• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DRPs

2.2.1 Definisi COPD

Menurut WHO (2010)yang dituangkan dalam Panduan Global Initiative

for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), COPD didefenisikan sebagai

penyakit yang memberikan oleh adanya obstruksisaluran pernafasan yang tidak reversibel. Sumbatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya. Dua gangguan yang terjadi pada COPD adalah bronkitis kronis atau emfisema.

2.2.2 Etiologi

Menurut PDPI (2011) beberapa faktor risiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan menjadi faktor memberi paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan lingkungan antara lain adalah :

a. Merokok

Merokok merupakan penyebab utama terjadinya COPD, dengan risiko 30 kali lebih besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan penyebab dari 85-90% kasus COPD. Kurang lebih 15-20% perokok akan

mengalami COPD, kematian akibat COPD terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan status merokok yang terakhir saat COPD berkembang.

b. Pekerjaan

Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu gandum,

toluene diisosianat, dan asbes, mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang

bekerja di tempat selain yang disebutkan di atas. c. Polusi udara

Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah seperti asap pabrik, asap kendaraan bermotor, maupun polusi dari dalam rumah misalnya asap dapur.

d.Infeksi

Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu pemicu inflamasi neurotofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan rokok. Adanya kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan kejadian inflamasi yang dapat diukur peningkatan jumlah sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepatan penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan risiko kejadian COPD.Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host/pasiennya antara lain adalah:

a. Usia

Semakin bertambah usia, semakian besar risiko menderita COPD. Pada pasien yang didiagnosisCOPD sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar

disebabkan gangguan genetik berupa defisiensi α1-antitripsin. Namun kejadian ini hanya dialami <1% pasien COPD

b. Jenis kelamin

Laki-laki lebih berisiko terkena COPD daripada wanita, mungkin ini terkait dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecendrungan peningkatan prevalensi COPD pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita yang merokok.

c. Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi

Adanya gangguan fungsi paru merupakan faktor risiko terjadinya COPD misalnya defisiensi Immunoglobulin A (IgA/ hypogammaglubulin) atau infeksi pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Orang yang pertumbuhan parunya tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah, memiliki risiko lebih besar untuk mengalami COPD.

2.2.3 Patologi

Perubahan patologi yang khas pada penderita COPD Nampak pada permukaan epitel saluran napas besar berupa infiltrasi sel–sel radang sebagai fungsi hipersekresi mucus; di saluran napas kecil terjadi fibrosis, di parenkim paru terjadi emfisema, serta di pembuluh darah pulmonal berupa infilterasi sel– sel radang pada dinding pembuluh darah pulmonal (PDPI, 2011).

Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya menyebabkan inflamasi pada paru yang mendasari seseorang menderita COPD. Respons inflamasi ini merangsang kerusakkan jaringan parenkim sehingga terjadi emfisema dan menghalangi mekanisme perbaikan dan pertahanan normal (menyebabkan fibrosis di saluran napas kecil). Perubahan patologi ini akan

menyebabkan air trappingdan hambatan aliran udara yang progresif. Inflamasi dan perubahan struktur pada saluran napas ini akan berlanjut sesuai dengan derajat penyakit meskipun telah berhenti merokok (PDPI, 2011).

2.2.4 Patogenesis

Inflamasi yang terjadi pada saluran pernapasan pasien COPD merupakan respons inflamasi saluran pernapasan terhadap iritan kronik seperti asap rokok dan pertikel terinhalasi lainnya.. Mekanisme ini secara bersamaan menimbulkan karakteristik perubahan patologi pada COPD, seperti yang terlihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Patogenesis COPD (PDPI, 2010).

Biomaker (zat, struktur atau proses yang bisa diukur dalam tubuh yang mampu memprediksikan kejadian dampak atau penyakit) dari stres oksidatif meningkat pada pasien COPD. Oksidan terbentuk oleh asap rokok dan partikel dan terinhalasi lainnya, dan dilepaskan dari sel inflamasi yang teraktivasi seperti makrofag, netrofil dan penurunan antioksidan endogenus pada pasien COPD. Stres oksidatif akan mengaktivasi gen inflamasi, inaktifnya antiprotease, merangsang pembentuk mukus, dan merangsang eksudasi plasma. Hipersekresi mukus disebabkan juga oleh metaplasia (perubahan satu jenis tipe sel yang

membelah menjadi tipe yang lain) dengan peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran kelenjar submukosa akibat iritasi asap rokok dan zat terinhalasi lainnya. Beberapa mediator dan protease akan merangsang hipersekresi mukus. Sejumlah protease berasal dari sel inflamasi dan sel epitel jumlahnya meningkat pada pasien COPD. Protease memerantai kerusakkan dan elastin, komponen jaringan konektif utama, yang merupakan bagian penting terjadinya empisema dan bersifat ireversibel (PDPI, 2011).

