• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh jangka waktu kontrak kerjasama unit dengan perusahaan

300 325 350 375 400 425 450 1 10 19 28 37 46 55 Pengamatan ke- Q D L R ( W /m 2 ) k QDLR

Gambar 7 Pengaruh awan terhadap radiasi langit di dataran tinggi.

0 1 N ila i a w an 0.5

nilai koefisien determinasi untuk pendugaan radiasi langit di dataran rendah te- tapi, seperti di dataran tinggi, nilai parameter-parameter performansi model lain- nya menyimpang.

Pengaruh Awan

Gambar 7 dan 8 memperlihatkan perubahan radiasi langit karena kebera- daan awan di langit. Dengan jelas terlihat bahwa awan rendah menyebabkan ra- diasi langit meningkat, sebaliknya kondisi tanpa awan (cerah) menyebabkan ra- diasi langit menjadi kecil. Kejadian ini secara konsisten diamati baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Duarte et al. (2006) menyimpulkan keberadaan awan menyebabkan jumlah radiasi langit meningkat. Nowak et al. (2006) juga melaporkan bahwa awan meningkatkan radiasi langit.

Walaupun ketertutupan awan di langit tidak dapat diamati, kelihatannya dengan memperhatikan jenis dan ketinggian awan, kemungkinan dapat digunakan untuk mengoreksi model-model penduga radiasi langit untuk langit cerah.

Analisis regresi menghasilkan bahwa dengan memasukkan pengaruh awan sebagai fungsi linier sudah cukup memperbaiki performansi model di dataran rendah. Nilai semua parameter performansi model dan semua model sudah meme- nuhi kriteria. Dengan memasukkan pengaruh awan sebagai fungsi linier, semua

300 325 350 375 400 425 450 475 500 1 20 39 58 77 96 115 134 153 172 Pengamatan ke- Q D L R ( W /m 2 ) k QDLR

Gambar 8 Pengaruh awan terhadap radiasi langit di dataran rendah.

0 1 N il ai a w an 0.5

model penduga dapat digunakan untuk menduga radiasi langit karena performansi model menjadi sangat baik. Nilai MBE dan RMSE sangat kecil, koefisien regresi a mendekati nol dan b mendekati satu, %kesalahan sangat kecil di bawah 0.5% dan koefisien determinasi menunjukkan bahwa model penduga setelah dikoreksi mampu menerangkan 98-99% data pengukuran.

Tabel 12 Hasil analisis regresi linier antara radiasi langit hasil penetapan dengan hasil pendugaan model yang sudah dikoreksi dengan pengaruh awan di dua lokasi penelitian

Model Dataran tinggi Dataran rendah

a b R2 a b R2

Swimbank (1963) 293.7 0.12 0.10 285.6 0.21 0.74 Idso dan Jackson (1969) 294.3 0.12 0.10 285.3 0.20 0.75 Ångström (1918) 297.1 0.11 0.90 288.3 0.20 0.71 Niemelä (2001) 288.2 0.12 0.12 288.9 0.18 0.77 Brunt (1932) 288.1 0.14 0.12 288.5 0.20 0.76 Brutsaert (1975) 290.0 0.12 0.11 288.4 0.19 0.75 Satterlund (1979) 295.4 0.11 0.9 288.0 0.19 0.73 Idso (1981) 289.5 0.12 0.11 290.1 0.17 0.76 Prata (1996) 291.5 0.12 0.11 288.4 0.19 0.75 Dilley dan O´Brien (1998) -65.0 1.35 0.36 -37.8 1.18 0.29 Hasil yang berbeda dengan menggunakan fungsi linier didapat pada pendu- gaan radiasi langit di dataran tinggi. Fungsi linier dari pengaruh awan belum memperbaiki hasil pendugaan. Pengaruh awan untuk dataran tinggi lebih tepat dinyatakan sebagai persamaan polinomial pangkat dua. Tabel 13 di atas memper- lihatkan performansi model penduga untuk radiasi di dataran tinggi dengan nilai koefisien regresi linier dan koefisien determinasi yang jauh lebih baik dibanding- kan dengan hasil pendugaan menggunakan pengaruh linier sebagai pengkoreksi model.

