• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daya Saing Nasional

Dalam dokumen Diklat Prajabatan Gol. III WAWASAN NKRI3 (Halaman 34-40)

1. Pengertian

Daya Saing Nasional sebagai istilah terdiri dari dua hal, yaitu "daya saing" dan "nasional". Menurut tata bahasa "daya saing" terdiri dari dua kata yaitu "daya" dan "saing". Kata daya dapat berarti "kemampuan atau kekuatan". Dalam arti "kemampuan untuk melakukan sesuatu atau bertindak",

contohnya bila dihubungkan dengan kata "juang", menjadi daya juang yang berarti "kemampuan untuk mempertahankan atau mencapai sesuatu yang dilakukan secara gigih": (KBBI, 1989).

Selanjutnya kata "saing" dapat berarti berlomba, saling mendahului. Bersaing artinya upaya memperlihatkan keunggulan masing-masing yang dilakukan oleh perorangan, misalnya perusahaan atau negara, seperti bidang-bidang perdagangan, dan produksi, dan sebagainya (Ibid). Dari penjelasan arti kata/istilah tersebut di atas dapat dikatakan, bahwa "daya saing" adalah kemampuan atau upaya untuk menampilkan keungggulan dalam bidang-bidang tertentu diantara mereka yang bersaing. Dengan demikian daya saing nasional bertumpu pada keragam kemampuan bangsa Indonesia menampilkan keunggulan masing-masing daerah dalam bidang-bidang tertentu pada tingkat domestik sesuai potensi/sumberdaya yang dimilikinya. Daya saing tersebut dapat di pandang sebagai kekuatan nasional. Dalam menghadapi arus globalisasi, misalnya bila bangsa Indonesia ingin selalu eksis diantara bangsa-bangsa lain di dunia, maka dengan bekal wawasan kebangsaan yang mantap, bangsa Indonesia harus selalu berupaya memelihara dan bahkan meningkatkan terus daya saing nasionalnya.

Dengan daya saing yang berlandaskan wawasan kebangsaan yang mantap, kita harus mampu menyerap berbagai pengaruh positif dari luar untuk memantapkan dan meningkatkan

kekuatan nasional, dan menangkal pengaruh negatif yang dapat merusak nilai-nilai kejuangan, daya saing nasional dan watak bangsa Indonesia.

2. Daya Saing Nasional Bangsa Indonesia

Potensi/sumber daya masing-masing daerah dalam menunjang pertumbuhan ekonomi daerah wajib digali dan dikembangkan karena pada kelanjutannya akan menunjang daya saing nasional bangsa kita. Kemampuan kompetitif antar daerah bukan ditujukan untuk menonjolkan kemampuan daerah secara berlebihan yang dapat mengarah pada "daerahisme" yang sempit, melainkan untuk menampilkan kemampuan yang beragam yang secara geografis diikat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kemampuan dan atau keunggulan masing-masing daerah sebagaimana dimaksud di atas menuntut peningkatan kualitas sumber daya yang tersedia, utamanya kualitas sumber daya manusia secara berencana dan terarah dalam mengolah sumber daya lainnya untuk menghasilkan produk-produk unggulan sehingga mampu bersaing secara sehat di pasaran domestik. Dengan perkataan lain keunggulan komparatif antar daerah harus bergeser menjadi keunggulan kompetitif sebagai tumpuan daya saing nasional. Pemerintah berkewajiban menciptakan iklim yang menggairahkan masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi melalui berbagai kebijakan yang membuka peluang bisnis pada tingkat daerah.

Pemberdayaan ekonomi daerah merupakan salah satu faktor penting dalam menciptakan daerah yang mandiri melalui kebijakan desentralisasi. Sementara itu daya saing merupakan elemen kunci lain dalam pemberdayaan daerah di era persaingan bebas sekarang ini. Dengan demikian keberhasilan dalam menciptakan daya saing itu sendiri merupakan faktor penting dalam mendorong keberhasilan otonomi daerah. Dalam konteks global, daya saing lokal dan regional harus saling "komplementer" mampu mendukung daya saing nasional untuk berkompetisi dalam kancah persaingan internasional (Martani, 2000).

Untuk menampilkan daya saing nasional yang bertumpu pada kemampuan dan keunggulan masing-masing daerah, maka dalam proses menghasilkan produk unggulan harus dikembangkan kerjasama antar daerah. Misalnya antar daerah Kabupaten dalam satu wilayah Provinsi bahkan antar Provinsi, sehingga terjadi hubungan yang bersifat sinergi yang makin mempererat daya perekat persatuan dan kesatuan bangsa.

