• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kajian Pustaka

1) Daya Pembeda

Daya pembeda adalah kemampuan butir soal tes hasil belajar dalam membedakan siswa yang mempunyai kemampuan tinggi dan rendah (Purwanto, 2009: 102). Menurut Sulistiyorini (2009: 177) item yang baik adalah item yang mampu membedakan antara kemampuan siswa yang pandai dan siswa yang rendah. Sedangkan pengertian daya pembeda menurut Rakhmat dan Suherdi (2011: 193) daya pembeda adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang mampu dengan siswa yang tidak mampu.

Pendapat lain juga diungkapkan oleh Herman dan Yustiana ( 2014: 264) bahwa daya beda yaitu kemampuan butir

soal untuk membedakan siswa yang memiliki prestasi belajar yang tinggi atau kelompok atas (upper group) dan siswa yang memiliki prestasi belajar rendah atau (lower group).

Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa daya pembeda adalah kemampuan butir soal tes untuk membedakan siswa berkemampuan tinggi (pandai) dengan siswa berkemampuan rendah (kurang pandai). 2) Tingkat kesukaran

Widoyoko (2014: 132) mengungkapkan bahwa tingkat kesukaran (item difficulty) butir soal adalah proporsisi peserta tes menjawab dengan benar terhadap suatu soal. Sedangkan menurut Rakhmat dan Suherdi (2001: 190) tingkat kesukaran (item difficulty) adalah ukuran yang menunjukkan kesulitan soal untuk diselesaikan siswa. Sementara itu, Herman dan Yustiana ( 2014: 261) memaparkan bahwa butir soal yang baik adalah butir soal yang tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar. Butir soal yang terlalu sukar dapat menyebabkan siswa tidak memiliki motivasi memecahkan atau menjawab butir soal tersebut karena sudah di luar jangkauan kemampuannya. Sudjana (2009: 135) mengungkapkan bahwa tingkat kesukaran soal dipandang dari kesanggupan atau kemampuan siswa dalam menjawab soal, bukan dari sudut guru sebagai pembuat soal. Persoalan yang penting dalam melakukan analisis tingkat kesukaran soal adalah penentuan proporsisi soal yang termasuk

mudah, sedang, dan sukar. Perbandingan proporsisi jumlah soal untuk tiga kategori tersebut didasarkan atas kurva normal. Sebagian besar soal berada pada kategori sedang, sebagian lagi berada pada kategori mudah dan sukar dengan proporsisi yang seimbang. Perbandingan antara soal yang mudah-sedang-sukar dapat dibuat 3-4-3. 30% soal dengan kategori mudah, 40% soal dengan kategori sedang, dan 30% soal dengan kategori sukar. Perbandingan juga dapat dibuat 25-50-25, 25% soal dengan kategori mudah, 50% soal dengan kategori sedang, dan 25% soal dengan kategori sukar. Tingkat kesukaran yang baik pada suatu tes adalah 25% mudah, 50% sedang, dan 25% sukar.

Berdasarkan pemaparan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa tingkat kesukaran soal adalah kemampuan siswa menjawab soal yang terdiri dari kategori rendah, sedang, dan tinggi yang dapat diketahui dari banyaknya siswa yang mampu menjawab benar. Proporsi soal dengan tingkat kesukaran yang baik pada suatu tes adalah 25%, mudah, 50% sedang, dan 25% sukar.

