• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 2. Batimetri dasar perairan Selat Lombok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambar 2. Batimetri dasar perairan Selat Lombok"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

4

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Lombok

Selat Lombok merupakan perairan yang menghubungkan antara Pulau Bali dan Pulau Lombok juga merupakan perairan yang berkarakter unik dan dinamis. Panjang selat dari utara ke selatan sekitar 60 km dengan lebar 40 km di bagian utara dan menyempit menjadi sekitar 18 km di bagian selatan. Posisi geografis selat Lombok di bagian utara berhubungan dengan Laut Jawa dan di bagian selatan berhubungan dengan Samudera Hindia, dan merupakan selat yang paling dalam dibandingkan dengan selat-selat di sekitarnya. Di bagian ujung bagian selatan terdapat pulau Nusa Penida yang membagi selat lombok menjadi dua yaitu Selat Badung di bagian Barat dan Selat Lombok di bagian Timur.

Selat Lombok dihubungkan dengan Selat Makasar oleh alur berkedalaman 600-1000 m sepanjang sisi timur Paparan Sunda, selat ini terletak di wilayah transisi antara perairan Indonesia bagian barat dan bagian timur. Perairan Indonesia bagian barat merupakan bagian dari Paparan Sunda yang berkedalaman kurang dari 75 m dan dipengaruhi curah hujan yang tinggi sebesar 2-4 m/tahun (ASEAN Sub-Commitee on Climatology,1982). Perairan Indonesia bagian timur adalah perairan dalam dengan kedalaman air lebih dari 1000 m dan curah hujan yang relatif rendah kurang dari 1,5 m/tahun. Adapun karakteristik dasar perairan di Selat Lombok dapat dilihat pada Gambar 2.

(2)

2.2. Sirkulasi Permukaan Perairan di Selat Lombok

Selat-selat laut umumnya merupakan perairan semi tertutup yang berhubungan dengan laut terbuka menyebabkan sistem dinamika perairan menjadi kompleks. Demikian pula di Selat Lombok diketahui mempunyai sistem dinamika kompleks yang dipengaruhi oleh pengaruh lokal maupun pengaruh skala besar yang berasal dari Lautan Hindia dan Lautan Pasifik. Kondisi perairan Selat Lombok dan karakteristik arus selatan Jawa dipengaruhi oleh siklus tahunan

Angin Muson. Perairan Selat Lombok dipengaruhi oleh angin Musim Timur (east

monsoon), dimana pada bulan Juni, Juli dan Agustus terjadi tekanan udara tinggi diatas daratan Australia dan pusat tekanan udara rendah diatas daratan Asia, sehingga menyebabkan angin bergerak dari arah Timur ke Barat. Angin musim berpengaruh terhadap sirkulasi air laut dan klimatologi seperti angin, curah hujan dan lain sebagainya. Pada daerah khatulistiwa, saat musim timur maka curah hujan sangat rendah sehingga mempengaruhi kadar salinitas dan kelimpahan Fitoplankton (Arinardi et al., 1994).

Arief (1992) menyatakan bahwa arus di selat lombok merupakan sistem arus kuat dengan arah cenderung ke arah selatan menuju Lautan Hindia. Pada lapisan permukaan antara 0 – 100 m dipengaruhi kuat oleh angin musim dan secara vertikal arus paling kuat dijumpai pada lapisan dengan salinitas rendah. Di daerah ini salinitas minimum terjadi pada kedalaman diatas 300 m.

Sirkulasi air laut di sekitar Selat Lombok seperti di Flores pada lapisan kedalaman 100 m dipengaruhi oleh sistem sirkulasi skala besar dari lautan Pasifik dan Lautan Hindia. Pada lautan Hindia di daerah 50 km dari pantai selatan Kepulauan Indonesia, sirkulasi arus didominasi oleh berkembangnya arus pantai

selatan Jawa yang menyebabkan upwelling/downwelling. Antara bulan Juli dan

Oktober, sirkulasi didominasi oleh aliran ke arah barat yang merupakan bagian dari sistem arus katulistiwa Selatan di lautan Hindia (Wyrtki, 1961).

2.3. Produktivitas Primer dan Faktor yang Mempengaruhi

Fitoplankton merupakan organisme autotrof utama yang menentukan produktivitas primer perairan, khususnya di laut terbuka. Produktivitas primer adalah jumlah bahan organik yang dihasilkan oleh organisme autotrof, yaitu organisme yang mampu menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik

(3)

dengan bantuan energi matahari. Produktivitas primer sering diestimasi sebagai jumlah karbon yang terdapat di dalam material hidup dan secara umum dinyatakan sebagai jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kuadrat kolom air per hari (gr C/cm²/hari) atau jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kubik per hari (gr C/m³/hari) (Levinton, 1982). Selain jumlah karbon yang dihasilkan, tinggi rendahnya produktivitas primer perairan dapat diketahui dengan melakukan pengukuran terhadap biomassa fitoplankton dan konsentrasi klorofil-a, dimana kedua metode ini dapat diukur secara langsung di lapangan (Valiela, 1984).

Laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutrofik adalah percampuran vertikal, penetrasi cahaya di kolom air, nutrien, suhu permukaan laut dan laju tenggelam fitoplankton.

2.3.1. Percampuran Vertikal

Distribusi vertikal klorofil-a di laut pada umumnya berbeda menurut waktu, dimana suatu saat ditemukan maksimum di dekat permukaan, namun di lain waktu mungkin lebih terkonsentrasi di bagian bawah kedalaman eufotik

(Steel dan Yentch, 1960 dalam Parsons et al., 1984). Khlorofil-a memiliki

hubungan yang sangat erat dengan tingkat produktivitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton. Fitoplankton merupakan tumbuhan mikroskopis yang pergerakannya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya, dimana dalam tropik level disebut sebagai produsen utama perairan.