Tabel 13 Hasil analisis regresi linier setelah model dikoreksi dengan pengaruh awan sebagai fungsi linier dan polinomial pangkat dua di dua lokasi penelitian

Model Dataran tinggia Dataran rendahb

a b R2 a b R2

Swimbank (1963) -5.8 1.02 0.74 13.2 0.97 0.87 Idso dan Jackson (1969) -9.4 1.03 0.74 18.0 0.95 0.87 Ångström (1918) -25.2 1.07 0.74 -21.6 1.06 0.87 Niemelä (2001) 14.0 0.96 0.75 51.7 0.87 0.86 Brunt (1932) 16.2 0.95 0.75 34.2 0.91 0.87 Brutsaert (1975) 5.8 0.98 0.75 13.0 0.97 0.88 Satterlund (1979) -19.4 1.06 0.74 -8.6 1.02 0.88 Idso (1981) 5.5 0.98 0.75 30.0 0.92 0.87 Prata (1996) -2.7 1.01 0.75 8.5 0.98 0.88

Dilley dan O´Brien (1998) -11.3 1.03 0.75 0.6 1.00 0.88

aPengaruh awan dinyatakan sebagai polinomial pangkat dua, bPengaruh awan dinyatakan sebagai fungsi linier.

Pemodelan Radiasi Langit

Disamping menggunakan model-model empiris yang sudah dikenal dan banyak digunakan, radiasi langit dapat dimodelkan dengan menggunakan para- meter meteorologi setempat. Dari model-model empiris tersebut diketahui bahwa secara umum radiasi langit dibuat sebagai fungsi dari suhu absolut lingkungan, suhu titik embun, tekanan uap air, dan perpaduan dari parameter-parameter ini.

Diagram serak (Gambar 9 dan 10) menunjukkan ada pola hubungan antara radiasi langit dengan ketiga parameter yang dipilih. Pola hubungan ini memiliki kecenderungan sebagai hubungan linier. Oleh karena itu, pemodelan dibuat dengan menganggap radiasi langit sebagai fungsi linier dari parameter tersebut dan diperoleh persamaan penduga sebagaimana disajikan di bawah ini. Selan- jutnya dibuat pemodelan radiasi langit dengan hubungan regresi linier berganda. Hasil pemodelan ini dapat pula dilihat di bawah ini.

Untuk menduga radiasi langit di dataran tinggi didapat enam persamaan yang dibuat sebagai hubungan linier antara radiasi langit dengan parameter me- teorologi dengan koefisien determinasi masing-masing (persamaan 99-104). Keenam persamaan tersebut sudah diurut berdasarkan pada koefisien determinasi

dengan nilai terbesar ke nilai terkecil. Analisis regresi linier menghasilkan koefi- sien determinasi untuk keenam persamaan ini rendah. Secara umum, persamaan regresi linier sebagai model penduga hanya mampu menjelaskan antara 33-36% dari data hasil pengukuran. Persamaan regresi linier dengan nilai koefisien deter- minasi terbesar ditemukan dari hubungan antara radiasi langit dengan suhu ab- solut lingkungan dan persamaan regresi linier dengan nilai terkecil adalah antara radiasi langit dengan perbandingan tekanan uap air dengan suhu absolut ling- kungan.

Hasil serupa juga diperoleh dari pemodelan dengan menggunakan radiasi langit sebagai fungsi linier berganda dari parameter-paremeter meteorologi per- mukaan. Dari sembilan kombinasi yang dihasilkan (persamaan 105-113) semua- nya memiliki koefisien determinasi dengan nilai kecil berkisar antara 34-36%. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil pemodelan sebagai regresi linier.

Sama dengan pemodelan radiasi langit untuk dataran tinggi, diagram serak untuk dataran rendah juga memperlihatkan pola. Pola hubungan ini didekati dengan menggunakan regresi linier. Analisis regresi linier juga menghasilkan per- samaan regresi linier dengan nilai koefisien determinasi yang rendah. Nilai koe- fisien determinasi dari keenam persamaan regresi penduga radiasi langit berkisar 35-40% (persamaan 114-119). Demikian pula dengan analisis regresi linier ber- ganda tidak menghasilkan persamaan dengan nilai koefisien determinasi tinggi (persamaan 120-128). Sebaliknya, Exell dan Golaka (2008) memperoleh persa- maan penduga yang sangat baik untuk menduga radiasi langit di Chiang Mai Thailand dengan kisaran nilai koefisien korelasi 0.81-0.92.

