Oleh:
Iriana Ngesti Utami C64102052
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi saya yang berjudul :
STUDI KARAKTERISTIK DAN ALIRAN MASSA AIR PADA
MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR DI PERAIRAN SELAT
LOMBOK
Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.
Bogor, September 2006
RINGKASAN
IRIANA NGESTI UTAMI. Studi Karakteristik dan Aliran Massa Air pada Musim Barat dan Musim Timur di Perairan Selat Lombok. Dibimbing oleh MULIA PURBA dan YULI NAULITA.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2004 dan Juni 2005 yang terdiri dari 9 stasiun. Lokasi pengamatan dibagi menjadi dua transek, yaitu pada aliran masuk dan aliran keluar Selat lombok.
Data yang digunakan adalah data suhu, salinitas, sigma-t, kedalaman, kecepatan arus, dan arah arus. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Ocean Data View (ODV), surfer, dan Global Mapper untuk memperoleh hasil berupa sebaran menegak dan melintang (suhu, salinitas dan st), diagram T-S, kedalaman dinamik, arus geostropik, sebaran arus pada kedalaman standar, dan kontur kedalaman.
Terdapat pola pelapisan untuk setiap parameter yang diamati. Pelapisan ini mengalami perubahan kisaran nilai dan ketebalan pada dua musim yang diamati. Pada pelapisan suhu, lapisan homogen yang terbentuk pada Musim Timur lebih tebal daripada Musim Barat, namun lapisan termoklin yang terbentuk pada Musim Timur lebih tipis daripada Musim Barat. Kisaran nilai suhu pada Musim Barat lebih hangat daripada Musim Timur, yaitu mencapai 29,17 °C (bulan Januari) dan 28,74 °C (bulan Juni). Kisaran nilai salinitas pada Musim Timur lebih rendah daripada Musim Barat, yaitu mencapai 34,54 psu (Musim Timur) dan 34,62 psu (Musim Barat). Sebaran melintang salinitas menunjukkan adanya lapisan gumbar dengan nilai salinitas 34,60 - 34,62 psu pada bulan Januari. Nilai sigma-t di lapisan permukaan pada Musim Timur lebih rendah daripada Musim Barat, yaitu mencapai 20,76 (Musim Timur) dan 21,19 (Musim Barat). Pola sebaran st
cenderung menyerupai pola sebaran suhu. Melalui hasil analisis diagram T-S ditemukan dua jenis massa air, yaitu massa air yang dicirikan oleh salinitas maksimum Northern Subtropical Lower Water (NSLW) dan massa air yang dicirikan oleh salinitas minimum North Pacific Intermediate Water (NPIW). NSLW ditemukan pada Musim Barat dan NPIW lebih jelas terlihat pada Musim Timur.
Melalui pengukuran dengan menggunakan metode geostropik dan
Accoustic Doppler Current Profiler (ADCP), diketahui bahwa arus di Selat Lombok bergerak ke utara dan selatan. Pada kedalaman yang sama, nilai
kecepatan arus hasil perhitungan dengan menggunakan metode geostropik terlalu tinggi (mencapai 5 m/det). Hal ini disebabkan oleh jarak stasiun yang terlalu dekat (sekitar 8 km) dan perbedaan suhu yang terlalu tinggi (mencapai 3,76 °C pada kedalaman 100 m). Kecepatan arus hasil pengukuran ADCP berkisar antara 0.2-1,3 m/det.
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
Iriana Ngesti Utami C64102052
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
Nama : Iriana Ngesti Utami
NRP : C64102052
Disetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Mulia Purba. M.Sc Ir. Yuli Naulita. M.Si NIP : 130 367 096 NIP : 131 953 480
Mengetahui,
Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP : 130 805 031
KATA PENGANTAR
Karakteristik massa air merupakan salah satu hal yang penting untuk dipelajari dan diteliti, karena karakteristik massa air merupakan hal yang mendasar dalam kehidupan di perairan dan lingkungan disekitarnya.
Tiada keberhasilan dalam ilmu yang penulis geluti tanpa bimbingan dari seorang guru dan hasil akal budinya. Untuk itu pada kesempatan yang baik ini, dengan segala kerendahan hati penulis ucapkan terima kasih dan hormat bakti kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc. sebagai pembimbing utama atas bimbingan, bantuan dan arahanya selama penyusunan skripsi ini; 2. Ir. Yuli Naulita, M.Si. sebagai pembimbing anggota atas bimbingan,
bantuan dan arahanya dalam usaha memahami dan mendalami persoalan penelitian hingga skripsi ini selesai;
3. Bapak Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. sebagai Chief scientist INSTANT, yang telah memberi kesempatan untuk mengikuti proyek INSTANT;
4. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Non-Hayati, BRKP-DKP yang telah mengijinkan penggunaan data INSTANT bulan Januari 2004 dan Juni 2005 dalam Skripsi ini;
5. Mbak Tisiana sebagai pembimbing lapang atas bimbingan dan arahan dalam penyelesaian skripsi;
6. Bapak, Ibu, De’ Adi dan Bambang yang selalu memberi motivasi, do’a, kasih sayang;
7. Mas Priyadi, Mas Adit, Bang Mukti dan Bang Tri yang telah memberi bantuan dalam pengolahan data;
8. Mas Urip atas bantuan sarana prasarana alat selama pengerjaan skripsi; Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan bagi penulis untuk memperbaiki skripsi ini.
Bogor, Agustus 2006
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar belakang ... 1
1.2. Tujuan ... 2
2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1. Suhu ... 3
2.2. Salinitas ... 4
2.3. Densitas ... 6
2.4. Kedalaman dinamik ... 8
2.5. Arus geostropik ... 10
2.6. Acoustic Doppler Curent Profiler (ADCP) ... 12
2.7. CTD (Conductivity, Temperature, Depth) ... 15
2.8. Dia gram T-S ... 15
2.9. Angin muson ... 17
2.10. Arus Lintas Indonesia (Arlindo) ... 19
2.11. Perairan Selat Lombok ... 21
3. BAHAN DAN METODE ... 24
3.1. Waktu dan tempat ... 24
3.2. Metode pengambilan data ... 26
3.3. Analisis data ... 27
3.3.1. Sebaran menegak ... 29
3.3.2. Sebaran melintang ... 30
3.3.3. Perhitungan sigma-t (st ), volume spesifik (a), anomali volume spesifik (d) dan kedalaman dinamik ... 30
3.3.3.1. Perhitungan sigma-t (st ) ... 31
3.3.3.2. Perhitungan anomali volume spesifik (d) ... 31
3.3.3.3. Perhitungan anomali kedalaman dinamik dan penentuan papar acuan ... 33
3.3.3.4 Perhitungan geostropik dan volume transpor ... 34
3.3.4. Diagram T-S ... 34
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36
4.1. Sebaran menegak dan melintang suhu ... 36
4.2. Sebaran menegak dan melintang salinitas ... 40
4.4. Sebaran menegak dan melintang sigma-t (st) ... 48
4.5. Kedalaman dinamik ... 52
4.6. Kecepatan arus dan volume transpor ... 55
5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 63
5.1. Kesimpulan ... 63
5.2. Saran ... 64
DAFTAR PUSTAKA ... 65
LAMPIRAN ... 68
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Massa air di barat laut Samudera Pasifik (Wyrtki, 1961) ... 21
2. Waktu pengambilan data, jumlah transek dan nomor stasiun
pengamatan ... 24
3. Alat pengambil data, perangkat lunak, dan hasil pengolahan data
yang digunakan dalam penelitian ... 28
4. Variasi salinitas pada lapisan haloklin dan lapisan dalam ... 43
5. Kecepatan arus hasil pengukuran secara langsung (ADCP) dan tidak langsung (metode geostropik) ... 59
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Pengaruh gaya tekanan terhadap permukaan isobarik relatif terhadap permukaan acuan (Pond dan Pickard, 1983) ... 11
2. Alat ADCP (Accoutic Doppler Current Profiler) ... 14 3. Alat CTD tipe SBE 911 plus ... 15 4. Diagram T-S perairan Indonesia (Arlindo)
(Illahude dan Gordon, 1996) ... 17
5. Tekanan angin pada Musim Barat dan Musim Timur (Hellerman dan Rosenstein,1983 in Miyama et al., 1996) ... 19 6. Bagan aliran massa arlindo (angka hitam menunjukkan besarnya
transpor dalam Sverdrup (106m3/s) dan angka merah menunjukkan total transpor berdasarkan nilai outflow dan inflow) (Sprintall et al., 2004) ... 20 7. Kecepatan arus pada kedalaman 35 m hasil pengukuran dengan
menggunakan Mooring pada Januari 1985 sampai 1986 di Perairan Selat Lombok (Murray dan Arief, 1988) ... 23
8. Temperatur (kiri) dan salinitas (kanan) pada lapisan permukaan dengan tekanan 10 db (Murray et al., 1990 in Mitnik et al., 2006) ... 23 9. Peta lokasi pengambilan data pada bulan Januari 2004
(warna merah) dan bulan Juni 2005 (warna kuning) ... 25
10. Kondisi batimetri daerah ambang ... 25 11. Sebaran menegak suhu pada Musim Barat dan Musim Timur di
aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2) .... 36
