• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada tekanan pernyataan tema ini, rasul Paulus menyampaikan satu nilai dari tanggung jawab spiritualitas pemimpin menekankan produk ulang (successor:

Dalam dokumen Resensi Buku 002 (Halaman 34-42)

penerus) dirinya pada jabatan kepempinan. Pada teks ini, rasul Paulus ingin mengawalinya dari keyakinan dirinya pada generasi muda sebagai penerusnya, sebab merekalah yang mampu menggantikan dirinya.47 Jika mengikuti teks ini, pemimpin harus memberikan kedaulatannya demi perkembangan dari wibawa kepemimpinan itu. Sikap seperti inilah yang memiliki visi ke depan dari kepemimpinan, sebab dalam tekanan maksud ini ada pendelegasian di dalam kepemimpinan itu. Seorang pemimpin yang bijaksana, ia tidak akan merekayasa dirinya hingga memegang kuasa kepemimpinan itu sampai akhir hidupnya.48

Ada banyak strategi dapat dilakukan dalam hal mempersiapkan seorang pemimpin dan inilah tugas penting serta hati-hati harus dipikirkan dan direncanakan dengan bijak. Metode rasul Paulus mempersiapkan Timoteus bagi tanggung jawab pelayanan, sikap ini merupakan suatu ide yang sangat membangun bagi perkembangan jemaat di Efesus. Ketika saat pertama pemanggilan Timoteus (oleh rasul Paulus) terlibat di tengah pelayanan jemaat, ia berusia menjelang 20 tahun, aspek ini kemudian sebagai keraguan utama yakni dari kematangan diri Timoteus (keraguan menguasai diri Timoteus untuk kemudian berbantah dengan rasul Paulus), sebab ia menganggap bahwa dirinya akan ditolak oleh jemaat. Tetapi rasul Paulus memberi kepastian terhadap

46Ibid., hal. 137-141

47Menurut undang-undang (kebiasaan) pada jemaat mula-mula, Barnabaslah (bekas murid rasul Paulus) yang seyogianya pengganti dirinya

48Dalam pengalaman yang lebih luas, ada banyak sisi bahaya dan salah bila menekankan pendekatan seperti ini di tengah persekutuan jemaat. Jika seseorang mengatur hasil dari sebuah urutan jabatan pemimpin, mungkin dapat berhasil melakukan ini namun makna yang terdapat pada keinginan ini adalah ditonjolkannya sifat ambisi yang akhirnya akan kehilangan nilai dari unsur intelekual kepemimpinan”. Menyebutkan seseorang menjadi pemimpin, lebih baik menjaminnya sebagai perusak, dalam dunia kekristenan, penonjolan ambisi lebih mematikan dari perbuatan dosa. Hal yang paling penting sekarang ialah kualitas spiritual yang lebih pada intelaktual kualitas dari “pempribumian” orang kristen yang dipanggil mengemban tanggung jawab dalam jemaat pada kepemimpinan.

Timoteus, ia tidak dipersiapkan melalui pengalaman tetapi Timoteus dipersiapkan oleh kuasa Roh Kudus. Sebagai seorang muda, Timoteus mendapatkan kematangan melalui pengembangan dirinya. Masa kebersamaannya dengan rasul Paulus, Timoteus menemukan kematangan dalam segala hal hingga akhirnya kepribadiaanya memiliki kwalitas nilai yang patut diterima memimpin jemaat. Dari pembimbingan rasul Paulus, Timoteus belajar dan akhirnya ia mampu mengelola konflik dalam jemaat dan pelayanannya. Kemampuan Timoteus ini akhirnya menandai tanggungjawabnya bagi keberhasilan perkembangan jemaat di Tesalonika. Melalui pengalaman ini, rasul Paulus menandai satu metode terbaik bagi produk ulang pemimpin yakni melalui mempersiapkan Timoteus bagi kepemimpinan jemaat.

Dalam mempersiapkan generasi muda bagi kepemimpinan missi, ruang yang mendapat perhatian utama adalah penetapan Allah yang memberi penguatan untuk hal ini, ketika seseorang secara nyata dipersiapkan oleh Allah untuk menjadi seorang pemimpin, ia kan melihat dan menerima: “proses pemuridan dari Tuhan yang menjadikannya sebagai pemimpin yang efektif”.

