• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

C. Defenisi Operasional

Definisi operasional merupakan pembatasan tentang hal-hal yang diamati. sebagai konsep pokok dalam penelitian ini adalah : revitalisasi, Pendidikan Kewarganegaraan, pembinaan, warga negara, lembaga pemasyarakatan anak. 1. Revitalisasi

Pada hakikatnya terdapat pengertian yang beragam terhadap istilah “revitalisasi”. Menurut hemat penulis istilah “revitalisasi” dapat dipahami sebagai

60

Thomy Sastra Atmaja, 2013

Revitalisasi Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Program Pembinaan Warga Negara Indonesia Muda Di Lembaga Pemasyarakatan Anak (Studi Deskriptif Pada Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas IIB Propinsi Kalimantan Barat)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

upaya penguatan atau mengiatkan kembali sesuatu dalam sebuah program yang terencana.

Adapun yang menjadi dasar pemikiran dari gagasan diatas yakni mengacu pada defenisi yang digariskan dalam Kamus Ilmiah Populer (2009:373) bahwa istilah ”revitalisasi” memiliki kesamaan arti dengan “proses; cara; kegiatan

menghidupkan atau mengiatkan kembali”. Dari defenisi diatas, kiranya dapat

ditegaskan bahwa istilah “revitalisasi” dapat disamakan artinya dengan proses penguatan atau mengiatkan kembali.

Sehingga dalam kaitannya dengan penggunaan istilah revitalisasi Pendidikan Kewarganegaraan sebagaimana judul penelitian ini, dapat dipahami sebagai upaya penguatan PKn dalam program pembinaan warga negara di Lembaga Pemasyarakatan Anak (LAPAS Anak).

2. Pendidikan Kewarganegaraan

Menurut hemat penulis, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam kedudukannya sebagai civic education merupakan mata pelajaran dasar yang diberikan disekolah yang bertujuan membentuk anak menjadi warga negara yang cerdas dan baik. Sedangkan Pendidikan Kewarganegaraan dalam kedudukannya sebagai citizenship education adalah konsep-konsep dan praktik PKn yang lebih luas yang dilaksanakan di sekolah dan di luar sekolah seperti rumah, organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, lingkungan masyarakat, media massa dan lain sebagainya yang bertujuan membentuk warga negara yang dan baik.

Adapun yang menjadi dasar pemikiran dari gagasan diatas yakni mengacu pada teori-teori berikut. Sebagaimana Cogan (1999:4) memberikan batasan dari kedua istilah tersebut :

“Civic education,…the foundation course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult live. “Citizenship Education or Education for Citizenship”,… both these in school experiencess as well as out of school or non formal an formal learning which takes place in the family, the religious organization.

61

Thomy Sastra Atmaja, 2013

Revitalisasi Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Program Pembinaan Warga Negara Indonesia Muda Di Lembaga Pemasyarakatan Anak (Studi Deskriptif Pada Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas IIB Propinsi Kalimantan Barat)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Community organizations, the media. Etc which help to shape the totally of

the citizens”.

Dari kutipan diatas, dapat dipahami bahwa civic education atau Pendidikan kewarganegaraan adalah suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang di rancang untuk mempersiapkan warga negara muda agar dapat berperan aktif didalam kehidupan masyarakat kelak setelah mereka dewasa. Kemudian lebih lanjut dikatakan citizenship education atau Pendidikan Kewarganegaraan atau Pendidikan untuk kewarganegaraan keduanya itu mencakup pengalaman belajar disekolah dan luar sekolah seperti rumah, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, media massa dan lain sebagainya yang berperan membantu proses pembentukan totalitas atau keutuhan sebagai warga negara.

Selanjutnya gagasan mengenai citizenship education juga dikemukakan oleh Winataputra (Sapriya, 2012:30) bahwa “...citizenship education...memiliki paradigma sistemik dengan tiga domain yakni : domain akademis, domain kurrikuler, dan domain sosial-kultural”. Kemudian dikesempatan yang berbeda, berkaitan dengan ketiga domain yang dilahirkan oleh konsep citizenship education sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, Sapriya (2012:30-31) memberikan batasan secara jelas mengenai ruang lingkup dari ketiga domain tersebut bahwa:

“Domain akademis adalah berbagai pemikiran tentang pendidikan kewarganegaraan yang berkembang dilingkungan komunitas ilmiah. Domain kurikuler adalah konsep dan praksis PKn dalam dunia pendidikan formal dan nonformal. Domain sosial-kultural adalah konsep dan praksis PKn di lingkungan masyarakat “.

