbuhan anaknya. Induk domba dialokasikan sesuai rancangan acak kelompok ke dalam 3 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor domba. Kelompok pertama adalah kelompok kontrol, tanpa perlakuan. Kelompok kedua diberi jamu veteriner dosis 15 mL/ekor. Sementara itu, kelompok ketiga diberi jamu veteriner dosis 30 mL/ekor. Sinkronisasi siklus estrus dilakukan dengan penyuntikan PGF2 alpha dosis 7,5 mg/ekor sebanyak 2 kali dengan interval waktu 11 hari. Perkawinan induk domba dilakukan sekitar 24-36 jam setelah penyuntikan. Variabel yang diamati adalah bobot lahir dan pertambahan bobot badan anak domba. Hasil pengamatan menunjukan bahwa perlakuan pencekokan jamu veteriner pada induk domba selama periode kebuntingan mampu meningkatkan bobot lahir, rasio anak per induk, dan pertambahan bobot badan hingga mencapai masa sapih.
Treated with Jamu Veteriner during Pregnancy. Superviced by WASMEN
MANALU and ANDRIYANTO
Nine ewes (body weight ranging from 17 to 25 kg) were used to study the effect of jamu veteriner administration during pregnancy on the lamb growth. The experimental ewes were assigned into a randomized design with 3 treatments with 3 ewes per treatment. The first group was control, without jamu veteriner. The second group was treated with 15 mL/ewes of jamu veteriner. Meanwhile, the third group was treated with 30 mL/ewes of jamu veteriner. Estrous cycle of does were synchronized by injection of PGF2α at dosage of 7,5 mg/ewes twice with 11 days interval. The estrous-experimental ewes were mated naturally at 24 to 36 hour after the second injection of PGF2α. Parameters measured were lambs birth weight and preweaning growth. The result showed that administration of jamu veteriner during pregnancy increased lambs birth weight, lamb ratio per ewes, and preweaning growth.
Keywords: ewes, jamu veteriner, body weight, lambs.
hikmat dan pengertianNya sehingga skripsi ini dapat selesai dan dipergunakan sebagai salah satu prasyarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini:
1. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu dan Drh. Andryanto M.Si, selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan bimbingan, saran, kritik, dan arahan selama berlangsungnya penelitian hingga penyelesaian skripsi ini. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih juga kepada Bu Sri, Bu Ida, Bu Anti, Pak Bondan dan Pak Edi atas bantuannya.
2. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. H. Akhmad Arif Amin selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan bimbingan dan nasihat selama penulis berada di FKH.
3. Terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua (Th. Soinbala dan H Bulan), semua saudara (Ester, Maria, Deici, Santi, Maya, Jefry, Yanto, Rizet, Dethan, dan Christian), keluarga To’o Abe Tuulima, keluarga Bu’ Yafet Wohangara, serta keluarga Bapak Obaja Soinbala yang senantiasa mendoakan dan memberikan dukungan.
4. Terima kasih kepada teman-teman sepenelitian (Yudi, Miftah, Mitha, Nila, Vivin, Jasmine, dan Rika) atas bantuan dan kerjasamanya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Geng balak Enam (Arif, Matho, Meichris, Olavio, Gregor, Mathias, Andrew, Priskilla, Jefri), teman-teman Omda Gamanusratim, semua teman Avenzoar 45 yang selalu memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, dan pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Bogor, Juli 2012
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
LEO SEPALENI SOINBALA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama :
NRP :
Leo Sepaleni Soinbala B04080013
Disetujui,
Pembimbing 1 Pembimbing 2
Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu drh. Andriyanto, M.Si NIP. 19571220 198312 1 001 NIP. 19820104 2006040 1 006
Mengetahui,
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet NIP. 19630810 198803 1 004
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)……….. 2. Senyawa kimia Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)………. 3. Tanaman Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)……… 4. Jahe (Zingiber officinale)………... 5. Merica (Piper nigrum L.) ……….. 6. Rataan bobot lahir dan bobot badan anak pada bulan ke-1 sampai ke-3pada kelompok domba kontrol ( ) , pemberian formula jamu veteriner Dosis 15 mL (■), dan pemberian formula jamu veteriner Dosis 30 mL (▲).………...
6 7 8 9 10
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Analisis bulan ke-0 ………..
Lampiran 2. Analisis bulan ke-1 ………..
Lampiran 3. Analisis bulan ke-2 ………...
Lampiran 4. Analisis bulan ke-3 ………...
Lampiran 5. Analisis rasio anak per induk pada awal kelahiran ………..
Lampiran 6. Analisis rasio anak yang disapih per induk ……….
Lampiran 7. Data Rataan Bobot Badan Anak Domba ……….
Lampiran 8. Data Rataan Bobot Badan Induk Domba Sebelum Partus... 25
27
29
31
33
35
37
BAB
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia adalah sebesar 1,49% per tahun (BPS 2010). Pertumbuhan penduduk yang cepat menyebabkan terjadinya peningkatan komsumsi protein hewani. Salah satu sumber protein hewani dengan jumlah permintaan yang tinggi ialah daging domba. Penyebab tingginya permintaan daging domba adalah harga daging domba relatif lebih terjangkau oleh masyarakat. Selain itu, secara fisik daging domba memiliki sebaran lemak (marbling) yang merata, sehingga lebih disukai masyarakat (Munier 2008). Tingginya tingkat permintaan daging domba tersebut, ternyata tidak disertai peningkatan populasi ternak domba. Akibatnya, permintaan daging domba tidak tercukupi. Solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pengembangan sistem peternakan ke arah peningkatan produktivitas ternak. Ternak diharapkan mudah dalam pemeliharaannya dan dapat bereproduksi dengan cepat (Adriani et al. 2004).
Peningkatan produktivitas ternak dapat dicapai melalui pemberian obat-obatan tradisional. Pengetahuan mengenai penggunaan obat-obatan tradisional ini didapatkan berdasarkan pengalaman dan ketrampilan yang diturunkan secara turun-temurun antar generasi (Sari 2006). Obat-obatan tradisional yang digunakan untuk hewan dikenal dengan nama jamu hewan. Penggunaanya lebih banyak diterapkan oleh peternak skala kecil karena bahan obat-obatan pabrik yang mahal sehingga sering tidak terjangkau (Zainuddin 2006).
dipercaya dapat meningkatkan nafsu makan, mengobati demam, disentri, dan sebagai imunomodulator (Setyawati 2009). Kayu manis dipercaya dapat mengobati asam urat (gout arthritis), keropos tulang, hernia, dan muntah-muntah (Hariana 2007). Jahe dipercaya dapat meningkatkan nafsu makan, mengobati rematik, luka, pilek, encok, dan pegal linu (Muhlisah 1999; Widiarti 2010). Sementara itu, merica dipercaya sebagai obat demam, rematik, impotensi, sakit lambung, hernia, frigiditas, muntah, panas dalam, perut kembung, asam urat, sakit perut, dan sakit kepala (Hariana 2007).
Kombinasi dari tanaman-tanaman tersebut diatas akan menghasilkan ramuan jamu veteriner yang dapat digunakan memacu produktivitas ternak. Harapannya, pemberian sediaan yang berasal dari kekayaan budaya lokal bangsa Indonesia ini, dapat memacu pertumbuhan fetus yang diukur dari pertambahan bobot anak domba.
1.2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pertumbuhan anak domba dari induk yang dicekok jamu veteriner selama periode kebuntingan. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan informasi ilmiah mengenai penggunaan jamu veteriner sebagai pemacu produktivitas ternak.
1.3. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi alternatif bagi peternak untuk menggunakan bahan obat-obatan tradisional dalam meningkatkan pertumbuhan domba, sehingga pada masa yang akan datang dapat bermanfaat dalam meningkatkan produksi daging domba lokal. Harapannya produktivitas ternak yang meningkat akan memberikan sumbangsih berarti bagi pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat.