Menurut Barnes dan Hughes (1988), pada fitoplankton terdapat pigmen klorofil-a yang merupakan zat hijau daun yang terdapat dalam tumbuhan yang mampu melakukan fotosintesis. Klorofil-a sangat mempengaruhi jumlah dan laju fotosintesis karena pigmen ini mendominasi konversi radiasi menjadi energi kimia. Beberapa penelitian tentang produktivitas primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air mendapatkan informasi bahwa kedalaman dimana konsentrasi maksimum klorofil-a adalah pada bagian di atas lapisan termoklin. Lapisan permukaan tercampur memiliki konsentrasi klorofil-a yang hampir homogen. Laju produktivitas primer di laut juga dipengaruhi oleh angin muson.

(4)

Menurut Amri (2002), dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada muson Tenggara (musim Timur), dimana pada saat itu terjadi upwelling di beberapa perairan terutama di perairan Indonesia bagian timur. Sedangkan konsentrasi klorofil-a terendah dijumpai pada saat muson barat laut, dimana pada saat itu di perairan Indonesia tidak terjadi upwelling, sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil.

Perairan Selat Lombok dapat dikatakan subur saat terjadi upwelling pada musim timur. Tingginya konsentrasi nutrien di perairan ini mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah fitoplankton. Hal ini disebabkan karena nutrien yang mengandung nitrat dan fosfat sangat dibutuhkan bagi perkembangan fitoplankton. Daerah dimana terjadi upwelling umumnya memiliki zat hara yang lebih tinggi dibanding dengan daerah sekitarnya. Tingginya kandungan zat hara akan merangsang pertumbuhan fitoplankton di lapisan permukaan. Perkembangan Fitoplankton sangat erat hubungannya dengan tingkat kesuburan perairan, sehingga proses naiknya air (upwelling) selalu dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas primer suatu perairan.

2.3.2. Penetrasi Sinar Matahari

Cahaya matahari sangat penting dalam kelangsungan proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton. Laju fotosintesis akan meningkat bila tingkat intensitas cahaya tinggi dan akan menurun jika intensitas cahaya menurun. Pada tingkat intensitas cahaya sedang, laju fotosintesis merupakan fungsi linier dari intensitas cahaya. Namun di dalam kolom air di dekat permukaan air dimana intensitas cahaya tertinggi, umumnya spesies fitoplankton menunjukkan fotosintesis berlangsung pada suatu tingkat tertentu bahkan menurun.

Laju fotosintesis di permukaan adalah relatif kecil karena pengaruh cahaya matahari yang terlalu kuat. Intensitas cahaya yang terlalu tinggi mengakibatkan jenuhnya proses fotosintesis sehingga lajunya tidak dapat ditingkatkan lagi.

Menurut Tomascik et al. (1997), menyatakan bahwa pada perairan tropis,

fotosintesis maksimum umumnya tidak di permukaan, tetapi ada di kedalaman yang berkisar antara 5-30 m. Semakin dalam maka laju fotosintesis semakin meningkat hingga mencapai maksimum (Pmax) pada kedalaman beberapa meter

(5)

di bawah permukaan. Selanjutnya, di bawah Pmax laju fotosintesis akan menurun secara proposal terhadap intensitas cahaya (Nontji, 2002).

2.3.3. Kadar Nutrien

Masuknya unsur dan senyawa esensial ke dalam suatu sistem perairan, khususnya N (nitrogen), P (fosfat), dan Si (silikat) umum dilihat sebagai faktor pembatas yang mempengaruhi penyebaran dan pertumbuhan populasi dan komunitas fitoplankton. Howarth (1988) dalam Pomeroy (1991) mengatakan bahwa dinamika populasi fitoplankton sangat ditentukan oleh nutrien yang berperan sebagai faktor pembatas. Unsur-unsur utama yang dibutuhkan oleh fitoplankton merupakan faktor pembatas pada perairan yang berbeda. Menurut Hecky dan Kilham (1988) dari ketiga unsur utama yaitu N, P, Si, pada perairan air tawar, fosfat lebih menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan alga bila dibandingkan dengan unsur yang lain, sedangkan di perairan laut, ketiga unsur tersebut bersama-sama bersifat sebagai faktor pembatas pertumbuhan, terutama nitrogen.

Pertumbuhan dan reproduksi fitoplankton dipengaruhi oleh kandungan nutrien di dalam kolom perairan. Kebutuhan akan besarnya kandungan dan jenis nutrien oleh fitoplankton sangat tergantung dari klas atau jenis fitoplankton itu sendiri disamping jenis perairan dimana fitoplankton tersebut hidup. Laju pertumbuhan fitoplankton akan tergantung pada ketersediaan nutrien yang ada. Menurut Pomeroy (1991), laju pertumbuhan fitoplankton akan sebanding dengan meningkatnya konsentrasi nutrien hingga mencapai suatu konsentrasi yang saturasi. Setelah keadaan ini, pertumbuhan fitoplankton tidak tergantung lagi pada konsentrasi nutrien.

Nitrogen sangat dibutuhkan fitoplankton untuk mensintesa protein. Menurut Parsons et al. (1984), nitrogen di laut terutama berada dalam bentuk molekul-molekul nitrogen dan garam-garam anorganik seperti nitrat, nitrit dan ammonia, dan beberapa senyawa nitrogen organik (asam amino dan urea). Fosfat di laut berada dalam bentuk fosfat anorganik terlarut, fosfat organik terlarut dan partikulat fosfat (Levinton, 1982; Parsons et al., 1984). Fitoplankton secara normal dapat mengasimilasi secara langsung fosfat anorganik terlarut (ion

(6)

berperan didalam mentransfer energi dalam sel fitoplankton (misalnya dalam

phosphorylation) dan energi ADP (Adenosin Diphosphate) rendah menjadi ATP (Adenosin Triphosphate) tinggi (Tomascik et al., 1997).

