• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Udara dingin di dekat permukaan tanah atau air menjadi dingin di malam hari disebabkan oleh peristiwa pendinginan permukaan bumi yang berlangsung sepanjang malam. Pendinginan yang terjadi di malam hari disebut sebagai pendi-nginan nokturnal. Menurut Bird et al. (1960) setiap benda yang secara langsung dihadapkan ke langit malam hari akan didinginkan di bawah suhu lingkungan ka-rena panas benda diradiasikan ke langit. Kondisi ini dapat digunakan untuk mem-bekukan air dangkal di dalam wadah yang diisolasi dengan baik. Dalam bentuk persamaan umum, jumlah panas yang diradiasikan oleh benda adalah:

4

AT

Q (1)

Pada kenyataannya pendinginan nokturnal tidak semata-mata ditentukan oleh radiasi malam hari. Pada tingkat tertentu, faktor-faktor lain juga mempenga-ruhi pendinginan seperti pendinginan konveksi dan evaporasi. Boon-Long (1992) menjelaskan pendinginan transien pada permukaan dekat tanah pada malam hari. Pada awalnya suhu benda lebih tinggi dari suhu lingkungan. Permukaan benda akan didinginkan dengan adanya radiasi ke langit, konveksi ke udara lingkungan dan evaporasi bila permukaan benda basah.

Saat suhu benda lebih tinggi daripada suhu udara, berlangsung pendinginan konveksi. Bila suhu benda terus turun di bawah suhu bola basah lingkungan maka pendinginan evaporasi akan berhenti. Pendinginan selanjutnya hanya ditentukan oleh radiasi ke langit yang bersuhu Ts. Secara teori pendinginan ini terus dapat berlanjut sampai suhu benda mencapai suhu langit. Berdasarkan pada teori, suhu benda 15-20oC di bawah suhu lingkungan dapat dicapai hanya dengan pendingin-an radiasi. Tetapi pada kenyatapendingin-annya hal ini tidak pernah terjadi karena konveksi dan konduksi lebih besar pengaruhnya pada saat suhu benda berada di bawah suhu lingkungan. Pada kondisi seperti ini pendinginan konveksi berubah menjadi pe-manasan konveksi.

Pada proses pendinginan atau pemanasan secara konveksi, besar pindah panas secara konveksi ditentukan oleh salah satu faktor yaitu koefisien pindah panas konveksi. Untuk dapat menghitung pengaruh pendinginan atau pemanasan secara konveksi maka nilai koefisien ini perlu ditetapkan. Banyak model-model penduga nilai koefisien pindah panas konveksi yang sudah diajukan dan diguna-kan, tetapi model-model tersebut bersifat empiris. Bila model empiris digunakan di luar daerah atau lokasi pengambilan data sebagai dasar pembuatan model terse-but, maka akan terjadi kesalahan pendugaan. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan penetapan koefisien pindah panas konveksi.

Pendinginan nokturnal terjadi karena radiasi gelombang panjang dari benda-benda di permukaan bumi. Radiasi gelombang panjang dari benda-benda-benda-benda ini tidak hanya berlangsung pada malam hari tetapi berlangsung pula pada siang hari. Disamping itu, radiasi gelombang panjang terjadi pula dari awan dan atmosfir bumi. Atmosfir berfungsi sebagai penyerap radiasi gelombang panjang yang dekat dengan permukaan bumi. Kajian-kajian menunjukkan bahwa permukaan bumi akan 30-40oC lebih dingin bila bumi tidak memiliki atmosfir. Kontribusi penyerap yang berada di atmosfir dalam menyerap radiasi gelombang panjang tidak terbatas hanya pada uap air yang menyerap pada panjang gelombang 5.3-7.7 m, tetapi juga ozon (9.4-9.8 m), karbon dioksida (13.1-16.9 m) dan awan untuk semua panjang gelombang (Margolin, 1999). Berger dan Cubizolles (1992) menyebutkan dari semua penyusun atmosfir, uap air yang paling penting dalam mempengaruhi radiasi atmosfir.