Type Kepemimpinan Yang Berbahaya49

“supaya jangan, .... ketika aku berkotbah kepada orang lain, .... aku tidak ditolak” (I Kor. 9:27)

19. Pada aspek manakah satu pekerjaan mengandung unsur berbahaya ? Satu tindakan kepemimpinan, ini juga tidak luput dari unsur (peluang) yang membahayakan. Paling tidak unsur yang membahayakan berlangsung dari sifat kepemimpinan yakni melalui “kebohongan”. Harus diingat bahwa si “setan” tiada henti (bahkan selalu) untuk mempengaruhi musuhnya dan dari segala arah, ia mengintip sudut-sudut kelemahan setiap orang di sekitarnya. Dalam konteks kepemimpinan, beberapa hal yang mempengaruhi diri setiap pemimpin sering jatuh pada unsur-unsur yang membahayakan dirinya, yakni:

a. Kebanggaan

Merupakan fakta dari banyak orang yang baru memegang satu posisi dan jabatan sebagai pemimpin yakni “munculnya kecenderungan untuk menonjolkan diri, suatu keadaan yang sengaja (tidak di sengaja) terjadi melalui kegembiraan dan kenggganan dalam dirinya, penampakan sikap yang tidak terkontrol”. Keadaan inilah yang akhirnya menjadi kesialan baginya pada perkembangan realisasi kepemimpinan yang baru saja diterima”.50 Sesungguhnya kebanggan adalah berkat rohani yang diberikan Tuhan, yakni posisi dimana kasih dan berkatNya tercurah bagi kita. Namun, kebanggaan adalah dosa dari kehadiran yang fiktif dari kepemimpinan. Tiga jenis penampakan sikap yang ditandai oleh kebanggaan seperti ini yakni: pertama, menguji kecenderungan. Maksudnya, memahami reaksi diri sendiri

49Ibid., ha;. 142-152

50 Amsal 16:5, “setiap orang yang tinggi hati adalah kekejian bagi Tuhan, sungguh ia tidak akan luput dari hukuman.” Teks ini menekankan bahwa “kesombongan dan tinggi hati” merupakan sikap yang mendukakan hati hati Allah. Dosa pertama yang mendasar dari sifat seperti ini yakni munculnya “kecenderungan mentobatkan dirinya sejajar dengan Tuhan. Kesombongan mengubah nilai pengurapan mahkota Allah menjadi neraka busuk (iblis) yang menyebabkan diri sipemimpin terusir perkenaan hati Allah, perilaku seperti ini merupakan tindakan dosa dan menjijikkan bagi Allah”.

ketika yang lain terpilih mengisi posisi jabatan yang paling kita harapkan sebelumnya (jabatan yang paling kita ingikan). Ketika orang lain ternyata mendapat promosi jabatan yang sesungguhnya kita sendiri menginginkan jabatan itu. Kedua, menguji ketulusan. Maksudnya, menguji moment kejujuran kritik sendiri, ketika kita mengatakan diri sendiri: ... realitasnya memaknai mereka. Pada situasi ini, bagaimana kita merasakan apa yang dirasakan orang lain khususnya lawan kita, tepatnya pernyataan yang sama tentang kita. Ketiga, menguji kritik. Maksudnya, apakah kritik bersumber dari sikap permusuhan dan kebencian dari dalam hati yang menyebabkan kita membenarkan diri sendiri atau justru mendahului mengkritik daripada menunggu mengkritik.51

b. Egoisme

Egoisme adalah satu yang menyimpang dari manivestasi sebuah kebanggaan. Egoisme merupakan tindakan dari pikiran yang berbicara banyak tentang orang lain, namun menekankan keutamaan makna penting dari diri sendiri”. Sikap ini merupakan suasana yang cukup mengganggu bagi hubungan dengan orang lain terutama hubungan kepada Allah.52

c. Kecemburuan

Kecemburuan sangat sejajar dengan kebanggaan. Kecemburuan merupakan suasana yang memprihatinkan sebab sikap ini merupakan penampakan dari sikap curiga yang berlebihan kepada orang lain.53 Keirian dan kecemburuan, “sesungguhnya bukanlah suatu sikap yang buruk dari karakter alami manusia sebagaimana ditentukan Tuhan”.