3) Analisis pengecoh

Menurut Sudijono (2011: 410) pengecoh adalah alternatif yang bukan merupakan jawaban yang digunakan agar peserta tes dapat tertarik dengan pengecoh jawaban tersebut. Semakin banyak peserta tes yang memilih pengecoh, maka pengecoh tersebut sudah menjalankan fungsinya. Sebaliknya

apabila pengecoh yang dipasang tidak ada yang memilih maka pengecoh tersebut tidak berfungsi. Purwanto (2009:75) memaparkan bahwa pengecoh (distractor) adalah pilihan yang bukan merupakan kunci jawaban. Sedangkan menurut Arikunto (2012: 234) pengecoh dapat berfungsi dengan baik apabila pengecoh tersebut mempunyai daya tarik bagi peserta tes yang kurang memahami materi. Sebuah distractor dapat dikatakan berfungsi dengan baik jika paling sedikit dipilih oleh 5% peserta tes.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pengecoh merupakan alternatif yang bukan merupakan kunci jawaban yang berfungsi untuk mengecoh peserta tes yang kurang memahami materi. Pengecoh dapat dikatakan berfungsi apabila dipilih oleh paling sedikit 5% peserta tes.

4. Tinjauan Pengembangan Tes Hasil belajar

Ada Sembilan langkah yang perlu ditempuh dalam pengembangan tes hasil belajar menurut Mardapi (dalam Widoyoko, 2014: 122). Kesembilan langkah tersebut meliputi:

a. Menyusun Spesifikasi Tes

Menetapkan spesifikasi tes yaitu berisi uraian yang menunjukkan keseluruhan karakteristik yang harus dimiliki suatu tes. Spesifikasi yang jelas akan mempermudah dalam menulis soal dan siapa saja yang menulis soal akan menghasilkan tingkat

kesulitan yang relatif sama. Penyusunan spesifikasi tes mencakup kegiatan: 1) menentukan tujuan tes, 2) menyusun kisi-kisi tes, 3) memilih bentuk tes, dan 4) menentukan panjang tes.

1) Menentukan Tujuan Tes

Ditinjau dari segi tujuannya ada empat macam tes yang banyak digunakan di lembaga pendidikan, yaitu tes penempatan, tes diagnostik, tes formatif, dan tes sumatif. Untuk tujuan penempatan, suatu tes dilaksanakan pada awal pelajaran. Hasil tes ini berguna untuk mengetahui tingkat kemampuan yang telah dimiliki peserta didik. Seseorang perlu tambahan pelajaran atau tidak, ditentukan dari hasil tes penempatan ini.

Tes diagnostik berguna untuk mengetahui kesulitan belajar yang dihadapi peserta didik, termasuk kesalahan pemahaman konsep. Tes ini dilakukan apabila diperoleh informasi bahwa sebagian besar peserta didik gagal mengikuti proses pembelajaran. Tes diagnostik berisi materi yang dirasa sulit oleh peserta didik, namun tingkat kesulitan tes ini cenderung rendah.

Tes formatif bertujuan untuk memperoleh masukan tentang tingkat keberhasilan pelaksanaan proses pembelajaran. Masukan ini berguna untuk memperbaiki strategi mengajar. Tes sumatif bukan untuk menentukan

keberhasilan belajar semata, tetapi untuk mengetahui keberhasilan proses pembelajaran.

Tes sumatif diberikan pada akhir suatu pelajaran, atau akhir semester. Hasilnya untuk menentukan keberhasilan belajar peserta didik untuk mata pelajaran tertentu. Tingkat keberhasilan ini dinyatakan dengan skor atau nilai, pemberian sertifikat, dan sejenisnya. Tingkat kesukaran soal pada tes sumatif bervariasi, sedang materinya harus mewakili bahan yang diajarkan. Hasil tes bisa ditafsirkan sebagai keberhasilan belajar, keberhasilan mengajar, serta keduanya.

2) Menyusun Kisi-kisi Tes

Kisi-kisi atau tabel spesifikasi tes merupakan tabel matrik yang berisi spesifikasi soal-soal yang akan dibuat. Kisi-kisi merupakan acuan bagi penulis soal, sehingga siapapun yang menulis soal akan menghasilkan soal yang isi dan tingkat kesulitannya relatif sama. Matrik kisi-kisi soal terdiri dari dua jalur, yaitu kolom dan baris. Ada empat langkah dalam mengembangkan kisi-kisi tes, yaitu:

(a) Menulis standar kompetensi dan kompetensi dasar. (b) Menentukan indikator.