Kemampuan pendinginan nokturnal ditentukan oleh besar radiasi gelom-bang panjang langit ke bawah. Secara sederhana berlaku hubungan, semakin besar radiasi gelombang panjang langit ke bawah maka semakin kecil kemampuan pen-dinginan nokturnal. Dengan demikian, bila radiasi gelombang panjang langit ke bawah dapat ditentukan dengan menghitung, mengukur langsung atau menduga nilainya secara tepat, maka kemampuan pendinginan nokturnal dapat ditentukan dengan tepat pula. Dalam penelitian ini dilakukan pengkajian beberapa model penduga radiasi gelombang panjang langit cerah ke bawah yang banyak diguna-kan dalam menduga radiasi gelombang panjang langit ke bawah. Selanjutnya

dilakukan parameterisasi pengaruh awan langit malam dan memasukkannya ke dalam model-model penduga radiasi gelombang panjang untuk langit cerah.

Arifin (1988) melaporkan bahwa di kota Surabaya untuk bulan Oktober dan Nopember, kemampuan pendinginan nokturnal mencapai 50-59 W/m2 dengan nilai rata-rata 54 W/m2. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Trisasiwi (2000) di Cipanas. Dilaporkan bahwa kemampuan pendingin nokturnal di daerah tersebut mencapai nilai minimum 60 W/m2 dan maksimum 61 W/m2. Hasil ini menarik untuk dicermati karena kemungkinan memberi arti bahwa dua daerah yang berbeda lokasi, terutama ketinggiannya dari permukaan laut, mempu-nyai nilai kemampuan pendinginan nokturnal yang hampir sama. Kota Surabaya terletak di daerah dataran rendah, sedangkan Cipanas berada di dataran tinggi.

Berdasarkan pada hasil-hasil penelitian tersebut, dalam penelitian ini dila-kukan penetapan dan perbandingan antara kemampuan pendinginan nokturnal di dataran tinggi dengan di dataran rendah. Dilakukan penelaahan terhadap potensi ini berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan penerapannya dalam pendingin-an dpendingin-an penyimppendingin-anpendingin-an dingin.

Penelitian ini menghasilkan pula kumpulan data yang berupa paremeter-pa-rameter meteorologi setempat yang mudah diukur. Berdasarkan pada paparemeter-pa-rameter- parameter-parameter ini dibuat model penduga radiasi gelombang panjang langit ke bawah. Penetapan Koefisien Pindah Panas Konveksi (h)

Persamaan Empiris Penduga h. Persamaan empiris yang berupa persama-an linier ypersama-ang diturunkpersama-an oleh Watmuff et al. diacu dalam Duffie dpersama-an Beckmpersama-an (1980) untuk benda berupa lempengan dengan luas 0.5 m2, adalah

h = 2.8 + 3.0V (2)

Persamaan ini digunakan oleh Tang dan Etzion (2004) untuk mengukur per-formansi kolam atap dari suatu bangunan. Demikian pula Ho et al. (2005) meng-gunakannya untuk menghitung pindah panas dari pemanas surya, sedangkan Abu-Hamdeh (2003) memanfaatkannya untuk kajian simulasi pemanas surya. Chow et al. (2006) dalam menganalisis bangunan berventilasi surya juga menggunakan persamaan ini.

Dalam mengkaji beban panas bangunan, Parker (2005) menggunakan per-samaan empiris linier yang disarankan oleh Burch dan Luna berikut ini:

h = 2.8 + 4.8V (3)

Lunde (1980) juga mengajukan persamaan empiris linier untuk menduga nilai h untuk permukaan datar, yaitu:

h = 4.5 + 2.9V (4)

Untuk melakukan pemodelan cerobong surya, Ong dan Chow (2003) meng-gunakan persamaan empiris linier yang diajukan oleh McAdams (Duffie dan Beckman 1980). Ong (2003) dan Pretorius dan Kröger (2006) menggunakan persamaan yang sama untuk menguji performansi cerobong surya. Abdel-Rehim dan Lasheen (2005) juga menggunakan persamaan yang sama untuk menentukan performansi desalinasi surya. Persamaan ini juga digunakan oleh Kurt et al. (2000) dalam membuat kajian kolam surya. Persamaan empiris linier McAdams, seperti dinyatakan di bawah ini, semula dibuat untuk menduga nilai h untuk lem-pengan dengan luas 0.5 m2. Suhardiyanto et al. (2007) juga memilih persamaan ini dalam pengembangan model pindah panas untuk rumah kaca.