Dari berbagai jenis nutrien, silikat meskipun dibutuhkan dalam jumlah yang cukup besar namun bukan merupakan senyawa atau unsur utama yang essensial bagi fitoplankton seperti fosfat dan nitrat. Karena silikat tidak terlalu penting dalam komposisi protoplasma tumbuhan tetapi hanya berfungsi untuk

menyusun kerangka (shell) diatom dan cyst dari yellow-brown algae serta

berperan dalam sentesa DNA pada Cylindrotheca fusiform (Reid and Wood,

1976; Kennish, 1990 dalam Tubalawony, 2007). Meskipun demikian, jika kandungan silikat terlarut dalam suatu perairan berkurang dapat menghambat laju pembelahan sel dan menekan aktivitas metabolisme sel fitoplankton. Ketersediaan silikat seringkali berdampak terhadap kelimpahan dan produktivitas fitoplankton dan menjadi faktor pembatas bagi populasi fitoplankton lainnya. Artinya bila ketersediaan silikat dalam perairan berada dalam konsentrasi yang cukup, maka pertumbuhan fitoplankton, khususnya diatom akan meningkat dan mendominasi perairan, dan sebaliknya jika konsentrasinya rendah maka kepadatan populasi diatom akan rendah bila dibandingkan dengan kelompok fitoplankton lainnya seperti dinoflagelata. Hal ini dinyatakan pula oleh Levinton (1982), bahwa berkurangnya konsentrasi silikat di dalam perairan dapat membatasi pertumbuhan populasi fitoplankton dan secara langsung akan terjadi suksesi spesies fitoplankton ke arah spesies yang kekurangan silikat. Dengan demikian silikat merupakan fakor pembatas bagi pertumbuhan fitoplankton diatom di dalam suatu perairan.

2.3.4. Suhu

Suhu merupakan besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang yang terkandung dalam suatu benda. Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa suhu secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap produktivitas primer di laut. Secara langsung, suhu berperan dalam mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesis. Tingginya suhu dapat meningkatkan laju maksimum fotosintesis (Pmax) dan secara tidak langsung, suhu berperan dalam membentuk stratifikasi kolom perairan yang akibatnya dapat mempengaruhi distribusi vertikal

(7)

fitoplankton. Suhu air laut di permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima dari sinar matahari. Selain dipengaruhi oleh sinar matahari perubahan suhu permukaan laut juga dipengaruhi antara lain oleh arus, keadaan awan, penaikan massa air dan pencairan es di kutub (Laevastu dan Hela, 1970).

Menurut Bearman (2004), sebaran menegak suhu dibagi menjadi tiga

lapisan, yaitu: (1) lapisan permukaan tercampur (mixed surface layer) atau disebut

juga lapisan tercampur. Mekanisme utama pencampuran adalah olakan (turbulen)

oleh angin dan gelombang dengan ketebalan 200-300 m. Selain itu, di perairan Indonesia proses percampuran juga ditentukan oleh aliran kuat pada perairan dangkal atau dari selat-selat yang sempit dan percampuran oleh energi pasut (Ffield and Gordon, 1996). (2) lapisan termoklin permanen pada kedalaman 300-1000 m dimana pada kedalaman ini terjadi penurunan suhu yang tajam. (3) lapisan di bawah 1000 m sampai dasar laut dimana suhunya dingin dan relatif konstan. Lapisan Termoklin merupakan lapisan antara massa air permukaan yang lebih hangat dengan massa air yang lebih dingin di bawahnya.

Menurut Harvey (1982) Mendefinisikan bahwa lapisan Termoklin sebagai lapisan massa air yang dilihat dari keadaan suhunya, dimana gradien suhu yang dibentuk lebih dari 5°C per 100m. Adapun menurut Wyrtki (1964) dalam Lukas dan Lindstrom (1991) kedalaman termoklin didefinisikan sebagai suatu kedalaman atau posisi dimana gradien suhu yang terbentuk sebesar 0,02°C/meter.

Suhu permukaan laut di daerah tropik umumnya mengikuti pola musiman karena banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor curah hujan, penguapan, kelembaban dan suhu udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari (King, 1963; Nontji, 2002). Suhu permukaan laut berkisar antara 27°C -29°C, dan menurun secara teratur sesuai dengan meningkatnya kedalaman. Pada kedalaman lebih dari 1000 meter, suhu air laut relatif konstan dan umumnya berkisar antara 2°C - 4°C.

Oleh adanya angin, pada lapisan permukaan sampai dengan kedalaman 50 -70 meter terjadi proses pengadukan, pada lapisan ini terdapat suhu hangat sekitar 28°C dan homogen. Percampuran vertikal karena pengaruh angin pada lapisan permukaan hanya terjadi pada lapisan tipis yang homogen dan pada lapisan dibawahnya tidak terjadi lagi percampuran vertikal dan suhu air mengalami

(8)

penurunan. Lapisan dimana terjadi penurunan suhu yang tajam dengan

bertambahnya kedalaman disebut lapisan termoklin. Penurunan suhu

menyebabkan densitas air meningkat, dan karena pada lapisan termoklin ini biasanya diikuti dengan peningkatan salinitas tinggi menyebabkan densitas air juga meningkat tajam. Oleh karena itu air di sebelah atasnya sulit atau tidak bisa bercampur dengan lapisan di bawahnya, sehingga lapisan ini biasa disebut lapisan

pegat (discontuinity layer), karena mencegah atau memegat percampuran air

antara lapisan diatas dengan lapisan dibawahnya (Nontji, 2002). Suhu permukaan di perairan Indonesia berkisar antara 26°C - 30°C, Suhu pada lapisan termoklin berkisar antara 9°C - 26°C dan pada lapisan dalam antara 8°C - 9°C (Soegiarto dan Birowo, 1975; Nontji, 2002). Untuk tempat yang biasa terjadi Upwelling, suhunya dapat turun sampai 25°C (Nontji, 2002).

Menurut Arief (1997), secara keseluruhan suhu di Selat Lombok berkisar antara 6,9°C pada kedalaman 1000 m sampai 29,2°C di permukaan. Di perairan Indonesia, suhu maksimum terjadi pada masa pancaroba I (April – Mei) dan musim Pancaroba II (November). Tingginya intensitas penyinaran dan dengan kondisi permukaan laut yang lebih tenang menyebabkan penyerapan ke dalam kolom air lebih tinggi sehingga suhu air menjadi maksimun. Sebaliknya pada musim barat (Desember-Februari) suhu mencapai minimum. Hal ini disebabkan pada musim tersebut kecepatan angin sangat kuat dan curah hujan yang tinggi. Tingginya curah hujan berarti intensitas penyinaran relatif rendah dan permukaan laut yang lebih bergelombang, mengurangi penetrasi panas masuk ke dalam air laut. Akibatnya suhu permukaan mencapai minimum.