12. Sebaran melintang suhu pada Musim Barat dan Musim Timur di aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2) .... 37
13. Sebaran menegak salinitas pada Musim Barat dan Musim Timur di aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2) .... 41
15. Diagram T-S pada Musim Barat dan Musim Timur di aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2) ... 47
16. Sebaran menegak sigma-t pada Musim Barat dan Musim Timur di aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2) .... 49
17. Sebaran melintang sigma-t pada Musim Barat dan Musim Timur di aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2) .... 50
18. Grafik selisih anomali kedalaman dinamik terhadap kedalaman pada aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2) ... 53
19. Sebaran melintang anomali kedalaman dinamik pada aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2) ... 53
20. Grafik kecepatan arus geostrofik pada aliran masuk (transek 1) dan aliran keluar (transek 2) pada Januari 2004 dan Juni 2005 .... 55
21. Arah dan kecepatan arus hasil pengukuran secara langsung pada Musim Timur (transek 1) ... 58
22. Grafik volume transpor dari lapisan permukaan sampai kedalaman 200 m ... 60
23. Grafik volume transpor pada kedalaman lebih dari 200m ... 61
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Posisi lintang bujur stasiun, kedalaman pengukuran dan kedalaman perairan hasil pengukuran INSTANT pada bulan Januari 2004 dan Juni 2005 ... 68
2. Sistem akuisisi data pada CTD (Illahude, 1999) ... 69
3. Diagram alir pengolahan parameter oseanografi pada perangkat lunak ODV ... 70
4. Diagram alir pengolahan parameter oseanografi pada perangkat lunak surfer ... 72
5. Diagram alir pengolahan arus hasil pengukuran ADCP pada perangkat lunak surfer ... 74 6. Prinsip kerja (perhitungan) perangkat lunak ocean data view (ODV)
(Schlitzer, 2002) ... 75
7. Contoh perhitungan manual volume spesifik (δ) dan kedalaman dinamik (∆D) dengan menggunakan tabel yang dirumuskan oleh Sverdrup dan Bjerknes in Neumann dan Pierson (1966) pada stasiun 4,5 dan 6 dengan kedalaman acuan 300 m ... 81
8. Persamaan untuk menghitung nilai sigma-t (Neumann dan Pierson, 1966) ... 83
9. Persamaan untuk menghitung anomali kedalaman dinamik (Neumann dan Pierson, 1966) ... 84
10. Persamaan untuk menghitung kecepatan arus geostropik (Pond dan Pickard, 1983) ... 85
1.1. Latar belakang
Aliran massa air yang melalui Perairan Indonesia atau disebut Arus Lintas
Indonesia (Arlindo) merupakan aliran yang menghubungkan dua massa air yang
memiliki karakteristik berbeda, yaitu massa air dari Samudera Pasifik Tropis
Barat (5° LU) ke Samudera Hindia (12° LS). Massa air dari Samudera Pasifik
memiliki suhu lebih hangat dan salinitas rendah. Sebaliknya massa air di
Samudera Hindia memiliki suhu lebih rendah dan salinitas tinggi. Sebagai
penghubung dari kedua samudera yang memiliki karakteristik berbeda tersebut,
Arlindo berperan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sirkulasi termohalin
dan fenomena iklim dunia. Hal ini disebabkan karena pergerakan massa air dari
Samudera Pasifik selain memindahkan suhu permukaan laut (SPL) yang
terhangat, juga menggeser daerah konveksi atmosfer yang berasosiasi dengan SPL
tersebut ke arah barat (Schneider, 1997).
Pentingnya peran Arlindo bagi dunia menyebabkan banyak dilakukan
penelitian – penelitian dikawasan jalur Arlindo. Salah satu kegiatan penelitian
yang sedang dilakukan adalah Ekspedisi INSTANT (International Nusantara Stratification and Transpor). Pergerakan aliran massa air Arlindo secara lebih rinci dapat diketahui dengan melakukan penelitian pada daerah-daerah yang
merupakan jalur utama pergerakan massa air untuk masuk atau keluar perairan
Indonesia. Jalur keluar Arlindo adalah sepanjang Kepulauan Sunda Kecil: Selat
Ombai, Selat Lombok dan Laut Timor. Melalui penelitian ini dapat diketahui
perbedaan karakteristik massa air sebelum memasuki Perairan Indonesia (daerah
Selat Lombok merupakan jalur keluar Arlindo menuju Samudera Hindia
terbesar kedua setelah Laut Timor. Hal ini menyebabkan pentingnya dilakukan
suatu penelitian tentang aliran massa air Arlindo yang melaluinya serta
karakteristik dari massa air didalamnya (INSTANT, 2004).
Indonesia memiliki variasi musiman yang disebabkan karena bertiupnya
angin muson sebanyak dua kali dalam setahun yaitu, Angin Muson Tenggara dan
Angin Muson Barat Laut. Angin muson ini dapat mempengaruhi karakteristik
perairan di Indonesia termasuk Selat Lombok, sehingga untuk mengetahui lebih
rinci tentang karakteristik massa air di Selat Lombok perlu dilakukan pada kedua
musim tersebut. Hal ini dilakukan karena posisi selat tersebut memainkan peran
penting dari sirkulasi perubahan iklim global dan sistem cuaca (INSTANT, 2004).
1.2. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Mempelajari dan menganalisis karakteristik fisik massa air di perairan
Selat Lombok pada bulan Januari 2004 dan bulan Juni 2005.
2) Mempelajari aliran dan penyebaran massa air di Selat Lombok dengan
menggunakan metode geostropik dan pengukuran ADCP.
3) Menghitung besarnya transpor massa air yang mengalir melewati Selat
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Suhu
Penyebaran suhu di lapisan permukaan (surface layer) ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu jumlah bahang yang diterima dan pengaruh meteorologi
seperti angin, penguapan, hujan dan lain- lain. Menurut Stewart (2003),
penyebaran suhu pada permukaan laut membentuk suatu zona berdasarkan letak
lintang. Semakin mendekati garis khatulistiwa (lintang rendah) suhu akan
meningkat dan sebaliknya, suhu akan semakin menurun saat mendekati kutub
(lintang tinggi).
Secara vertikal suhu di lautan dibagi menjadi tiga zona (Richard dan
Davis, 1991) yaitu :
1. lapisan permukaan (homogeneous layer) yang merefleksikan suhu rata-rata tiap lintang
2. lapisan termoklin (thermocline layer)
3. lapisan dalam (deep layer) yang merefleksikan ciri khas asal massa air tiap lintang.
Lapisan permukaan sering disebut sebagai lapisan homogen karena pada
lapisan ini terjadi pengadukan massa air oleh angin, arus, dan pasang surut
sehingga dapat mencapai suhu yang seragam atau homogen. Pada daerah tropis
pengadukan ini dapat mencapai kedalaman 50 m sampai 100 m dengan suhu
berkisar 26 - 30 °C dan gradien tidak lebih dari 0,03 °C/m. Lapisan ini sangat
dipengaruhi oleh musim dan letak geografis. Lapisan homogen di Laut Cina
bertambah saat Musim Barat, yaitu mencapai 70 m sampai 90 m sehingga
mempengaruhi sirkulasi vertikal dari perairan (Wyrtki, 1961; Gross, 1990).
Menurut Gross (1990), lapisan termoklin yang terbentuk di perairan tropis
dapat mencapai ketebalan antara 100 m sampai 205 m dengan gradien suhu
mencapai 0,1 ºC/m. Namun menurut Illahude (1999), lapisan termoklin secara
lebih rinci dapat dibagi menjadi dua lapisan, yaitu lapisan termoklin atas (main thermocline) dan termoklin bawah (secondary thermocline). Pada termoklin atas suhu menurun lebih cepat dibandingkan dengan termoklin bawah. Rata-rata
penurunan suhu di termoklin atas dapat mencapai 19 °C/200 m= 9,5 °C/100 m
dan rata-rata penurunan suhu di termoklin bawah dapat mencapai 1,3 °C/100 m
(Gross, 1990; Illahude, 1999).
Lapisan dalam (deep layer) dapat mencapai kedalaman 2500 m dengan penurunan suhu yang sangat lambat. Gradien suhu mencapai 0,05 °C/100 m.
Pada daerah tropis kisaran suhu di lapisan dalam adalah 2 °C sampai 4 °C
(Illahude, 1999).
Perairan di daerah tropis termasuk Indonesia memiliki kisaran suhu
permukaan yang hangat dengan variasi suhu harian relatif tinggi dan variasi suhu
tahunan rendah yaitu < 2 °C. Nilai suhu maksimum di Perairan Indonesia
dipengaruhi oleh proses pemanasan, kekuatan angin yang bertiup di permukaan
laut dan presipitasi.
2.2. Salinitas
Sebaran salinitas pada permukaan laut dipengaruhi oleh berbagai faktor,
pemasukan air tawar dan presipitasi, namun akan meningkat jika terjadi evaporasi.
Untuk daerah dengan evaporasi lebih tinggi dari presipitasi, misalnya di Laut
Mediterania Timur dan Laut Merah, maka salinitasnya dapat mencapai 39 ‰ dan
41 ‰ (Pickard dan Emery, 1990).