h = 5.7 + 3.8V (5)

Sebagaimana diuraikan diatas, penggunaan persamaan empiris tersebut tidak dibatasi dengan kecepatan angin. Tetapi menurut Trinuyuk et al. (2006), persamaan empiris (2) hanya berlaku dalam kisaran 0-7 m/s. Persamaan ini dengan kisaran kecepatan angin tersebut mereka gunakan untuk menguji perfor-mansi fotovoltaik. Demikian pula dengan persamaan empiris linier yang dilapor-kan oleh Clark dan Berdahl, h = 2.8 + 0.76V, berlaku pada kecepatan angin 1.5-5 m/s untuk pendugaan h pada permukaan radiator (Dimoudi dan Anroutsopoulos, 2006). Juga persamaan empiris liniernya, h = 1.8 +3.8V, berlaku pada kisaran kecepatan angin 1.25-4.5 m/s untuk pendugaan nilai h pada permukaan bangunan (Erell dan Etzion 2000). Penggunaan persamaan empiris h = 2.8 + 3.0V juga diba-tasi pada kisaran 0 ≤ V ≤ 7 m/s oleh Timoumi et al. (2004) saat mereka menggunakan persamaan ini untuk pemodelan kolektor lempeng datar berenergi surya.

Ada pula peneliti yang menggunakan persamaan empiris linier dan pangkat secara bersama-sama dengan pembatasan kecepatan angin. Sebagai contoh Bentz

(2000) dalam mengkaji pindah panas pada permukaan beton menggunakan persa-maan empiris linier dan pangkat FEMMASSE

h = 5.6 + 4.0V (V <= 5 m/s) dan (6)

h = 7.2V0.78 (V > 5 m/s) (7)

Disamping hubungan linier, beberapa peneliti mengajukan hubungan tidak linier seperti pangkat dan bentuk hubungan yang lebih kompleks. Duffie dan Beckman (1980) menyarankan pendugaan nilai h untuk konveksi paksa pada per-mukaan bangunan dengan mengunakan persamaan h = 8.6V0.6/L0.4 dan L adalah akar pangkat tiga dari volume bangunan.

ASHRAE (Loveday dan Taki 1996) menganjurkan penggunaan persamaan berpangkat h = 18.6V0.605 untuk menduga nilai h untuk permukaan bangunan. Li dan Lam (2000) dalam perhitungan beban panas surya memanfaatkan persamaan yang diajukan oleh Loveday dan Taki (1996).

Pendugaan Nilai h dengan Pendekatan Analitis. Buiar dan Moura (2004) membuat pendekatan analitis dalam menduga nilai h dengan didasarkan pada hukum pendinginan Newton. Lebih lanjut mereka melaporkan bahwa perbedaan antara hasil pendekatan analitis dengan hasil percobaan sangat kecil dan kecen-derungan dari kedua nilai sama. Zhai dan Chen (2004) mengutip pendekatan ana-litis berdasarkan pada lapisan batas kecepatan. Hasil analisis dalam menetapkan ketebalan lapisan batas kecepatan () merupakan kebalikan dari bilangan Reynolds. x x Re 92 . 4  (8)

Persamaan ini mirip dengan persamaan (L4) dalam Lampiran 1. Pendekatan analitis juga dilakukan oleh Khan et al. (2006) dalam menghitung pindah panas konveksi pada rangkunan pipa tabung berdasarkan pada analisis lapisan batas. Model mereka dapat diterapkan pada rangkunan tabung dengan susunan pipa satu garis sejajar atau selang-seling pada kisaran luas nilai bilangan Reynolds dan Prandtl.