(c) Membuat daftar pokok bahasan menjadi sub pokok bahasan yang akan diujikan.

3) Memilih Bentuk Tes

Pemilihan bentuk tes yang tepat ditentukan oleh tujuan tes, jumlah peserta tes, waktu yang tersedia untuk memeriksa lembar jawaban tes, cakupan materi, dan karakteristik mata pelajaran yang diujikan. Bentuk tes objektif pilihan ganda sangat tepat digunakan bila jumlah peserta banyak, waktu koreksi singkat, dan cakupan materi yang diujikan banyak. Kelebihan tes objektif bentuk pilihan adalah lembar jawaban dapat diperiksa dengan komputer sehingga objektivitas penskoran dapat dijamin.

4) Menentukan Panjang Tes

Penentuan panjang tes didasarkan pada cakupan materi ujian dan kelelahan peserta tes. Pada umumnya tes tertulis menggunakan waktu 90 sampai 150 menit, untuk tes praktik bisa lebih dari itu. Penentuan panjang tes berdasarkan pengalaman waktu berdasarkan pengalaman saat melakukan tes. Khusus untuk tes baku penentuan waktu berdasarkan hasil ujicoba. Namun tes untuk ulangan di kelas penentuan waktu berdasarkan pengalaman guru. Pada umumnya waktu yang digunakan untuk mengerjakan tes bentuk pilihan ganda adalah 2 sampai 3 menit untuk tiap butir soal.

5) Menulis Soal Tes

Penulisan soal dilakukan setelah langkah pertama, yaitu menyusun spesifikasi tes dilakukan. Penulisan soal

merupakan langkah menjabarkan indikator menjadi pertanyaan-pertanyaan yang karakteristiknya sesuai dengan perincian kisi-kisi yang telah dibuat. Langkah ini perlu dilakukan secara hati-hati agar keseluruhan tes dapat berkualitas baik. Kualitas tes secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh tingkat kebaikan dari masing-masing butir soal. Pertanyaan perlu dikembangkan dan dibuat dengan jelas dan simpel. Soal yang tidak jelas dan terlalu bertele-tele akan menyebabkan interpretasi yang tidak tunggal dan juga membingungkan. Dengan demikian setiap pertanyaan perlu disusun sedemikian rupa sehingga jelas yang ditanyakan dan jelas pula jawaban yang diharapkan.

6) Menelaah Soal Tes

Setelah soal dibuat, perlu dilakukan telaah atas soal tersebut. Hal ini perlu dilakukan untuk memperbaiki soal jika ternyata dalam pembuatannya masih ditemukan kekurangan atau kesalahan. Walaupun telah dipersiapkan dengan baik, kekurangan dan kesalahan pembuatan soal mungkin terjadi selama proses pembuatan berlangsung. Telaah soal ini sebaiknya dilakukan oleh orang lain, bukan si pembuat sendiri. Sering kali kelemahan dan kekurangan, baik dari tata bahasa maupun dari substansi, tidak terlihat oleh pembuat soal. Akan tetapi baik lagi jika telaah dilakukan oleh sejumlah orang yang terdiri dari para ahli yang secara bersama-sama

dalam tim menelaah dan atau mengoreksi soal. Dengan telaah soal ini diharapkan dapat semakin memperbaiki kualitas soal yang terbentuk.

7) Melakukan Uji Coba Tes

Sebelum soal digunakan dalam tes yang sesungguhnya, uji coba perlu dilakukan untuk memperbaiki kualitas soal. Uji coba ini dapat digunakan sebagai sarana memperoleh data empirik tentang tingkat kebaikan soal yang telah disusun. Melalui uji coba dapat diperoleh data tentang reliabilitas, validitas, tingkat kesukaran, pola jawaban, efektivitas pengecoh, daya beda, dan lain-lain. Jika memang soal yang disusun belum memenuhi kualitas yang diharapkan, berdasarkan hasil uji coba tersebut kemudian dilakukan pembenahan atau perbaikan.