BAB
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Domba
Domba merupakan salah satu hewan ternak yang banyak dikembangkan oleh masyarakat. Pemeliharaannya relatif mudah dan tidak membutuhkan banyak tenaga, sehingga ternak domba diusahakan sebagai sambilan. Domba juga memiliki daya adaptasi yang baik terhadap bermacam-macam hijauan pakan dan berbagai kondisi lingkungan (Mulyono 2003). Daging domba tidak berbau dan sebaran lemaknya (Marbling) merata membuat daging ini disukai oleh masyarakat (Munier 2008).
Perkembangan bangsa domba di dunia, awalnya berasal dari empat spesies domba liar. Spesies-spesies tersebut, ialah: domba moufflon (Ovis musimon) di Eropa dan Asia Barat, domba Urial (Ovis orientalis; Ovis vignei) di Afganistan hingga Asia Barat, domba Argali (Ovis ammon) di Asia Tengah, dan domba bighorn (Ovis canadensis) di Asia Utara dan Amerika Utara. Domba yang ada di Indonesia diperkirakan berasal dari Asia Barat dan India (Williamson dan Payne 1993). Jenis domba yang diternakan di Indonesia, kemudian dikenal dengan istilah domba lokal. Pada awalnya, jenis domba di Indonesia adalah domba Javanese-Thin-Tailed yang terdapat di Jawa Barat dan East-Java-Fat-Tailed yang terdapat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Selanjutnya, kedua tipe domba lokal tersebut menyebar hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Proses persilangan dan adaptasi terhadap lingkungan kemudian memunculkan jenis domba baru, yaitu domba priangan atau domba garut dan domba kisar. Domba garut merupakan hasil persilangan domba lokal dengan domba Merino dan Kaapstad (Duldjaman et al. 2006). Sedangkan domba kisar diduga merupakan hasil proses adaptasi domba ekor gemuk terhadap lingkungan di Maluku (Salamena 2006).
lain dari domba ekor tipis adalah rambut domba yang umunya berwarna putih, kadang-kadang diselingi warna lain, seperti belang hitam atau cokelat. Domba betina umumnya tidak bertanduk, sedangkan domba jantan bertanduk kecil dan bentuknya melingkar. Bobot badan domba jantan dewasa berkisar 30 sampai dengan 40 kg, sedangkan bobot domba betina berkisar 15 sampai dengan 20 kg. Selain domba ekor tipis, domba lainnya yang banyak diternakan di Indonesia adalah domba ekor gemuk atau East-Java-Fat-Tailed. Sama seperti domba ekor tipis, ciri fisik utama dari domba ekor gemuk terletak pada ekornya. Ekor domba ini berbentuk panjang, lebar, tebal, besar, dan makin mengecil pada bagian ujung. Bentuk tersebut dikarenakan adanya timbunan lemak, yang berfungsi sebagai cadangan energi domba. Ciri lainnya adalah warna rambut domba yang umumnya putih dan tidak mempunyai tanduk, baik itu domba jantan maupun domba betina. Bobot badan domba jantan berkisar antara 50-70 kg, sedangkan domba betina berkisar antara 25-40 kg.
2.2. Jamu Veteriner
Indonesia merupakan negara yang kaya akan bermacam-macam tanaman obat tradisional. Penggunaan obat-obatan tradisional untuk menyembuhkan penyakit ataupun sebagai suplemen telah dilakukan sejak lama. Pengalaman empiris masyarakat tentang khasiat obat-obatan tradisional kemudian diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini membuat penggunaan obat-obatan ini tetap bertahan hingga sekarang. Beberapa tumbuhan yang diketahui mempunyai khasiat sebagai sumber obat-obatan tradisional antara lain: lempuyang (zingiber), sambiloto (Andrographis paniculata), kayu manis (Cinnamomum burmannii), jahe (Zingiber officinale), dan merica (Piper nigrum). Kombinasi dari tumbuhan-tumbuhan ini akan menghasilkan ramuan jamu veteriner yang dapat digunakan sebagai suplemen pada ternak.
2.2.1. Lempuyang
Klasifikasi tanaman lempuyang ialah lempuyang berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, sub kelas Commelinidae, ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae, genus Zingiber, dan terdiri dari 3 spesies, yaitu: Zingiber aromaticum Val., Zingiber americans, dan Zingiber zerumbet Smith. Tanaman ini merupakan tumbuhan tahunan yang tumbuh liar pada tempat dengan ketinggian 0-1.200 m dpl. Tanaman yang dapat mencapai ketinggian 1,75 m ini, terdiri atas rimpang, batang, daun, dan bunga. Rimpang lempuyang berukuran besar dan berwarna kuning pucat. Batangnya merupakan batang semu yang terdiri atas helaian daun yang berbentuk bulat memanjang dengan ujung meruncing. Sementara itu, bunga lempuyang muncul dari umbi batang dan berbonggol di bagian atas (Muhlisah 1999).
kolera, nyeri lambung, rematik, dan migren. Kedua, lempuyang gajah (Zingiber zerumbet). Cirinya adalah rasa pedas, tajam, dan bersifat hangat. Kandungan zat dan khasiat lempuyang gajah sama dengan lempuyang emprit (Zingiber amaricans). Perbedaan keduanya adalah lempuyang gajah (Zingiber zerumbet) memiliki bentuk yang relatif lebih besar. Ketiga, lempuyang wangi (Zingiber aromaticum). Sifat dari Lempuyang wangi adalah berasa pahit, pedas, dan aromatik. Kandungan zat kimiawinya sama dengan dua spesies lainnya. Perbedaan dengan spesies lempuyang lainnya adalah lempuyang wangi berwarna putih dan berbau wangi. Khasiat lempuyang wangi, antara lain sebagai analgesik, penambah nafsu makan, mengobati asma, cacingan, anemia, sembelit, TBC, maupun malaria (Hariana 2007; Sari 2006).
2.2.2. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)
Klasifikasi tanaman sambiloto ialah sambiloto berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Asteridae, ordo Scrophulariales, famili Acanthaceae, genus Andrographis, dan spesies Andrographis paniculata Nees. Tanaman ini Sering ditemukan tumbuh pada dataran rendah dengan ketinggian 100 m dpl. Tingginya berkisar antara 40-90 cm, berdaun tunggal dengan panjang antara 2-8 cm dan lebar 1-3 cm. Buah sambiloto berbentuk lonjong, panjangnya sekitar 1,5 cm dan lebarnya sekitar 0,5 cm. Ciri lain dari sambiloto adalah rasanya yang pahit (Muhlisah 1999). Tanaman sambiloto disajikan pada gambar 1.
Sambiloto terbukti memiliki banyak khasiat, antara lain sebagai anti inflamasi, analgesik, antipiretik, antidiabetes, dan antispermatogenik. Selain itu, sambiloto juga dapat berguna untuk menurunkan tekanan darah, menurunkan kontraksi usus, meningkatkan nafsu makan, mencegah kerusakan hati dan jantung, serta sebagai imunomodulator. Penggunaan sambiloto sering diterapkan pada penderita demam, disentri, radang paru-paru, dan penyakit-penyakit lainnya (Setyawati 2009).
Khasiat yang beragam disebabkan oleh kandungan senyawa-senyawa kimia dalam sambiloto. Zat aktif utama yang berkhasiat obat adalah andrografolid yang kadarnya berkisar antara 2,5-4,6% dari berat kering. Kehadiran andrografolid merupakan faktor utama yang menyebabkan rasa sambiloto menjadi pahit. Senyawa lain yang terkandung dalam sambiloto adalah neo-andrografolid, panikulin, damar, asam kersik dan mineral. Mineral utama yang terkandung adalah kalium dengan kadar yang cukup tinggi, kalsium, dan natrium (Setyawati 2009). Senyawa kimia yang terkandung dalam sambiloto disajikan pada gambar 2.