Pendugaan Nilai h dari Data Percobaan. Hagishima dan Tanimoto (2003) menurunkan persamaan linier dari data hasil percobaannya. Hubungan

yang diperoleh dari analisis regresi terhadap diagram serak dari data mereka adalah:

h = 8.18 +2.28V (9)

Clear et al. (2003) melaporkan bahwa dari diagram serak data hasil percoba-an ypercoba-ang mereka lakukpercoba-an diketahui h merupakan fungsi dari kecepatan angin dengan hubungan linier. Demikian pula Loveday dan Taki (1996) dalam menduga nilai h menghubungkan data hasil percobaan mereka dan diperoleh persamaan:

h = 16.21V0.452 (10)

Kesetimbangan massa dan energi digunakan dalam mengukur nilai h dari data hasil percobaan. Rahman dan Kumar (2006) menggunakan kesetimbangan massa dan energi dalam menduga nilai h untuk pengeringan bahan-bahan yang mengerut. Clear et al. (2003) menggunakan kesetimbangan energi dalam mendu-ga nilai h denmendu-gan mempertimbangkan panas radiasi.

Pendinginan Nokturnal

Kenyataan akan keberadaan efek pendinginan nokturnal sudah diketahui sejak lama. Bird et al. (1960) menyatakan bahwa bila suatu benda dihadapkan se-cara langsung ke langit malam hari, benda itu akan didinginkan di bawah suhu lingkungan karena benda meradiasikan panas ke langit. Efek pendinginan ini dapat digunakan untuk membekukan air dangkal di dalam suatu wadah yang di-isolasi dengan baik. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Chen et al. (1991) yang menyatakan bahwa langit yang dingin dapat digunakan sebagai heat sink dari radiasi suatu benda. Potensi pendinginan ini mungkin menjanjikan bila di-gunakan sebagai alternatif teknik pendinginan konvensional. Jika permukaan sua-tu benda mengemisikan radiasi melebihi radiasi yang diserap maka permukaan benda itu akan dingin.

Menurut McVeigh (1984) permukaan horisontal yang dihadapkan ke langit malam akan kehilangan panas 5 W/m2 untuk setiap derajat perbedaan suhu antara permukaan dengan suhu langit. Di daerah beriklim lembab, suhu bola basah yang cukup tinggi membatasi pendinginan evaporasi. Di daerah beriklim seperti ini suhu langit dapat mencapai 10oC di bawah suhu bola kering pada saat langit cerah

di musim panas. Tetapi jika langit ditutup awan rendah maka suhu langit mende-kati suhu lingkungan.

Parker dan Sherwin (2007) melaporkan bila suatu permukaan benda di daerah gurun pasir dihadapkan ke langit cerah malam hari maka benda itu akan di-dinginkan dengan kemampuan pendinginan 70 W/m2. Sebagaimana diungkap oleh McVeigh (1984), Parker dan Sherwin (2007) juga mendapatkan bila di daerah lembab dengan uap air lebih besar di langit, menyebabkan kemampuan pendinginan turun menjadi 60 W/m2. Demikian pula bila 50% langit malam hari tertutup awan maka kemampuan pendinginan turun menjadi 40 W/m2 dan ke-mampuan pendinginan hanya 7 W/m2 bila langit tertutup awan sepenuhnya.

Selanjutnya Parker dan Sherwin (2007) melaporkan bahwa secara teoritis selama 10 malam pendinginan nokturnal dengan kemampuan pendinginan 250-450 W/m2 dapat dimanfaatkan secara efektif, tetapi kondisi ini tidak mudah di-capai. Atap yang dingin mendapat panas konveksi dari angin yang mengurangi potensi tersebut. Pada kecepatan angin 0.9 m/s potensi pendinginan nokturnal menurun setengahnya. Demikian pula pengembunan air menurunkan potensi pen-dinginan nokturnal. Disimpulkan bahwa hanya sebagian potensi penpen-dinginan dapat dimanfaatkan karena adanya tambahan panas dari lingkungan.