Dalam berperan sebagai faktor pendukung produktivitas primer di laut, suhu perairan berinteraksi dengan faktor lain seperti cahaya dan nutrien. Dalam kaitannya dengan produktivitas primer di laut, suhu lebih berperan kovarian dengan faktor lain daripada sebagai faktor bebas, sebagai contoh: plankton pada suhu rendah dapat mempertahankan konsentrasi pigmen-pigmen fotosintesis, enzim-enzim dan karbon yang besar, karena fitoplankton lebih efisien menggunakan cahaya pada suhu rendah dan laju fotosintesis akan lebih tinggi jika sel-sel fitoplankton dapat menyesuaian dengan kondisi yang ada. Perubahan laju penggandaan sel hanya pada suhu yang tinggi. Tingginya suhu memudahkan

(9)

terjadinya penyerapan nutrien oleh fitoplankton. Dalam kondisi konsentrasi fosfat sedang di dalam kolom perairan, laju fotosintesis maksimum akan meningkat pada suhu yang lebih tinggi.

2.3.5. Laju Tenggelam Fitoplankton

Grazing dan daya tenggelam fitoplankton dalam perairan juga mempunyai peranan dalam menentukan tinggi rendahnya produktivitas primer perairan. Proses pemangsaan fitoplankton oleh zooplankton atau nekton akan menurunkan kelimpahan fitoplankton dalam perairan. Tenggelamnya fitoplankton akan menyebabkan terjadinya perubahan dalam distribusi fitoplankton secara vertikal, laju tenggelamnya fitoplankton akan berkurang dengan meningkatnya densitas perairan. Kuatnya stratifikasi perairan terutama pada lapisan termoklin, berakibat pada fitoplankton yang tenggelam tidak dapat melewati lapisan termoklin (Tomascik et al., 1997), hal inilah yang menyebabkan tingginya produktivitas primer pada lapisan atas termoklin. Begitu pula sebaliknya, fitoplankton yang sudah tenggelam hingga di bagian bawah lapisan eufotik akan sulit terangkat ke lapisan permukaan kecuali bila terjadi pergerakan vertikal massa air.

2.4. Faktor yang Mempengaruhi Sebaran Suhu Permukaan Laut

Faktor yang mempegaruhi perubahan SPL diantaranya adalah Angin, Arus permukaaan laut, upwelling, pembekuan dan pencairan es di daerah kutub (Laevastu dan Hela,1970 dalam Paulus 2006). Menurut Sverdrup (1942) menyatakan bahwa kondisi SPL dipengaruhi oleh dinamika massa air laut yaitu pola arus permukaan, upwelling, divergensi dan konvergensi, turbulensi dan sirkulasi global lautan dari lintang tinggi ke lintang rendah dan sebaliknya. Distribusi SPL di perairan Indonesia sangat dipengaruhi keadaan lingkungan seperti arah dan kecepatan angin dan pola arus.

2.4.1 Angin dan Perubahan Musim

Sistem angin di daerah tropis sangat kompleks dengan adanya pola angin

musim yang disebut sistem muson (monsoon) yang dominan di Samudera Hindia.

Sistem muson terjadi karena pusat tekanan udara bergeser sesuai dengan perubahan posisi matahari yang bergerak melintasi khatulistiwa dua kali dalam

(10)

setahun. Menurut Wyrtki (1961), pada kondisi normal wilayah Asia Tenggara dipengaruhi oleh empat angin muson utama, yaitu:

1. Angin muson barat laut, yang terjadi pada bulan Desember, Januari dan Februari.

2. Transisi dari angin muson barat laut ke angin muson tenggara yang terjadi

pada bulan Maret, April dan Mei.

3. Angin muson tenggara, yang terjadi pada bulan Juni, Juli dan Agustus.

4. Transisi dari angin muson tenggara ke angin muson barat laut, yang terjadi

pada bulan September, Oktober dan November.

Pada musim barat, di belahan bumi utara (daratan Asia) terjadi musim dingin dan di belahan bumi selatan (daratan Australia) terjadi musim panas. Pada saat ini, pusat tekanan tinggi berada di daratan Asia dan pusat tekanan rendah di daratan Australia. Keadaan ini menyebabkan angin bertiup dari daratan Asia menuju daratan Australia, dan sebaliknya terjadi pada musim timur. Pada bulan Maret-Mei dan September-November, arah angin tidak menentu.

Menurut Wyrtki (1961), secara umum pola angin muson di perairan Asia Tenggara setiap bulannya adalah sebagai berikut:

Bulan Januari: muson timur laut (utara) terbentuk. Matahari di selatan (Australia) dan pusat tekanan tinggi di Asia sehingga angin bertiup dari utara terutama di atas Laut China dan Laut Andaman. Di Samudera Pasifik angin muson timur laut ini bergabung dengan angin pasat timur laut. Di ekuator, angin menjadi angin utara dan ketika sampai di belahan bumi selatan berbelok ke timur menjadi angin muson barat laut. Tekanan udara Khatulistiwa di Samudera Hindia pada posisi 100 LS, di sini ada angin pasat tenggara. Di pantai barat laut Australia, angin pasat tenggara berbelok dan bertiup hampir sejajar garis pantai ke arah timur laut.

Bulan Februari: Tekanan udara Khatulistiwa bergeser ke utara dan berada di atas Jawa dan Nusa Tenggara. Antara Jawa dan Australia angin barat daya berkembang sebagai cabang dari angin pasat tenggara. Di utara ekuator kondisi tidak berubah namun kekuatan angin muson timur laut berkurang. Bulan Maret: Pasat tenggara dari Samudera Hindia meluas ke utara dan timur. Sementara di atas

(11)

Laut Timor dan Laut Arafura angin barat laut tetap ada. Di atas Laut China angin muson timur laut melemah.