Dari gagasan diatas dapat dipahami bahwa mata pelajaran Pendididkan Kewarganegaraan dalam kedudukannya sebagai citizenship education memiliki tiga domain, yakni domain akademis merupakan berbagai pemikiran PKn yang berkembang didalam komunitas ilmiah, domain kurikuler merupakan konsep dan praktik PKn didalam dunia pendidikan formal dan nonformal, serta domain sosial-kultur merupakan konsep dan praktik PKn di lingkungan masyarakat.

62

Thomy Sastra Atmaja, 2013

Revitalisasi Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Program Pembinaan Warga Negara Indonesia Muda Di Lembaga Pemasyarakatan Anak (Studi Deskriptif Pada Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas IIB Propinsi Kalimantan Barat)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu 3. Pembinaan

Menurut hemat penulis, pembinaan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang secara sadar, terencana, terarah, teratur dan bertanggung jawab dalam mendidik individu lainnya agar manjadi lebih baik.

Adapun yang menjadi dasar pemikiran dari gagasan diatas yakni mengacu pada teori-teori berikut. Sebagaimana digariskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998: 117) bahwa : “membina adalah membangun, mendirikan

dan mengusahakan supaya lebih baik”. Sedangkan menurut Simandjuntak (1980:

84) menyatakan bahwa:

“Pembinaan pada dasarnya adalah upaya pendidikan baik formal maupun non formal yang dilaksanakan secara sadar ,berencana dan terarah ,teratur dan bertanggung jawab dalam rangka memperkenalkan menumbuhkan dan membimbing dan mengembangkan suatu dasar- dasar kepribadian yang seimbang, utuh dan selaras, pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan bakat ,kecenderungan dan keinginan serta kemampuan sebagai bekal untuk selanjutnya atas prakarsa sendiri, menambah dan meningkatkan dirirnya, sesamanya maupun lingkungannya kearah tercapainya martabat mutu dan kemampuan manusiawi yang optimal dan pribadi yang mandiri”.

Dari kedua gagasan di atas, dapat dipahami bahwa pembinaan hakikatnya merupakan upaya pendidikan yang dapat dilakukan baik secara formal maupun non formal. Pembinaan dapat pula dipahami sebagai proses pembelajaran yang mengembangkan potensi diri serta bakat sesorang agar menjadi lebih baik.

4. Warga Negara.

Menurut hemat penulis, warga negara adalah anggota dari sebuah kelompok atau komunitas yang kehidupannya diatur oleh hukum. Sedangkan yang dimaksud warga negara Indonesia adalah seseorang yang secara status telah ditetapkan oleh undang-undang menjadi warga negara Indonesia. Adapun yang menjadi dasar pemikiran dari gagasan diatas yakni mengacu pada teori-teori berikut.

63

Thomy Sastra Atmaja, 2013

Revitalisasi Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Program Pembinaan Warga Negara Indonesia Muda Di Lembaga Pemasyarakatan Anak (Studi Deskriptif Pada Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas IIB Propinsi Kalimantan Barat)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Sebagaimana Wahab dan Sapriya (2011: 183) secara general memberikan defenisi

mengenai warga negara bahwa “...warganegara adalah anggota suatu komunitas.

Kemudian defenisi yang senada juga dikemukakan oleh Turner (Wahab dan Sapriya, 2011:202) bahwa ‘a citizen is a member of a gruop living under certain

laws’, pengertiannya bahwa warga negara adalah anggota dari kelompok manusia

yang hidup atau tinggal diwilayah hukum tertentu.

Di dalam UUD 1945 pasal 26 (ayat 1) digariskan bahwa “ Yang menjadi warga negara ialah orang Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan oleh undang-undang sebagai warga negara. Sebagai peraturan pelaksana, kemudian didalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia pasal 1 (ayat 1) kembali diperjelas mengenai defenisi warga negara Indonesia bahwa “ warga negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan”.