Kemampuan pendinginan nokturnal di Surabaya pada kondisi cerah pada bulan Oktober adalah 54-59 W/m2 dengan nilai rata-rata 56 W/m2. Untuk kondisi langit berawan dan hujan pada bulan Nopember kemampuan pendinginan nok-turnal mencapai 50-53 W/m2 dan rata-rata 51 W/m2 (Arifin 1988). Trisasiwi (2000) melaporkan kemampuan pendinginan nokturnal di Bogor mencapai 42 W/m2 dan pada saat langit berawan kemampuan pendinginan hanya mencapai 38.2 W/m2. Di Cipanas kemampuan pendinginan nokturnal untuk langit berawan mencapai 59.8 W/m2 dan mencapai 60.9 W/m2 pada saat langit cerah. Dilaporkan pula pada tempat yang berbeda seperti di Batu Malang kemampuan pendinginan nokturnal mencapai 47.2 W/m2 pada bulan Juni.

Berbagai cara dilakukan dalam memanfaatkan potensi pendinginan noktur-nal. Potensi pendinginan nokturnal banyak dipelajari dalam kaitannya dengan upaya penciptaan kenyamanan ruangan di dalam suatu bangunan. Salah satu cara yang dikembangkan adalah dengan menggunakan atap bangunan sebagai medium

yang didinginkan. Suatu atap dengan luas 225 m2 akan memiliki kemampuan pendinginan sebesar 6000-14000 W atau sekitar 1.7-4.0 TR (ton refrigerasi) untuk setiap musim panas (Parker dan Sherwin 2007).

Cara lain banyak dikaji oleh Chen et al. (2001) yang menggunakan air di dalam kolam dalam upaya memanfaatkan potensi pendinginan nokturnal. Arifin (1988) dan Meir et al. (2002) menggunakan radiator dengan air yang mengalir di dalam radiator sebagai media yang didinginkan. Trisasiwi (2000) menggunakan wadah berupa kolam dangkal dan air digunakan untuk menyimpan panas pendi-nginan nokturnal

.

Kowata dan Okuyama (2001) memanfaatkan potensi pendi-nginan nokturnal dengan menggunakan terowongan yang dilapisi dengan plastik ganda untuk melakukan pendinginan pendahuluan sayur-sayuran.

Kamaruddin et al. (1998) dan Trisasiwi (2000) menyebutkan bahwa per-ubahan panas total air dalam kolam dangkal atap dapat dinyatakan dengan persa-maan berikut ini, dengan mengabaikan kondensasi yang terjadi ke dalam air dalam kolam. Persamaan di bawah ini berlaku untuk air kolam yang mengalir dan sejumlah panas memasuki kolam dengan laju aliran massa air mwi.

w s

wa wp

a w

wi pw

wi w

wp w pw wp A T T h A T T m c T T dt dT c m  44      (11)

Radiasi Gelombang Panjang Langit ke Arah Bawah (QDLR). Banyak se-kali peneliti menyingkat penulisan radiasi gelombang panjang langit ke arah bawah menjadi radiasi atmosfir atau radiasi langit. Dalam tulisan ini radiasi gelombang panjang ke arah bawah digantikan dengan radiasi langit untuk seluruh penulisan, kecuali dianggap perlu untuk menuliskannya secara lengkap. Hal ini dilakukan untuk keseragaman penulisan. Oleh karena itu, dalam tulisan ini yang dimaksud dengan radiasi langit adalah radiasi gelombang panjang langit ke arah bawah.

Pengukuran radiasi langit dilakukan untuk dapat mengevaluasi kesetim-bangan energi di permukaan bumi (Chabangborn et al. 2004; Duchon dan Wilk 1994). Intensitas radiasi langit dapat diukur secara langsung menggunakan alat pyrgeometer atau net pyrradiometer. Tetapi pada umumnya penggunaan alat-alat

seperti ini tidak dapat dilakukan karena harga alat yang sangat mahal dan sangat halus.

Chabangborn et al. (2004) melaporkan bahwa berdasarkan pada data hasil pengukurannya terhadap radiasi langit tahunan berkisar antara 390-440 W/m2 di EGAT Tower dan 320-400 W/m2 di Chiang Mai Thailand. Golaka dan Exell (2004) menyimpulkan dari data hasil pengukurannya bahwa intensitas rendah ra-diasi langit ke bawah terjadi selama musim kering. Rara-diasi langit terendah terjadi selama Januari dan Pebruari dengan nilai 320 W/m2.