Bulan April: Tekanan udara Khatulistiwa bergerak cepat ke utara dan berada di atas ekuator. Angin pasat tenggara tetap mencapai 50 LS dan bergerak ke utara di Nusa Tenggara dan biasanya disebut angin muson tenggara. Di utara ekuator di atas Laut China dan Laut Filipina, angin muson timur laut yang lemah masih ada, sementara di atas Teluk Bengal angin muson barat daya bertiup dan memulai/mengawali muson barat daya di Myanmar dan Thailand. Bulan Mei: kondisi berubah total, angin muson timur laut di Laut China dan Laut Filipina hilang dan digantikan oleh muson selatan di seluruh Asia Tenggara. Di selatan ekuator, angin muson tenggara bertiup dan bergabung dengan angin pasat tenggara Samudera Hindia, di ekuator, angin selatan tetap ada dan di utaranya angin muson barat daya tetap bertiup. Di wilayah Filipina dan Laut Sulawesi angin tetap lemah dan tidak beraturan.

Bulan Juni: sebaran berubah sedikit: angin menjadi lebih kuat bahkan lebih kuat di atas Laut Arafura, Samudera Hindia, khususnya di Teluk Bengal. Bulan Juli dan Agustus: angin muson selatan mencapai puncaknya. Pada bulan-bulan ini pusat tekanan rendah di Asia dan tekanan tinggi di Australia dan perbedaan tekanan antara keduanya mencapai titik tertinggi dan sirkulasi mencapai kekuatan terbesarnya. Bulan September: di atas Formosa dan Hongkong, angin muson timur laut yang pertama terbentuk, menandakan pelemahan Asia bawah dan di wilayah muson selatan hanya mengalami pengurangan kekuatan.

Bulan Oktober: Tekanan udara Khatulisiwa kemudian kembali bergeser ke selatan. Pada pertengahan bulan, Tekanan udara Khatulistiwa terletak pada garis lurus antara Teluk Bengal dengan New Guinea. Di sebelah utara garis ini, muson timur laut masih ada, sebelah selatannya juga tetap terjadi angin muson tenggara. Di antara ekuator dan 100 LS muson barat daya telah berbelok jauh sehingga hampir menjadi angin barat. Bulan November: Tekanan udara Khatulistiwa telah berada di selatan ekuator. Muson timur laut mengalami intensifikasi terutama di atas Laut China. Di atas Samudera Hindia sistem muson tenggara telah hilang dan angin pasat tenggara membatasi hingga 50 LS.

(12)

Bulan Desember: Tekanan udara Khatulistiwa bergerak terus ke selatan dan berada pada 50 LS. Angin muson timur laut mencapai puncak kekuatan di atas Laut China, melewati ekuator sebagai angin utara dan secara temporer mencapai Laut Jawa dan Nusa Tenggara. Di atas Laut Jawa angin barat masih ada. Angin pasat tenggara Samudera Hindia mundur jauh ke selatan dan mencapai lebih dari 100 LS. Di dekat barat laut pantai Australia angin selatan masih ada.

Meskipun secara umum pembagian waktu angin muson masih mengikuti

pola Wyrtki (1961), namun observasi yang dilakukan Susanto et al. (2007)

mengindikasikan bahwa waktu transisi atau musim peralihan lebih pendek. Angin muson barat laut bertiup dari November-Maret, sementara angin muson tenggara bertiup dari Mei-September. Musim transisi hanya pada April dan Oktober.

Perubahan arah dan kecepatan angin yang bertiup di atas perairan mengakibatkan terjadinya perubahan dinamika di dalam perairan tersebut.

Menurut Clark et al. (1999) in Tubalawony (2007), kuatnya angin muson

mengakibatkan meningkatnya transpor Ekman, percampuran vertikal dan tingginya bahang yang hilang akibat evaporasi sepanjang musim panas, sehingga mengakibatkan terjadinya pendinginan suhu permukaan perairan, dan sebaliknya bila angin menjadi lemah dimana percampuran massa air akan lemah dan bahang yang hilang melalui evaporasi menjadi berkurang. Selain itu, kuatnya pengaruh angin muson mengakibatkan perbedaan dinamika massa air yang bertanggung jawab terhadap sirkulasi massa air permukaan, percampuran massa air dan upwelling.

Kuatnya pengaruh angin muson dapat dilihat dalam bentuk aliran massa air pada lapisan permukaan ke arah tenggara di sepanjang pantai barat daya Sumatera dan ke arah timur di selatan Jawa hingga Sumbawa selama bertiup angin muson barat laut, dimana arus ini merupakan percabangan Arus Sakal Katulistiwa Samudera Hindia dan cabang arus ini dikenal sebagai Arus Pantai

Jawa (APJ) (Soeriaatmadja, 1957 in Wyrtki, 1961).

Menurut Susanto et al. (2001), terjadinya upwelling di sepanjang pantai Jawa-Sumatera merupakan respons terhadap bertiupnya angin muson tenggara. Upwelling di daerah ini berlangsung dari bulan Juni hingga pertengahan Oktober dan pusat upwelling dengan suhu permukaan laut yang rendah dimulai dari

(13)

perairan selatan Jawa Timur dan kemudian bermigrasi ke arah barat. Migrasi upwelling tergantung pada perubahan musiman angin yang bertiup sepanjang

pantai dan perubahan lintang yang mempengaruhi parameter coriolis.

Di perairan Jawa-Sumbawa, tiupan angin muson tenggara menyeret massa air permukaan ke arah barat dan oleh efek Coriolis massa air terbentuk akan dibelokkan ke selatan meninggalkan pantai sehingga menyebabkan penurunan muka laut dan kekosongan massa air permukaan di daerah pantai. Kekosongan massa air tersebut akan diisi/digantikan oleh massa air di bawahnya. Proses pengangkatan massa air dari lapisan bawah disebut upwelling. Upwelling di perairan pantai berperan penting dalam proses biologis karena massa air lapisan

bawah kaya nutrien. Setelah selang beberapa waktu (time lag), tingginya

konsentrasi nutrien akan memicu pertumbuhan fitoplankton yang bertanggung jawab dalam produktivitas primer di laut.

