TINJAUAN PUSTAKA
2.7 DEEP EUTECTIC SOLVENT (DES) DAN SLUDGE PALM OIL (SPO) DALAM.BIDANG\BIODIESEL
Dalam beberapa tahun terakhir, biodiesel telah menjadi perhatian penting sebagai salah satu alternatif untuk mesin diesel [32]. Biodiesel dihasilkan dari
minyak nabati atau lemak hewani dan memiliki sifat biodegradable, tidak beracun
dan dapat mengurangi emisi polutan udara. Biodiesel berasal dari sumber daya terbarukan, hal ini memungkinkan biodiesel akan bersaing dengan produksi minyak bumi [5]. Secara umum, produksi biodiesel terutama melalui reaksi transesterifikasi melibatkan minyak nabati atau lemak hewan dengan metanol atau etanol dan menggunakan katalis homogen basa atau asam untuk mendapatkan mono-alkil ester [17].
DES saat ini banyak diterapkan dalam bidang sintesis biodiesel, seperti sebagai pelarut dalam penghilangan katalis dari biodiesel [15], sebagai pelarut dalam penghilangan gliserol dari biodiesel [16], sebagai media dalam reaksi
enzimatik sintesis biodieseldan sebagai co-solvent dalam sintesis biodiesel [8].
Namun, penggunaan DES sebagai co-solvent untuk sinstesis biodiesel belum
sepenuhnya dikenal dan dipelajari. Sebuah studi terbaru menunjukkan telah
potensi DES yang berbeda, yaitu sebagai co-solventuntuk sintesis enzimatik
biodiesel. Di sisi lain, pemanfaatan DES sebagai media untuk produksi biodiesel melalui katalisis kimia belum dilaporkan [8].
Hayyan dkk. [5], pada tahun 2010 melaporkan pembuatan biodiesel dari
SPO secara multitahap, dimana pada tahap pretreatment, SPO diesterifikasi
dengan menggunakan asam kuat p-toluenesulfonic acid (pTSA) dan dilanjutkan
dengan transesterifikasi menggunakan basa kuat KOH. Dari penelitian ini, diperoleh yield biodiesel sebesar 76,62% dengan kadar ester 93% dan konversi FFA menjadi FAME sebesar 90,93%.
Untuk menyempurnakan penelitian sebelumnya, maka pada tahun 2011 Hayyan dkk. [6], melaporkan pembuatan biodiesel dari SPO secara multitahap, namun tahap esterifikasi ini dilakukan dengan menggunakan asam kuat
trifluoromethanesulfonic acid (TFMSA) dan dilanjutkan dengan transesterifikasi menggunakan basa kuat KOH. Dari penelitian ini diperoleh hasil akhir transesterifikasi berupa yield sebesar 84% dengan kadar ester 96,7%.
Shahbaz, dkk. [14], pada tahun 2011 telah melaporkan penggunaan DES menjadi pelarut dalam penghilangan katalis basa KOH dari biodiesel yang
berbasis choline chloride (ChCl) dan methyltriphenylphosphoniumbromide
(MTPB) sebagai garam halida organik serta gliserol, ethylene glycol dan 2,2,2-
trifluoroacetamidesebagai donor ikatan hidrogen. Efisiensi penyisihan KOH rata- rata masing-masing 98,59% dan 97,57% untuk DES ChCl: gliserol dan MTPB: gliserol. Hasil penelitian menunjukkan DES berpotensi digunakan sebagai pelarut untuk menghilangkan KOH dari biodiesel.
Shahbaz, dkk. [16], pada tahun 2012 juga melaporkan penggunaan DES
menjadi pelarut dalam penghilangan gliserol dari biodiesel yang berbasis choline
chloride(ChCl) danmethyltriphenylphosphoniumbromide(MTPB) sebagai garam
halida organik serta gliserol, ethylene glycol dan2,2,2-trifluoroacetamide sebagai
donor ikatan hidrogen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa DES berbasis
gliserol sebagai ikatan donor hidrogen memiliki efisiensi removal yang lebih
rendah dan DES berbasis phosphunium sebagai garam halida organik jauh lebih
efisien.
Penggunaan DES berbasis choline chloride dengan gliserol (1:2) juga
dilaporkan sebagai cosolvent dalam sintesis biodisel dengan NaOH sebagai
katalis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa FAME dapat diperoleh
hingga yield 98%. Selain itu, penggunaan DES sebagaico-solvent dalam sintesis
biodiesel ini memiliki kelebihan, seperti meminimalkan jumlah penggunaan pelarut volatil (metanol), mempercepat dan memudahkan pemurnian biodiesel yang diperoleh [8].