Pengaruh perubahan arus yang disebabkan pergantian musim terhadap
nilai salinitas dapat diketahui dari perbedaan letak isohalin. Misalnya di Perairan
Indonesia, pada Musim Barat isohalin- isohalin bergerak lebih ke timur dan
sebaliknya pada Musim Timur (Illahude, 1999).
Seperti halnya di lapisan permukaan laut, salinitas di bawah permukaan
laut juga bervariasi. Adapun sebaran salinitas di bawah permukaan laut lebih
dipengaruhi oleh proses percampuran (mixing) karena peredaran massa air dan pembentukan massa air (formation of water masses) (Illahude, 1999).
Sebaran vertikal salinitas dalam suatu perairan dibagi dalam tiga lapisan,
yaitu lapisan homogen (homogeneous layer), lapisan haloklin dan lapisan dalam yang relatif homogen. Ketebalan lapisan homogen berkisar antara 50-100 m atau
lebih tergantung pada kekuatan pengadukan. Lapisan berikutnya adalah lapisan
haloklin. Lapisan ini ditandai dengan meningkatnya salinitas secara drastis
dengan bertambahnya kedalaman. Lapisan haloklin terletak mulai batas bawah
lapisan homogen sampai kedalaman sekitar 600-1000 m. Lapisan ketiga terletak
mulai dari batas bawah lapisan haloklin sampai dasar perairan (Ross, 1970).
Nilai salinitas rata-rata tahunan di perairan Indonesia yang terendah sering
dijumpai di daerah bagian barat dan semakin meningkat ke daerah timur. Hal ini
disebabkan karena sebelum memasuki perairan bagian barat Indonesia, massa air
mengalami penurunan nilai salinitas karena terjadi pengenceran dari daratan Asia
Tenggara sehingga ikut menurunkan nilai salinitas di perairan bagian barat
Indonesia. Sedangkan di perairan bagian timur Indonesia, massa air dari
Samudera Pasifik langsung masuk ke Perairan Indonesia melalui Laut Sulawesi,
Laut Maluku, dan Laut Halmahera tanpa mengalami pengenceran yang berarti.
Selain itu sedikitnya sungai-sungai besar di Indonesia bagian timur dibandingkan
di bagian barat ikut mempengaruhi besarnya nilai salinitas pada daerah tersebut
(Wyrtki, 1961; Illahude, 1999).
Lebih tingginya curah hujan dibanding evaporasi menyebabkan rata-rata
salinitas di daerah tropis kurang dari 34 ‰. Pada Musim Barat, nilai salinitas
lebih besar dari 34‰ dan pada Musim Timur nilai salinitas kurang dari 34‰
(Wyrtki, 1961).
2.3. Densitas (?)
Densitas (? ) didefinisikan sebagai massa per unit volume dengan unit
(kg/m3). Pada prakteknya, densitas tidak dapat diukur secara langsung melalui
alat pengukuran di laut. Densitas dihitung dengan menggunakan data suhu,
salinitas dan tekanan yang diukur secara langsung. Perhitungan ini memiliki
ketelitian sampai lima angka di belakang koma (Stewart, 2003).
Pada umumnya nilai densitas pada permukaan laut berkisar 1027 kg/m3.
Agar lebih praktis dan karena perubahan nilai densitas hanya dalam dua digit
terakhir, maka para ilmuwan menggunakan suatu kuantitas yang disebut sebagai
sigma yang tergantung nilai suhu, salinitas dan tekanan s(s,t,p) (Stewart, 2003) :
?s,t,p adalah densitas in situ yang merupakan fungsi dari salinitas, suhu dan tekanan.
Knudsen (1901) in Neumann dan Pierson (1966) mengemukakan hubungan antara densitas pada suhu 0°C dan salinitas (S) yang disimbolkan
dengan ?(S,0,0). Jika nilai σ0 = ρ
(
S,0,0 −1)
x103, maka s0 sebagai fungsi salinitasdinyatakan sebagai berikut :
3 2
0 =−0,093+0,8149S−0,000482S +0,0000068S
σ …… (2)
. Forch (1902) in Neumann dan Pierson (1966) menghasilkan suatu fungsi empiris untuk menghitung sigma-t (st) dari nilai sigma-nol (s0) berdasarkan
perhitungan fungsi D, yaitu suatu fungsi yang menyatakan efek dari suhu pada s0
yang berbeda. Hubungan tersebut dinyatakan dalam persamaan :
D
t =σ0 −
σ ………. (3)
Sigma-t (st) merupakan nilai densitas yang dihitung pada tekanan atmosfer
(p=0) dan suhu (t °C) yang dinyatakan dalam persamaan (Neumann dan Pierson,
1966) :
(
s,t,0 1)
x1000t = ρ −
σ ……… (4)
Kebalikan dari nilai densitas in situ adalah volume spesifik in situ yang dinyatakan dengan :
p t s p t s
, , ,
,
1 ρ
α = ……….. (5)
Volume spesifik dapat digunakan untuk menghitung distribusi tekanan di
lautan. Volume spesifik dapat dibagi menjadi dua bagian dengan menuliskan :
δ α
Nilai α35,0,P merupakan volume spesifik air laut standar pada salinitas 35 ‰, suhu
0 °C dan tekanan yang berbeda. d adalah anomali volume spesifik.
Seperti halnya lapisan termoklin pada pelapisan suhu dan lapisan haloklin
pada pelapisan salinitas maka densitas juga memiliki lapisan yang disebut dengan
lapisan piknoklin. Pada lapisan ini densitas meningkat dengan cepat sesuai
dengan meningkatnya kedalaman. Perairan bagian atas dari lapisan ini tidak
tercampur dengan lapisan air di bawahnya jika gradien st sangat besar (Natih,
1998).
2.4. Kedalaman dinamik
Kedalaman dinamik (D) merupakan permukaan acuan (level surface) yang berada di bawah permukaaan laut yang sebenarnya. Kedalama n ini digunakan
sebagai pengganti kedalaman geometrik untuk menentukan posisi suatu titik di
bawah permukaan laut. Kedalaman dinamik unitnya adalah dynamic meter (dyn m) yang memiliki nilai sebagai berikut (Neumann dan Pierson, 1966) :
[
]
2 2det 10
−
= ghm
dynm
D ………... (7)
h dalam meter dan g dalam m det-2 dan gh merupakan potensial gravitasi. Kedalaman dinamik (D) pada kedalaman geometrik (z) memiliki nilai :
(
dynm)
gzD 10
= ……….…...….. (8)
Besarnya tekanan (p) pada kedalaman dinamik (D) di bawah permukaan
laut diperoleh dari persamaan (Neuman dan Pierson, 1966) :
∫
= DD
dD p
0
D0 adalah kedalaman dinamik pada permukaan laut ya ng merupakan permukaan
isobar paling atas dan nilai tekanannya nol.
Jika kedalaman dinamik dihubungkan dengan volume spesifik (d), maka
didapatkan dua bagian persamaan, yaitu :
D=D35,0,p +∆D…….……… (10)
Persamaan bagian pertama yaitu :
∫
= P P P P dp D 0 , 0 , 35 , 0 ,35 α ……… (11)
D35,0,p merupakan geopotensial baku (standard geopotential) pada lautan baku dengan salinitas 35‰, suhu 0ºC, dan tekanan p. α35,0,Pmerupakan volume spesifik
dari lautan baku pada salinitas 35‰, suhu 0ºC, dan pada tekanan laut standar.
Persamaan bagian kedua berupa anomali kedalaman dinamik pada dua
permukaan isobar yaitu p dan p0 yang dituliskan dengan persamaan sebagai
berikut (Neumann dan Pierson, 1966) :
∫
= ∆ p p dp D 0δ ……… (12)
d merupakan anomali volume spesifik air laut. Persamaan (12) dapat digunakan
untuk memperoleh interval relatif geopotensial antara permukaan isobarik.
Persamaan volume spesifik in situ dapat juga dipisahkan menjadi volume spesifik laut baku dan anomali volume spesifik (Neumann dan Pierson, 1966) :
δ α
δ δ α
2.5. Arus geostropik
Menurut (Illahude, 1999), dari segi penyebabnya, arus-arus laut dibedakan
dalam tiga golongan, yaitu:
1. arus yang terjadi karena perbedaan tekanan air (pressure) di laut 2. arus yang terjadi karena angin
3. arus yang terjadi karena pengaruh dari pasang surut
Arus geostropik termasuk jenis air pada golongan pertama. Hal tersebut
dapat dijelaskan dengan diagram berikut (Gambar 1). Pergerakan massa air (arus)
dapat terjadi karena keseimbangan darai beberapa gaya yang berbeda. Pada
Gambar 1 ditunjukkan keseimbangan yang terjadi antara gaya Coriolis dengan
gradien tekanan yang disebut dengan keseimbangan geostropik dan arus yang
bersesuaian disebut dengan arus geostropik (Tomczak, 1994).
Jika permukaan isobarik membentuk suatu lereng terhadap permukaan
datar maka terdapat beberapa gaya yang bekerja pada partikel air, seperti yang
terlihat pada Gambar 1. Pada partikel A bekerja 2 gaya, yaitu gaya tekanan dan
gaya gravitasi. Gaya tekanan terhadap partikel A dari unit massa adalah
n p
∂ ∂
α .