d. Popularitas

Ketika rasul Paulus memimpin jemaat di Korintus, peristiwa yang sering dihadapinya ialah adanya kecenderungan sebagian jemaat merasa superior dibanding orang lain.54 Dalam hubungannya dengan kepemimpinan, menonjolnya keinginan untuk dihormati, keinginan ini bersumber dari sikap yang ditandai oleh ketidakmatangan spiritualitas dari sipemimpin itu sendiri.

51Jika kita jujur mengukur diri sendiri dengan kerendahan hati di hadapan Tuhan yakni melalui salibNya, kita tidak mungkin menuntut dengan ungkapan-ungkapan yang jorok demikian dari kepicikan hati. Jika sejujurnya kita bangga dengan situasi seperti ini kita pasti mengatakan: “bermegah oleh kebahagiaan dan bangga oleh kerendahan; saya hanya seorang berdosa yang dielamatkan oleh kasih karunia”.

52Pemimpin yang dikagumi oleh para pengikutnya adalah pemimpin yang menunjukkan sikap mengalah kepada para pengikutnya. Egoisme merupakan satu ujian yang baik untuk mendengarkan orang lain sehingga dapat memuji orang lain dengan tulus. Jika kita dapat mendengarkan pujian orang lain khususnya lawan kita tanpa keinginan untuk menekan atau tanpa mencoba mengecilkan pekerjaannya seseorang bisa secara yakin meminimalisasi sifat egoisme dari dalam dirinya dibawah penguasaan berkat Tuhan.

53 Sesuai kesaksian kitab suci, sikap ini ditekankan oleh pengalaman Musa ketika brehubungan dengan teman sejawatnya. “Eldad dan Medad mengerjakan tugas nabi dikemah berkata kepada Yosua gurunya, “tuanku Musa cegahlah mereka” Bil. 11:28”. Kedua orang ini menghendaki agar Musa menghentikan posisi salah seorang. Pada keadaan lain, loyalitas satu orang dipenuhi oleh sikap cemburu karena merebut wibawa kenabian dan menantang harga dirinya.

54 Perilaku seperti ini, lajim terjadi di jemaat Korintus sehingga mempengaruhi rasul Paulus menulis tekanan hikmat I Korintus 3:4,6-9 “... karena engkau masih manusia duniawi... di antara kamu ada iri hati dan perselisihan... karena kami adalah kawan sekerja Allah, kamu adalah ladang Allah, bangunan Allah”.

Jika keinginan seperti ini muncul berlebihan, sikap ini akan menandai aspek kelemahan dari si pemimpin dan berujung pada hilangnya wibawa dan kharismanya sendiri. Pada pelayanan misinya, rasul Paulus sangat menyadari situasi ini. Seorang pemimpin, dirinya memiliki nilai wibawa di hadapan para pengikutnya bila “ia menunjukkan kasih mendalam dan kerjasama di kelompok/komunitasnya”. Pemimpin yang sangat berhasil adalah ia yang menunjukkan kasih sayang bagi para pengikutnya, ia mampu membangkitkan kebanggaan di tengah komunitasnya sehingga apresiasi seperti ini dapat membuahkan penghargaan serta mengurangi pengkultusan pengikut secara berlebihan.55 Keinginan menjadi terkenal sangat membahayakan bagi spiritualitas pemimpin Kristen, sebab keinginan seperti ini merupakan suatu gejala untuk mensahkan terjadinya sikap kompromi dengan dunia ini. Unsur berbahaya dari keinginan untuk menjadi terkenal, yakni bila cita-cita ini dicapai melalui segala metode, akhirnya tindakan dan sikap si pemimpin akan menjadi diktator. Kesuksesan merupakan tujuan setiap orang, namun yang harus diingat ialah “Tuhanlah yang menuntun semua pekerjaan, Ia juga yang mampu melanjutkan pekerjaan itu, serta melalui pekerjaan itu Tuhan akan membuat semua hal memiliki arti sebagaimana ditentukan oleh rencanaNya sendiri”.