Sebaran temporal gesekan angin di daerah pantai mempengaruhi volume transpor Ekman di lapisan permukaan. Menurut Purba (2009), kekuatan gesekan angin di selatan Jawa-Sumbawa pada 1993-2002 mencapai puncak kekuatannya ketika bertiup angin muson tenggara yaitu Juni-Agustus dimana gesekan angin di bagian barat lebih kuat dibanding sisi timur. Di perairan Jawa Timur-Sumbawa, gesekan angin bervariasi dalam arah zonal pada Juni dan Juli, sementara pada Agustus-September bervariasi secara meridional.

2.4.2. Upwelling

Upwelling didefinisikan sebagai gerakan naiknya massa air dari lapisan yang lebih dalam, dimana massa air tersebut mempunyai suhu yang rendah dan salinitas yang tinggi serta membawa unsur-unsur hara yang kaya akan Fosfat dan Nitrat ke permukaan. Massa air yang naik ke permukaan ini berasal dari lapisan kedalaman antara 100-200 m, oleh karena itu daerah-daerah upwelling selalu memberikan indikasi produktivitas plankton yang tinggi pada perairan tersebut (Nontji, 2002). Dari nilai suhu dan salinitas yang diukur pada tempat yang sama (posisi dan kedalaman yang sama) pada saat terjadi upwelling, diketahui bahwa suhu akan lebih rendah dan salinitas akan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Pada lokasi dimana terjadi upwelling, suhu air permukaan

(14)

dapat turun sampai sekitar 25°C, hal ini disebabkan karena air yang dingin dari lapisan bawah terangkat ke permukaan (Nontji, 1993).

Proses upwelling menyebabkan terjadinya penurunan suhu permukaan laut dan tingginya kandungan unsur hara dibandingkan daerah sekitarnya. Dengan melimpahnya unsur hara di perairan saat terjadinya upwelling akan merangsang perkembangan fitoplankton di lapisan permukaan yang erat kaitannya dengan tingkat kesuburan perairan. Oleh karena itu proses terjadinya upwelling selalu dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas primer di suatu perairan (Birowo dan Arief, 1983).

2.4.3. Pola Arus

Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan dalam densitas air laut, maupun oleh adanya gerakan gelombang panjang. Menurut Ilahude dan Nontji (1990), di wilayah perairan Indonesia mengalir sistem arus utama yang disebut Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). Perairan Indonesia merupakan satu lintasan yang mentransfer massa air yang hangat dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia (Gambar 3). Hal ini menjadikan perairan Indonesia memegang peranan penting secara integral dalam sirkulasi termohalin global dan fenomena iklim.

Gambar 3. Sistem Arus Lintas Indonesia (Arlindo) di perairan Indonesia (Gordon et al.,1994).

(15)

2.5. Deteksi Klorofil dan Suhu Permukaan Laut

Pendeteksian konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut dilakukan dengan menggunakan kisaran cahaya tampak (visble) dan inframerah (infrared).

Warna air laut (ocean colour) menunjukkan spektrum radiasi cahaya dibawah

permukaan laut, sehingga penginderaan warna air laut digunakan untuk menduga konsentrasi klorofil-a. Robinson (1985) membagi perairan menjadi dua kelompok berdasarkan sifat optisnya, yaitu perairan tipe 1 dan perairan tipe 2. Perairan tipe 1 adalah perairan yang sifat optisnya didominasi oleh fitoplankton. Perairan ini biasanya ditemukan di perairan lepas pantai yang tidak dipengaruhi zona perairan dangkal dan sungai. Untuk perairan tipe 2 lebih banyak didominasi oleh sedimen tersuspensi (suspended sediment) dan substansi kuning (yellow substances). Pendugaan konsentrasi klorofil termasuk dalam tipe perairan 1, dimana pantulan minimum terjadi pada panjang gelombang 0,44µm (biru) dan 0,66µm (merah). Warna perairan yang terlihat melalui teknologi penginderaan jauh merupakan hasil pembauran cahaya oleh permukaan perairan. Perairan yang produktif berwarna hijau-biru atau merah, sedangkan perairan yang berwarna biru gelap merupakan perairan dengan kesuburan rendah. (Stewart, 1985 dalam Fitriah, 2008).

Pengukuran suhu permukaan laut dari satelit dilakukan dengan radiasi inframerah pada panjang gelombang 3-14µm. Pengukuran spektrum inframerah yang dipancarkan oleh permukaan laut hanya dapat memberikan informasi suhu pada lapisan permukaan (Robinson,1985). Salah satu cara untuk mendeteksi konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut di suatu perairan adalah dengan menggunakan citra MODIS.

Satelit Aqua yang membawa instrument MODIS (Moderate Resolution

Imaging Spectroradiometer) diluncurkan pertama kali tanggal 4 Mei 2002 dengan spesifikasi daerah laut. Satelit Aqua MODIS adalah satelit ilmu pengetahuan tentang bumi yang dimiliki oleh NASA, dengan misi mengumpulkan informasi tentang siklus air di bumi, termasuk penguapan dari samudera, uap air di atmosfer, awan, presipitasi, kelembaban tanah, es yang ada di laut dan di daratan dan salju yang menutupi darata. Variabel yang juga diukur oleh satelit Aqua MODIS adalah aerosol, tumbuhan yang menutupi daratan, fitoplankton dan bahan organik terlarut

(16)

di lautan, serta suhu di udara, laut dan daratan. Data citra yang merupakan produk MODIS khusus untuk perairan mencakup tiga hal penting yaitu warna perairan, suhu permukaan laut dan produksi primer perairan melalui deteksi kandungan klorofil.