Hal yang berbalikan dengan hasil pengamatan di dataran tinggi dijumpai di dataran rendah. Model penduga dengan nilai koefisien determinasi tertinggi justru didapat dari persamaan regresi radiasi langit dengan perbandingan parameter te- kanan uap air dengan suhu absolut lingkungan. Sedangkan koefisien determinasi terkecil diperoleh dari persamaan regresi yang bergantung pada suhu absolut ling- kungan.

Berikut ini adalah persamaan regresi yang dijadikan model penduga radiasi langit di dataran tinggi dengan nilai koefisien determinasi masing-masing:

QDLR = – 2067 + 8.41Ta R2 = 0.36 (99) QDLR = 255 + 7.79Tdp R2 = 0.34 (100) QDLR = 35.9 + 118ln(Pv) R2 = 0.34 (101) QDLR = 113 + 62.4Pv0.5 R2 = 0.34 (102) QDLR = 232 + 8.17Pv R2 = 0.34 (103) QDLR = 227 + 2458(Pv/Ta) R2 = 0.34 (104) QDLR = – 1363 + 2.53Tdp + 5.85Ta R2 = 0.36 (105) QDLR = – 1431 + 5.94Ta + 19.7Pv0.5 R2 = 0.36 (106) QDLR = – 1436 + 6.09Ta + 2.43Pv R2 = 0.36 (107) QDLR = – 1436 + 5.86Ta – 3.82ln(Pv) R2 = 0.36 (108) QDLR = – 1459 + 6.17Ta – 714(Pv/Ta) R2 = 0.36 (109) QDLR = 281 + 14.4Tdp – 2105(Pv/Ta) R2 = 0.35 (110) 250 300 350 400 450 282 284 286 288 290 292 Ta (K) Q D L R ( W /m 2 ) 250 300 350 400 450 5 10 15 20 Tdp (oC) Q D L R ( W /m 2 ) 250 300 350 400 450 7 12 17 22 Pv (mbar) Q D L R ( W /m 2 ) 250 300 350 400 450 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 Pv/Ta (mbar/K) Q D L R ( W /m 2 )

Gambar 9 Diagram serak radiasi langit hasil pengukuran di dataran tinggi dengan suhu absolut lingkungan, suhu titik embun, tekanan uap air, dan perbandingan tekanan uap air dengan suhu absolut lingkungan.

QDLR = 264 – 10.6Tdp – 2.9 Pv R2 = 0.35 (111)

QDLR = 387 + 15Tdp – 58Pv0.5 R2 = 0.35 (112)

QDLR = – 2 –Tdp – 139ln(Pv) R2 = 0.34 (113)

Model penduga radiasi langit di dataran rendah dengan menggunakan para- meter meteorologi lokal dalam bentuk regresi linier dan regresi linier berganda dengan koefisien determinasinya:

QDLR = 227 + 2033(Pv/Ta) R2 = 0.45 (114) QDLR = 233.96 + 6.549Pv R2 = 0.44 (115) QDLR = 81 + 63.4Pv0.5 R2 = 0.44 (116) QDLR = 199 + 9.5Tdp R2 = 0.43 (117) QDLR = – 94.4 + 153ln(Pv) R2 = 0.43 (118) QDLR = – 1042 + 4.84Ta R2 = 0.11 (119) 300 350 400 450 500 292 294 296 298 300 Ta (K) Q D L R ( W /m 2 ) 300 350 400 450 500 16 18 20 22 24 Tdp (oC) Q D L R ( W /m 2 ) 300 350 400 450 500 18 20 22 24 26 28 30 Pv (mbar) Q D L R ( W /m 2 ) 300 350 400 450 500 0.06 0.07 0.08 0.09 0.1 Pv/Ta (mbar/K) Q D L R ( W /m 2 )

Gambar 10 Diagram serak radiasi langit hasil pengukuran di dataran rendah dengan suhu absolut lingkungan, suhu titik embun, tekanan uap air, dan perbandingan tekanan uap air dengan suhu absolut lingkungan.