e. Infabilitas

Faktanya bahwa seseorang yang didiami oleh Roh akan dituntun oleh Roh. Jika seseorang masih dikuasai keinginan tubuh/daging, maka dirinya akan “infalibel”. Unsur-unsur yang berbahaya dari sikap seperti ini yakni munculnya kecenderungan diri spemimpin jatuh pada kelicikan. Karakter infabilitas dapat mempengaruhi hilangnya rasa percaya diri. Satu keadaan yang aneh, tetapi telah sebagai kebenaran, bahwa: “ditekankannya kerendahan hati ini sikap ini merupakan yang terbaik bagi iklim kepemimpinan”.

f. Merasa Tidak Dibutuhkan

Banyak orang telah memegang pengaruh besar. Namun, kebanyakan mereka jatuh pada pencobaan, yakni: “cenderung berfikir bahwa dirinya tidak tergantikan dan dalam cara menunjukkan perhatian terbaik bagi realisasi dari wibawa tertinggi jabatan itu”. Banyak orang ketika masih memegang sebuah tampuk otoritas sebuah jabatan kepemimpinan, setelah melewati masa-masa ini, ia justru merasakan kecenderungan bahwa dirinya tidak memiliki arti”. Muncul dan berkembangnya persaan seperti ini, lebih disebabkan oleh perasaan gagal pada banyak hal kehidupan sipemimpin. Sejak awal, munculnya perasaan seperti ini dapat diatasi melalui kematangan karakter dan spiritual, memaluinya maka setiap orang akan terhindar dari anggapan “merasa tidak dibutuhkan”.

g. Tertekan Dalam Hubungan

Pada setiap pekerjaan, selalu ada saat-saat munculnya perasaan tertekan khususnya pada mencapai prestasi. Pada kepemimpinan, terlalu seringnya muncul perasaan tertekan, keadaan ini merupakan suatu yang berbahaya.

55Sesungguhnya merupakan kebutuhan yang sangat fundamental untuk memperoleh popularitas. Yesus sendiri menekankan ini ketia Ia berkata “diberkatilah mereka yang mendapat cacian karena aku dan yang menderita karena aku dan yang mengucapkan segala hal melawan kejahatan demi namaku”.

Sesungguhnya perasaan ini bisa diselesaikan dengan kerelaan diri berbagi dengan orang lain (Lukas 10).56 Satu unsur tantangan pada realisasi kepemimpinan, yakni “adanya kemampuan dalam memahami unsur-unsur originil dirinya sehingga ia berani mengambil sikap dan keputusan di tengah situasi diri yang tertekan”.57

h. Nabi atau Pemimpin?

Ada banyak keadaan terjadi di sekitar diri pemimpin, di antaranya terjadinya konflik batin di antara dua hal, yakni: “konflik pelayanan satu pihak dan konflik batin (keadaan) diri sendiri di pihak lain”. Misalnya seorang pengkhotbah, ia menginginkan tanda karunia kepemimpinan dapat diperolehnya dari jemaat untuk memaksa dirinya dipilih sebagai “seorang pemimpin terkenal atau nabi yang tidak terkenal”. Makna dilema gambaran ini dijelaskan oleh A. C. Dixon (seorang pendeta di jemaat Chicago) menekankan “setiap pengkhotbah seharusnya menjadi seorang nabi yang memberitakan kehendak Tuhan tanpa kecenderungan dihormati. Ketika seorang pengkhotbah menyadari fakta bahwa dirinya seorang pemimpin di jemaat yang ia layani dengan sendirinya ia akan memberi reaksi terhadap krisis yang terjadi pada pelayanannya. Di tengah keadaan seperti itu dia harus memilih dua hal peran yakni sebagai nabi dan sebagai pemimpin. Pada dua peran ini ia harus melaksanakannya secara berhasil, jika memutuskan menjadi seorang nabi maka ia kehilangan sifat kepemimpinnannya. Sejajar dengan ini, jika ia menginginkan menjadi seorang diplomat, ia menjadi seorang nabi. Jika ia menekankan fungsinya secara bersamaan pada dua jabatan ini maka akan memudahkan dirinya sebagai seorang aktifis politik yang mencari segala cara untuk mendapatkan posisi pentingnya yakni sebagai pemimpin. Satu tanda dan realisasi kepemimpinan yang efektip dapat berkembang dengan mudah hanya ketika seseorang mampu memilih posisi dirinya, yakni “apakah sebagai pelayan atau sebagai seorang nabi ?” Tanpa sikap menentukan pilihan seperti ini, “semua hal pada kepemimpinan itu akhirnya akan menjadi membahayakan”.