Untuk menduga suhu permukaan laut (SPL) digunakan algoritma MODIS yang menggunakan kanal 31 dan 32. Algoritma SPL adalah sebagai berikut:

Modis_SST = C1 + C2*T31 + C3*T31-32 + C4*(sec (θ)-1)*T31-32

Dimana: T31 , T32 = Brightness temperature dari kanal 31 dan kanal 32

θ = Sudut Zenith satelit

Konstanta C1, C2, C3 dan C4 dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 1. Koefisien Kanal 31 dan 32 untuk AquaMODIS

Koefisien T30 − T31 ≤ 0,7 T30 – T31 > 0,7

C1 1,11071 1,196099

C2 0,9586865 0,9888366

C3 0,1741229 0,1300626

C4 1,876752 1,627125

Menurut McClain dan Feldman (2004) dalam Meliani (2006) algoritma yang digunakan sebagai standar dalam pengolahan citra satelit Aqua MODIS untuk mendapatkan data klorofil-a di perairan secara global yaitu algoritma

OC3M (Ocean Cholorophyll 3-band algorithm MODIS). Persamaan algoritma

tersebut adalah sebagai berikut (O’Reilly et al., 2000): OC3M: Ca = 100,283-2,753R + 1,475R² + 0,657R³ - 1,403R³

R = log10 Rrs 443 Rrs 490 550 550

Dimana: Ca : Konsentrasi Khlorofil-a (mg/m³)

R : Rasio reflektansi

(17)

Algoritma OC3M menggunakan rasio maksimum dari reflektansi kanal 443 nm dengan 550 nm dan kanal 490 nm dengan 550 nm untuk menentukan nilai konsentrasi khlorofil-a di perairan. Data Modis level 3 untuk produk warna perairan (ocean color) dan suhu permukaan laut dapat diperoleh pada situs http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/ . Data MODIS level 3 merupakan produk data yang sudah diproses. Data tersebut sudah dilakukan koreksi atmosferik, yang dilakukan untuk menghilangkan hamburan cahaya yang sangat tinggi yang disebabkan oleh komponen atmosfer, komponen yang dikoreksi yaitu hamburan

rayleigh dan hamburan aerosol.

Selanjutnya pengolahan data yang dilakukan dari data citra level 3 dapat

diolah dengan program SeaDAS untuk dilakukan cropping daerah penelitian dan

mendapatkan data dalam ekstensi ASCII. Program SeaDAS (SeaWIFS Data

Analysis System), adalah perangkat lunak yang dikembangkan oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration), Amerika tahun 1997. Merupakan paket analis citra satelit secara komprehensif untuk memproses, menampilkan dan menganalisa semua produk dari data satelit ocean color

SeaWIFS (Sea –Viewing Wide Field –of- view Sensor). Dalam perkembangannya,

software seaDAS mempunyai kemampuan untuk memproses data satelit ocean

color lainnya termasuk diantaranya dari MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) versi terakhir Sea DAS yang sudah di release adalah SeaDAS versi 5.2.

2.6. El Nino Southern Oscillation (ENSO)

ENSO merupakan contoh variabilitas antar tahunan yang disebabkan interaksi atmosfer-lautan di Samudera Pasifik (Dijkstra, 2008). Menurut Potemra

et al. (2003), ENSO merupakan fenomena anomali angin antara timur dan barat Samudera Pasifik yang menyebabkan perbedaan tinggi muka laut diantara kedua sisi samudera.

Philander (1990) menyatakan bahwa El Nino merupakan suatu fase dari ENSO dimana angin pasat Tenggara dan angin pasat Timur Laut melemah dan seringkali berbalik arah. Peristiwa El Nino diawali dengan turunnya tekanan udara di Pasifik Selatan bagian Timur dan bergesernya sirkulasi Walker ke arah timur (Gambar 4). Tekanan udara di atas Indonesia dan Samudera Hindia bagian

(18)

timur menguat. Massa air permukaan yang hangat, yang biasanya terdapat di Samudera Pasifik bagian Barat menyebar ke arah Timur, terkadang sampai 140°BT. Dengan bergeraknya massa air permukaan yang hangat ke Timur akan mengurangi gradien suhu permukaan laut zonal di sepanjang equator Pasifik, yang akibatnya Angin Pasat juga semakin lemah dan El Nino semakin berkembang.

Menurut Quinn et al. (1978), fenomena El Nino memiliki siklus yang tidak teratur

dengan periode antara 2 sampai 7 tahun. Dalam perkembangan selanjutnya terdapat pula fase sebaliknya dari El Nino yang dinamakan La Nina, dimana Angin Pasat di Samudera Pasifik bertiup dengan kuat.

Kondisi Normal

Kondisi El Nino

Gambar 4. Model Sirkulasi Walker di Samudera Pasifik pada Kondisi Normal dan pada Kondisi El Nino (Shinoda et al., 2003).

(19)

Salah satu parameter untuk menunjukkan fase El Nino atau La Nina adalah Southern Oscillation Index (SOI). SOI adalah suatu indeks perbedaan tekanan udara permukaan laut antara Darwin dan Tahiti yang kemudian dinormalkan dengan standar deviasi (Trenberth, 1997). Beberapa penelitian penting tentang feomena ENSO dan dampaknya terhadap karakteristik dan dinamika perairan di barat Sumatera dan selatan Jawa telah dilakukan (Sprintall et al., 1999; Susanto et al., 2001; Gordon et al., 2003; Susanto et al., 2007).

Philander (1990) menambahkan pula bahwa indeks SOI berkaitan dengan kekuatan Angin Pasat Tenggara. Angin pasat merupakan angin yang paling stabil, tetapi bervariasi dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun, terutama di bagian barat Pasifik. Diduga salah satu sumber utama penyebab variabilitas itu adalah gelombang Madden-Julian di atmosfer. Ketika tekanan paras laut di Darwin lebih besar daripada tekanan paras laut di Tahiti, SOI bernilai negatif dan Angin Pasat Tenggara di Pasifik Selatan melemah. Bila selisihnya lebih kecil daripada negatif 1,5 maka periode ini disebut El Nino. Begitu pula dengan sebaliknya, bila tekanan paras laut di Darwin lebih kecil daripada tekanan paras laut di Tahiti, SOI benilai positif dan Angin Pasat Tenggara di Pasifik Selatan menguat dan periode ini disebut La Nina.

2.7. Indian Ocean Dipole Mode (IODM)

IODM merupakan suatu pola variabilitas internal Samudera Hindia dimana SPL di bagian timur Samudera Hindia (pantai barat Sumatera) lebih rendah daripada biasanya dan sebaliknya di bagian barat samudera terjadi anomali SPL yang lebih tinggi dan diikuti dengan anomali angin dan presipitasi (Saji et

al., 1999). Hubungan spasial-temporal antara SPL dan angin mempengaruhi

presipitasi dan dinamika perairan.