Gaya tekanan ini dibagi menjadi dua komponen yaitu, komponen menegak
n p
∂ ∂
α cos i yang mengimbangi g dan komponen mendatar
n p
∂ ∂
α sin i. Komponen
mendatar ini tidak ada yang mengimbangi sehingga menyebabkan gerak ke kiri
sebesar (Pond dan Pickard, 1983) :
i g i i i n p i n p tan cos sin cos
sin =
Pada Gambar 1b, terlihat bahwa untuk mengimbangi gerak ke arah kiri
maka diperlukan gaya ke arah kanan yang besarnya setara dengan g tan i yaitu
M F
. Gaya ini adalah gaya Coriolis. Gerak air yang mula- mula bergerak dari
tekanan tinggi ke tekanan rendah (ke kiri) dibelokkan ke kiri di belahan bumi
selatan (keluar kertas) dengan kecepatan V1. Gaya tersebut dapat ditulis
1
sin
2Ω θV. Sehingga secara matematis keseimbangan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut (Pond dan Pickard,1983) :
1
sin 2
tan V
M F i
g = = Ω θ
Persamaan matematis ini disebut persamaan geostropik dan arus yang ditimbulkan
disebut arus geostropik.
Sumber : Pond dan Pickard, 1983
Keterangan gambar :
i = sudut yang dibentuk antara permukaan isobarik dengan papar acuan a = volume spesifik
n = arah tegak lurus terhadap permukaan isobarik g = gravitasi
p = tekanan
O = kecepatan sudut putaran bumi ? = lintang
Dalam perhitungan arus geostropik harus memperhatikan beberapa syarat,
yaitu (Stewart, 2003) :
1) Persamaan geostropik mengabaikan percepatan aliran massa air. Oleh
karena itu persamaan ini tidak berlaku untuk perairan yang memiliki
dimensi horizontal kurang dari 50 km dan waktu pengukuran lebih dari
beberapa hari.
2) Persamaan geostropik tidak berlaku untuk daerah di dekat ekuator karena
gaya Coriolisnya mendekati nol.
3) Persamaan geostropik mengabaikan pengaruh gaya gesekan.
2.6. Acoustic Doppler Current Profiler (ADCP)
Pengukuran arus geostropik di atas merupakan metode pengukuran arus
secara tidak langsung dengan menggunakan data suhu dan salinitas menurut
metoda dinamik. Metode ini memiliki kelemahan karena hanya dapat digunakan
pada perairan tertentu sesuai syarat yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu,
diperlukan suatu metode pengukuran secara langsung untuk mengetahui
kecepatan dan arah arus pada perairan yang sempit dan letaknya dekat dengan
Salah satu alat yang digunakan untuk melakukan pengukuran arus secara
langsung adalah ADCP. Alat ini bekerja berdasarkan azas Doppler tentang
perambatan bunyi. Azas Doppler adalah suatu perubahan kekuatan bunyi yang
diakibatkan oleh pergerakan relatif antara pengamat dan sumber bunyi. Alat ini
bekerja dengan mengirimkan satu berkas bunyi berfrekuensi tinggi kemudian
merekam hamburannya. Berkas bunyi tersebut dikirim oleh suatu alat pengirim
bunyi (tranduser) dan perekaman dilakukan dengan menggunakan pesawat penerima (receiver) yang telah diatur sedemikian rupa sehingga hanya merekam volume tempat bunyi merambat.
Bunyi hamburan yang direkam oleh receiver merupakan hasil dari hamburan (scattering) partikel-partikel atau benda-benda renik yang bersifat menghamburkan bunyi (sound scattering). Alat ini bekerja dengan asumsi bahwa partikel-partikel kecil yang berada didalam air maupun yang mengapung bergerak
secara horizontal mengikuti arah arus (kecepatan gerak partikel sama dengan
kecepatan arus). Berkas bunyi yang dihamburkan oleh partikel yang sedang
bergerak akan mengalami perubahan frekuensi, sesuai azas Doppler. Besarnya
perubahan frekuensi akan sebanding dengan kecepatan gerak partikel, yang berarti
sesuai pula dengan kecepatan arus yang diamati. Besarnya perubahan itu
dikalibrasi menjadi ukuran arus oleh alat ADCP. Adapun persamaan azas
Doppler dapat dituliskan sebagai berikut (RD instrument, 1996; Illahude, 1999):
=
C V Fsx Fd
Keterangan : Fd = Pergeseran Frekuensi Doppler
Karena ADCP melakukan dua proses, yaitu mengirim bunyi dan menerima
hamburan bunyi, maka persamaan yang digunakan adalah :
=
C V xFsx Fd 2
ADCP menentukan kecepatan massa air dengan mengukur perubahan
waktu penerimaan sinyal dari ADCP ke partikel penghambur. Perubahan waktu
tersebut adalah hasil dari gerakan partikel penghambur. ADCP mengukur
frekuensi Doppler pada setiap lapisan kedalaman yang telah ditentukan, kemudian
menghitung kecepatan relatif massa air dari pengukuran frekuensi Doppler dengan
menggunakan persamaan (RD Instrument, 1995).
1000 2Fs x
C Fd VA =
VAmerupakan kecepatan massa air yang diukur dalam unit (mm/detik)
Sumber : RD Instrument, 1997.
Gambar 2. Alat ADCP (Acoustic Doppler Current Profiler)
Metode ini telah digunakan di Selat Lombok pada tahun 1985. Dari
pengukuran tersebut diketahui bahwa kecepatan arus di daerah ambang bagian
2.7. CTD (Conductivity, Temperature, Depth)
CTD (Gambar 3) digunakan untuk menentukan profil vertikal parameter
oseanografi yang meliputi suhu, salinitas dan tekanan. CTD dilengkapi dengan
sensor thermistor, digiquartz, dan conductivity yang digunakan untuk membantu pengukuran. Sensor thermistor untuk melakukan pengukuran parameter suhu, sensor digiquartz untuk mengukur tekanan dan sensor conductivity untuk mengukur salinitas. Hasil pengukuran yang diperoleh masing- masing sensor
ditampilkan dalam desibar (db) untuk parameter tekanan, derajat celcius (°C)
untuk parameter suhu dan ratio konduktifitas untuk parameter salinitas (Sea-bird Electronic, Inc, 1997).
Sumber : Sea-bird Electronic, Inc, 1997
Gambar 3. Alat CTD tipe SBE 911 Plus
2.8. Diagram T-S
Massa air dapat dikenali berdasarkan karakteristik kombinasi dari
sifat-sifat massa air tersebut. Nilai parameter oseanografi seperti suhu, salinitas dan
kandungan oksigen terlarut biasanya ditentukan oleh keadaan iklim lokal. Saat
massa air tenggelam maka massa air tersebut akan membawa sifat-sifat tersebut
bersamanya. Dalam lautan terbuka, beberapa massa air yang memiliki sifat yang
air tersebut yang tetap mempertahankan karakternya terutama suhu dan salinitas.
Untuk mengklasifikasikan tipe-tipe massa air tersebut, maka Helland-Hansen,
(1916) in Pond dan Pickard, (1983) memperkenalkan diagram T-S. Diagram ini digunakan untuk memplotkan nilai suhu dan salinitas sehingga didapatkan suatu
garis yang menunjukkan ciri khas dari masing- masing massa air sehingga dapat
digunakan untuk mengidentifikasinya (Pickard, 1990).
Illahude dan Gordon, (1996) menggambarkan diagram T-S Arlindo pada
Musim Barat dan Musim Timur (Gambar 4), sehingga dapat diketahui asal- usul
massa air yang melalui perairan Indonesia pada musim- musim tersebut. Pada
Musim Timur, Arlindo dipengaruhi oleh massa air Selat Makasar, Air Subtropik
Pasifik Utara (North Pacific Subtropical Water), Laut Banda, Air Subtropik Pasifik Selatan (South Pacific Subtropical Water), dan Air Uga hari Pasifik Utara (North Pacific Intermediate Water). Adapun massa air yang mempengaruhi Arlindo pada Musim Barat, yaitu Selat Makasar, Laut Timor, Air Subtropik
Pasifik Utara (NPSW), Laut Banda, Air Subtropik Pasifik Selatan (SPSW), Air
Ugahari Pasifik Utara (NPIW), dan Air Ugahari Antartika (AAIW).
