• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teoritis 1. Distribusi Pendapatan

2.1.4. Defenisi Kesejahteraan Masyarakat

Kesejahteraan adalah suatu kegiatan kondisi agregat dari kepuasan individu-individu yang mengantarkan pemahaman yang kompleks. Pertama tentang lingkup substansi kesejahteraan tersebut. Kedua, intensitas substansi tersebut dapat direpresentasikan secara agregat. Meskipun tidak ada suatu batasan yang tegas tentang kesejahteraan itu sendiri. Akan tetapi kesejahteraan

15

menyangkut pada pendidikan, kesehatan, diperluas pada perlindungan sosial seperti kesempatan kerja, perlindungan hari tua sampai keterbebasan dari kemiskinan (Ismail, 2013).

Kesejahteraan atau sejahtera dapat memiliki empat arti (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Dalam istilah umum, sejahtera menunjuk ke keadaan yang baik, kondisi manusia di mana orang-orangnya dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai. Dalam ekonomi, sejahtera dihubungkan dengan keuntungan benda. Sejahtera memliki arti khusus resmi atau teknikal (lihat ekonomi kesejahteraan), seperti dalam istilah fungsi kesejahteraan sosial.

Menurut Drewnoski (1974) dalam Bintarto (1989), melihat konsep kesejahteraan dari tiga aspek yaitu: (1) dengan melihat pada tingkat perkembangan fisik (somatic status), seperti nutrisi, kesehatan, harapan hidup, dan sebagainya; (2) dengan melihat pada tingkat mentalnya, (mental/educational status) seperti pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya; (3) dengan melihat pada integrasi dan kedudukan social (social status).

Menurut Todaro kesejahteraan W = ( Y,I,P ) dimana W adalah kesejahteraan, Y adalah pendapatan perkapita, I adalah ketimpangan, P adalah kemiskinan absolute dimana ketiga variabel ini mempunyai tingkat signifikan yang berbeda-beda dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Todaro, 2006).

Biro Pusat Statistik Indonesia (2000) menerangkan bahwa guna melihat tingkat kesejahteraan rumah tangga suatu wilayah ada beberapa indicator yang dapat dijadikan ukuruan, antara lain adalah :

16

1. Tingkat pendapatan keluarga;

2. Komposisi pengeluaran rumah tangga dengan membandingkan

pengeluaran untuk pangan dengan non-pangan; 3. Tingkat pendidikan keluarga;

4. Tingkat kesehatan keluarga, dan

5. Kondisi perumahan serta fasilitas yang dimiliki dalam rumah tangga. Dalam memahami realitas tingkat kesejahteraan, pada dasarnya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan tingkat kesejahteraan antara lain : (1) sosial ekonomi rumah tangga atau masyarakat, (2) struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar kegiatan produksi rumah tangga atau masyarakat, (3) potensi regional (sumberdaya alam, lingkungan dan infrastruktur) yang mempengaruhi perkembangan struktur kegiatan produksi, dan (4) kondisi kelembagaan yang membentuk jaringan kerja produksi dan pemasaran pada skala lokal, regional dan global (Taslim, 2004).

Menurut Badan Pusat Statistik (2005), indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan ada delapan yaitu pendapatan, konsumsi atau pengeluaran keluarga, keadaan tempat tinggal, fasilitas tempat tinggal, kesehatan anggota keluarga, kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan, kemudahan memasukkan anak ke jenjang pendidikan, kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi.

17 2.2. Penelitian Terdahulu

T. Makmur, Safrida dan Kharisma Jayanth (2011) dalam jurnalnya yang berjudul “Ketimpangan Distribusi pendapatan Rumah Tangga Masyarakat Desa Di Kecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar” menghasilkan bahwa:

1. Dari hasil analisis menggunakan koefisien Gini (Gini Ratio) dapat disimpulkan bahwa ketimpangan yang terjadi di Kecamatan Peukan Bada adalah ketimpangan sedang untuk pekerjaan penduduk sebagai petani dan buruh dan ketimpangan rendah untuk pekerjaan penduduk sebagai pedagang dan PNS. Apabila dilihat secara keseluruhan sampel diperoleh indeks Gini sebesar 0,386 ini artinya pada Kabupaten Peukan Bada mempunyai nilai ketimpangan distribusi pendapatannya sedang.