Dari ketentuan yang digariskan diatas dapat dipahami bahwa yang menjadi warga negara Indonesia adalah orang Indonesia asli dan bangsa-bangsa keturunan lain yang telah diakui oleh undang-undang sebagai bagian dari warga negara Indonesia.

5. Lembaga Pemasyarakatan

Menurut hemat penulis lembaga pemasyarakatan (LAPAS) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan (ANDIKPAS) berdasarkan sistem pembinaan pemasyarakatan.

Adapun yang menjadi dasar pemikiran dari gagasan diatas yakni mengacu pada ketentuan yang digariskan di dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan pasal 1 (ayat 1) digariskan bahwa: “Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Kemudian lebih lanjut pada pasal 1 (ayat 3) digariskan bahwa:

64

Thomy Sastra Atmaja, 2013

Revitalisasi Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Program Pembinaan Warga Negara Indonesia Muda Di Lembaga Pemasyarakatan Anak (Studi Deskriptif Pada Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas IIB Propinsi Kalimantan Barat)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

“Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk

melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan”. D.Instrumen Penelitian.

Karena penelitian ini mengunakan pendekatan penelitian kualitatif, maka yang menjadi instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri (human instrument), untuk dapat menjadi instrument, maka dalam melaksanakan penelitian, peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas, sehingga dengan bekal tersebut mendukung peneliti untuk mampu bertanya, menganalisis, memotret, serta mengkonstruksi berbagai persoalan yang diteliti hingga menjadi lebih jelas dan bermakna. Sesuai dengan pendapat Nasution (Sugiono, 2011:223) yang menyatakan:

Dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama. Alasannya ialah bahwa, segala sesuatunya belum mempunya bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang penelitian itu. Dalam keadaan yang serba tidak pasti dan tidak jelas itu, tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri sebagai alat satu-satunya yang dapat mencapainya.

Dari urian diatas, dapat dipahami bahwa didalam menghadapi karakteristik penelitian kualitatif yang segala sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti atau senantiasa berkembang sepanjang penelitian berlangsung, maka yang bertindak sebagai instrumen penelitian adalah peneliti sendiri (human instrument) agar dapat mengungkap fakta-fakta di situs penelitian. Sejalan dengan konsep tersebut Lincoln dan Guba (Satori dan Komaria, 2011:62) turut menjelaskan bahwa “manusia sebagai instrumen pengumpul data mamberikan keuntungan, dimana ia dapat bersikap fleksibel dan adaptif, serta dapat mengunakan

65

Thomy Sastra Atmaja, 2013

Revitalisasi Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Program Pembinaan Warga Negara Indonesia Muda Di Lembaga Pemasyarakatan Anak (Studi Deskriptif Pada Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas IIB Propinsi Kalimantan Barat)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

sebagai instrument penelitian dengan ciri-ciri sebagaimana yang dikemukakan Nasution (1997:55) sebagai berikut :

a. Peneliti sebagai alat peka dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi penelitian. Tidak ada instrumen lain yang bereaksi dan berinteraksi terhadap demikian banyak faktor dalam situasi yang senantiasa berubah; b. Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan terhadap semua aspek

keadaan dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus. Tidak ada alat penelitian lain, seperti yang digunakan dalam penelitian kualitatif, yang dapat menyesuaikan diri dengan bermacam-macam situasi serupa itu. Suatu tes hanya cocok untuk mengukur variabel tertentu akan tetapi tidak dapat dipakai untuk mengukur macam-macam variabel lainnya;

c. Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh. Ia dapat menafsirkannya melahirkan hipotesis dengan segera untuk menentukanarah pengamatan untuk mengetes hipotesis yang timbul seketika;

d. Hanya peneliti sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan segera menggunakannya sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, perbaikan atau penolakan.

Peneliti kualitatif sebagai human istrument, dapat dipahami sebagai alat yang dapat mengungkap fakta-fakta di situs penelitian secara elastis dan tepat, ia bertugas melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas semuanya. Selain itu peneliti kualitatif dapat melihat situasi dan berbagai perkembangan di situs penelitian. Memiliki adaptabilitas yang tinggi sehingga dapat menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah-rubah tersebut yang dihadapi dalam penelitian. Ia senantiasa dapat memperluas pertanyaan-pertanyaan untuk memperoleh data secara holistik menurut keinginan peneliti.

Dokumen terkait