Menurut Goss dan Brooks (1956) bila tidak dapat dilakukan pengukuran se-cara langsung maka perlu dicari se-cara untuk menghitung atau menduga radiasi langit. Tabel-tabel radiasi langit tidak dapat digunakan dengan selang kepercayaan tertentu dan juga tidak berlaku umum karena pembuatannya berdasarkan pada kondisi atmosfir lokal. Chabangborn et al. (2004) menyatakan bahwa radiasi ini dapat dihitung dengan tingkat ketepatan tertentu dan tanpa perhitungan rumit dengan menggunakan data meteorologi permukaan bumi. Demikian pula menurut McVeigh (1984), Goss dan Brooks (1956) dan Bárbaro et al. (2006) hubungan empiris sederhana sudah dikembangkan untuk menduga suhu langit dengan meng-gunakan suhu bola kering, kelembaban relatif dan fraksi ketertutupan langit oleh awan. Model empiris dapat digunakan untuk menghitung radiasi langit malam hari jika konstanta model sudah diketahui. Tetapi Chabangborn et al. (2004) me-nekankan bahwa pengamatan jangka panjang dibutuhkan untuk memperoleh kete-patan nilai pendugaan.

Banyak model-model empiris dikembangkan untuk menduga radiasi langit. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam membangun model-model empiris adalah dengan menggunakan anggapan bahwa langit adalah gray body. Dengan anggapan ini langit meradiasikan panas pada suhu absolut lingkungan dekat dengan permukaan bumi dengan emisivitas efektif sebesar εa (Ramsey et al. 1981; Andreas dan Ackley 1982; Pluss dan Ohmura 1997; Marafia et al. 1998; Müller 2001; Golaka dan Exell 2004). Untuk langit cerah hubungan antara radiasi langit dengan suhu lingkungan dan emisifitas efektif adalah:

4 ,c a a

DLR T

Persamaan ini menerangkan ketergantungan radiasi langit terhadap dua faktor, yaitu emisivitas efektif langit dan suhu absolut lingkungan. Menurut Pluss dan Ohmura (1997) emisivitas efektif langit kira-kira bernilai 0.7 untuk langit cerah dan mendekati satu untuk langit tertutup awan sepenuhnya.

Menurut Goss dan Brooks (1956) model empiris Brunt (1932) untuk radiasi langit malam hari lebih banyak digunakan daripada model eksponensial Ångström karena kesederhanaannya. Persamaan (13) memperlihatkan bentuk umum dari model empiris Brunt (1932). Terlihat bahwa model empiris hanya berisi dua kons-tanta a dan b yang dapat ditentukan dari data hasil percobaan.

 

4

a v

DLR a b P T

Q   (13)

Crawford dan Duchon (1999) menyatakan bahwa upaya untuk meneliti ke-setimbangan energi di permukaan bumi sering dihalangi oleh ketidakpastian dalam menduga radiasi langit. Masalah utama dari ketidakpastian ini kelihatannya pada pengembangan model yang bersifat empiris untuk suatu lokasi sehingga sering model tidak sesuai bila diterapkan di lokasi lainnya. Brunt (1932), Swimbank (1963), Idso dan Jackson (1969) adalah contoh dari model-model yang bersifat empiris untuk langit cerah.

Dalam menerangkan hubungan radiasi langit dengan suhu lingkungan, Swimbank (1963) menyimpulkan bahwa radiasi langit adalah sebanding dengan perbedaan antara suhu absolut lingkungan pangkat empat dengan suhu langit ab-solut pangkat empat (Tiba dan Ghini 2006). Swimbank membuat hubungan antara radiasi langit Ts4 terhadap tekanan uap air Pv untuk pengukuran di Inggris. Ke-mudian dari pengamatan di Australia dan di Lautan India, Swimbank menghu-bungkan radiasi langit dengan suhu permukaan absolut pangkat enam (Magrhabi 2007) sebagai berikut: 6 31 . 5 a DLR T Q  (14)

Menurut Magrhabi (2007), Idso dan Jackson (1969) mengajukan model em-piris penduga radiasi langit yang berlaku umum untuk semua lintang. Tetapi Exell (2007) menyatakan bahwa model empiris Idso dan Jackson (1969) perlu dikoreksi untuk dapat diterapkan dengan lebih tepat di daerah tropika. Magrhabi (2007) juga

mengutip bahwa Idso pada tahun 1981 mengajukan model penduga radiasi langit dengan memasukkan tekanan uap air disamping suhu lingkungan.