i. Penyingkiran

Tekanan maksud dari sub point tema ini sangat tepat digambarkan oleh Rasul Paulus pada I Kor. 9 : 27, “Aku melatih tubuhku dan menguasai seluruhnya, supaya sesudah memberitakan injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak”. Makna khusus dari tekanan teks ini ada pada peringatan bahwa setiap pemimpin harus dapat dipercayai dengan segala tanggungjawab spiritualnya. Sebagaimana teks I Kor. 9 : 27, ditemukan kata “ditolak” atau “terbuang”, latarbelakang bentuk kata ini berasal dari konteks potongan-potongan besi yang tidak berguna. Konteks ini kemudian dirujuk oleh Rasul Paulus bagi kegagalan seorang pemimpin pada realisasi tanggungjawabnya (sekaligus

56Pada kisah PL, pengalaman Elisa di Karmel menjelaskan keadaan dirinya yang tertekan dan melalui perasaan ini, Elisa ingin secepatnya mati. Terhadap keadaan ini, Allah langsung memeriksa Elisa. Elisa, ternyata telah sesaat mengabaikan imannya, malah melaluinya ia tertidur. Dengan merenungkan lebih mendalam pergumulan diri dari aspek iman, Elisa menemukan pelajaran untuk menjawab keadaan dirinya yang tertekan. Sikap yang dilakukan oleh Elisa merupakan fakta bahwa tidak semua pelayanan dapat menemukan cita-citanya (sesuai dengan yang diinginkan).

57 Sesuai dengan pengalaman F. B. Meyer: “perasaan tertekan dapat diatasi dengan penuh pengharapan dan inspirasi. Kehidupan yang selalu pesimis justru akan menjauhkan seorang pemimpin dari wibawa dan harga dirinya”.

sebagai ujian bagi dirinya). Sesuai maksudnya, rasul Paulus hendak menjelaskan: “penolakan, terbuang, setelah gagal melakukan standar kualitas tanggungjawabnya sebagai pemimpin”. Bagi diri Rasul Paulus jelas, pemimpin sekaligus berperan sebagai “penantang dan sebagai pemberita”. Sebagai pemberita ia mengumumkan peraturan permainan bagi pesaing. Kata memberitakan menekankan subjek pelaku. Istilah ini bagi Paulus merupakan tindakan yang juga menekankan standar dari kualitas kinerja. Kata tempramen menekankan makna “kualitas diri sendiri’ dalam banyak hal. Dalam hal ini, tidak dimungkinkan bagi setiap pemimpin hilang percaya diri, namun hanya karena kemenangan dalam pertarungan, ia (seorang pemimpin) dapat berdiri eksis di tengah komunitasnya tanpa ditolak oleh mereka.

Sebuah Teladan Kepemimpinan58

20. Berhubung dengan tema ini, satu kisah dari kitab suci yang sangat terkenal dan sangat menginspirasikan bagi kuasa kepemimpinan dapat dilihat dari kisah kepemimpinan Nehemia. Pada masanya, kepemimpinan Nehemia menekankan ciri dari metode karakter yang sangat kuat, sebab ia dipakai oleh Tuhan untuk mencapai pembaharuan spektakuler pada hidup umatNya. Dari keberhasilan dan metode kepemimpinan Nehemia, ditemukan hikmat karakter yang sangat efektip bagi karakter kepemimpinan masa kini.