Kemampuan dan keunggulan daerah berdasarkan sumberdaya yang dimiliki dalam bentuk keragaman kompetensi misalnya harus dipadukan dalam menghasilkan suatu produk akhir sebagai strategi daya saing yang handal dengan memperhatikan faktor pasar dan persaingan agar dapat diraih keunggulan bersaing yang langgeng. Modal daya saing nasional yang dibangun berlandaskan kekuatan daya saing

daerah ini sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang luas dan nyata pada Daerah Kabupaten dan Kota.

Dalam hubungan dengan pemikiran tersebut Martani Husaini (2000) mengemukakan pendapatnya bahwa: "saatnya penciptaan daya saing dilakukan melalui pengembangan kompetensi inti yang dimiliki oleh setiap daerah. Setelah setiap daerah dapat mengembangkan kompetensi intinya, maka perlu dibarengi dengan mobilisasi tinggi dalam input maupun output. Suatu produk yang bahan bakunya dihasilkan oleh daerah A misalnya, tidak selalu harus diolah menjadi produk manufaktur di daerah A juga. Apabila justru daerah B yang mempunyai kompetensi dalam sektor industri manufaktur yang terkait dengan bahan baku tersebut, maka arus bahan baku harus terjadi dari A ke B melaui pendekatan "Cross Border Value Chain".

Upaya membangun daya saing nasional sangat penting karena kesinambungan pertumbuhan ekonomi kita semakin tergantung pada prestasi ekspor dan kemampuan kita untuk bersaing dengan produk impor di pasar dalam negeri sendiri. Tambahan lagi kesepakatan perdagangan bebas seperti AFTA dan APEC misalnya telah menghadang dihadapan kita (Umar Juoro 1996).

Dalam rangka mendukung upaya peningkatan daya saing nasional, maka kebijakan deregulasi yang menghambat ekspor perlu terus ditingkatkan, karena dalam rangka mening- katkan efisiensi perekonomian permasalahan terbesar adalah pada "hambatan non tarif berupa pungutan resmi maupun tidak resmi dan bentuk-bentuk lisensi lainnya. Kiranya tantangan dalam kebijakan makro adalah: “menghapuskan hambatan non tarif dan lisensi yang tidak transparan untuk meningkatkan efisiensi. Keluhan terhadap birokrasi yang menghambat merupakan keluhan utama dalam penanaman modal.” Bahkan penghapusan hambatan non tarif semestinya didahulukan dalam proses kearah perdagangan bebas (Ibid).

Membangun Karakter (Character Building)

Keberhasilan suatu bangsa dalam mencapai tujuannya, tidak hanya ditentukan oleh dimilikinya sumber daya alam yang melimpah ruah, akan tetapi sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa "Bangsa yang besar dapat dilihat dari kualitas/karakter bangsa (manusia) itu sendiri". Dilihat dari segi manajemen suatu organisasi, maka unsur manusia merupakan unsur yang paling utama dibandingkan dengan unsur-unsur lainnya seperti : uang (money), metode kerja (method), mesin (mechine), perlengkapan (material) dan pasar (market), dikatakan demikian, karena tidak dapat dipungkiri bahwa adanya dayaguna, manfaat, dan peran unsur-unsur tersebut, hanya dimungkinkan apabila unsur "manusia" mempunyai, memiliki daya/kekuatan untuk memberdayakan berbagai unsur di maksud sehingga

masing-masing unsur dapat memberi hasil, manfaat, dayaguna dan peran dalam manajemen tersebut.

Demikian juga halnya kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional sangat tergantung pada kesempurnaan Aparatur Negara dan kesempurnaan Aparatur Negara pada pokoknya tergantung dari kesempurnaan Pegawai Negeri Sipil. Dalam hubungan ini diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang Udang Dasar tahun 1945, Negara dan pemerintah serta yang bersatu padu, bermental baik, berwibawa, berhasilguna, bersih, profesionalisme dan akuntabel dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Apabila dilihat dari peran Pegawai Negeri Sipil sebagai Aparatur Negara, pelayan masyarakat, maka tidak bisa tidak karakter (character) Pegawai Negeri mutlak dibangun sehingga memiliki perilaku yang kondusif dalam mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Dengan demikian Pegawai Negeri Sipil dapat memainkan perannya sebagai perekat persatuan dan kesatuan dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1. Pengertian Membangun Karakter (Character Building)

Dari segi bahasa, Membangun Karakter (Character Building) yang terdiri dari 2 kata yaitu: Membangun (to build) dan

Karakter (Character). Adapun arti "Membangun" bersifat memperbaiki; membina, mendirikan, mengadakan sesuatu. Sedangkan "karakter" adalah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Dalam konteks bahan ajar ini pengertian "membangun Karakter" (Character Building) adalah suatu proses atau usaha yang dilakukan untuk membina, memperbaiki dan atau membentuk tabiat, watak, sifat kejiwaan, akhlak (budi pekerti), insan manusia (masyarakat) sehingga menunjukkan perangai dan tingkah laku yang baik berlandaskan nilai-nilai Pancasila.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa upaya membangun karakter akan menggambarkan hal-hal pokok sebagai berikut:

Merupakan suatu proses yang terus menerus di lakukan untuk membentuk, tabiat, watak dan sifat-sifat kejiwaan yang berlandaskan kepada semangat pengabdian dan kebersamaan;

Menyempurnakan karakter yang ada untuk terwujudnya karakter yang diharapkan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan;

Membina karakter yang ada sehingga menampilkan karakter yang kondusif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dilandasi dengan nilai-nilai falsafah bangsa yakni Pancasila.