Wüst, (1935) in Sverdrup et al., (1942) memperkenalkan metode lain untuk mempelajari persebaran dan percampuran berbagai tipe massa air yang
disebut dengan metode kernschicht atau disebut juga dengan metode lapisan gumbar. Metode ini digunakan untuk mengetahui bagian dari lapisan perairan
yang memiliki nilai salinitas yang ekstrem, misalnya di Samudera Atlantik, massa
air yang berasal dari Laut Mediterania memiliki salinitas yang tinggi
Metode ini telah digunakan dalam berbagai penelitian di perairan
Indonesia. Dalam penelitiannya di Laut Sulawesi, Naulita (1998) menemukan
lapisan gumbar S- min (NPIW) pada isotherm 10 °C (st = 26,50), dengan kisaran
salinitas 34,4 ‰ dan diisi oksigen 2,6 – 2,8 ml/l.
a.Musim Timur b. Musim Barat
Sumber : Illahude dan Gordon, 1996
Gambar 4. Diagram T-S Perairan Indonesia (Arlindo)
2.9. Angin muson
Angin muson disebabkan karena perubahan tekanan udara sebagai akibat
perubahan posisi matahari terhadap garis ekuator. Saat matahari berada di
belahan bumi utara, Benua Asia memiliki suhu yang lebih tinggi dibanding Benua
Australia. Hal ini menyebabkan tekanan udara di Benua Asia menjadi lebih
rendah dan tekanan udara tinggi di Benua Australia, sehingga angin bertiup dari
Agustus. Saat itu disebut sebagai Musim Timur dan bertiup angin yang berasal
dari tenggara (Angin Muson Tenggara). Pada Desember, Januari dan Februari
terjadi peristiwa sebaliknya, saat itu posisi matahari di belahan bumi selatan
sehingga Benua Australia memiliki tekanan yang lebih rendah daripada Benua
Asia. Hal ini menyebabkan angin berhembus dari Benua Asia menuju Benua
Australia. Peristiwa ini biasa disebut sebagai Musim Barat dan saat itu bertiup
angin yang berasal dari arah barat laut (Angin Muson Barat Laut). Selain Musim
Barat dan Musim Timur terdapat juga musim peralihan yang terjadi sekitar bulan
April – Mei (peralihan I) dan Oktober – November (peralihan II) (Wyrtki, 1961).
Letak Indonesia yang berada diantara Benua Asia dan Australia menyebabkan
daerah ini menjadi daerah yang ideal untuk dilalui oleh angin muson. Angin
muson menyebabkan keragaman musiman Arlindo di lapisan permukaan.
Kondisi ini menyebabkan sirkulasi lapisan permukaan perairan Indonesia
memiliki variasi tahunan yang kuat (Wyrtki, 1961).
Perubahan tekanan angin (wind stress) yang terjadi pada Musim Barat dan
Muism Timur (Gambar 5) dapat menyebabkan sirkulasi massa air di lapisan
permukaan berubah sehingga terjadi pertukaran antara massa air bersalinitas
tinggi dan rendah. Pertukaran ini menyebabkan nilai salinitas di lapisan
permukaan kurang dari 34‰ (Wyrtki, 1961; Hellerman dan Rosenstein (1983) in
Miyama et al., 1996).
Variabilitas musiman dalam pengangkutan massa air melalui Selat Lombok
sangat dipengaruhi oleh angin muson dan variasi tinggi permukaan laut. Transpor
maksimum pada Selat Lombok terjadi saat bertiupnya angin muson tenggara dan
Sumber : Hellerman dan Rosenstein (1983) in Miyama et al., 1996 Gambar 5. Tekanan angin pada Musim Barat dan Musim Timur
2.10. Arus Lintas Indonesia (Arlindo)
Dilihat dari karakternya, Arlindo dapat dipisahkan kedalam dua
komponen, yaitu arus permukaan yang dipengaruhi oleh angin muson dan arus
lintas antar samudera pada lapisan yang lebih dalam. Arus permukaan yang lebih
dipengaruhi oleh angin muson, biasanya terdapat pada kedalaman antara 0-50 m
dan sering disebut dengan arus muson Indonesia (Armundo). Adanya pengaruh
angin muson pada lapisan homogen tercampur (mixing layer) menyebabkan arah aliran pada lapisan ini berubah menurut musim, namun resultan arahnya tetap dari
Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Pada Gambar 6, disajikan lintasan
Arlindo yang membawa massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera
Hindia (Tomczak dan Godfrey, 1994; Naulita, 1998).
Gaya penggerak utama massa air dari Samudera Pasifik ke Samudera
Hindia adalah perbedaan tinggi permukaan laut (TPL) antara Samudera Pasifik
dengan Samudera Hindia. Menurut Wyrtki, (1987) in Fieux et al., (1996),
Lintang
Bujur Bujur
perbedaan TPL ini dapat mencapai maksimum, yaitu 33 cm pada Musim Timur
dan minimum 0 cm pada Musim Barat dengan asumsi tidak ada arus pada
kedalaman 500 m. Gradien tekanan ini sebagian besar disebabkan oleh angin
pasat yang menyebabkan penimbunan massa air di Samudera Pasifik.
[image:32.596.127.482.215.466.2]110°E 120°E 130°E Sumber : Gordon, (2001) in Sprintall et al., 2004
Gambar 6. Bagan aliran massa arlindo (angka hitam menunjukkan besarnya transpor dalam Sverdrup (106m3/s) dan angka merah menunjukkan total transpor berdasarkan nilai outflow dan inflow)
Massa air dari Samudera Pasifik memasuki perairan Indonesia melalui 2
jalur, yaitu jalur barat dan timur. Jalur masuk barat yaitu melalui Laut Sulawesi di
selatan Mindanao kemudian mengalir masuk melalui Selat Makasar. Massa air
tersebut keluar menuju Samudera Hindia melalui cara langsung dan tidak
langsung. Secara langsung, yaitu melalui Selat Lombok dengan kedalaman sekitar
350 m dan cara tidak langsung,yaitu melalui Laut Banda kemudian ke Laut
Timor. Jalur untuk memasuki Arlindo yang lain adalah jalur timur, yaitu melalui
yang selanjutnya keluar menuju Samudera Hindia melalui Laut Timor (Sprintall et al.,2000).
Analisis massa air menunjukkan bahwa massa air termoklin ya ng berasal
dari Pasifik Utara (NPSWdanNPIW) merupakan sumber massa air Arlindo.
Karakter massa air di barat laut Samudera Pasifik yang merupakan sumber
[image:33.596.112.515.291.420.2]Arlindo dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Massa air di barat laut Samudera Pasifik
Massa Air Karakter T(ºC) S(‰) O2
(ml/L)
Northen Subtropical Lower Water S maksimum 20-24 34.8-35.2 3.7-4.6
Southern Subtropical Lower Water
S maksimum 19-27 35.0-35.6 3.2-3.5
Northern Intermediate Water S minimum
O2 minimum
7-11 4-9
34.1-34.5 34.3-34.6
1.7-3.0 1.2-2.4
Southern Intermediate Water S minimum
O2 minimum
5-7 3.5-5
34.45-34.6 34.5-34.6
1.9-3.0 2.0-2.4
Deep and Botton Water Tp minimum 1.6 34.65-70 3.4
Sumber : Wyrtki, 1961
2.11. Perairan Selat Lombok
Selat Lombok merupakan salah satu jalur keluar utama Arlindo menuju
Samudera Hindia. Selat Lombok sebagai pemisah antara Pulau Bali dan Pulau
Lombok memiliki kedalaman perairan sekitar 800 - 1000 m, kecuali di bagian
selatan yaitu di dekat Pulau Nusa Penida. Kedalaman pada perairan tersebut
hanya mencapai 350 m dengan kecepatan arus mencapai 3,5 m/det. Panjang Selat
Lombok sekitar 60 km dan lebarnya sekitar 30 km dibagian utara selat dan
menyempit menjadi sekitar 18 km di ujung selatan selat akibat adanya Pulau
Nusa Penida. Selat yang terbentuk antara Pulau Bali dan Pulau Nusa Penida
dikenal dengan nama Selat Badung yang memiliki kedalaman 60 m. Hal inilah
seperempatnya melalui Selat Badung dan sisanya tetap mengikuti aliran yang
utama (Murray dan Arief, 1988; Arief, 1997).
Hasil analisis dari Subagyo (2005) menggunakan metode lapisan gumbar
menunjukkan bahwa di Selat Lombok terdapat 4 jenis massa air, yaitu massa air
permukaan (surface water) yang memiliki salinitas 32,5-33,7 psu, massa air bersalinitas maksimum NSLW yang memiliki salinitas 34,6-34,65 psu, massa air
bersalinitas minimum Air Ugahari Pasifik Utara (NPIW) yang memiliki nilai
salinitas 34,5-34,52 psu dan massa air bersalinitas cukup tinggi yang diperkirakan
merupakan sisa-sisa massa air Laut Merah yang memiliki nilai salinitas 34,7 psu.
Kecepatan massa air yang melalui Selat Lombok cenderung berubah tiap
musim. Hasil penelitian Murray dan Arief (1985) (Gambar 7) menunjukkan
bahwa pada Musim Timur kecepatan arus lebih kuat dibandingkan pada Musim
Barat.
Arus di Selat Lombok menurut arah mengalirnya dapat dibagi menjadi 2
yaitu, arus menuju utara (arus utara) dan arus menuju selatan (arus selatan).
Namun persentase massa air yang melalui Selat Lombok pada tiap musim
cenderung didominasi oleh massa air dari Samudera Pasifik. Hal ini disebabkan
karena sepanjang tahun pergerakan massa air di Selat Lombok pada lapisan
permukaan sampai kedalaman 200 m tetap menuju selatan. Pergerakan arus
selatan yaitu masuknya massa air dari Samudera Pasifik ke Selat Lombok dapat
diketahui melalui distribusi lapisan termohalin dan lapisan isotermal (Gambar 8)
Sumber : Murray dan Arief, 1988
Gambar 7. Kecepatan arus pada kedalaman 35 m hasil pengukuran dengan menggunakan Mooring pada Januari 1985 sampai 1986 di Perairan Selat Lombok
[image:35.596.93.514.106.694.2]Sumber : Murray, et al., (1990) in Mitnik et al., 2006
Gambar 8. Suhu (kiri) dan salinitas (kanan) pada lapisan permukaan dengan tekanan 10 db.