IODM bersifat khas dan inheren di Samudera Hindia dan independen

terhadap El Nino Southern Oscillation (ENSO). Fenomena IODM dapat

menjelaskan kenapa saat Indonesia mengalami kekeringan tapi bagian timur Afrika justru presipitasi berlebih. Proses perkembangan IODM ditunjukkan pada Gambar 5.

(20)

Gambar 5. Pola perkembangan IODM (Saji et al., 1999)

Karakter IODM adalah adanya kondisi SPL yang berlawanan pada kedua sisi Samudera Hindia. Karena perbedaan SPL pada kedua sisi sangat jelas, maka IODM dapat diidentifikasi dengan menggunakan Dipole Mode Index (DMI) yang menggambarkan perbedaan anomali SPL antara Samudera Hindia tropis bagian barat (500 BT – 700 BT, 100 LS – 100 LU) dan Samudera Hindia tropis bagian tenggara (900 BT – 1100 BT, 100 LS – katulistiwa). Korelasi antara dua nilai SPL yang berbeda cukup besar (>70%). Hal ini mengindikasikan tingginya akurasi DMI dalam menggambarkan IODM berdasarkan SPL.

IODM bersifat independen terhadap ENSO di Samudera Pasifik seperti ditunjukkan pada Gambar 6. Pada gambar tersebut ditampilkan kondisi anomali SPL Pasifik bagian tengah dan timur (daerah Nino3) dan dibandingkan dengan data DMI. Tahun-tahun kejadian IODM adalah 1961, 1967, 1972, 1994 dan 1997. Pada tahun 1961 tidak ada El Nino; 1967 IODM terjadi bersamaan dengan La Nina; 1972 dan 1997 IODM muncul bersamaan dengan El Nino. Korelasi antara DMI dan Nino3 kecil (0.35) sehingga disimpulkan bahwa IODM bersifat

(21)

Gambar 6. Perbandingan kondisi IODM dan El Nino (Saji et al.,1999)

Meskipun IODM sangat dipengaruhi oleh sistem sirkulasi muson, namun ternyata korelasi antara IODM dan tingkat presipitasi di wilayah Asia yang dipengaruhi muson kecil. Hal ini disebabkan ada faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi IODM, seperti kecenderungan biennial yang bervariasi menurut periode muson dan reduksi konveksi di zona konvergensi tropis (OTCZ). Pada akhirnya disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang jelas antara IODM dan sistem muson (Saji et al., 1999).

Bagi negara-negara di sekitar Samudera Hindia, terdapat dua anomali pola cuaca selama IODM berlangsung. Pertama, anomali meningkatnya suhu daratan dan tingginya curah hujan di laut di bagian barat Samudera Hindia dan sebaliknya di sisi timur samudera. Kedua, meningkatnya curah hujan di atas daratan Asia yang masih dipengaruhi angin muson yang meluas dari Pakistan hingga bagian selatan China. Bahkan fenomena IODM terasa hingga Eropa, timur laut Asia, utara dan selatan Amerika utara dan selatan Afrika. Bagi wilayah-wilayah jauh ini, IODM berhubungan dengan anomali meningkatnya suhu daratan dan berkurangnya curah hujan (Saji and Yamagata, 2003).

Pada saat terjadi IODM, angin pasat di ekuator Samudera Hindia bagian timur yang bertiup ke arah timur menjadi lebih kuat dan lama dan menekan intrusi arus khatulistiwa sehingga proses pendinginan lautan Indonesia berlangsung lebih lama. Hal ini menyebabkan upwelling lebih kuat dan lapisan termoklin menjadi lebih dangkal di barat Sumatera dan selatan Jawa (Saji et al., 1999). Hubungan antara SPL dan anomali kedalaman termoklin dapat dijelaskan dengan IODM (Qu et al., 2005).

Gambar

Gambar 2. Batimetri dasar perairan Selat Lombok
Gambar  3. Sistem  Arus  Lintas  Indonesia  (Arlindo)  di  perairan  Indonesia (Gordon et al.,1994)
Gambar  4.  Model  Sirkulasi  Walker  di  Samudera  Pasifik  pada  Kondisi  Normal  dan pada Kondisi El Nino (Shinoda et al., 2003)
Gambar 5. Pola perkembangan IODM (Saji et al., 1999)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Secara temporal, konsentrasi klorofil-a lebih tinggi pada Musim Timur (Juni-Agustus) yang disebabkan oleh terjadinya penaikan massa air (upwelling) dengan angin musim tenggara

Gelombang Pasut N2 di Pantai Barat Sumatera merambat dari Samudera Hindia dari arah barat laut menuju tenggara hingga ke Perairan Selatan Jawa. Gelombang Pasut yang merambat

Saat terjadi angin muson Barat yaitu pada bulan Desember-Februari angin bertiup dari Barat menuju Timur, sehingga arus juga bergerak dari arah Benua Asia menuju ke

POLA ANGIN Adanya Tekanan Rendah di sebelah barat Sumatera menyebabkan aliran massa udara bergerak dari timur menuju ke barat laut, kondisi ini menyebabkan adanya belokan

Gambar 5d, pada saat fase surut terendah, pola pergerakan arus yang terlihat bergerak dari arah tenggara dan selatan menuju ke arah utara dan barat laut.. Range kecepatan arus

temporal, konsentrasi klorofil-a lebih tinggi pada Musim Timur (Juni-Agustus) yang disebabkan oleh terjadinya penaikan massa air (upwelling) dengan angin musim tenggara yang

Teori Stokes menganggap bahwa partikel air bergerak dalam orbit berupa lingkaran atau elips tidak tertutup. Sehingga hal ini menyebabkan terjadinya aliran massa air dalam

Pada transek C di bulan Juli (Stasiun 16–17) terlihat kemiringan permukaan kedalaman dinamik ke arah pantai yang cukup tinggi, massa air permukaan bergerak ke barat laut dengan