8) Menganalisis Butir Soal Tes

Melalui uji coba yang telah dilakukan dapat diperoleh beberapa informasi penting tentang kualitas soal yang telah disusun. Dalam hal ini tentunya termasuk kualitas tiap butir soalnya. Berdasarkan hasil uji coba perlu kiranya dilakukan analisis antara lain: tingkat kesulitan butir soal, daya pembeda, dan juga efektivitas pengecoh.

9) Memperbaiki Tes

Setelah uji coba dilakukan dan kemudian dianalisis maka langkah berikutnya adalah melakukan perbaikan-

perbaikan tentang bagian soal yang masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Langkah ini biasanya dilakukan setiap butir soal, yaitu memperbaiki masing-masing butir soal yang ternyata masih belum baik. Ada kemungkinan beberapa soal sudah baik sehingga tidak perlu direvisi, beberapa butir mungkin perlu direvisi, dan beberapa yang lain mungkin harus dibuang karena tidak memenuhi standar kualitas yang diharapkan.

10) Merakit Tes

Setelah semua butir soal dianalisis dan diperbaiki langkah berikutnya adalah merakit butir-butir soal tersebut menjadi satu kesatuan tes. Keseluruhan butir perlu disusun secara hati-hati menjadi kesatuan soal tes yang terpadu. Dalam merakit soal, hal-hal yang dapat mempengaruhi validitas soal seperti nomor urut soal, pengelompokan bentuk soal, lay out dan sebagainya harus diperhatikan. Hal ini sangat penting karena walaupun butir-butir soal yang disusun telah baik tetapi jika penyusunannya sembarangan dapat menyebabkan soal tersebut menjadi tidak baik.

11)Melaksanakan Tes

Setelah langkah menyusun tes selesai dan telah direvisi pasca uji coba, langkah selanjutnya adalah melaksanakan tes. Tes yang telah disusun diberikan kepada peserta untuk diselesaikan. Pelaksanaan tes dilakukan sesuai

dengan waktu yang ditentukan. Dalam pelaksanaan tes ini memerlukan pengawas agar tes tersebut benar-benar dikerjakan oleh peserta tes dengan jujur dan sesuai dengan ketentuan yang digariskan. Peserta tes yang mengerjakan tidak boleh sampai terganggu oleh kehadiran pengawas. Hal ini akan berakibat tidak akuratnya hasil tes yang diperoleh. Oleh karena itu pelaksanaan tes perlu dilakukan secara hati-hati agar tujuan tes tersebut benar-benar dapat tercapai.

12)Menafsirkan Hasil Tes

Hasil tes menghasilkan data kuantitatif yang berupa skor. Skor ini kemudian ditafsirkan sehingga menjadi nilai, yaitu rendah, menengah, atau tinggi. Tinggi rendahnya nilai ini selalu dikaitkan dengan acuan penilaian. Ada dua acuan penilaian yang sering digunakan dalam bidang psikologis dan pendidikan, yaitu acuan norma dan acuan kriteria. Jadi tinggi dan rendahnya suatu nilai dibandingkan dengan kelompok atau kriteria yang harus dicapai.

Berdasarkan pendapat Mardapi di atas, pengembangkan tes hasil belajar memerlukan langkah-langkah pengembangan yang baik dan benar. Ada sembilan langkah yang perlu ditempuh dalam mengembangkan tes hasil belajar. Kesembilan langkah tersebut adalah : 1) menyusun spesifikasi tes, 2) menulis soal tes, 3) menelaah soal tes, (4) melakukan ujicoba tes, 5) menganalisis butir soal tes, 6)

memperbaiki tes, 7) merakit tes, 8) melaksanakan tes, dan 9) menafsirkan hasil tes.