QDLR = 366 – 42.2Tdp + 10854(Pv/Ta) R2 = 0.49 (120) QDLR = – 1997 – 169Tdp +1187Pv0.5 R2 = 0.48 (121) QDLR = 493 – 67Tdp + 52.1Pv R2 = 0.48 (122) QDLR = 1294 – 3.72Ta + 8.32Pv R2 = 0.48 (123) QDLR = 1104 – 3.07Ta + 2464(Pv/Ta) R2 = 0.47 (124) QDLR = 1135 – 3.85Ta + 81.4Pv0.5 R2 = 0.47 (125) QDLR = 1311 + 12.3Tdp – 3.94Ta R2 = 0.47 (126) QDLR = 938 – 3.97Ta + 199ln(Pv) R2 = 0.47 (127) QDLR = 13604 + 442Tdp – 6977ln(Pv) R2 = 0.46 (128)

Kemampuan Pendinginan Nokturnal

Kemampuan pendinginan suatu sistem menggambarkan kemampuan sistem tersebut untuk mendinginkan suatu benda. Kemampuan pendinginan nokturnal merupakan panas netto antara panas yang diradiasikan oleh permukaan suatu benda dengan panas radiasi langit yang diterimanya di malam hari. Menurut Chen et al. (1991) bila suatu benda meradiasikan panas melebihi radiasi panas yang diserap maka permukaan benda itu akan dingin.

Untuk bulan Juli dan September 2007 pada tanggal-tanggal percobaan, ke- mampuan pendinginan nokturnal terlihat di dalam Tabel 14 yang dinyatakan seba- gai panas radiasi netto (Qrad,n). Hal menarik yang terungkap dari dari hasil peneli-

tian ini adalah bahwa di dataran tinggi terjadi pendinginan konveksi sedangkan di dataran rendah terjadi pemanasan konveksi. Pendinginan konveksi yang terjadi di daerah dataran tinggi pada umumnya berlangsung pada awal pendinginan air di dalam kolam atap. Sebaliknya air yang terkandung di dalam udara cenderung untuk terkondensasi dan memberikan panas kondensasi. Pengembunan air udara semakin jelas diamati pada permukaan kolam atap yang mulai berlangsung dari tengah malam sampai menjelang subuh. Kondisi seperti ini tidak dijumpai selama pengamatan di dataran rendah.

Di dataran tinggi kemampuan pendinginan nokturnal rata-rata mencapai 43.7 W/m2. Selama pengamatan diperoleh bahwa nilai terendah dari kemampuan

pendinginan nokturnal adalah 36.1 W/m2, sedangkan nilai tertinggi mencapai 65

W/m2. Nilai kemampuan pendinginan rata-rata hasil penetapan di dataran tinggi di Bali ini masih jauh di bawah nilai kemampuan pendinginan nokturnal rata-rata di Cipanas, seperti dilaporkan oleh Trisasiwi (2000). Menurut Pirazzini et al. (2000)

radiasi langit sangat ditentukan oleh musim pada saat pengukuran dilakukan, se- bagaimana diamati Marshunova (1966), tetapi menurut Pirazzini et al. (2000) ra- diasi langit bergantung juga pada tahun saat pengamatan dilakukan. Dengan ber- pedoman pada pendapat ini, maka dapat diterangkan bahwa perbedaan kemam- puan pendinginan nokturnal untuk dua daerah dengan ketinggian dari permukaan laut yang hampir sama disebabkan oleh saat pengambilan data.

Tabel 14 Kemampuan pendinginan nokturnal, panas konveksi dan kondensasi di dua lokasi penelitian

Dataran tinggi Dataran rendah

Tanggal Qrad,n Qconv Qcond Tanggal Qrad,n Qconv Qcond

11/07/2007 36.78 -2.30 4.36 01/09/2007 18.04 1.71 4.33 12/07/2007 37.90 -1.09 2.45 02/09/2007 17.00 2.77 5.58 13/07/2007 43.06 -2.31 1.75 03/09/2007 16.30 1.45 4.56 14/07/2007 36.11 -1.53 2.44 10/09/2007 21.83 3.57 4.71 15/07/2007 65.04 2.90 5.20 11/09/2007 14.83 2.24 2.81 16/07/2007 38.54 -2.46 2.63 17/07/2007 48.37 -1.47 0.97

Lebih lanjut, pada selang pengamatan tanggal 1 sampai dengan 12 Septem- ber 2007, kemampuan pendinginan nokturnal rata-rata di dataran rendah yang hanya mencapai 17.6 W/m2 dengan nilai terendah 14.83 W/m2 dan tertinggi 21.83

W/m2. Sedangkan panas kondensasi yang terjadi di dataran tinggi hanya 0.6 kali

panas kondensasi rata-rata di dataran rendah, walaupun secara statistika pengaruh panas kondensasi dapat diabaikan.