2.2.3. Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)
Kayu manis diklasifikasi berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Magnoliidae, ordo Laurales, famili Lauraceae, genus Cinnamomum, dan spesies Cinnamomum burmannii. Tanaman kayu manis dapat tumbuh hingga ketinggian 2000 m dpl dan tingginya mencapai 15 m. Secara morfologi, batang kayu manis berwarna hijau kecoklatan. Sementara itu, daun kayu manis yang muda berwarna merah dan daun yang tua berwarna hijau. Mahkota bunga berwarna kuning dan buahnya berwarna hijau saat muda, lalu menjadi hitam saat tua (Syukur dan Hernani 2002). Tanaman kayu manis disajikan pada gambar 3.
Gambar 3. Tanaman Kayu Manis (Cinnamomum burmannii) (Sumber: http://www.plantamor.com/index.php?plant=329)
obat-obatan. Menurut Hariana (2007) daun dan akar kayu manis juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan. Beberapa penyakit lainnya yang dapat diobati dengan bagian-bagian tersebut, antara lain asam urat (gout arthiritis), keropos tulang, hernia, dan muntah-muntah.
2.2.4. Jahe (Zingiber officinale R.)
Jahe diklasifikasi berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, sub kelas Commelinidae, ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae, genus Zingiber, spesies Zingiber officinale. Tanaman ini merupakan tanaman herba tegak yang dapat berumur tahunan. Tanaman yang dapat mencapai tinggi 0,4-1 m ini terdiri dari akar, batang, daun, dan bunga. Akar jahe berbentuk rimpang dengan bau yang harum dan berasa pedas. Batang jahe berupa batang semu yang tersusun dari helaian daun yang berbentuk langsing membulat dengan ujung melancip. Sementara itu, bagian Bunga berbentuk kerucut kecil dengan bagian ujung yang melancip (Muhlisah 1999). Tanaman jahe disajikan pada gambar 4.
Gambar 4. Jahe (Zingiber officinale)
(Sumber: http://www.plantamor.com/index.php?plant=1306)
muka yang sakit (Muhlisah 1999). Selain itu, jahe juga dapat digunakan untuk mengobati batuk pilek, encok, dan pegal linu (Widiarti 2010).
2.2.5. Merica (Piper nigrum L.)
Merica diklasifikasi berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Magnoliidae, ordo Piperales, famili Piperaceae, genus Piper, dan spesies Piper nigrum. Tanaman yang dikenal juga dengan nama lada ini merupakan komoditas perkebunan yang telah lama dibudidayakan di Indonesia. Daerah pertumbuhannya terutama di wilayah Sumatera, Jawa, dan Ujung pandang. Merica telah lama digunakan oleh masyarakat sebagai bahan obat-obatan. Bagian dari merica yang utamanya digunakan adalah buah yang telah masak dan kering. Bentuknya bulat telur dengan ujung meruncing, permukaannya keriput, dan berwarna cokelat sampai cokelat kehitaman (Kartasapoetra 2004). Tanaman merica disajikan pada gambar 5.
Gambar 5. Merica (Piper nigrum L.)
(Sumber: http://www.plantamor.com/index.php?plant=1011)
BAB
BAHAN DAN METODELOGI
3.1. Waktu dan tempat
Kegiatan penelitian ini berlangsung selama 9 bulan dari bulan Mei 2011 hingga bulan Januari 2012. Pelaksanaan penelitian berlangsung di kandang peternakan milik Mitra Maju yang beralamat di Jl. Manungal Baru No.1, desa Tegalwaru, kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor.
3.2. Alat dan bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan USG, timbangan, tambang, selotip, dan marker. Sementara itu, bahan-bahan yang digunakan adalah domba betina berjumlah 9 ekor, jamu veteriner, hormon PGF2 alpha (dinoprost dan tromethamin), vitamin B kompleks, anthelmintik, antibiotik dan selang penanda.
3.3. Kandang, Pakan, dan Minum
Kandang yang digunakan ialah kandang model panggung. Ketinggian kandang kira-kira 50 cm. Desain ini dimaksudkan agar kebersihan kandang relatif lebih terjaga, menekan pertumbuhan mikroorganisme, dan mengurangi paparan gas amoniak. Selanjutnya, pakan diberikan 3 kali dalam sehari, yaitu hijauan pada pagi dan siang hari, serta singkong pada siang hari. Air minum diberikan sacara ad libitum.
3.4. Rancangan Percobaan
3.5. Tahap Perlakuan
Tahap awal perlakuan pada domba adalah sinkronisasi berahi induk domba. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan anak domba dengan umur lahir yang seragam. Agen sinkronisasi yang digunakan adalah PGF2 alpha konsentrasi 5 mg/mL sebanyak 7,5 mg/ekor. Penyuntikan dilakukan sebanyak dua kali dengan interval waktu 11 hari.
Perkawinan induk domba dilakukan sekitar 24-36 jam setelah penyuntikan. Domba yang telah menunjukan gejala estrus, berupa vulva yang terlihat merah, bengkak, dan berlendir. Perkawinan dilakukan dengan perbandingan 2:1. Setiap dua ekor domba betina dikawinkan dengan satu ekor penjantan. Perkawinan dibiarkan terjadi secara alami dalam waktu 48 jam. Setelah dikawinkan, induk domba dipisahkan dari pejantan dan dipelihara dalam kandang secara kelompok sesuai dengan perlakuan. Diagnosis kebuntingan menggunakan peralatan USG dilakukan 40 hari pasca perkawinan. Selanjutnya, pencekokan formula jamu veteriner dilakukan sekali setiap minggu hingga mencapai masa partus.
3.6. Pengukuran Bobot Badan Anak Domba
Domba dipelihara berkelompok sesuai perlakuan selama 5 bulan masa kebuntingan. Menjelang partus, pengamatan induk domba difokuskan pada tanda-tanda kelahiran. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kecelakaan pada anak domba yang akan dilahirkan. Setelah semua domba yang bunting partus, pengukuran bobot badan dilakukan pada kisaran waktu tidak lebih dari 24 jam. Bobot yang didapatkan tersebut merupakan bobot lahir anak domba. Selanjutnya, pengukuran bobot kembali dilakukan setiap bulan hingga anak domba berusia 3 bulan.
3.7. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (Anova) dan dilanjutkan dengan uji Duncan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah anak, rataan bobot lahir, bobot sapih, total bobot lahir, dan jumlah anak sekelahiran pada kelompok domba kontrol dan perlakuan dengan pemberian jamu veteriner disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah anak, rataan bobot lahir, bobot sapih, total bobot lahir, dan jumlah anak sekelahiran pada kelompok domba kontrol dan perlakuan dengan pemberian jamu veteriner.
Jumlah anak domba dari yang tertinggi sampai terendah adalah 7, 6, dan 5 masing-masing untuk kelompok dosis 15 mL/ekor, dosis 30 mL/ekor, dan kontrol. Perlakuan pemberian jamu veteriner pada induk setelah 1 bulan kebuntingan tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada peningkatan bobot lahir anak domba dan rasio anak per induk (p>0.05). Meskipun demikian, dengan mengabaikan jumlah anak per kelahiran, pemberian jamu veteriner mampu meningkatkan bobot lahir anak domba sebesar 21,07% (3,11 vs 3,94) dibanding kontrol. Rasio anak per induk pada kelompok yang diberi jamu veteriner juga mengalami peningkatan sebesar 22.92% (1.67 vs 2.16) dibanding kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa anak dari induk dengan pemberian jamu veteriner memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibanding kelompok kontrol. Perkembangan fetus periode prenatal menjadi penentu pertambahan bobot lahir dan pertumbuhan anakan pada periode berikutnya (Adriani et al. 2004).