5. Tinjauan tentang Taksonomi Bloom yang Direvisi

Tes hasil belajar ini akan membahas mengenai ranah kognitif taksonomi Bloom yang sudah direvisi. Taksonomi Bloom hanya mempunyai satu dimensi. Sedangkan taksonomi Bloom yang direvisi memiliki dua dimensi. Dua dimensi itu adalah proses kognitif dan pengetahuan (Anderson & Krathwohl, 2010: 6). Endaryanto (2014: 35) memaparkan bahwa dimensi proses kognitif menunjukan keterampilan berfikir yang hendak dikembangkan dalam kegiatan pembelajaran. Ranah kognitif dalam taksonomi Bloom yakni, mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi dan mencipta. Berikut uraian proses kognitif tersebut.

a. Mengingat

Proses mengingat adalah mengambil pengetahuan yang dibutuhkan dari memori jangka panjang. Kategori proses kognitif mengingat meliputi mengenali dan mengingat kembali. Kata kerja operasional dalam mengingat (remembering) yaitu: mengutip, menyebutkan, menjelaskan, menggambar, membilang, mengidentifikasi, mendaftar, menunjukkan, memberi label, memberi indeks, memasangkan, menamai, menandai, membaca, menyadari, menghafal, meniru, mencatat, mengulang, mereproduksi, meninjau, memilih, menyatakan, mempelajari, mentabulasi, memberi kode, menelusuri, dan menulis.

b. Memahami

Proses memahami konstruksi makna dari pesan-pesan pembelajaran, baik yang bersifat lisan, tulisan ataupun garis. Kategori proses kognitif memahami meliputi menafsirkan, mencontohkan, mengklasifikasi merangkum, menyimpulkan, membandingkan dan menjelaskan. Contoh kata kerja operasional dalam memahami yaitu memperkirakan, menjelaskan, mencirikan, merinci, membandingkan, menghitung, mengubah, menguraikan, membedakan, mendiskusikan, menggali, mencontohkan, menerangkan, mengemukakan, menyimpulkan, merangkum, dan menjabarkan.

c. Mengaplikasikan

Proses mengampikasikan melibatkan penggunaan prosedur- prosedur tertentu untuk mengerjakan soal latihan atau menyelesaikan masalah. Kategori proses kognitif mengaplikasikan mengeksekusi dan mengimplementasikan. Kata kerja operasional dalam ranah mengaplikasikan yaitu menugaskan, mengurutkan, menentukan, menerapkan, menyesuaikan, mengkalkulasi, memodifikasi, mengklarifikasi, menghitung, membangun, mengurutkan, menggambarkan, menggunakan, menilai, melatih, menyelidiki, mengoperasikan, melaksanakan, mengkonsepkan, meramalkan, memproduksi, mengaitkan, menyusun, menstimulasi, memecahkan, melakukan, dan mentabulasi.

d. Menganalisis

Proses menganalisis melibatkan proses memecah-mecah materi jadi bagian-bagian kecil dan menentukan bagaimana hubungan antarbagian dan antara setiap bagian dan struktur keseluruhan. Kategori proses kognitif menganalisis meliputi membedakan, mengorganisasi dan mengatribusi. Kata kerja operasional dalam ranah menganalisis yaitu menganalisis, mengaudit, memecahkan, menegaskan, mendeteksi, mendiagnosis, menyeleksi, memerinci, menominasikan, mendiagramkan, mengkorelasikan, merasionalkan, menguji, mencerahkan, menjelajah, membagankan, menyimpulkan, menemukan, menelaah, memaksimalkan, memerintahkan, mengedit, mengaitkan, memilih, mengukur, melatih, dan mentransfer.