Kesimpulan

1. Pendekatan analitis dapat menjelaskan hubungan antara koefisien pindah panas konveksi dengan kecepatan angin dengan bentuk persamaan umum h = aVb. Nilai koefisien adalah a = 0.644(k/L)(v/)1/3(L/v)1/2 dan b = 0.5.

2. Nilai koefisien pindah panas konveksi rata-rata data hasil pengukuran adalah 7.27 W/m2oC dengan nilai simpangan baku 1.90 W/m2oC.

3. Pendekatan analitis dapat digunakan untuk menduga nilai koefisien pindah panas konveksi pada permukaan kolam air dangkal dengan persamaan h = 5.277V0.5.

4. Pindah panas radiasi dan konveksi menentukan perubahan panas total air dan pindah panas kondensasi berdasarkan uji statistika dapat diabaikan. Persamaan regresi untuk perubahan energi air total di dataran tinggi dan di dataran rendah adalah masing-masing Qtot = 16.0 – 18.3Qrad + 136Qconv + 57753Qcond dengan

koefisien determinasi R2 = 0.99 dan Qtot = 1.37 – 0.243Qrad – 0.184Qconv +

5906Qcond. dan dengan koefisien determinasi R2 = 0.66.

5. Pendinginan nokturnal pada tanggal 11 sampai dengan 17 Juli 2007 mampu menurunkan suhu air maksimum 7oC di bawah suhu lingkungan di dataran tinggi, sedangkan suhu air di dataran rendah pada tanggal 1 sampai dengan 12 September 2007 mampu diturunkan 1oC.

6. Model-model empiris dan analitis untuk langit cerah tidak dapat langsung di- gunakan untuk menduga radiasi langit di lokasi penelitian. Mengoreksi model empiris untuk radiasi langit cerah dengan pengaruh awan (1 + k) menghasilkan pendugaan yang lebih besar. Dengan memasukkan pengaruh awan sebagai fungsi linier untuk pendugaan radiasi langit di dataran rendah dan polinomial pangkat dua untuk dataran tinggi, menghasilkan pendugaan yang sangat baik untuk semua model empiris dan analitis penduga radiasi langit dengan kisaran nilai koefisien determinasi masing-masing 0.86-0.88 dan 0.74-0.75.

7. Model penduga radiasi langit yang dibangun dari parameter-parameter meteo- rologi lokal tidak menghasilkan performansi pendugaan yang baik dengan nilai koefisien determinasi kecil berkisar 33-36%.

8. Kemampuan pendinginan nokturnal rata-rata untuk bulan Juli tahun 2007 tanggal 11 sampai dengan tanggal 17 di dataran tinggi mencapai 43.7 W/m2 dengan nilai minimum 36.1 W/m2 dan nilai maksimum 65 W/m2. Di dataran rendah pada bulan September 2007 dari tanggal 1 sampai dengan 12, kemam- puan pendinginan nokturnal rata-rata 17.6 W/m2 dengan nilai terendah 14.83

W/m2 dan tertinggi 21.83 W/m2. Pengaruh panas kondensasi di kedua lokasi

9. Di dataran tinggi terjadi pendinginan konveksi dengan nilai rata-rata 1.18 W/m2 yang meningkatkan kemampuan pendinginan nokturnal, sedangkan di dataran rendah terjadi pemanasan konveksi dengan nilai rata-rata 2.35 W/m2.

DAERAH DATARAN RENDAH

Pendahuluan

Kemampuan pendinginan radiasi bergantung pada sifat permukaan benda yang meradiasikan panas, luas permukaan, dan perbedaan pangkat empat antara suhu absolut permukaan benda dengan suhu absolut langit. Hubungan variabel-va- riabel ini dapat digambarkan seperti di dalam persamaan di bawah ini.

