• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salah satu defenisi dari pemimpin dan kepemimpinan yang esensial terletak pada “kemampuan mengakui potensi/bakat khusus dan keterbatasan dirinya

Dalam dokumen Resensi Buku 002 (Halaman 31-34)

sendiri serta menggabungkannya dengan kemampuan orang lain demi memberi peluang bagi mereka guna melakukan kemampuan terbaik mereka”. Seorang pemimpin yang berhasil adalah ia yang mengkombinasi dua aspek ini secara sekaligus (sebagai penampakan dari type dan gaya kepemimpinan yang paling tinggi).43

Kemampuan memilih orang yang tepat, tindakan ini dimaknai secara sangat baik sebagai: “dapat dengan nyaman mendelegasikan suatu tanggungjawab kekuasaan”, ini juga diartikan sebagai kepemimpinan.44 Kemampuan ini akan menjauhkan seorang pemimpin dari ancaman frustasi bagi dirinya. Tanggungjawab mendelegasikan adalah sesuatu yang sepadan dengan menikmati dan melaksanakan kewibawaan.

Seorang pemimpin yang dengan senang hati mendelegasikan tanggungjawabnya tetapi ia enggan melepaskan kekuasaan dari tangannya, sikap ini adalah sikap yang tidak bertanggungjawab dan tidak efektif. Sikap yang cenderung menafsirkan sesuatu hal, ini juga indikasi dari rasa hilangnya percaya diri, yakni sebagai lemah dan kabur. Sikap seperti ini juga, sangat tidak mendukung bagi terciptanya iklim koordinasi dan kemitraan yang baik. Memberi kesempatan kepada anggota yang lebih muda, tindakan ini lebih efektip dari pada tetap merasa mampu mengendalikan kehidupan lembaga kerja yang dipimpin. Akhirnya, seorang pemimpin yang gagal mendelegasikan sesuatu hal,

42Ibid., hal. 127-131

43Dwight L. Moody (seorang hakim agung) pernah berkata bahwa “ia lebih suka menempatkan seribu orang untuk mengerjakan suatu pekerjaan dari pada ia sendiri melakukan pekerjaan seribu orang manusia”.

44 Hikmat pernyataan ini dipertegas oleh pernyataan ini: “kemampuan menghargai keragaman bakat dan potensi para pekerja, dan kemudian menolong mereka sepanjang batas-batas kepribadian mereka bekerja

situasi ini akan berdampak cacat baginya dan kemudian akan menyingkirkan dirinya dari pemenuhan tanggungjawab kepemimpinan itu. Seorang pemimpin yang selalu gagal mendelegasikan (melepaskan) potensi kepemimpinan yang dimilikinya kepada bawahannya, adalah seorang pemimpin yang selalu menghendaki dirinya sebagai “single fighter” (petarung sendiri). Pada hal adalah sangat efektip bila seorang pemimpin mampu mendelegasikan tanggungjawab kepemimpinan itu kepada pihak di bawah jabatannya. Metode pendelegasian yang paling efektip adalah bila ia mampu menekankan sikap percaya pada sejawatnya (bawahanya). Satu pengalaman yang paling menyenangkan bagi sejawat yakni bila dari kebanggan terbesar seorang pemimpin, ia dipercayai dengan segala potensi yang ada pada dirinya.

Kisah pendelegasian yang paling terkenal sesuai kesaksian kitab suci, dapat ditemukan pada Kel. 18:1-27 (kisah tentang nasehat Jetro kepada keponakannya Musa). Ketika bangsa Israel hendak akan keluar dari Mesir, mereka adalah sekumpulan budak yang tidak teroganisir dengan baik. Melalui peristiwa itu, sebuah semangat baru sebagai sekumpulan umat, muncul tiba-tiba dan nyata berkembang dengankuat, melalui semangat inilah mereka akhirnya menjadi satu komunitas yang terorganisir denga baik. Satu beban yang sangat berat di pundak Musa, akhinya menjadi ringan karena didorong oleh nasehat Jetro kepada Musa. Dari pagi hingga malam, Jetro melihat langsung serta mendengarkan tuntutan dan masalah-masalah umat Israel kepada Musa akibat dari peristiwa yang baru saja terjadi. Musa merasa seakan tidak dapat bertahan menanggung semua keadaan. Akhirnya, dengan dua alasan ia mendelegasikan tanggungjawabnya, yakni: pertama, Musa menyadari batas-batas dari kemampuannya secara fisik sehingga ia tidak yakin dapat selamat keluar dari Mesir (Kel. 18:18). Kedua, umat Israel tidak puas karena mereka tidak memperoleh perhatian atas apa yang mereka inginkan.

Berbagi beban dan tanggungjawab, sikap ini akan mempercepat pengambilan keputusan demi menyelesaikan masalah (Kel. 18:23). Untuk meyakinkan Musa, Jetro memenasehati Musa agar “ia melakukan dan melanjutkan tanggungjawabnya mewakili Allah”. Dua tekanan nasehat meyakinkan Musa yakni: “mengajarkan prinsip-prinsip spritual dan mendorongnya melakukan fungsi dari tanggungjawab dirinya”. Pikiran yang berkecamuk terjadi dalam diri Musa yakni, harus mendelegasikan fungsinya dan pada sisi yang lain ia adalah pemegang jabatan sebagai orang yang telah dipilih Allah. Nasehat Jetro adalah penting namun bagi Musa, alternatif pilihan bijaksana yakni melaksanakan pemanggilan Allah bagi dirinya sebab adalah satu kegagalan (kehancuran) bila tidak melakukan pemanggilan Allah pada dirinya. Ketika Musa mendengarkan nasehat Jetro, akhirnya ia mampu mengkonsentrasikan dirinya untuk membuang berbagai unsur yang membebani dirinya, bahkan ia mampu menampakkan realisasi dari tanggungjawab kepemimpinannya. Keberhasilan yang dicapai Musa (dari pengaruh baik nasehat Jetro yang menekankan prinsip spritual yang relevan, Kel. 18:23), Allah memampukan hambaNya untuk melakukan tanggungjawabnya secara utuh. Melalui nasehat Jetro, Musa yakin bahwa pemilihan Musa hanya bertujuan agar pemilihan itu memampukan dirinya melakukan tanggungjawabnya bahwa “orang yang takut akan Tuhan sendirinya Tuhan akan memberi hikmat dan kebijkasanaan kepada hambaNya”.