Kedalaman=35 m
50 cm det
-1
u
hari
3.
BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan tempat
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang
diperoleh dari proyek INSTANT (International Nusantara Stratification and Transpor) pada bulan Januari 2004 dan Juni 2005 di perairan Selat Lombok (INSTANT, 2004). Pengolahan data dilakukan dari bulan September 2005
sampai Maret 2006 di Institut Pertanian Bogor (IPB).
Data yang digunakan terdiri dari dua transek (Tabel 2). Transek pertama
terletak antara 8,37°-8,45° LS dan 115,75°-115,96° BT, yaitu pada bagian utara
Selat Lombok (daerah aliran masuk selat) dan transek kedua terletak antara 8,65°-
8,66 °LS dan 115,65°-115,80° BT yaitu pada bagian selatan Selat Lombok, antara
Pulau Nusa Penida dan Pulau Lombok (daerah aliran keluar selat).
Tabel 2. Waktu pengambilan data, jumlah transek dan nomor stasiun pengamatan
Transek Posisi Nomor Stasiun
Januari 2004 (merah)
Juni 2005 (kuning)
1 Aliran Masuk Selat
(8,37°-8,45° LS dan 115,75°-115,96° BT)
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Stasiun 7 Stasiun 8 Stasiun 9
2 Aliran Keluar Selat
(8,65°-8,66° LS dan 115,65°-115,80° BT)
Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6
Sumber : Data INSTANT bulan Januari 2004 dan Juni 2005
Posisi geografis stasiun pengamatan, parameter oseanografi, kedalaman
pengukuran, dan kedalaman perairan disajikan pada Lampiran 1. Lokasi
Perairan Selat Lombok merupakan perairan dangkal terutama di daerah
ambang tempat pengambilan data stasiun 4, 5 dan 6. Hal ini dapat ditampilkan
secara lebih jelas melalui kondisi batimetri di daerah ambang (Gambar 10).
Skala : 1:1111200
Pengamatan Januari 2004 (stasiun 1, 2, 3, 4, 5 dan 6) Pengamatan Juni 2005 (stasiun 7, 8 dan 9)
[image:37.596.99.509.189.541.2]Sumber: Global Mapper
Gambar 9. Peta stasiun di lokasi pengambilan data
Sumber: Global Mapper
Gambar 10. Kondisi batimetri daerah ambang
Jarak
Kedalaman
St. 4
St. 5
St. 6
3.2. Metode pengambilan data
Pengambilan data oseanografi yang mencakup suhu, salinitas, dan
kedalaman dilakukan dengan menggunakan CTD (Conductivity, Temperature and Depth). Tipe CTD yang digunakan dalam penelitian ini adalah SBE 911 Plus
buatan Sea Bird Electronic, Inc (Gambar 3).
Sensor thermistor, Digiquartz dan conductivity yang terdapat pada CTD secara kontinyu akan melakukan pengukuran. Data hasil pengukuran tersebut
dikirim ke Deck Unit saat CTD diangkat. Data masih berupa sinyal analog yang kemudian diubah oleh Probe CTD menjadi sinyal digital. Probe CTD (under water main unit) dihubungkan dengan komputer melalui kabel untuk melakukan perekaman data. Kabel ini digunakan sebagai sebagai media transmisi data.
Secara lebih jelas, sistem akuisisi data CTD disajikan pada Lampiran 2 (Sea-Birds Elektronics, Inc, 1997).
Posisi dari masing- masing stasiun pengamatan diperoleh dari GPS (Global Positioning System). Cara kerja dari GPS adalah menghitung jarak dari tiga satelit patokan terdekat. GPS mengirimkan sinyal ke satelit yang kemudian dikirimkan
kembali ke GPS. Posisi ditentukan dengan menghitung jeda (delay) waktu
perjalanan sinyal dari satelit yang menjadi patokan. Posisi yang ditampilkan pada
penelitian ini dalam bentuk derajat dan menit (GARMIN Internasional, Inc, 2000). Pengukuran arus secara langsung dilakukan dengan menggunakan ADCP.
Perekaman data ADCP menggunakan perangkat lunak VMDAS (Vessel Mounted Data Acquisition System). VMDAS ini memiliki rangkaian yang
mentransmisikan dan menerima gelombang suara, pemroses sinyal elektronik
silinder tahan tekanan (Pressure case). ADCP terhubung ke deck box melalui kabel penghubung yang biasa disebut kabel I/O. Deck box merupakan suatu bagian yang berisi interface dari dan ke ujung ADCP, terminal komputer, gyro kompas kapal dan sumber daya. Komputer diperlukan untuk menjalankan
perangkat lunak pemroses data secara real time sehingga data dapat dibaca langsung saat itu juga maupun diputar ulang. Komputer ini terhubung dengan
deck box melalui kabel serial (RD Instrument, 1997).
3.3. Analisis data
Pengambilan data CTD yang dilakukan oleh operator menggunakan paket
program SEASAVE dan konversinya menggunakan program DATCNV serta
untuk merata-ratakan terhadap kedalaman menggunakan program BINAVG. Data
yang diperoleh, dikonversi ke dalam bentuk ASCII (American Standard Code for Information Interchage). Perubahan format data ini dilakukan agar
memungkinkan kegiatan pengolahan data dapat dilakukan dengan berbagai
perangkat lunak, misalnya dengan menggunakan microsoft excel sehingga pengolahan dapat dilakukan lebih mudah (Sea-Birds Elektronics, Inc 1997).
ADCP digunakan untuk melakukan pengukuran arus secara langsung.
Hasil perekaman ADCP berupa file perataan singkat yaitu Short therm Average
(STA) dan file perataan panjang Long Therm Average (LTA). Untuk dapat membaca file tersebut, maka operator menggunakan perangkat lunak WINADCP yang akan menghasilkan file dalam format ASCII. Data yang dihasilkan berupa kecepatan arus, arah arus dan kedalaman.
Data yang diolah dalam penelitian ini berupa data yang diperoleh dari
Data tersebut selanjutnya diolah dengan menggunakan perangkat lunak ODV,
[image:40.596.111.504.220.445.2]surfer dan microsoft excel. Hasil olahan dari masing- masing perangkat lunak disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Alat pengambil data, perangkat lunak, dan hasil pengolahan data yang digunakan dalam penelitian
Alat Data Perangkat
lunak
Hasil
CTD Suhu (°C)
Salinitas (psu) Sigma -t (kg/m3) Kedalaman (m) Tekanan (dbar)
ODV 1.Sebaran menegak parameter suhu,
salinitas, dan sigma-t 2. Diagram T-S
3. Kedalaman dinamik (dyn.m) 4. Arus geostropik (m/detik)
Surfer 1. Sebaran melintang suhu, salinitas,
sigma-t
2. Sebaran melintang anomali kedalaman dinamik
3. Plot stasiun pengamatan
Microsoft Excel
Volume transport (Sv)
ADCP Kecepatan Arus (mm/det)
Arah Arus (derajat) Kedalaman (m)
Surfer
Microsoft Excel
Sebaran arus pada kedalaman standar (25, 50, 75, 100, 150, 200, 250, 300, 400, 500 dan 600 m) Volume transport (Sv)
Sumber : Data INSTANT pada Januari 2004 dan Juni 2005
Hasil pengolahan dengan menggunakan perangkat lunak ODV berupa
tampilan sebaran menegak parameter suhu, salinitas, sigma-t dan diagram T-S.
Perangkat lunak ini juga dapat digunakan untuk menentukan aliran massa air yang
melalui stasiun pengamatan, yaitu mencakup kedalaman dinamik dan arus
geostropik. Diagram alir pengolahan dan prinsip kerja perangkat lunakODV
disajikan pada Lampiran 3 dan 6.
Adapun hasil olahan data dengan menggunakan perangkat lunak surfer
berupa sebaran melintang parameter oseanografi (suhu, salinitas dan sigma-t).
Selain itu, perangkat lunak ini juga digunakan untuk menampilkan secara
antara dua stasiun yang berdekatan sehingga dapat diketahui arah arus geostropik
yang melalui kedua stasiun tersebut. Data kedalaman dinamik yang digunakan
hanya pada kedalaman standar, yaitu 5, 50, 100, 150, 200, 250, 300, 400, 500, 600
dan 800 m. Diagram alir untuk pengolahan data dapat dilihat pada Lampiran 3.
Data hasil pengukuran arus dengan menggunakan ADCP di aliran masuk
perairan Selat Lombok pada Juni 2005, diolah dengan menggunakan perangkat
lunak microsoft excel dan surfer untuk menghitung besarnya volume transpor
serta mengetahui arah arus pada kedalaman standar. Adapun pengolahan dengan
menggunakan perangkat lunak surfer disajikan pada Lampiran 5 (RD instruments, 2001).