4 4

s sur sur rad A T T Q  (129)

Jika hubungan ini dikelompokkan maka kemampuan pendinginan radiasi terdiri atas dua bentuk radiasi panas yang berlawanan arah. Suatu benda dengan permukaan lebih panas di permukaan bumi akan meradiasikan panas ke langit yang lebih dingin. Langit juga meradiasikan panas ke arah permukaan bumi.

Penetapan kemampuan pendinginan radiasi dapat dilakukan dengan cara: pertama, dengan menentukan radiasi langit baik dengan cara mengukur langsung maupun dengan menduga nilainya menggunakan model-model yang dipaparkan di dalam bab sebelumnya. Kedua, dengan cara menentukan suhu langit dan bila suhu langit sudah ditetapkan nilainya maka kemampuan pendinginan radiasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan di atas. Ketiga, dengan menggunakan kesetimbangan energi seperti yang dilakukan oleh Trisasiwi (2000).

Suhu benda dapat diukur dengan tepat, sehingga ketepatan dalam menentu- kan kemampuan pendinginan radiasi bergantung pada ketepatan menetapkan suhu langit. Menurut Tang et al. (2000) suhu langit dapat diukur secara langsung atau secara tidak langsung. Anonim (2007) menyebutkan bahwa suhu langit efektif dapat diukur dengan menggunakan alat dan sebagai dasar perhitungan digunakan asumsi bahwa langit bersifat sebagai permukaan benda hitam sempurna (blackbody).

Bila alat pengukur suhu langit tidak ada maka perlu dicari cara penetapan yang lain. Pendugaan merupakan salah satu pilihan yang mungkin dilakukan ka- rena model-model penduga suhu langit sudah banyak dikembangkan dan diajukan

oleh peneliti-peneliti terdahulu. Model penduga suhu langit dikembangkan dari hasil-hasil penelitian sehingga bersifat empiris dan berlaku secara spesifik untuk lokasi pengambilan data. Ada pula model penduga suhu langit yang dikembang- kan dari pendekatan analitis. Model penduga yang terakhir ini berlaku untuk daerah dengan cakupan lebih luas.

Diketahui bahwa suhu langit bergantung pada sifat pancaran panas langit yaitu emisivitas langit. Berdasarkan pada pendapat ini, pendugaan suhu langit akan dikaji dari pendugaan emisivitas langit. Pendugaan emisivitas langit dapat dilakukan dengan menggunakan hasil-hasil pengukuran parameter meteorologi di dekat permukaan bumi. Model-model penduga emisitas, yang sudah diajukan, be- rupa model penduga yang menganggap emisivitas langit sebagai fungsi dari suhu titik embun, suhu lingkungan, tekanan uap air di udara, atau kombinasi dari ketiga variabel ini.

Jadi dalam penelitian ini dilakukan perhitungan emisivitas efektif langit dan suhu langit yang hasilnya digunakan untuk menguji ketepatan model-model pen- duga yang sudah ada dan untuk menguji ketepatan parameterisasi faktor penentu emisivitas efektif langit. Dikaji nilai emisivitas efektif dan suhu langit untuk da- taran tinggi dan dataran rendah. Model-model penduga suhu langit juga diajukan dengan menggunakan parameter-parameter meteorologi setempat.

Suhu Langit

Marafia et al. (1998) melaporkan suhu langit di Qatar untuk bulan Mei, Juni, Juli, Agustus, dan September berturut-turut adalah 12.9, 12.5, 16.0, 17.4, dan 15.9oC. Suhu langit untuk bulan-bulan tersebut mencapai 16.0, 19.0, 16.5, 13.7, dan 13.5oC di bawah suhu lingkungan. Menurut Arifin (1988) suhu langit rata-rata

pada kondisi cerah di malam hari mencapai 11oC lebih rendah daripada suhu ling-

kungan di Surabaya. Di Cipanas pada bulan September suhu langit cerah rata-rata hasil pendugaan mencapai 5.9oC di bawah suhu lingkungan (Trisasiwi 2000).

Pendugaan Suhu Langit dan Emisivitas Langit. Marafia et al. (1998) menggunakan kesetimbangan panas dalam menduga suhu langit. Persamaan (130)

menerangkan perpindahan panas radiasi yang terjadi antara permukaan radiator yang dianggap sebagai suatu permukaan gray body dengan langit.