Selanjutnya, rataan bobot badan anak (kg) pada awal kelahiran sampai bulan ke-3 pada kelompok domba kontrol dan perlakuan dengan pemberian jamu veteriner disajikan pada Gambar 6. pada kelompok domba kontrol ( ) , pemberian jamu veteriner dosis 15 mL/ekor (■), dan pemberian formula jamu veteriner dosis 30 mL/ekor (▲).
menurun pada minggu ketiga sampai minggu keempat setelah laktasi. Efek ini terjadi lebih tajam pada induk dengan jumlah anak yang banyak (Mege et al.2007; De Blasio et al. 2007). Asupan pakan yang baik menentukan level glukosa dalam darah. Kandungan zerumben yang terdapat dalam jahe (Rapuru 2008) dan Lempuyang (Zingiber) diketahui mampu meningkatkan nafsu makan (Hariana 2007; Sari 2006). Akibat meningkatnya asupan pakan, terjadi peningkatan level glukosa. Sejalan dengan hal tersebut, jamu veteriner juga diduga dapat memperbaiki metabolisme glukosa. kandungan methylhydroxychalcone yang terdapat dalam kayu manis yang diduga menjadi penyebabnya. Hasil penelitian Taylor et al. (2001) berhasil membuktikan bahwa derivate methylhydroxychalcone mempunyai efek kerja yang menyerupai insulin dalam meningkatkan pengambilan glukosa. Hal ini menyebabkan induk domba perlakuan pemberian jamu veteriner yang memiliki rasio anak yang tinggi kemungkinan tetap memiliki produksi susu yang lebih baik dibandingkan kontrol.
Pertambahan bobot badan anak domba dari induk yang diberi jamu veteriner dosis 15 mL/ekor lebih tinggi dibandingkan anak domba dari induk yang diberi jamu veteriner dosis 30 mL/ekor. Peningkatan kadar sambiloto dalam jamu veteriner dosis 30 mL/ekor diduga menjadi penyebab pertambahan bobot badan dosis 30 mL/ekor lebih rendah dari dosis 15 mL/ekor. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ridwan (2006) yang menunjukan bahwa pemberian ekstrak sambiloto dosis rendah lebih baik dalam meningkatkan pertambahan bobot badan dan nilai konversi pakan dibandingkan dosis sedang dan tinggi. Selain itu, konsumsi sambiloto dalam jumlah yang besar juga dapat menyebabkan efek embriotoksik yang berakibat pada hambatan pertumbuhan, malformasi, hingga kematian intrauterin (Setyawati 2009).
Perlakuan pemberian jamu veteriner terbukti menurunkan tingkat kematian
prasapih. Tingkat kematian prasapih dari yang tertinggi ke terendah adalah 40%, 14.29%, dan 0%, masing-masing untuk kelompok kontrol, dosis 15 mL/ekor, dan
bahwa tingkat mortalitas berbanding lurus dengan jumlah anak per kelahiran. Tingkat mortalitas meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah anak per kelahiran. Meskipun demikian, jamu veteriner terbukti dapat menekan tingkat mortalitas sekalipun pada jumlah anak per kelahiran yang tinggi. Rasio anak pada kontrol, perlakuan dosis 15 mL/ekor, dan 30 mL/ekor masing-masing adalah 1,67, 2,33, dan 2,00. Hal ini mengindikasikan bahwa jamu veteriner berperan dalam meningkatkan kesehatan induk dan anak. Perpaduan zat-zat yang terdapat dalam jamu veteriner diduga merupakan penyebabnya. Minyak atsiri Lempuyang diketahui mengandung senyawa α-caryophyllene. Senyawa ini memiliki aktivitas antimikroba yang sangat kuat (Purwanti et al. 2003). Selain itu, Jahe diketahui memiliki potensi sebagai antikanker dan antiinflamasi. Khasiat ini ditimbulkan oleh kurkuminoid yang terkandung dalam jahe (Suhirman et al. 2006). Senyawa-senyawa berkhasiat tersebut diduga berperan dalam meningkatkan kesehatan fetus selama periode prenatal, postnatal, dan periode pertumbuhan.
anak domba. Selain itu, peningkatan bobot sapih juga diduga akibat efek dari merica dalam jamu veteriner. Merica mengandung Piperine (1-piperoylpiperidine) yang diduga dapat meningkatkan metabolisme dan laju absorbsi nutrisi anak domba (Szallasi 2005).
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Pemberian jamu veteriner pada induk domba selama periode kebuntingan cenderung meningkatkan bobot lahir anak domba. Selain itu, pemberian jamu veteriner juga terbukti dapat meningkatkan rasio anak per induk dan pertambahan bobot badan anak domba hingga mencapai masa sapih.
5.2. Saran
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, Sudono A, Sutardi T, Sutama IK, Manalu W. 2004. Pengaruh Superovulasi dan Suplementasi Mineral Seng dalam Ransum pada Induk Kambing
Terhadap Pertumbuhan Anaknya. J. Indon.Trop.Anim.Agric. 29: 177-183. Adriani, Rosadi B, Depison. 2008. Jumlah dan Kualitas Embrio Sapi Brahman Cross
Setelah Pemberian Hormon FSH dan PMSG. Animal Production 11: 96-102. Adriani, Sutama IK, Sudono A, Sutardi T, Manalu W. 2004. Pengaruh Superovulasi
Sebelum Perkawinan dan Suplementasi Seng Terhadap Produksi Susu Kambing Peranakan Etawah. Animal Production 6: 86-94
Adriani, Sudono A, Sutardi T, Manalu W, Sutama IK. 2007. Pertumbuhan Prenatal dalam Kandungan Kambing Melalui Superovulasi. Journal of Biosciences 14: 44-48.
Anonim. 2012. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) [terhubung berkala].
http://www.plantamor.com/index.php?plant=96 [11 Juli 2012].
Anonim. 2012. Kayu Manis (Cinnamomum burmannii) [terhubung berkala]. http://www.plantamor.com/index.php?plant=329 [11 Juli 2012].
Anonim. 2012. Jahe (Zingiber officinale) [terhubung berkala]. http://www.plantamor.
com/index.php?plant=1306 [11 Juli 2012].
Anonim. 2012. Merica (Piper nigrum L.) [terhubung berkala]. http://www.plantamor. com/index.php?plant=1011 [11 Juli 2012].
AR Setyawan et al. 2008. Selisih Proporsi Daging, Lemak, dan Tulang Domba Ekor Tipis yang Diberi Pakan untuk Hidup Pokok dan Produksi. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, 11-12 Nopember 2008. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm 395-399.
[BPS]. 2010. Statistics Indonesia [terhubung berkala]. http://www.bps.go.id/ [8 Oktober 2011]
Differentially Alters Insulin Secretion and Glukosa Homeostasis in Adult Male Sheep Offspring. J. Physiol. Endocrinol and Metob. 293(1). 75-82. Devendra C, Burn M. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Bandung: Penerbit
ITB.
Duldjaman M, Wiradaryaa T R, Muttaqinb M I H. 2006. Daya Pintal dan Kekuatan Benang Bulu Domba Priangan dan Peranakan Merino. Media Peternakan 29: 187-192.
Guyton AC, Hall JE. 1997. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Karamia M, Alimona A R, Gohb Y M. 2011. Effect of vitamin E, Andrographis
paniculata and turmeric as dietary antioxidant supplementation on lipid and color stability of goat meat. Small Ruminant Research 97: 67–71.
Kartasapoetra G. 2004. Budidaya Tanaman Berkhasiat Obat. Jakarta: Rineka Cipta Hariana A. 2007. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya seri 2. Jakarta: Penebar Swadaya Manalu W, Sumaryadi MW, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 2000. Effect of
Superovulation Prior to Mating on Milk Production Performance During Lactation in Ewes. Journal of Dairy Science 83: 477-483.
Mege RA, Manalu W, Kusumorini N, Nasution SH. 200 . Konsentrasi Hormon Tiroid dan Metabolit Darah Induk Babi Disuperovulasi Sebelum Perkawinan. Animal Production 11: 88-95
Mege RA, Nasution SH, Kusumorini N, Manalu W. 2007. Pertumbuhan dan Perkembangan Uterus dan Plasenta Babi dengan Superovulasi. Journal of Biosciences 14:1-6.
Muhlisah F. 1999. Taman Obat Keluarga. Jakarta: Penebar Swadaya.
Mulyono S. 2003. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Jakarta: Penebar Swadaya.