Peta dan kontur kedalaman diperoleh dari perangkat lunak Global Mapper. Perangkat lunak ini dapat menampilkan file gambar (data raster), ketinggian dan data vektor. Perangkat lunak ini juga dapat mengakses langsung data base dari
satelit USGS berupa peta topografi (www.globalmapper.com).
3.3.1. Sebaran menegak
Gambaran profil menegak dari suhu, salinitas dan sigma-t ditampilkan
secara tumpang tindih antar stasiun pengamatan. Gambar profil menegak yang
dihasilkan digunakan untuk mendukung analisis massa air serta melihat posisi
kedalaman salinitas maksimum dan salinitas minimum.
Profil menegak sebaran suhu digunakan untuk memperoleh informasi
tentang pola pelapisan di perairan berdasarkan suhu, yaitu ketebalan lapisan
homogen, lapisan termoklin dan lapisan dalam. Tampilan menegak salinitas juga
ketebalan lapisan homogen, lapisan haloklin, dan lapisan dalam. Gambaran profil
menegak dari arus berupa stick plot yang diperoleh dengan menggunakan surfer.
3.3.2. Sebaran melintang
Data suhu dan salinitas juga ditampilkan dalam bentuk sebaran melintang.
Sebaran ini diperoleh dari keseluruhan stasiun pengamatan. Sebaran melintang
dari salinitas dapat digunakan untuk mengetahui adanya lapisan gumbar pada
kolom air. Lapisan gumbar didefinisikan sebagai posisi karakteristik air laut
mencapai salinitas maksimum dan minimum dengan sebaran berbentuk kurva
tertentu ataupun lidah massa air (Pickard dan Emery 1990).
Tujuan mengetahui lapisan gumbar adalah untuk melihat pergerakan
massa air dan asal-usul massa air tersebut karena pada lapisan ini didapatkan
informasi tentang karakteristik suatu massa air, khususnya nilai salinitas. Nilai
salinitas pada lapisan ini akan terlihat berbeda atau ekstrem diband ingkan dengan
massa air disekitarnya walaupun berada dalam suatu kolom air yang sama.
Metode ini dikenal dengan metode lapisan gumbar (Pickard dan Emery 1990).
Skala terkecil yang digunakan untuk membentuk sebaran melintang suhu
dan salinitas masing- masing adalah 1°C dan 0,1 psu. Hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui lebih teliti kisaran suhu yang terdapat pada lapisan homogen,
termoklin, haloklin, dan lapisan dalam.
3.3.3. Perhitungan sigma -t (st ), volume spesifik (a), anomali volume spesifik
(d) dan kedalaman dinamik
Data berupa suhu, salinitas dan sigma-t (s t) air laut yang diperoleh dari
CTD selanjutnya digunakan untuk melakukan perhitungan dan analisis untuk
geostropik. Perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak
ODV dengan memasukkan posisi pengambilan data, kedalaman, suhu, salinitas
dan sigma-t. Prinsip kerja ODV disajikan pada Lampiran 6.
Sebagai perbandingan dilakukan interpolasi linear (manual) dengan
menggunakan tabel yang dirumuskan oleh Sverdrup dan Bjerknes in Neumann dan Pierson (1966) untuk mencari nilai ?s,t (fungsi s t) dalam Tabel I, ds,p (fungsi salinitas dan tekanan) dalam Tabel II, serta dt,p(fungsi suhu dan tekanan) dalam Tabel III. Dari hasil interpolasi dapat diperoleh nilai anomali volume spesifik (d) dan kedalaman dinamik (?D). Contoh perhitungan dengan metode ini disajikan pada Lampiran 7.
3.3.3.1. Perhitungan sigma -t ( st )
Menurut Stewart (2003), sebaran sigma-t air laut berperan dalam
menggambarkan pergerakan massa air. Perbedaan sigma-t pada suatu perairan
memungkinkan terjadinya perpindahan massa air secara horisontal. Pada studi ini
data sigma-t diperoleh secara otomatis dari CTD. Adapun perhitungan secara
manual dapat dilihat pada Lampiran 8.
3.3.3.2. Perhitungan anomali volume spesifik
Volume spesifik dapat digunakan untuk menghitung distribusi medan
tekanan di lautan. Nilai volume spesifik merupakan kebalikan dari nilai densitas
yang dinyatakan dengan :
p t s p t s
, , ,
,
1 ρ
α =
Nilai volume spesifik (as,t,p) diperoleh dengan caramenghitung volume spesifik pada tekanan atmosfer (as,t,0) terlebih dahulu. Nilai a dihitung dengan menggunakan parameter st dan s0 yang telah dihitung sebelumnya. Persamaan yang didapat adalah sebagai berikut :
t t
s
σ
α ,,0 3
10 1 1 − + = + − + − − =
∑∑∑
= = = 3 1 2 0 3 0 0 0 , , , , ( ) 5 83 , 1 1 6 886 , 4 1i j k
ijk t
s p t
s A p t
p E p E σ α α Keterangan :
t = suhu (0C)
p = tekanan (db)
a
s,t,p = volume spesifik (cm3gr-1)i,j,k = indeks dari A
A100 = -2,2072E-7 A200 = -6,68E-4
A101 = 3,6730E-8 A201 = -1,24064E-12
A103 = 4,00E-12 A210 = -4,248E-13
A110 = 1,725E-8 A211 = 1,206E-14
A111 = -328E-10 A212 = -2,000E-16
A112 = 4,00E-12 A220 = 1,8E-15
A120 = -4,50E-11 A221 = -3,0E-17
A121 = 1,00E-12 A301 = 1,5E-17
Anomali volume spesifik (d) dihitung dengan menggunakan nilai yang
didapat dari perhitungan volume spesifik. Perhitungan anomali volume spesifik
dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan (Neumann dan Pierson 1966) :
( )
(
s,t,p 35,0,p)
55
10
10 δ = α −α
Konstanta 105 digunakan untuk mengkonversi satuan d dari (cm3gr-1) ke dalam (m3kg-1). a35,0,p adalah volume spesifik air laut baku pada suhu 0ºC,
salinitas 35‰ dan tekanan p.
Perhitungan a35,0,p digunakan rumus yang dikembangkan oleh Fofonoff
p E p C n n p 5 83 , 1 1 3 0 , 0 , 35 − + =
∑
= αKeterangan : P = tekanan (dbar) C0 = 0.97264310 C1 = -1,326963E-5 C2 = -6,227603E-12 C3 = -1,885115E-16
3.3.3.3. Perhitungan anomali kedalaman dinamik dan penentuan papar acuan
Pada studi ini nilai anomali kedalaman dinamik diperoleh dengan
menambahkan parameter kedalaman dinamik (Dynamic Height) melalui menu
derived variable pada ODV kemudian dipindah ke Microsoft excel. Secara manual perhitungan anomali kedalaman dinamik dapat diperoleh melalui
persamaan yang disajikan pada Lampiran 8.
Papar acuan diperoleh dengan memplotkan selisih anomali kedalaman
dinamik antara dua stasiun yang berdekatan terhadap kedalaman. Hal ini
dilakukan dalam Microsoft Excel setelah mengimport data dari ODV. Selanjutnya sebaran anomali kedalaman dinamik digambarkan secara melintang pada
permukaan isobar 5, 25, 50, 75, 100, 150, 200, 300, 400, 500, 600, 700 dan 800
dbar relatif terhadap papar acuan dan disajikan dalam bentuk sebaran melintang
dengan menggunakan surfer.
Papar acuan ditentukan melalui grafik selisih anomali kedalaman dinamik.
Jika pada grafik diperoleh garis menegak maka diasumsikan pada kedalaman
tersebut tidak terdapat pergerakan. Kedalaman ini digunakan sebagai papar
3.3.3.4. Perhitungan arus geostropik dan volume transpor
Pengukuran arus dilakukan dengan menggunakan dua metode, yaitu
pengukuran secara langsung dan tidak langsung. Pengukuran arus secara
langsung menggunakan ADCP dan secara tidak langsung dengan menggunakan
metode geostropik, yaitu dengan menghitungnya melalui parameter suhu, salinitas
dan sigma-t yang telah didapatkan sebelumnya melalui CTD.
Data hasil perhitungan kecepatan arus geostropik dengan menggunakan
metode geostropik disajikan dalam bentuk grafik kecepatan arus geostropik
terhadap kedalaman. Data kecepatan arus geostropik ini diperoleh dari
pengolahan dalam ODV, yaitu dengan menambahkan parameter Geostropic Flow
melalui menu utility kemudian di eksport ke Microsoft excel, data yang diperoleh berupa kecepatan arus dan luas bidang. Secara manual perhitungan arus
geostropik disajikan pada Lampiran 10.
Data kecepatan arus dan luas bidang yang telah dieksport ke Microsoft excel tersebut digunakan untuk melakukan perhitungan volume transpor. Secara manual perhitungan volume transpor disajikan pada Lampiran 11.
Data hasil perhitungan transpor massa air disajikan dalam bentuk diagram
batang antara dua stasiun yang berdekatan untuk melihat besarnya volume transpor pada masing- masing transek dan arah pergerakan massa air yang dominan sehingga arus yang mengalir di wilayah studi dapat diidentifikasi.