4 4

s sur sur rad T T Q  (130)

Qrad adalah panas radiasi netto (W/m2), εsur emisivitas permukaan radiator

dan Tsur merupakan suhu absolut permukaan radiator, sehingga dari persamaan ini

diperoleh pendugaan suhu langit Ts (K):

25 . 0 4         sur rad sur s Q T T (131)

Cara lain yang digunakan dalam menduga suhu langit adalah dengan meng- gunakan asumsi pada keadaan langit. Radiasi langit dapat diterangkan dengan dua pendekatan pindah panas radiasi. Pendekatan pertama dengan menganggap langit sebagai suatu benda yang memiliki permukaan hitam (blackbody) dengan emisi- vitas langit εs bernilai satu dan suhu langit Ts seragam ke seluruh langit (Ramsey

et al. 1981; Marafia et al. 1998; Müller 2001; Golaka dan Exell 2004). 4

s

DLR T

Q (132)

Pendekatan kedua berupa anggapan langit sebagai gray body seperti dite- rangkan di dalam persamaan (12). Dari persamaan (133) dapat dihitung emisivitas efektif langit bila radiasi langit QDLR sudah ditentukan (Staley dan Jurica 1972;

Ramsey et al. 1981). 4 a DLR a T Q  (133)

Menurut Marafia et al. (1998), Bentz (2000) dan Müller (2001) dengan menggantikan radiasi langit persamaan (133) dengan persamaan (132) diperoleh hubungan seperti terlihat dalam persamaan (134), suatu persamaan untuk men- duga emisivitas efektif langit.

4        a s a T T (134)

Alnaser (1990), Bentz (2000), Erell dan Etzion (2000) dan Tang dan Etzion (2004) menggunakan persamaan (135) untuk menduga suhu langit sebagai fungsi dari emisivitas efektif langit εa dan suhu absolut lingkungan dekat permukaan Ta.

a a

s T

T0.25 (135)

Emisivitas Langit Cerah

Maghrabi (2007) mengutip bahwa penelitian pertama kali tentang radiasi langit menggunakan pendekatan empiris dilakukan oleh Ångström (1915) dan Brunt (1932). Penelitian mereka menghasilkan model-model empiris sederhana untuk emisivitas langit cerah yang bergantung pada tekanan uap air dekat permu- kaan.

Menurut Marafia et al. (1998) dan Maghrabi (2007) model empiris Ångström mengandung tiga konstanta empiris yang harus ditetapkan. Persamaan (136) adalah model empiris Ångström dengan konstanta-konstanta empiris A, B dan C yang digunakan untuk menduga emisivitas langit. Kisaran nilai dari kons- tanta empiris A, B dan C berturut-turut 0.75-0.82, 0.15-0.33, dan 0.09-0.22. Berikut ini bentuk umum dari model empiris Ångström.

CPv c a A B    x10 , (136)

Model empiris Brunt (1932) yang dikembangkan dari pendekatan analitis untuk persamaan konduksi di dalam tanah banyak diikuti dan digunakan sebagai dasar untuk mengajukan model-model empiris sederhana (Cellier 1993). Bentuk umum model Brunt terlihat pada persamaan (137). Menurut Ramsey et al. (1981) dan Magrhabi (2007) konstanta a dan b bergantung pada kondisi lokal dan te- kanan uap air Pv. Pada kenyataannya model empiris Brunt lebih disukai karena

hanya mengatur dua konstanta. Model empiris ini banyak digunakan dan kons- tanta a dan b bernilai dalam kisaran 0.3-0.71 dan 0.023-0.110.

v c

a, ab P

(137)

Banyak diajukan model empiris untuk menduga emisivitas langit sebagai fungsi dari tekanan uap air. Magrhabi (2007) mengutip beberapa model empiris, diantaranya model empiris Efimova (1961), Elsasser (1942), Anderson (1954) dan Marshunova (1966). Hubungan antara emisivitas langit dengan tekanan uap air di- ajukan dalam bentuk akar dari tekanan uap air, seperti bentuk awal model yang diajukan oleh Brunt (1932), logaritme atau dalam bentuk linier.