Disamping model-model di atas, model analitis Brutsaert (1975) banyak di-gunakan dan dikembangkan untuk menduga radiasi langit. Menurut Pluss dan Ohmura (1997) Brutsaert mengajukan pemodelan radiasi langit untuk langit cerah berdasarkan pada suhu lingkungan dan tekanan uap air. Magrhabi (2007) menga-takan bahwa salah satu hasil pengembangan model yang diturunkan dari model Brutsaert adalah model Prata (1996).

Tabel 3 merangkum model-model empiris dan model-model analitis yang dikembangkan untuk menduga radiasi langit. Model-model penduga tersebut di-gunakan untuk kondisi langit cerah.

Banyak peneliti melakukan perbandingan diantara model-model penduga ra-diasi langit atau antara model-model penduga dengan hasil pengukuran rara-diasi langit. Goss dan Brooks (1956) membandingkan model empiris Brunt (1932) dengan beberapa hasil pendugaan mengunakan model lain seperti model empiris Ångström. Berdasarkan hasil analisis regresi terlihat bahwa model empiris Brunt baik digunakan untuk menduga radiasi langit. Morgan et al. (1971) melaporkan bahwa model Ångström (1918) dan Brunt (1932) memberikan hasil pendugaan yang paling dekat untuk langit cerah.

Chabangborn et al. (2004) membandingkan model yang dikembangkannya dengan 6 model radiasi langit yang ada untuk langit cerah, tiga diantaranya dengan model empiris Swimbank (1963), Idso-Jackson (1969), dan model empiris Brunt (1932). Chabangborn et al. (2004) melaporkan bahwa hasil pendugaan dari model radiasi langit yang diajukannya memiliki Performansi yang lebih baik dari-pada model-model yang dibandingkan.

Bárbaro et al. (2006) menguji Performansi model-model empiris untuk menduga radiasi langit di São Paulo. Model-model empiris yang dibandingkan adalah Ångström (1918), Brunt (1932), Swimbank (1963), Idso dan Jackson (1969), Brutsaert (1975), Satterlund (1979), Idso (1981), Prata (1996), Dilley dan O’Brien (1998), dan Niemelä (2001). Hasil pembandingan Bárbaro et al. (2006) menunjukkan bahwa Performansi model empiris Brunt (1932) lebih baik dalam menduga radiasi langit di São Paulo. Model empiris Brunt (1932) menghasilkan

nilai MBE dan RMSE terkecil dengan nilai 4.53 W/m2 dan 14.38 W/m2, sedang-kan model empiris Idso (1981) memiliki nilai MBE dan RMSE terbesar yaitu 38.33 W/m2 dan 40.58 W/m2. Nilai MBE dan RMSE untuk model-model yang lain berkisar di antara kedua nilai ini.

Goforth et al. (2002) menyatakan bahwa tingkat kesalahan bila mengguna-kan model empiris Idso dan Jackson (1969) ini adalah 3% dengan kesalahan ke-seluruhan 12%. Kesalahan ini kemungkinan disebabkan oleh keberadaan awan di langit. Tetapi untuk langit cerah model ini juga melebihi hasil pengukuran radiasi langit sekitar 30 W/m2. Duchon dan Wilk (1994) melaporkan hasil perbandingan radiasi langit hasil pengukuran pyrgeometer dengan model empiris untuk langit cerah seperti model empiris Brunt (1932), Brutsaert (1975), Idso dan Jackson (1969), dan Swimbank (1963). Pengukuran rata-rata selama satu jam untuk tiga malam cerah memperlihatkan bahwa hasil pendugaan semua model empiris miliki kesalahan kurang lebih 6% dari hasil pengukuran. Morgan et al. (1971) me-laporkan bahwa model Ångström (1918) menduga lebih rendah sekitar 17%, seba-liknya model Brunt (1932) memiliki bias sama dengan nol.

Maykut dan Church (1973) menyebutkan bahwa model empiris seperti

Dokumen terkait