a. Karakter Nehemia

Kesan pertama dan sangat nyata dari karakter kepemimpinan Nehemia adalah “aspek dirinya sebagai seorang pemimpin yang sangat giat dalam kehidupan spritualitas dan doa”. Tanda ini tampak pada jawaban dan reaksi Nehemia setelah mendengarkan nasib Yerusalem yang menyedihkan sehingga mempengaruhi dan mendorong dirinya berdoa secara sungguh-sungguh kepada Tuhan. Dalam konteks seperti ini, ia bukan seorang yang merasa dirinya asing, yakni seperti batu yang dibuang. Namun melalui doanya, sekaligus sebagai puncak (klimaks) pergumulan imannya, ia menempatkan kehidupan doa itu sebagai bagian dari hidup dan pekerjaanya (bnd. I:4,6 ; 2:4 ; 4:4,9 ; 5:19 ; 6:14 dst). Pada Neh. 6:11, ia menjukkan sikap tegasnya untuk melakukan suatu tugas besar, yakni meningkatkan moral umat Tuhan yang sedang dalam keadaan rapuh hati. Nehemia menunjukkan perhatiannya secara orisinil yakni bagi kesejahteraan umat Israel. Sebuah perhatian yang sangat jelas di tengah menanggapi musuh yang selalu berkomentar terhadap dirinya (2:10). Sikap bijaksana akhirnya diperolehnya dari jawaban doa dan air matanya (1:4-6). Nehemia memandang tajam ke depan di tengah suasana tegang yang ia alami, akhirnya ia dapat mengambil keputusan tepat dan bijaksana atas ketegangan yang dialaminya menjalankan tugasnya. Ia tidak menunda untuk melaksanakan tugas mendesaknya, sebab penundaan sebagaimana dipahaminya, sikap ini tidak memiliki ruang di dan tempat di dunia yang fana ini.

Di tengah pergumulan umat Tuhan, ia menunjukkan empathy yakni mencurahkan pengertian dan simpatiknya mendengarkan masalah-masalah

dan keluhan umat serta mengambil tindakan untuk memperbaikinya (4:10-12 ; 5:15). Dari sikap Nehemia ini, diinspirasikan perhatian seorang pemimpin kepada bawahannya untuk membela mereka sekaligus menempatkan dirinya sebagai pembela bagi bawahannya. Keputusan dan tindakan Nehemia mencirikan keadilan yang kuat, sebab ia menunjukkan teladan karakternya bukan kepada perorangan namun kepada umat sekaligus. Akhinrnya, para bangsawan dan pemerintah menerima jaminan keamanan mereka ketika mereka melakukan tanggungjawab yang pantas sebagaimana patutnya mereka lakukan kepada umat Tuhan.59

Pendekatan spritualitas Nehemia sebagai pemimpin kepada masalah-masalah yang terjadi tidaklah mengabaikan fakta yang wajar/sehat (4:9). Dalam memperlihatkan tanggungjawabnya, ia tidak menghindari sejumlah ekses, tetapi ia mempersiapkan dirinya secara matang menghadapi segala kemungkinan resiko bahkan yang paling sulit, yang melaluinya ia menemukan keberhasilan dan dan hikmat kesimpulan yang mendasari dirinya. Melalui sikapnya, sebagai pemimpin, ia adalah “seorang yang bijak menata aktifitas kepemimpinannya, yang tenang menghadapi krisis, tidak kwatir dalam kecaman, mendahulukan perdamaian sebelum melakukan perlawanan, berani mengambil keputusan yang tepat dan benar, bertanggungjawab padapraksis kepemimpinannya, mendahulukan penyelesaian dalam menghadapi ancaman, waspada melawan tipu muslihat, pemimpin yang mengalami kemenangan ketika mengandalkan kepercayaan dan keyakinan diri hati para pengikutnya”.