Munier FF. 2008. Pertambahan Bobot Hidup Harian Anak Domba Ekor Gemuk (DEG) yang Diberikan Pakan Tambahan Leguminosa. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, 11-12 Nopember 2008. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm 456-462.
paniculata Ness) yang Diekstraksi dengan Air dan Dievaporasi dan Gambaran Differensial Leukosit pada Ayam yang Diinfeksi Eimeria tenella [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Purwanti, Suranto, Setyaningsih R. 2003. Potensi Penghambatan Minyak Atsiri dan Ekstrak Kasar Rimpang Lempuyang (Zingiber spp.) terhadap Pertumbuhan Fusarium oxysporum Schlecht f.sp. cubense. Biofarmasi 1 (2): 58-64. Rasyaf M. 1999. Beternak Ayam Pedaging. Jakarta: Penebar Swadaya.
Rapuru S K. 2008. Chemical Composition and Anti-proliferative Activity of Several Medicinal Plants [Thesis]. Greensboro: The Faculty of The Graduate School at The University of North Carolina at Greensboro.
Ridwan A. 2006. Pengaruh Pemberian Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dengan Pelarut Air Terhadap Pertambahan Bobot Badan dan
Konversi Pakan Ayam Pedaging yang Diinfeksi Eimeria tenella [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Salamena J F. 2006. Karakterisasi fenotipik domba Kisar di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Propinsi Maluku sebagai langkah awal konservasi dan
pengembangannya [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sari L. 2006. Pemanfaatan Obat Tradisional dengan Pertimbangan Manfaat dan Keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian 1: 01-07.
Setyawati I. 2009. Morfologi Fetus Mencit (Mus musculus L.) Setelah Pemberian Ekstrak Daun Sambiloto (Andrographis paniculata Nees). Jurnal BiologiXIII (2) :41-44.
Suhirman S, Hernani, Syukur C. 2006. Uji Toksisitas Ekstrak Lempuyang Gajah (Zingiber zerumbet) terhadap Larva Udang (Artemia salina Leach.). Bul. Littro XVII (1): 30-38.
Syukur C, Hernani. 2002. Budi Daya Tanaman Obat Komersial. Jakarta: Penebar Swadaya.
Taylor K J, Anderson R A, Graves D J. 2001. A Hydroxychalcone Derived from Cinnamon Functions as a Mimetic for Insulin in 3T3-L1 Adipocytes. Journal of the American College of Nutrition 20 (4): 327–336.
Tipakorn N. 2002. Effects of Andrographis paniculata (Burm. F.) Nees on Performance, Mortality and Coccidiosis in Broiler Chickens [disertasi]. Göttingen: Faculty of Agricultural Sciences, Georg-August-University. Wang Rui, Wang Ruijiang, Bao Yang. 2009. Extraction of Essential Oils from Five
Cinnamon Leaves and Identification of Their Volatile Compound
Compositions. Innovative Food Science and Emerging Technologies 10: 289–
292.
Widiarti T. 2010. Mengenal Tanaman dan Khasiatnya. Surabaya: Arkola. Williamson G, Payne WJA. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.
Darmadja SD, penerjemah; Djagra IB, editor. Yokyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to Animal Husbandry in The Tropics, Third Edition.
Zainuddin D. 2006. Tanaman Obat Meningkatkan Efisiensi Pakan dan Kesehatan Ternak Unggas. Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing. Bogor: Balai Penelitian Ternak. Hlm 202-209.
Szallasi A. 2005. Piperine: Researches Discover New Flavor in an Ancient Spice.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisis bulan ke-0
Oneway
Descriptives
Bobot
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
Kontrol 5 3.1060 .51471 .23019 2.4669 3.7451 2.31 3.57
D1 7 3.7929 .67510 .25516 3.1685 4.4172 2.89 4.67
D2 6 4.0917 .68924 .28138 3.3683 4.8150 3.22 5.27
Total 18 3.7017 .72414 .17068 3.3416 4.0618 2.31 5.27
Test of Homogeneity of Variances
Bobot
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.441 2 15 .652
ANOVA
Bobot
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 2.745 2 1.372 3.337 .063
Within Groups 6.170 15 .411
Post Hoc Tests
Perlakuan Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Lampiran 2. Analisis bulan ke-1
Oneway
Descriptives
Bobot
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
Kontrol 4 5.7275 .53275 .26638 4.8798 6.5752 5.22 6.36
D15 7 5.9971 .70545 .26663 5.3447 6.6496 5.21 7.22
D30 6 7.0167 .75067 .30646 6.2289 7.8044 6.23 8.21
Total 17 6.2935 .85473 .20730 5.8541 6.7330 5.21 8.21
Test of Homogeneity of Variances
Bobot
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.324 2 14 .728
ANOVA
Bobot
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 5.034 2 2.517 5.295 .019
Within Groups 6.655 14 .475
Post Hoc Tests
Perlakuan Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Lampiran 3. Analisis bulan ke-2
Oneway
Descriptives
Bobot
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
Kontrol 3 8.0367 .75195 .43414 6.1687 9.9046 7.21 8.68
D15 6 8.4983 .74938 .30593 7.7119 9.2848 7.21 9.22
D30 6 9.3817 .58301 .23801 8.7698 9.9935 8.57 10.23
Total 15 8.7593 .84251 .21753 8.2928 9.2259 7.21 10.23
Test of Homogeneity of Variances
Bobot
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.092 2 12 .913
ANOVA
Bobot
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 4.299 2 2.150 4.575 .033
Within Groups 5.638 12 .470
Post Hoc Tests
Perlakuan Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Lampiran 4. Analisis bulan ke-3
Oneway
Descriptives
Bobot
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
Kontrol 3 11.4900 .46776 .27006 10.3280 12.6520 11.21 12.03
D1 6 13.5233 .49472 .20197 13.0042 14.0425 13.22 14.50
D2 6 13.6050 .75081 .30652 12.8171 14.3929 12.57 14.28
Total 15 13.1493 1.02905 .26570 12.5795 13.7192 11.21 14.50
Test of Homogeneity of Variances
Bobot
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.865 2 12 .197
ANOVA
Bobot
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 10.345 2 5.173 13.856 .001
Within Groups 4.480 12 .373
Post Hoc Tests
Perlakuan Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Lampiran 5. Analisis rasio anak per induk awal kelahiran
Oneway
Descriptives
Bobot
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
Kontrol 3 11.4900 .46776 .27006 10.3280 12.6520 11.21 12.03
D1 6 13.5233 .49472 .20197 13.0042 14.0425 13.22 14.50
D2 6 13.6050 .75081 .30652 12.8171 14.3929 12.57 14.28
Total 15 13.1493 1.02905 .26570 12.5795 13.7192 11.21 14.50
Test of Homogeneity of Variances
Bobot
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.865 2 12 .197
ANOVA
Bobot
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 10.345 2 5.173 13.856 .001
Within Groups 4.480 12 .373
Post Hoc Tests
Perlakuan Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Lampiran 6. Analisis rasio anak yang disapih per induk
Oneway
Descriptives
Anak
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
Kontrol 3 1.6667 .57735 .33333 .2324 3.1009 1.00 2.00
D1 3 2.3333 .57735 .33333 .8991 3.7676 2.00 3.00
D2 3 2.0000 .00000 .00000 2.0000 2.0000 2.00 2.00
Total 9 2.0000 .50000 .16667 1.6157 2.3843 1.00 3.00
Test of Homogeneity of Variances
Anak
Levene Statistic df1 df2 Sig.