3.3.4. Diagram suhu-salinitas (T-S)
Diagram T-S diperoleh dengan memplotkan data suhu potensial dan
salinitas pada masing- masing transek pengamatan. Sumbu x pada diagram ini
ini digunakan untuk mengidentifikasi massa air yang melalui area pengamatan,
karena dari informasi suhu dan salinitas dapat diketahui karakteristik suatu massa
air yang selanjutnya dapat diperkirakan asal- usulnya. Diagram T-S ini disajikan
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Sebaran menegak dan melintang suhu
Profil sebaran menegak suhu disajikan pada Gambar 11, dan profil sebaran
melintang disajikan pada Gambar 12. Profil menegak dan melintang suhu ini
merupakan hasil tumpang tindih dari semua stasiun pada masing- masing transek.
[image:48.596.97.513.260.692.2]
Sumber : Diolah dari data INSTANT bulan Januari 2004 dan Juni 2005
Gambar 11. Sebaran menegak suhu pada Musim Barat dan Musim Timur di aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2)
Musim Barat (Aliran Masuk Selat)
Musim Timur (Aliran Masuk Selat)
Musim Barat (Aliran Keluar Selat)
Sumber : Diolah dari data INSTANT bulan Januari 2004 dan Juni 2005
Gambar 12. Sebaran melintang suhu pada Musim Barat dan Musim Timur di aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2)
Sebaran menegak suhu pada Gambar 11 memperlihatkan bahwa nilai suhu
makin menurun dengan semakin meningkatnya kedalaman dan terdapat pola
pelapisan massa air berdasarkan perubahan suhu yang dibagi menjadi tiga lapisan,
Musim Barat
yaitu lapisan homogen, lapisan termoklin dan lapisan dalam. Suhu pada lapisan
homogen hampir seragam sehingga pada Gambar 11 tampak garis berbentuk
menegak. Ketebalan lapisan homogen yang terbentuk pada masing- masing
stasiun berbeda. Pada Musim Timur (transek 1), lapisan ini terbentuk sampai
kisaran kedalaman antara 32-64 m dengan kisaran suhu mencapai 27,92-28,74°C
dan gradien suhu 0,01 °C/m. Pada Musim Barat (transek 1), lapisan ya ng
terbentuk hanya mencapai kedalaman 11-18 m dengan kisaran suhu mencapai
27,95-29,17°C dan gradien suhu 0.06 °C/m. Lapisan homogen yang terbentuk
pada Musim Barat (transek 2) hanya mencapai kedalaman 7-10 m dengan kisaran
suhu mencapai 27,79-28,16°C dan gradien suhu 0,07 °C/m.
Seperti halnya lapisan homogen, ketebalan lapisan termoklin pada
masing- masing stasiun berbeda. Lapisan termoklin ditandai dengan perubahan
suhu secara cepat yaitu dengan gradien suhu mencapai 0,1 °C/m sehingga pada
Gambar 11 tampak garis berbentuk miring. Pada Musim Timur (transek 1),
lapisan ini terbentuk mulai dari batas bawah lapisan homogen sampai kedalaman
sekitar 148-177 m dengan kisaran suhu antara 13,98-26,51 °C dan gradien suhu
mencapai 0,12 °C/m. Lapisan termoklin yang terbentuk pada Musim Barat
(transek 1) dimulai dari batas bawah lapisan homogen hingga mencapai
kedalaman 177-202 m dengan kisaran suhu antara 14,42-27,77 °C dan gradien
suhu 0,12 °C/m. Pada transek 2, lapisan ini terbentuk dari batas bawah lapisan
homogen sampai kedalaman 170-207 m dengan kisaran suhu antara 14,35-
27,16 °C dan gradien suhu mencapai 0,10 °C/m.
Lapisan dalam dimulai dari batas bawah lapisan termoklin. Lapisan ini
lapisan ini ditandai dengan bentuk garis hampir menegak yang terletak dibawah
lapisan termoklin (Gambar 11). Pada Musim Timur (transek 1) kisaran suhu pada
lapisan ini mencapai 6,98-13,02 °C dengan gradien suhu mencapai 0,01 °C/m.
Pada Musim Barat (transek 1) kisaran suhu pada lapisan ini adalah 6,28-13,80 °C
dengan gradien suhu 0,02 °C/m. Pada Musim Barat (transek 2), kisaran suhu pada
lapisan dalam adalah 9,86-13,35 °C dengan gradien suhu 0,02 °C/m.
Sebaran menegak suhu pada aliran keluar Selat Lombok (transek 2)
terlihat lebih bervariasi dibandingkan pada aliran masuk Selat (transek 1). Hal ini
disebabkan karena bentuk topografi daerah pengamatan transek 2 yang berada di
dekat ambang yang memiliki kedalaman sekitar 250 m. Massa air bergerak dari
kedalaman lebih dari 1000 m yang kemudian naik ke lapisan atasnya karena tidak
ada celah keluar lainnya menyebabkan proses percampuran secara menegak di
daerah ambang. Menurut Fffield dan Gordon (1992), kekuatan percampuran
vertikal pada suatu perairan dipengaruhi oleh bentuk topografi perairan tersebut.
Gambar sebaran menegak dan melintang suhu di atas dapat digunakan
untuk mengetahui perbedaan karakteristik suhu pada Musim Barat yang terjadi
pada Januari 2004 yang diwakili oleh stasiun 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 serta Musim
Timur yang terjadi pada Juni 2005 yang diwakili oleh stasiun 7, 8 dan 9.
Pada sebaran menegak suhu (Gambar 11), terlihat suhu pada Musim
Timur lebih dingin dibanding Musim Barat. Perbedaan suhu antara kedua musim
ini mencapai 0,43 °C. Menurut Illahude dan Gordon (1996), penurunan suhu pada
Musim Timur ini diperkirakan akibat adanya percampuran vertikal, mengalirnya
bahang akibat bertiupnya angin yang memiliki kelembaban rendah dari Benua
Australia.
Pada sebaran melintang suhu (Gambar 12) terlihat bahwa lapisan homogen
yang terbentuk pada Musim Timur lebih tebal daripada Musim Barat. Perbedaaan
ketebalan lapisan ini pada kedua musim mencapai 46 m. Hal ini menunjukkan
bahwa proses pengadukan pada Musim Timur lebih besar daripada Musim Barat
yang disebabkan karena kecepatan arus. Pada penelitian ini, dengan
menggunakan metode geostropik diperoleh hasil kecepatan rata-rata aliran massa
air di Selat Lombok pada bulan Juni 2005, sekitar 20 cm/det ke selatan lebih kuat
dibandingkan bulan Januari 2004 (Gambar 20). Makin cepat pergerakan arus
maka kekuatan pengadukan makin besar sehingga dapat mendorong lapisan
termoklin lebih kedalam (Wyrtki, 1961).
Pada Gambar 11 terlihat bahwa lapisan termoklin yang terbentuk pada
Musim Barat lebih tebal daripada Musim Timur bahkan mencapai permukaan.
Menurut Illahude dan Gordon (1996), hal ini juga terjadi pada berbagai perairan
yang lain di Indonesia, misalnya di Laut Flores, Selat Makasar dan Laut Banda.
Suhu pada lapisan permukaan sampai kedalaman tertentu pada Musim Barat
menjadi lebih hangat dibandingkan Musim Timur sehingga memperkuat
pembentukan lapisan termoklin. Pada penelitian ini, perbedaan ketebalan lapisan
termoklin pada kedua musim mencapai 71 m.
4.2. Sebaran menegak dan melintang salinitas
Profil menegak dan melintang salinitas yang digunakan untuk melihat pola
pelapisan massa air berdasarkan salinitas serta menunjukkan adanya salinitas
Sumber : Diolah dari data INSTANT bulan Januari 2004 dan Juni 2005
Gambar 13. Sebaran menegak salinitas pada Musim Barat dan Musim Timur di aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2)
Transek 1 Transek 2
Musim Barat (Aliran Masuk Selat)
Musim Timur (Aliran Masuk Selat)
Sumber : Diolah dari data INSTANT bulan Januari 2004 dan Juni 2005
Gambar 14. Sebaran melintang salinitas pada Musim Barat dan Musim Timur di aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2)
Melalui sebaran menegak salinitas (Gambar 13), terlihat pola pelapisan
massa air dari permukaan sampai lapisan dalam yang dibagi dalam tiga lapisan,
yaitu lapisan homogen, lapisan haloklin dan lapisan dalam. Lapisan homogen
Musim Barat
Musim Timur 34.3
ditandai dengan terbentuknya garis menegak di lapisan permukaan. Hal ini
menunjukkan nilai salinitas pada lapisan ini hampir seragam. Lapisan haloklin
ditandai dengan terbentuknya garis miring. Hal ini menunjukkan salinitas pada
lapisan ini mengalami perubahan yang cepat terhadap kedalaman. Lapisan dalam
membentuk garis hampir tegak di bawah lapisan haloklin.
Pada gambar sebaran menegak salinitas (Gambar 13), terlihat bahwa
hampir seluruh stasiun tidak terbentuk lapisan homogen. Lapisan ini hanya <