Swimbank (1963) melakukan penilaian kembali terhadap model-model em- piris yang ada untuk mencari cara untuk mengatasi sifat semua model empiris yang bergantung pada lokasi. Menurut Ramsey et al. (1981) dari hasil peng- amatan Swimbank di Lautan India diperoleh hubungan antara emisivitas langit dengan suhu absolut lingkungan. Magrhabi (2007) mengutip Swimbank (1963) yang menyatakan bahwa model empirisnya bersifat umum bila dibandingkan dengan model-model empiris sebelumnya, model empiris Ångström dan Brunt.

Banyak peneliti kemudian mengikuti model empiris Swimbank (1963) be- berapa diantaranya Zilman (1972) dan Ohmura (1981) sebagaimana disebutkan di dalam Magrhabi (2007). Selanjutnya Magrhabi (2007) mengutip bahwa Idso dan Jackson mempertanyakan model empiris Swimbank karena tidak mencakup kisar- an suhu yang cukup luas untuk dapat membuat kesimpulan universal. Menurut Ramsey et al. (1981) Idso dan Jackson memperluas hasil kerja peneliti sebelum- nya dengan melakukan perbaikan model empiris. Goforth et al. (2002) dan Magrhabi (2007) menyebutkan pada tahun 1969 Idso dan Jackson mengusulkan model empiris penduga radiasi langit cerah dalam bentuk umum:

2

273 exp 1 a a  cdT (138)

c dan d adalah konstanta dan Ta suhu lingkungan (K). Idso dan Jackson (1969)

menyimpulkan bahwa rumusnya secara tepat menjelaskan hubungan umum antara emisivitas langit cerah dengan suhu lingkungan dan sahih di setiap lintang dan pada setiap suhu di bumi.

Staley dan Jurica (1972) dalam upaya menduga emisivitas langit, menginte- grasikan emisivitas langit terhadap profil atmosfir ke atas, tekanan uap air, karbon dioksida dan ozon. Tetapi Crawford dan Duchon (1999) mengutip kajian Satterlund (1979) yang menemukan model-model diatas tidak memiliki perfor- mansi baik pada suhu di bawah 0oC. Ramsey et al. (1981) mengutip bahwa

Satterlund (1979) mengajukan model yang sesuai untuk pendugaan pada kondisi itu.

Brutsaert (1975) merupakan peneliti pertama yang membuat pemodelan rumit berdasarkan pada pendekatan ilmu fisika (Ramsey et al. 1981; Cellier 1993; Plüss dan Ohmura 1997; Crawford dan Duchon 1999). Culf dan Gash (1993)

menyimpulkan bahwa model analitis Brutsaert jauh lebih baik bila dibandingkan dengan model-model sebelumnya karena model Brutsaert mudah disesuaikan dengan kondisi lokal. Pendapat ini didukung oleh Lhomme dan Guilioni (2004) yang mengatakan bahwa cara paling umum untuk menghitung radiasi langit ada- lah dengan menggunakan model Brutsaert. Lebih lanjut Magrhabi (2007) menye- butkan bahwa banyak peneliti kemudian mengusulkan model-model empiris baru sebagai hasil pengembangan dari model-model sebelumnya seperti yang dilaku- kan oleh Prata (1996).

Idso (1981) di Arizona menghubungkan antara tekanan uap air dan suhu lingkungan dekat permukaan dengan emisivitas langit (Andeas dan Ackley 1982; Magrhabi 2007). Andeas dan Ackley (1982) menemukan bahwa model Idso (1981) menduga lebih besar daripada emisivitas langit hasil perhitungan bila model digunakan untuk pendugaan emisivitas langit cerah di Artik dan Antartika. Andeas dan Ackley (1982) melakukan koreksi terhadap model empiris Idso (1981).

Radiasi langit cerah bergantung pada kelembaban dan suhu lingkungan dekat permukaan (Andreas dan Ackley 1982). Ulleberg (1998) menyatakan bahwa suhu titik embun merupakan fungsi dari kelembaban relatif udara. Ramsey et al. (1981) dan Bliss (1961) menghitung emisivitas efektif langit dengan menggu- nakan model atmosfir sederhana dan menemukan hubungan antara emisivitas

Dokumen terkait