b. Metodenya

Nehemia meningkatkan kwalitas aspek moral teman sejawatnya, tanggungjawab yang sangat penting dari seorang pemimpin terhadap koleganya (teman sejawat). Nehemia melakukan ini dengan mersangsang iman sejawatnya menekankan bahwa sebesar apa pun masalah yang dihadapi, keilahian dan keyakinan kepada Tuhan selalu dapat menemukan penyelesaiannya.60 Bagi Nehemia, iman yang melahirkan iman, pesimisme akan melahirkan ketidakyakinan. Sikap seperti inilah sebagai tanggungjawab paling utama dari seorang pemimpin untuk memotivasi iman dari teman sejawatnya. Nehemia adalah seorang yang sangat pandai dan bijaksana memotivasi teman sejawatnya. Nehemia langsung turun tangan menghibur teman sejawatnya yang sedang dalam keputusasaan dan yang dalam keadaan demoralisasi. Tindakan pertama yang ia lakukan adalah menghidupkan nilai pengharapan sejawatnya untuk kemudian menjamin stabilitas kerjasama dengan mereka. Untuk tujuan ini, tindakan pertama dilakukannya adalah menghitung kembali (merenungkan) kebaikan karya Tuhan yang telah Ia tunjukkan bagi mereka (2:18). Menurut Nehemia, perasaan bersalah dan kegagalan harus dibenarkan oleh iman, walau sisi manusia alamiah sering menganggap keadaan seperti ini sebagai sesuatu yang kurang maksimal dilakukan. Bagi Nehemia, membangkitkan nilai dan

59 Neh. 5:7, “aku akan menegur para bangsawan dan pemerintah... dan aku akan merancang sebuah perlawanan menentang mereka”.

60 Bnd. 2:20, “Allah di sorga... akan memakmurkan kita” ; 4:14, ...”jangan takut...ingatlah Tuhan...Ia maha besar dan dahsyat” ; 4:20, ...“Allah yang akan berperang untuk kita”, 8:10... “Tuhan adalah kekuatan kita”.

semangat iman, akan menginspirasikan banyak orang melakukan yang terbaik dari dirinya sendiri. Nehemia yakin bahwa dengan iman dan displin akan memenangkan setiap orang mampu melanjutkan perlawanannya dengan percaya diri, yakni sejauh dari otoritas (kemampuan) yang ada dalam dirinya.

Nehemia segera memanfaatkan potensi diri sejawatnya untuk mengatasi keraguan/kecemasan mereka. Dua type tindakan dilakukan Nehemia yakni: a. Neh. 4:10-16, ... yang putus asa, kelelahan, dan obstruksi. Orang yang

kelelahan, putus asa, dan yang merasakan kemajuan mereka tidak berarti, sungguh merasa kelelahan oleh karena tekanan dan intimidasi. Cara dan teknik Nehemia memberdayakan keadaan seperti ini pada diri sejawatnya yakni dengan mengarahkan pikiran mereka kepada firman Allah. Nehemia mengelompokkan mereka pada pokok tekanan yang sangat strategis, yakni dengan memanfaatkan kekuatan pendekatan keluarga. Ia memerintah sejawatnya dengan membagi mereka ketika sebagian yang lain dibneri kesempatan istirahat. Melalui metode ini, para sejawatnya menemukan potensi mereka melalui penghormatan pemimpin mereka dan akhirnya sanggup bergulat kembali dengan masalah-masalah mereka.

b. Umat yang kecewa atas keserakahan dan kekejaman sebagian saudara-saudara mereka yang kaya (5:1-5), tanah mereka telah digadaikan, beberapa di antara anak mereka digadaikan menjadi budak, Keadaan moral umat yang rapuh, yang merusak masa depan generasi penerus (anak-anak) bangsa itu. Metode yang dilakukan Nehemia mencari jalan keluar mengatasi persoalan ini di tengah kehidupan umat Tuhan yang dipimpinnya yakni dengan mencurahkan perhatiannya secara penuh kepada umat Tuhan. Nehemia mendengarkan segala keluhan dan tuntutan mereka, sekaligus menampakkan sikap simpatiknya kepada persoalan umat. Ia menegur para bangsawan sebab keadaan hati mereka, yang mencari keuntungan dari riba dari saudara-saudara mereka sendiri (5:7). Nehemia melawan mereka dengan altruisme yang mereka lakukan (5:14), dan kemudian segera memperbaikinya (5:11-12).

Nehemia mengembalikan kuasa firman Tuhan (8:1-8) dengan berusaha

Dalam dokumen Resensi Buku 002 (Halaman 34-42)