Membangun karakter bangsa pada hakekatnya adalah agar sesuatu bangsa atau masyarakat itu memiliki karakter sebagai berikut:

Adanya saling menghormati dan saling menghargai diantara sesama;

Adanya rasa kebersamaan dan tolong menolong;

Adanya rasa persatuan dan kesatuan sebagai suatu bangsa; Adanya rasa peduli dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Adanya moral, akhlak yang dilandasi oleh nilai-nilai agama;

Adanya perilaku dan sifat-sifat kejiwaan yang saling menghormati dan saling menguntungkan;

Adanya kelakuan dan tingkah laku yang senantiasa menggambarkan nilai-nilai agama, nilai-nilai hukum dan nilai-nilai budaya;

Sikap dan perilaku yang menggambarkan nilai-nilai kebangsaan.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka sifat karakter suatu bangsa/masyarakat pada dasarnya dapat dikenali pada dua sifat, yaitu:

Karakter yang bersifat positif, yakni suatu tabiat, watak yang menunjukkan nilai-nilai positif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

Karakter yang bersifat negatif, yakni tabiat, watak yang menunjukkan nilai-nilai negatif terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

2. Faktor-Faktor Membangun Karakter

Karakter sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan berorganisasi, baik organisasi pemerintahan maupun organisasi swasta/usaha dan lain sebagainya. Dapat dikatakan bahwa karakter manusia Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan kunci yang sangat penting untuk mewujudkan cita-cita perjuangan guna terwujudnya masyarakat adil dan makmur berlandaskan Pancasila.

Dikatakan penting karena karakter mempunyai makna atau nilai yang sangat mendasar untuk mempengaruhi segenap pikiran, tindakan dan perbuatan setiap insan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Nilai yang dimaksud adalah antara lain: kejuangan;

semangat;

kebersamaan atau gotong royong; kepedulian atau solider;

sopan santun;

persatuan dan kesatuan; kekeluargaan;

tanggung jawab.

Nilai-nilai seperti tersebut di atas tampaknya cenderung semakin luntur dalam kehidupan berbangsa di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat secara jelas misalnya dengan adanya "Kasus Maluku", yaitu terjadinya konflik horizontal antar etnik dan antar agama yang mencerminkan ketidakkukuhan nilai-nilai kebangsaaan. Seandainya kekukuhan nilai senantiasa terwujud dalam kehidupan setiap insan manusia Indonesia, maka konflik yang banyak merenggut korban itu, tentu akan tidak terjadi. Demikian juga halnya "Kasus Kalimantan" (Pontianak dan Palangkaraya), yakni adanya konflik antar etnik yang juga memakan banyak korban harta maupun jiwa. Disamping konflik agama dan etnik tersebut, juga ditemukan konflik politik yang bersifat regional (daerah), yakni adanya suatu kelompok kekuatan politik di daerah yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang ditandai dengan adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Selain itu di Papua juga terjadi hal serupa yang ditandai dengan adanya gerakan secara terorganisir dari Organissasi Papua Merdeka (OPM).

Kemudian ironisnya lagi maraknya perkelahian antar Pelajar (tawuran), bahkan mahasiswa yang juga tidak sedikit merenggut nyawa diantara sesama mereka dan sudah merembes terhadap kenyamanan dalam kehidupan bermasyarakat. Wawasan kebangsaan nampaknya sudah tidak menjiwai watak masyarkat kita yang selama ini disebut sebagai masyarakat yang penuh toleransi, saling

menghormati di dalam kemajemukan masing-masing dan hidup secara bergotong royong.

Mengingat karakter suatu masyarakat, bangsa dan negara mempunyai nilai dan makna yang sangat strategis, maka faktor-faktor yang perlu dan senantiasa diperhatikan antara lain: Ideologi; Politik; Ekonomi; Sosial Budaya; Agama;

Normatif (hukum dan peraturan perundangan); Pendidikan;

Lingkungan; Kepemimpinan

Dalam dokumen Diklat Prajabatan Gol. III WAWASAN NKRI3 (Halaman 34-40)

Dokumen terkait