8.000 2 6 .020
ANOVA
Anak
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .667 2 .333 1.500 .296
Within Groups 1.333 6 .222
Post Hoc Tests
Perlakuan Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Lampiran 7. Data Rataan Bobot Badan Anak Domba
Kelompok Perlakuan
Rataan Bobot Badan
Bulan ke-0 Bulan ke-1 Bulan ke-2 Bulan ke-3
Kontrol 3,11±0,52 5,73±2,60 8,04±4,43 11,49±6,30
Dosis 15 mL/ekor
3,78±0,68 5,99±0,70 8,50±3,28 13,52±5,13
Dosis 30 mL/ekor
4,10±0,69 7,02±0,75 9,38±0,58 13,61±0,75
Lampiran 8. Data Rataan Bobot Badan Induk Domba Sebelum Partus
Kelompok Perlakuan
Rataan Bobot Badan
Bulan ke-3 Bulan ke-4 Bulan ke-5
Kontrol 19,90±2,98 19,93±3,99 19,40±1,65
Dosis 15 mL/ekor 25,13±3,87 25,67±3,75 28,43±3,78
Dosis 30 mL/ekor 22,70±1,58 22,23±1,09 25,78±0,87
BAB
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia adalah sebesar 1,49% per tahun (BPS 2010). Pertumbuhan penduduk yang cepat menyebabkan terjadinya peningkatan komsumsi protein hewani. Salah satu sumber protein hewani dengan jumlah permintaan yang tinggi ialah daging domba. Penyebab tingginya permintaan daging domba adalah harga daging domba relatif lebih terjangkau oleh masyarakat. Selain itu, secara fisik daging domba memiliki sebaran lemak (marbling) yang merata, sehingga lebih disukai masyarakat (Munier 2008). Tingginya tingkat permintaan daging domba tersebut, ternyata tidak disertai peningkatan populasi ternak domba. Akibatnya, permintaan daging domba tidak tercukupi. Solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pengembangan sistem peternakan ke arah peningkatan produktivitas ternak. Ternak diharapkan mudah dalam pemeliharaannya dan dapat bereproduksi dengan cepat (Adriani et al. 2004).
Peningkatan produktivitas ternak dapat dicapai melalui pemberian obat-obatan tradisional. Pengetahuan mengenai penggunaan obat-obatan tradisional ini didapatkan berdasarkan pengalaman dan ketrampilan yang diturunkan secara turun-temurun antar generasi (Sari 2006). Obat-obatan tradisional yang digunakan untuk hewan dikenal dengan nama jamu hewan. Penggunaanya lebih banyak diterapkan oleh peternak skala kecil karena bahan obat-obatan pabrik yang mahal sehingga sering tidak terjangkau (Zainuddin 2006).
dipercaya dapat meningkatkan nafsu makan, mengobati demam, disentri, dan sebagai imunomodulator (Setyawati 2009). Kayu manis dipercaya dapat mengobati asam urat (gout arthritis), keropos tulang, hernia, dan muntah-muntah (Hariana 2007). Jahe dipercaya dapat meningkatkan nafsu makan, mengobati rematik, luka, pilek, encok, dan pegal linu (Muhlisah 1999; Widiarti 2010). Sementara itu, merica dipercaya sebagai obat demam, rematik, impotensi, sakit lambung, hernia, frigiditas, muntah, panas dalam, perut kembung, asam urat, sakit perut, dan sakit kepala (Hariana 2007).
Kombinasi dari tanaman-tanaman tersebut diatas akan menghasilkan ramuan jamu veteriner yang dapat digunakan memacu produktivitas ternak. Harapannya, pemberian sediaan yang berasal dari kekayaan budaya lokal bangsa Indonesia ini, dapat memacu pertumbuhan fetus yang diukur dari pertambahan bobot anak domba.
1.2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pertumbuhan anak domba dari induk yang dicekok jamu veteriner selama periode kebuntingan. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan informasi ilmiah mengenai penggunaan jamu veteriner sebagai pemacu produktivitas ternak.
1.3. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi alternatif bagi peternak untuk menggunakan bahan obat-obatan tradisional dalam meningkatkan pertumbuhan domba, sehingga pada masa yang akan datang dapat bermanfaat dalam meningkatkan produksi daging domba lokal. Harapannya produktivitas ternak yang meningkat akan memberikan sumbangsih berarti bagi pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat.
BAB
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Domba
Domba merupakan salah satu hewan ternak yang banyak dikembangkan oleh masyarakat. Pemeliharaannya relatif mudah dan tidak membutuhkan banyak tenaga, sehingga ternak domba diusahakan sebagai sambilan. Domba juga memiliki daya adaptasi yang baik terhadap bermacam-macam hijauan pakan dan berbagai kondisi lingkungan (Mulyono 2003). Daging domba tidak berbau dan sebaran lemaknya (Marbling) merata membuat daging ini disukai oleh masyarakat (Munier 2008).
Perkembangan bangsa domba di dunia, awalnya berasal dari empat spesies domba liar. Spesies-spesies tersebut, ialah: domba moufflon (Ovis musimon) di Eropa dan Asia Barat, domba Urial (Ovis orientalis; Ovis vignei) di Afganistan hingga Asia Barat, domba Argali (Ovis ammon) di Asia Tengah, dan domba bighorn (Ovis canadensis) di Asia Utara dan Amerika Utara. Domba yang ada di Indonesia diperkirakan berasal dari Asia Barat dan India (Williamson dan Payne 1993). Jenis domba yang diternakan di Indonesia, kemudian dikenal dengan istilah domba lokal. Pada awalnya, jenis domba di Indonesia adalah domba Javanese-Thin-Tailed yang terdapat di Jawa Barat dan East-Java-Fat-Tailed yang terdapat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Selanjutnya, kedua tipe domba lokal tersebut menyebar hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Proses persilangan dan adaptasi terhadap lingkungan kemudian memunculkan jenis domba baru, yaitu domba priangan atau domba garut dan domba kisar. Domba garut merupakan hasil persilangan domba lokal dengan domba Merino dan Kaapstad (Duldjaman et al. 2006). Sedangkan domba kisar diduga merupakan hasil proses adaptasi domba ekor gemuk terhadap lingkungan di Maluku (Salamena 2006).
lain dari domba ekor tipis adalah rambut domba yang umunya berwarna putih, kadang-kadang diselingi warna lain, seperti belang hitam atau cokelat. Domba betina umumnya tidak bertanduk, sedangkan domba jantan bertanduk kecil dan bentuknya melingkar. Bobot badan domba jantan dewasa berkisar 30 sampai dengan 40 kg, sedangkan bobot domba betina berkisar 15 sampai dengan 20 kg. Selain domba ekor tipis, domba lainnya yang banyak diternakan di Indonesia adalah domba ekor gemuk atau East-Java-Fat-Tailed. Sama seperti domba ekor tipis, ciri fisik utama dari domba ekor gemuk terletak pada ekornya. Ekor domba ini berbentuk panjang, lebar, tebal, besar, dan makin mengecil pada bagian ujung. Bentuk tersebut dikarenakan adanya timbunan lemak, yang berfungsi sebagai cadangan energi domba. Ciri lainnya adalah warna rambut domba yang umumnya putih dan tidak mempunyai tanduk, baik itu domba jantan maupun domba betina. Bobot badan domba jantan berkisar antara 50-70 kg, sedangkan domba betina berkisar antara 25-40 kg.
2.2. Jamu Veteriner
Indonesia merupakan negara yang kaya akan bermacam-macam tanaman obat tradisional. Penggunaan obat-obatan tradisional untuk menyembuhkan penyakit ataupun sebagai suplemen telah dilakukan sejak lama. Pengalaman empiris masyarakat tentang khasiat obat-obatan tradisional kemudian diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini membuat penggunaan obat-obatan ini tetap bertahan hingga sekarang. Beberapa tumbuhan yang diketahui mempunyai khasiat sebagai sumber obat-obatan tradisional antara lain: lempuyang (zingiber), sambiloto (Andrographis paniculata), kayu manis (Cinnamomum burmannii), jahe (Zingiber officinale), dan merica (Piper nigrum). Kombinasi dari tumbuhan-tumbuhan ini akan menghasilkan ramuan jamu veteriner yang dapat digunakan sebagai suplemen pada ternak.