Satu kesalahan, jika seorang pemimpin menganggap bahwa dirinya telah cukup puas jika hanya melakukan kewajibannya saja. Tidak ada kebajikan yang lebih ilahi daripada bersikap elegan di lingkungan pekerjaan sehari-hari. Dan sangat lebih baik bila seorang pemimpin mampu mengakui, menerima kelemahan dan keterbatasan dirinya sendiri. “Seorang pemimpin besar adalah ia yang tidak selalu menafsirkan pekerjaan orang lain di bawah kepemimpinannya, tetapi ia yang membiarkan orang lain bebas bertindak untuk melakukan kemampuannya yang terbaik”. Pada hubungan ini, setiap bawahan yang memahami posisi dan kemampuan mereka, akan secara bebas memanfaatkan kesempatan yang ada demi menunjukkan kemampuan terbaiknya, maka di sanalah akan berlangsung pengawasan terbaik”.

Memposisikan Ulang Pemimpin45

Hamba-Ku Musa telah mati, sebabitu bersiaplah sekarang, seberangilah sungai Jordan ini, engkau dan seluruh bangsa ini, menuju negeri yang akan kuberikan

kepadamereka, ... seorang pun tidak akan dapat bertahan menghadapi engkau seumur hidupmu; seperti aku menyertai Musa, demikianlah Aku akan

menyertai engkau, Aku tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau (Jos. 1:2,5)

17. Ketika suatu situasi mengalami perkembangan di sekitar kepribadian seorang pemimpin maka letak kwalitas kepribadian sipemimpin itu dapat dilihat dari dari metode dan sikap yang dilakukannya dalam menghadapi krisis serta perubahan status dalam dirinya. Fakta inilah yang dinasehati oleh Gamaliel terhadap seorang Farisi (lih. Kis. 5:38-39), di mana jika sebuah pekerjaan dilakukan demi Allah, maka prinsip spritualitas akan memimpin seorang dapat keluar dari perubahan tiba-tiba yang terjadi di seputar kepemimpinan itu. Melalui gambaran nats di atas, kematian Musa (sebagai orang yang dikehendaki Allah), keadaan ini tidaklah mempengaruhi sikap Allah untuk bertindak tergesa-gesa. Perubahan-perubaan yang terjadi di sekitar kepemimpinan, itu tidaklah sebagai satu keadaan yang menggetarkan “bahtera Tuhan”. Bila perubahan-perubahan terjadi, maka kemungkinan nyata terjadi ialah “hilangnya unsur-unsur kepemimpinan Kristen”. Akhirnya, hanya di dalam penentuan Allah, Ia telah mempersiapkan dan memilih seorang pemimpin yang siap berkarya sesuai dengan misi yang dikehendakiNya (Mark. 10:40). Perubahan posisi kepemimpinan akibat kematian, keadaan ini juga tidak sebagai satu keadaan dan selalu bersifat fatal.

Sebagaimana Tuhan selalu beraktifitas dengan tidak selalu disadari oleh manusia, maka Ia mempersiapkan orang yang kelak dipilihnya menjadi pemimpin. Ketika krisis kepemimpinan terjadi, Tuhan menegaskan pemilihanNya yakni kepada orang yang ditahbiskanNya untuk itu. Hikmat pernyataan ini, nampak jelas pada kiasah pemilihan kepada Musa, Josua, David, Jesaya dan lain-lain. Mereka ini merupakan karunia Tuhan kepada Israel dan sebagai karunia besar Tuhan kepada manusia. Demikian dengan pemberian Tuhan kepada Gereja, sebagaimana dicerminkan oleh pemilihan 12 muridNya, yakni type penetapan Tuhan terhadap soal kepemimpinan.

Pergantian pemimpin harus dilihat sebagai usaha untuk mendekatkan orang itu (sipemimpin yang digantikan) kepada hubungan yang lebih baik dan dekat dengan Tuhan. Berkat terbesar ada dalam diri seorang pemimpin yakni jika penggantinya dapat menemukan peluangnya bahkan mampu menemukan hikmat perkembangannya yang memungkinkan dirinya sanggup melakukan tanggungjawab kepemimpinan sebagaimana ia baru saja terima dari yang baru saja digantikan. Jadi, memposisikan ulang (regenerasi kepemimpinan) pemimpin adalah cara yang paling efektip bagi mengembangkan praksis kepemimpinan (I Kor. 1:26-29). Tuhan tidak memberikan kesempatan kepada seorang pemimpin untuk menggunakan kekuasaan yang ada pada dirinya secara berlebihan.

Produk Ulang Pemimpin46

“Apa yang telah engkau dengar daripadaKu di depan para saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai,

yang cakap mengajar orang lain” (II Tim. 2:2).

18. Pada tekanan pernyataan tema ini, rasul Paulus menyampaikan satu nilai dari

Dalam dokumen Resensi Buku 002 (Halaman 31-34)