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Penggunaan bahan bakar alternatif sangat diperlukan sebagai bentuk jaminan terhadap penggunaan energi, kepedulian terhadap lingkungan, dan untuk alasan-alasan sosio-ekonomi lainnya. Meningkatnya harga minyak dan menipisya cadangan minyak mengharuskan adanya penggunaan energi alternatif untuk mengganti bahan bakar fosil, salah satunya adalah biodiesel [1].
Ada berbagai bahan baku yang dapat digunakan untuk menghasilkan biodiesel. Bahan-bahan tersebut biasanya dikelompokkan menjadi bahan baku yang dapat dikonsumsi dan bahan baku yang tidak dapat dikonsumsi. Dari jenis- jenis bahan baku tersebut, yang lebih dipilih untuk digunakan dalam memproduksi biodiesel adalah kelompok bahan baku yang tidak dapat dikonsumsi, seperti minyak jarak, karanja, dan putranjiva. Namun, adanya permintaan yang tinggi untuk mengurangi biaya dalam menggunakan bahan baku tersebut, menyebabkan banyak peneliti yang mencari bahan baku baru yang lebih murah dan berpotensial untuk dijadikan biodiesel seperti minyak lemak sapi dan minyak jelantah, akan tetapi kedua bahan baku ini memiliki keterbatasan dalam hal kuantitas [2].
Bahan baku yang tidak dapat dikonsumsi namun tersedia dalam jumlah yang cukup sebenarnya dapat diperoleh dari pabrik kelapa sawit, adalah sludge palm oil (SPO). SPO atau minyak sawit lumpur merupakan limbah dari pabrik kelapa sawit dan telah dilaporkan sebagai limbah yang banyak dihasilkan yaitu sekitar 40 juta ton per tahun [2]. Jumlah SPO meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan meningkatnya produk kelapa sawit. Banyaknya SPO yang dapat dihasilkan adalah sebesar 2% dari total jumlah produksi minyak sawit [3]. Bahan baku SPO sendiri sangat potensial di Indonesia mengingat kapasitas produksi minyak sawit mencapai 27,7 juta ton pada tahun 2013 dengan jumlah SPO yang dapat diperoleh adalah 554.000 ton [4]. Dengan demikian, SPO sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan biodiesel.
Penggunaan SPO sebagai bahan baku biodiesel telah banyak dilaporkan. Hayyan dkk. [5] pada tahun 2010 melaporkan pembuatan biodiesel dari SPO secara multitahap, dimana pada tahap pretreatment, SPO diesterifikasi dengan menggunakan asam kuat p-toluenesulfonic acid (pTSA) dan dilanjutkan dengan transesterifikasi menggunakan basa kuat KOH. Dari penelitian ini, diperolehyield biodiesel sebesar 76,62% dengan kadar ester 93% dan konversi free fatty acid (FFA) menjadifatty acid methyl ester(FAME) sebesar 90,93%.
Untuk menyempurnakan penelitian sebelumnya, maka pada tahun 2011 Hayyan dkk. [6] melaporkan pembuatan biodiesel dari SPO secara multitahap, namun pada tahap esterifikasi digunakan asam kuattrifluoromethanesulfonic acid (TFMSA) dan dilanjutkan dengan transesterifikasi menggunakan basa kuat KOH. Dari penelitian ini diperoleh hasil akhir transesterifikasi berupayieldsebesar 84% dengan kadar ester 96,7% [6].
Hayyan dkk. [7], kembali membuat biodiesel dari bahan baku lain yaitu acidic crude palm oil(ACPO) menggunakandeep eutectic solvent(DES) berbasis choline chloridesebagai katalis untuk tahap pendahuluannya (pretreatment). DES yang digunakannya adalah campuran choline chloride dengan p-toluenesulfonic acid monohydrate sebagai hydrogen bond donor (HBD). DES ini digunakan sebagai pretreatment tahap esterifikasi untuk menurunkan kadar FFA dalam ACPO dan kemudian dilanjutkan dengan tahap transesterifikasi menggunakan katalis basa. Penelitian ini menghasilkanyieldsebesar 92 % berat, kadar FFA 0,07 % berat dan FAME 96 mol% pada produk akhir transesterifikasi.
Penggunaan DES berbasis choline chloride dengan gliserol (1:2) juga dilaporkan sebagai cosolvent dalam pembuatan biodisel dengan NaOH sebagai katalis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa FAME dapat diperoleh hinggayield98% [8].
Berdasarkan hal yang dilaporkan di atas, maka peneliti ingin mengkaji proses pembuatan biodiesel dari SPO menggunakan cosolvent DES berbasis choline chloride dengan gliserol, dimana pembuatan biodiesel tersebut hanya dilakukan dalam satu tahap (tanpa esterifikasi).