2. Berdasarkan kriteria Bank Dunia, tingkat ketimpangan diukur dengan ketentuan apabila 40% penduduk pendapatan rendah menerima lebih kecil dari 12% dari jumlah pendapatan seluruhnya maka digolongkan pendapatan tinggi sedang atau kurang merata, kelompok rumah tangga yang berada pada kategori ini adalah petani. Dan kelompok rumah tangga pedagang, PNS dan buruh berada pada kategori sedang, karena menerima lebih dari 12% pendapatan. Lebih lanjut apabila dilihat secara keseluruhan untuk secara keseluruhan Kecamatan Peukan Bada memperlihatkan bahwa pendapatan masyarakat di wilayah masih kurang merata atau ketimpangan sedang,

18

Hal ini menunjukkan bahwa 40% penduduk pendapatan rendah menerima 11,4% pendapatan per tahun, itu artinya ketimpangan di Kecamatan Peukan Bada masih kurang merata atau ketimpangannya sedang.

Halim, Salmiah, dan Satia (2011) dalam jurnalnya yang berjudul “Distribusi Pendapatan Dari Tingkat Kemiskinan Petani Kopi Arabika di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi” menghasilkan bahwa: 1. Selain menjadikan usaha tani kopi Arabika sebagai sumber mata

pencaharian utama, petani sampel juga menekuni berbagai cabang usaha lain sebagai sumber mata pencaharian tambahan seperti, usaha tani nonkopi Arabika dan kegiatan produktif lain diluar usahatani. Pendapatan petani sampel dari usahatani kopi Arabika mampu memberikan kontribusi terbesar terhadap total pendapatan petani selama tahun 2011 sebesar 65,68%

2. Tingkat ketimpangan distribusi pendapatan petani sampel menurut indikator koefisien Gini (Gini Ratio) berada dalam kategori menengah dengan nilai Gini Ratio sebesar 0,36. Sedangkan menurut indikator Bank Dunia (World Bank), tingkat ketimpangan distribusi pendapatan petani sampel berada dalam kategori rendah karena kelompok 40% petani yang berpendapatan terendah menguasai lebih dari 17% jumlah keseluruhan pendapatan petani, sebesar 19,26%.

3. Menurut kriteria garis kemiskinan Sajogyo (1988), jumlah petani kopi Arabika miskin di Desa Tanjung Beringin selama tahun 2011 ialah sebanyak 9 keluarga atau sekitar 21,43%. Sementara itu menurut kriteria garis kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS; 2010), jumlah petani kopi

19

Arabika miskin di Desa Tanjung Beringin selama tahun 2011 ialah sebanyak 7 keluarga atau sekitar 16,67%, sedangkan selebihnya sebanyak 35 keluarga atau sekitar 83,33% berada dalam kategori tidak miskin.

Retnosari (2006) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Pengaruh Ketimpangan Distribusi Pendapatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat” menyimpulkan bahwa:

1. Faktor tingkat ketimpangan distribusi pendapatan penduduk Jawa Barat mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dengan koefisien positif. Hal ini menandakan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur dengan rasio Gini berjalan searah dengan laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Semakin tinggi tingkat ketimpangan pendapatan, maka pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat akan semakin meningkat pula.

2. Pengaruh variabel lain yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Jawa Barat diantaranya; pertama, faktor laju pertumbuhan penduduk Jawa Barat ternyata memiliki pengaruh yang negatif yang signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi, yang berarti juga laju pertumbuhan penduduk meningkat maka laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat akan semakin menurun. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Thomas Robert Maltus; kedua, faktor pengeluaran pemerintah Jawa Barat memiliki pengaruh yang positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Hal ini menunjukan pengaruh pengeluaran pemerintah yang signifikan dalam percepatan pertumbuhan ekonomi, yang artinya kebijakan alokasi

20

pengeluaran pemerintah tepat sasaran; ketiga, investasi dalam negeri periode sebelumnya berpengaruh positif yang signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi, yang berarti juga jika investasi dalam negeri periode sebelumnya meningkat maka laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat akan semakin meningkat.

Yasa dan Arka (2015) dalam jurnalnya yang berjudul “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas Pendapatan Antardaerah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Provinsi Bali” menyimpulkan bahwa disparitas pendapatan antardaerah provinsi bali yang diukur dengan indeks williamson dalam periode 2001-2012 mengalami penurunan dengan nilai rata-rata sebesar 0,29 yang berarti disparitas tergolong dalam kriteria rendah. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap disparitas pendapatan antardaerah. Disparitas pendapatan antardaerah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat, sedangkan pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi Bali. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh tidak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi Bali melalui disparitas pendapatan antardaerah, atau dengan kata lain disparitas pendapatan antar daerah merupakan variabel mediasi dalam pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi Bali.

Sugiharto (2007) dalam jurnalnya yang berjudul “Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan Desa Benua Baru Ilir Berdasarkan Indikator Badan Pusat Statistik” menyimpulkan bahwa Berdasarkan indikator BPS tahun 2005

Dokumen terkait