2.2.1. Lempuyang
Klasifikasi tanaman lempuyang ialah lempuyang berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, sub kelas Commelinidae, ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae, genus Zingiber, dan terdiri dari 3 spesies, yaitu: Zingiber aromaticum Val., Zingiber americans, dan Zingiber zerumbet Smith. Tanaman ini merupakan tumbuhan tahunan yang tumbuh liar pada tempat dengan ketinggian 0-1.200 m dpl. Tanaman yang dapat mencapai ketinggian 1,75 m ini, terdiri atas rimpang, batang, daun, dan bunga. Rimpang lempuyang berukuran besar dan berwarna kuning pucat. Batangnya merupakan batang semu yang terdiri atas helaian daun yang berbentuk bulat memanjang dengan ujung meruncing. Sementara itu, bunga lempuyang muncul dari umbi batang dan berbonggol di bagian atas (Muhlisah 1999).
kolera, nyeri lambung, rematik, dan migren. Kedua, lempuyang gajah (Zingiber zerumbet). Cirinya adalah rasa pedas, tajam, dan bersifat hangat. Kandungan zat dan khasiat lempuyang gajah sama dengan lempuyang emprit (Zingiber amaricans). Perbedaan keduanya adalah lempuyang gajah (Zingiber zerumbet) memiliki bentuk yang relatif lebih besar. Ketiga, lempuyang wangi (Zingiber aromaticum). Sifat dari Lempuyang wangi adalah berasa pahit, pedas, dan aromatik. Kandungan zat kimiawinya sama dengan dua spesies lainnya. Perbedaan dengan spesies lempuyang lainnya adalah lempuyang wangi berwarna putih dan berbau wangi. Khasiat lempuyang wangi, antara lain sebagai analgesik, penambah nafsu makan, mengobati asma, cacingan, anemia, sembelit, TBC, maupun malaria (Hariana 2007; Sari 2006).
2.2.2. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)
Klasifikasi tanaman sambiloto ialah sambiloto berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Asteridae, ordo Scrophulariales, famili Acanthaceae, genus Andrographis, dan spesies Andrographis paniculata Nees. Tanaman ini Sering ditemukan tumbuh pada dataran rendah dengan ketinggian 100 m dpl. Tingginya berkisar antara 40-90 cm, berdaun tunggal dengan panjang antara 2-8 cm dan lebar 1-3 cm. Buah sambiloto berbentuk lonjong, panjangnya sekitar 1,5 cm dan lebarnya sekitar 0,5 cm. Ciri lain dari sambiloto adalah rasanya yang pahit (Muhlisah 1999). Tanaman sambiloto disajikan pada gambar 1.
Sambiloto terbukti memiliki banyak khasiat, antara lain sebagai anti inflamasi, analgesik, antipiretik, antidiabetes, dan antispermatogenik. Selain itu, sambiloto juga dapat berguna untuk menurunkan tekanan darah, menurunkan kontraksi usus, meningkatkan nafsu makan, mencegah kerusakan hati dan jantung, serta sebagai imunomodulator. Penggunaan sambiloto sering diterapkan pada penderita demam, disentri, radang paru-paru, dan penyakit-penyakit lainnya (Setyawati 2009).
Khasiat yang beragam disebabkan oleh kandungan senyawa-senyawa kimia dalam sambiloto. Zat aktif utama yang berkhasiat obat adalah andrografolid yang kadarnya berkisar antara 2,5-4,6% dari berat kering. Kehadiran andrografolid merupakan faktor utama yang menyebabkan rasa sambiloto menjadi pahit. Senyawa lain yang terkandung dalam sambiloto adalah neo-andrografolid, panikulin, damar, asam kersik dan mineral. Mineral utama yang terkandung adalah kalium dengan kadar yang cukup tinggi, kalsium, dan natrium (Setyawati 2009). Senyawa kimia yang terkandung dalam sambiloto disajikan pada gambar 2.
2.2.3. Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)
Kayu manis diklasifikasi berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Magnoliidae, ordo Laurales, famili Lauraceae, genus Cinnamomum, dan spesies Cinnamomum burmannii. Tanaman kayu manis dapat tumbuh hingga ketinggian 2000 m dpl dan tingginya mencapai 15 m. Secara morfologi, batang kayu manis berwarna hijau kecoklatan. Sementara itu, daun kayu manis yang muda berwarna merah dan daun yang tua berwarna hijau. Mahkota bunga berwarna kuning dan buahnya berwarna hijau saat muda, lalu menjadi hitam saat tua (Syukur dan Hernani 2002). Tanaman kayu manis disajikan pada gambar 3.
Gambar 3. Tanaman Kayu Manis (Cinnamomum burmannii) (Sumber: http://www.plantamor.com/index.php?plant=329)
obat-obatan. Menurut Hariana (2007) daun dan akar kayu manis juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan. Beberapa penyakit lainnya yang dapat diobati dengan bagian-bagian tersebut, antara lain asam urat (gout arthiritis), keropos tulang, hernia, dan muntah-muntah.
2.2.4. Jahe (Zingiber officinale R.)
Jahe diklasifikasi berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, sub kelas Commelinidae, ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae, genus Zingiber, spesies Zingiber officinale. Tanaman ini merupakan tanaman herba tegak yang dapat berumur tahunan. Tanaman yang dapat mencapai tinggi 0,4-1 m ini terdiri dari akar, batang, daun, dan bunga. Akar jahe berbentuk rimpang dengan bau yang harum dan berasa pedas. Batang jahe berupa batang semu yang tersusun dari helaian daun yang berbentuk langsing membulat dengan ujung melancip. Sementara itu, bagian Bunga berbentuk kerucut kecil dengan bagian ujung yang melancip (Muhlisah 1999). Tanaman jahe disajikan pada gambar 4.
Gambar 4. Jahe (Zingiber officinale)
(Sumber: http://www.plantamor.com/index.php?plant=1306)
muka yang sakit (Muhlisah 1999). Selain itu, jahe juga dapat digunakan untuk mengobati batuk pilek, encok, dan pegal linu (Widiarti 2010).
2.2.5. Merica (Piper nigrum L.)
Merica diklasifikasi berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Magnoliidae, ordo Piperales, famili Piperaceae, genus Piper, dan spesies Piper nigrum. Tanaman yang dikenal juga dengan nama lada ini merupakan komoditas perkebunan yang telah lama dibudidayakan di Indonesia. Daerah pertumbuhannya terutama di wilayah Sumatera, Jawa, dan Ujung pandang. Merica telah lama digunakan oleh masyarakat sebagai bahan obat-obatan. Bagian dari merica yang utamanya digunakan adalah buah yang telah masak dan kering. Bentuknya bulat telur dengan ujung meruncing, permukaannya keriput, dan berwarna cokelat sampai cokelat kehitaman (Kartasapoetra 2004). Tanaman merica disajikan pada gambar 5.
Gambar 5. Merica (Piper nigrum L.)
(Sumber: http://www.plantamor.com/index.php?plant=1011)
BAB
BAHAN DAN METODELOGI
3.1. Waktu dan tempat
Kegiatan penelitian ini berlangsung selama 9 bulan dari bulan Mei 2011 hingga bulan Januari 2012. Pelaksanaan penelitian berlangsung di kandang peternakan milik Mitra Maju yang beralamat di Jl. Manungal Baru No.1, desa Tegalwaru, kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor.
3.2. Alat dan bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan USG, timbangan, tambang, selotip, dan marker. Sementara itu, bahan-bahan yang digunakan adalah domba betina berjumlah 9 ekor, jamu veteriner, hormon PGF2 alpha (dinoprost dan tromethamin), vitamin B kompleks, anthelmintik, antibiotik dan selang penanda.
3.3. Kandang, Pakan, dan Minum
Kandang yang digunakan ialah kandang model panggung. Ketinggian kandang kira-kira 50 cm. Desain ini dimaksudkan agar kebersihan kandang relatif lebih terjaga, menekan pertumbuhan mikroorganisme, dan mengurangi paparan gas amoniak. Selanjutnya, pakan diberikan 3 kali dalam sehari, yaitu hijauan pada pagi dan siang hari, serta singkong pada siang hari. Air minum diberikan sacara ad libitum.