e. Mengevaluasi

Proses mengevaluasi membuat keputusan berdasarkan kriteria dan standar. Kategori proses kognitif mengevaluasi meliputi memeriksa dan mengkritik. Kata kerja operasional dalam ranah menilai/mengevaluasi yaitu membandingkan, menyimpulkan, menilai, mengarahkan, mengkritik, menimbang, memutuskan, memisahkan, memprediksi, memperjelas, menugaskan, menafsirkan, mempertahankan, memerinci, mengukur, merangkum, membuktikan, memvalidasi, mengetes, mendukung, memilih, dan memproyeksikan.

f. Mencipta

Proses mencipta melibatkan proses menyusun elemen- elemen jadi sebuah keseluruhan yang koheren atau fungsional. Kategori proses kognitif mencipta meliputi merumuskan, merencanakan dan memproduksi. Kata kerja operasional yang sesuai dengan ranah mencipta adalah mengabstraksi, mengatur, menganimasi, mengumpulkan, mengkategorikan, mengkode, mengkombinasikan, menyusun, mengarang, membangun, menanggulangi, menghubungkan, menciptakan, mengkreasikan, mengoreksi, merancang, merencanakan, mendikte, meningkatkan, memperjelas, memfasilitasi, membentuk, merumuskan,

menggabungkan, memadukan, membatas, mereparasi,

menampilkan, menyiapkan, memproduksi, merangkum, merekonstruksi, dan membuat.

Berdasarkan penjelasan Anderson dan Krathwohl di atas, ada enam tingkatan proses kognitif dalam taksonomi Bloom yang sudah direvisi. Keenam proses kognitif tersebut meliputi mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi dan mencipta.

6. Tinjauan tentang Matematika

a. Definisi matematika

Zubaedi (2014: 296) menyatakan bahwa mata pelajaran matematika terdapat nilai konsistensi dalam berfikir logis, pemahaman aksioma kemudian mencari penyelesaian melalui pengenalan terhadap kemungkinan yang ada (semua probabilitas)

lalu mengeliminasi sejumlah kemungkinan tertentu dan akhirnya menemukan sesuatu kemungkinan yang pasti akan membawa kepada jawaban yang benar. Dari sini ada pengenalan probabilitas, ada eliminasi probabilitas, ada konklusi yang menunjukan jalan pasti akan menuju kepada suatu jawaban yang benar.

Matematika ialah ilmu yang mengajak siswa untuk berfikir logis dengan mencari jawaban secara pasti, matematika juga dapat mengajak siswa untuk kreatif dalam memecahkan masalah secara sistematis yang dihadapi dengan materi yang dikuasainya, hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Al-Arif (2013: 16-17) menyatakan bahwa matematika merupakan cabang dari logika yang memberikan sesuatu krangka kinerja yang sistematis, dimana suatu hubungan secara kuantitatif dapat dipelajari. Matematika berkaitan dengan sesuatu yang dapat dihitung atau sesuatu yang dinyatakan dalam bentuk kuantitas (jumlah). Sedangkan matematika menurut Tinggih (dalam Suherman, 2003: 16) adalah ilmu pengetahuan yang didapat melalui proses menalar.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Matematika adalah suatu ilmu pengetahuan yang didapat dari proses menalar dan berpikir logis yang mengajak siswa untuk berpikir kreatif dalam memecahkan masalah secara sistematis serta berkaitan dengan sesuatu yang dapat dihitung atau dinyatakan dalam kuantitas (jumlah).

b. Tujuan Umum Pendidikan Matematika

Depdiknas (dalam Susanto, 2013: 184) memaparkan bahwa peran dan fungsi matematika terutama sebagai sarana mengembangkan kemampuan bernalar dalam memecahkan masalah baik pada bidang matematika maupun dalam bidang lainnya. Oleh karena itu, tujuan umum pendidikan matematika ditekankan agar siswa memiliki:

1) Kemampuan yang berkaitan dengan matematika yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah matematika, pelajaran lain ataupun masalah yang berkaitan dengan dunia nyata. 2) Kemampuan menggunakan matematika sebagai alat

komunikasi.