3.4. Rancangan Percobaan
3.5. Tahap Perlakuan
Tahap awal perlakuan pada domba adalah sinkronisasi berahi induk domba. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan anak domba dengan umur lahir yang seragam. Agen sinkronisasi yang digunakan adalah PGF2 alpha konsentrasi 5 mg/mL sebanyak 7,5 mg/ekor. Penyuntikan dilakukan sebanyak dua kali dengan interval waktu 11 hari.
Perkawinan induk domba dilakukan sekitar 24-36 jam setelah penyuntikan. Domba yang telah menunjukan gejala estrus, berupa vulva yang terlihat merah, bengkak, dan berlendir. Perkawinan dilakukan dengan perbandingan 2:1. Setiap dua ekor domba betina dikawinkan dengan satu ekor penjantan. Perkawinan dibiarkan terjadi secara alami dalam waktu 48 jam. Setelah dikawinkan, induk domba dipisahkan dari pejantan dan dipelihara dalam kandang secara kelompok sesuai dengan perlakuan. Diagnosis kebuntingan menggunakan peralatan USG dilakukan 40 hari pasca perkawinan. Selanjutnya, pencekokan formula jamu veteriner dilakukan sekali setiap minggu hingga mencapai masa partus.
3.6. Pengukuran Bobot Badan Anak Domba
Domba dipelihara berkelompok sesuai perlakuan selama 5 bulan masa kebuntingan. Menjelang partus, pengamatan induk domba difokuskan pada tanda-tanda kelahiran. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kecelakaan pada anak domba yang akan dilahirkan. Setelah semua domba yang bunting partus, pengukuran bobot badan dilakukan pada kisaran waktu tidak lebih dari 24 jam. Bobot yang didapatkan tersebut merupakan bobot lahir anak domba. Selanjutnya, pengukuran bobot kembali dilakukan setiap bulan hingga anak domba berusia 3 bulan.
3.7. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (Anova) dan dilanjutkan dengan uji Duncan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah anak, rataan bobot lahir, bobot sapih, total bobot lahir, dan jumlah anak sekelahiran pada kelompok domba kontrol dan perlakuan dengan pemberian jamu veteriner disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah anak, rataan bobot lahir, bobot sapih, total bobot lahir, dan jumlah anak sekelahiran pada kelompok domba kontrol dan perlakuan dengan pemberian jamu veteriner.
Jumlah anak domba dari yang tertinggi sampai terendah adalah 7, 6, dan 5 masing-masing untuk kelompok dosis 15 mL/ekor, dosis 30 mL/ekor, dan kontrol. Perlakuan pemberian jamu veteriner pada induk setelah 1 bulan kebuntingan tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada peningkatan bobot lahir anak domba dan rasio anak per induk (p>0.05). Meskipun demikian, dengan mengabaikan jumlah anak per kelahiran, pemberian jamu veteriner mampu meningkatkan bobot lahir anak domba sebesar 21,07% (3,11 vs 3,94) dibanding kontrol. Rasio anak per induk pada kelompok yang diberi jamu veteriner juga mengalami peningkatan sebesar 22.92% (1.67 vs 2.16) dibanding kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa anak dari induk dengan pemberian jamu veteriner memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibanding kelompok kontrol. Perkembangan fetus periode prenatal menjadi penentu pertambahan bobot lahir dan pertumbuhan anakan pada periode berikutnya (Adriani et al. 2004).
Selanjutnya, rataan bobot badan anak (kg) pada awal kelahiran sampai bulan ke-3 pada kelompok domba kontrol dan perlakuan dengan pemberian jamu veteriner disajikan pada Gambar 6. pada kelompok domba kontrol ( ) , pemberian jamu veteriner dosis 15 mL/ekor (■), dan pemberian formula jamu veteriner dosis 30 mL/ekor (▲).
menurun pada minggu ketiga sampai minggu keempat setelah laktasi. Efek ini terjadi lebih tajam pada induk dengan jumlah anak yang banyak (Mege et al.2007; De Blasio et al. 2007). Asupan pakan yang baik menentukan level glukosa dalam darah. Kandungan zerumben yang terdapat dalam jahe (Rapuru 2008) dan Lempuyang (Zingiber) diketahui mampu meningkatkan nafsu makan (Hariana 2007; Sari 2006). Akibat meningkatnya asupan pakan, terjadi peningkatan level glukosa. Sejalan dengan hal tersebut, jamu veteriner juga diduga dapat memperbaiki metabolisme glukosa. kandungan methylhydroxychalcone yang terdapat dalam kayu manis yang diduga menjadi penyebabnya. Hasil penelitian Taylor et al. (2001) berhasil membuktikan bahwa derivate methylhydroxychalcone mempunyai efek kerja yang menyerupai insulin dalam meningkatkan pengambilan glukosa. Hal ini menyebabkan induk domba perlakuan pemberian jamu veteriner yang memiliki rasio anak yang tinggi kemungkinan tetap memiliki produksi susu yang lebih baik dibandingkan kontrol.
Pertambahan bobot badan anak domba dari induk yang diberi jamu veteriner dosis 15 mL/ekor lebih tinggi dibandingkan anak domba dari induk yang diberi jamu veteriner dosis 30 mL/ekor. Peningkatan kadar sambiloto dalam jamu veteriner dosis 30 mL/ekor diduga menjadi penyebab pertambahan bobot badan dosis 30 mL/ekor lebih rendah dari dosis 15 mL/ekor. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ridwan (2006) yang menunjukan bahwa pemberian ekstrak sambiloto dosis rendah lebih baik dalam meningkatkan pertambahan bobot badan dan nilai konversi pakan dibandingkan dosis sedang dan tinggi. Selain itu, konsumsi sambiloto dalam jumlah yang besar juga dapat menyebabkan efek embriotoksik yang berakibat pada hambatan pertumbuhan, malformasi, hingga kematian intrauterin (Setyawati 2009).
Perlakuan pemberian jamu veteriner terbukti menurunkan tingkat kematian
prasapih. Tingkat kematian prasapih dari yang tertinggi ke terendah adalah 40%, 14.29%, dan 0%, masing-masing untuk kelompok kontrol, dosis 15 mL/ekor, dan
bahwa tingkat mortalitas berbanding lurus dengan jumlah anak per kelahiran. Tingkat mortalitas meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah anak per kelahiran. Meskipun demikian, jamu veteriner terbukti dapat menekan tingkat mortalitas sekalipun pada jumlah anak per kelahiran yang tinggi. Rasio anak pada kontrol, perlakuan dosis 15 mL/ekor, dan 30 mL/ekor masing-masing adalah 1,67, 2,33, dan 2,00. Hal ini mengindikasikan bahwa jamu veteriner berperan dalam meningkatkan kesehatan induk dan anak. Perpaduan zat-zat yang terdapat dalam jamu veteriner diduga merupakan penyebabnya. Minyak atsiri Lempuyang diketahui mengandung senyawa α-caryophyllene. Senyawa ini memiliki aktivitas antimikroba yang sangat kuat (Purwanti et al. 2003). Selain itu, Jahe diketahui memiliki potensi sebagai antikanker dan antiinflamasi. Khasiat ini ditimbulkan oleh kurkuminoid yang terkandung dalam jahe (Suhirman et al. 2006). Senyawa-senyawa berkhasiat tersebut diduga berperan dalam meningkatkan kesehatan fetus selama periode prenatal, postnatal, dan periode pertumbuhan.
anak domba. Selain itu, peningkatan bobot sapih juga diduga akibat efek dari merica dalam jamu veteriner. Merica mengandung Piperine (1-piperoylpiperidine) yang diduga dapat meningkatkan metabolisme dan laju absorbsi nutrisi anak domba (Szallasi 2005).
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Pemberian jamu veteriner pada induk domba selama periode kebuntingan cenderung meningkatkan bobot lahir anak domba. Selain itu, pemberian jamu veteriner juga terbukti dapat meningkatkan rasio anak per induk dan pertambahan bobot badan anak domba hingga mencapai masa sapih.
5.2. Saran