3) Kemampuan menggunakan matematika sebagai cara bernalar yang dapat dialihgunakan pada setiap keadaan seperti berpikir kritis, berpikir logis, berpikir sistematis, bersifat objektif, bersifat jujur, bersifat disiplin dalam memandang, dan menyelesaikan suatu masalah.

Depdiknas (dalam Susanto, 2013: 184) juga menyebutkan bahwa pengajaran matematika di sekolah Dasar bertujuan agar siswa mampu:

1) Melakukan operasi hitung penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian beserta operasi campurannya, termasuk yang melibatkan pecahan.

2) Menentukan sifat dan unsur berbagai bangun datar dan bangun ruang sederhana, termasuk penggunaan sudut, keliling, luas dan volume.

3) Menggunakan sifat simetri, kesebangunan dan sistem koordinat.

4) Menggunakan pengukuran: satuan, kesetaraan antar satuan dan penaksiran pengukuran.

5) Menentukan dan menafsirkan (seperti ukuran tertinggi, terendah, rata-rata, modus), mengumpulkan, dan menyajikan data sederhana.

7. Tinjauan tentang Kompetensi Dasar Melakukan Penaksiran dan Pembulatan

a. Kompetensi Dasar

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2006 (2006: 37) kompetensi dasar merupakan sejumlah kemampuan yang harus dimiliki peserta didik dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan untuk menyusun indikator kompetensi. Hal lain juga diungkapkan oleh Suwandi (2010: 22) bahwa kompetensi dasar adalah pertanyaan minimal tentang pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang direfleksikan pada kebiasaan berpikir dan bertindak setelah siswa menyelesaikan suatu aspek atau sub aspek mata pelajaran tertentu. Sedangkan Kusaeri (2014: 30) mengemukan kompetensi dasar adalah tujuan pembelajaran yang memiliki cakupan luas.

Kompetensi dasar merupakan tujuan pembelajaran yang memiliki cakupan luas pada mata pelajaran tertentu. Kompetensi dasar juga menjadi sebuah acuan dalam pembuatan indikator pada suatu mata pelajaran.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kompetensi dasar merupakan tujuan pembelajaran yang memiliki cakupan luas pada mata pelajaran tertentu dan menjadi acuan dalam pembuatan indikator pada suatu mata pelajaran. 1) Penaksiran merupakan perkiraan terdekat dari suatu hasil

operasi hitung. Caranya dengan membulatkan masing-masing bilangan kemudian hasil pembulatan tersebut dijumlahkan, dikurangkan, dikalikan atau dibagikan (Sumarni dan Kamsiyati, 2009: 49).

2) Pembulatan adalah mengurangi cacahan bilangan namun nilainya hampir sama. Hasil yang diperoleh menjadi kurang akurat, tetapi lebih mudah digunakan untuk menghitung (Sumarni dan Kamsiyati, 2009: 49).

8. Tinjauan tentang Program TAP (Test Analysis Program)

Test Analysis Program (TAP) merupakan salah satu software yang dapat digunakan untuk menganalisis soal tes hasil belajar yang berbentuk pilihan ganda.

TAP dirancang sebagai paket yang kuat dan mudah digunakan. Sebagai analisis tes, pengguna dapat memasukkan data nilai ujian dalam format teks atau memasukkan data tes langsung ke dalam

program. Pengguna dapat mengatur berbagai parameter untuk data sampel, termasuk kesulitan tes, jumlah skor, jumlah item tes, dan jumlah kemungkinan jawaban per item Lewis (dalam Wirastri, 2014: 36). Program TAP dapat digunakan untuk menganalisis:

1) Total nilai yang didapatkan siswa untuk mengetahui rata-rata (mean), maksimum nilai yang didapatkan, minimum nilai yang didapatkan, serta standar deviasi.

2) Tingkat kesukaran item untuk mengetahui tingkat kesukaran

Dokumen terkait