2.3 Klasifikasi

Berdasarkan Gold (2010) klasifikasi COPD terdiri dari beberapa jenis ( Tabel 2.2.)

Tabel 2.2 Klasifikasi COPD

Derajat Gambaran klinis Nilai faal paru Derajat 1: COPD

ringan

gejala batuk kronik dan sputum ada tetapi tidak sering

VEP1 (volume ekspirasi paksa pertama)/KVP (kapasitas vital paksa) < 70%.

VEP1≥ 80% prediksi Derajat 2: COPD

sedang

Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum.

VEP1/ KVP < 70%. 50% < VEP1<80% prediksi

Derajat 3: COPD berat

gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan eksaserbasi semakin sering

VEP1/ KVP < 70%. 30%< VEP1<50% prediksi

Derajat 4: COPD sangat berat

adanya tanda – tanda gagal napas dan kualitas hidup memburuk

VEP1/ KVP <70%.

VEP1 <30% prediksi atau VEP1<50%

(Sumber :Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2011) 2.4 Diagnosis

Gejala dan tanda COPD sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan tetapi ditinjau dari paru ditemukan inflasi paru. Diagnosis COPD dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala (Tabel 2.3).

Tabel 2.3 Diagnosis pada pasien COPD

Gejala Keterangan

Sesak Progresif (sesak bertambah berat seiring

berjalannya waktu)

Persisten (Sepanjang hari)

Pasien mengeluh berupa perlu berusaha untuk bernapas seperti merasa berat, terengah - engah Batuk kronik Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak

Batuk kronik berdahak Setiap batuk kronik berdahak dapat mengindikasi COPD

Riwayat terpajan faktor risiko

Asap rokok Debu

Bahan kimia di tempat kerja

(Sumber : Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2011) 2.5 Pengelolaan COPD

Menurut Gold (2011), tujuan pngobatan COPD mencakup beberapa komponen yaitu:

a. Mengurangi gejala

b. Mencegah progresivitas penyakit c. Meningkatkan toleransi latihan d. Meningkatkan status kesehatan e. Mencegah dan menangani komplikasi f. Mencegah dan menangani eksaserbasi 2.5.1 Edukasi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada COPD stabil. Edukasi pada COPD berbeda dengan edukasi asma, karena COPD adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukkan faal paru (PDPI, 2011).

Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala prioritas bahan edukasi sebagai berikut:

a. Berhenti merokok, disampaikan pertama kali kepada pasien pada waktu diagnosis COPD ditegakkan.

b. Penggunaan obat – obatan c. Penggunaan oksigen.

d. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen. e. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya.

f. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi.

g. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas ( Riyanto, 2006). 2.5.2 Pelaksanaan Pengobatan

a. Bronkodilator : Diberikan tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Macam – macam bronkodilator :

i. Golongan antikolinergik : Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi mukus.

ii. Golongan agonis β-2 : Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. iii. Kombinasi antikolinergik dan agonis β-2 : Kombinasi kedua golongan obat ini

akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda

b. Golongan Xantin :dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat.

Adapun cara menilai derajat dan rekombinasi pengobatan COPD dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Derajat dan rekombinasi pengobatan COPD

Derajat Karakteristik Rekombenasi dan pengobatan Derajat I

COPD ringan

VEP1/KVP < 70% VEP1 ≥ 80% prediksi dengan atau tanpa gejala

Bronkodilator kerja singkat (SABA, Antikolinergik kerja cepat, xantin) bila perlu

Derajat II COPD sedang

VEP1/KVP < 70% 50% ≤ VEP 1< 80% prediksi dengan atau tanpa gejala

a. Pengobatan regular dengan bronkodilator:

i. Agonis β-2 kerja panjang sebagai terapi pemeliharaan

ii. Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan b.Rehabilitasi (edukasi, nutrisi,

rehabilitasi respirasi) Derajat III

COPD Berat

VEP1/KVP < 70% 30% ≤ VEP 1< 50% prediksi dengan atau tanpa gejala

a. Pengobatan reguler dengan 1 atau lebih bronkodilator:

i. Agonis β-2 kerja panjang sebagai terapi pemeliharaan

ii. Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan

Kortikosteroid inhalasi bila memberikan respons klinis atau atau eksaserbasi berulang 2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi) Derajat IV COPD sangat berat VEP1/KVP < 70% VEP1< 30% Prediksi gagal napas

a. Pengobatan regular dengan 1 atau lebih bronkodilator:

i. Agonis β-2 kerja panjang sebagai terapi pemeliharaan ii. Antikolinergik kerja lama

sebagai terapi pemeliharaan iii. Kortikosteroid inhalasi bila memberikan respons klinis atau eksaserbasi berulang b. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi,

rehabilitasi respirasi)

c. Terapi oksigen jangka panjang bila gagal napas

d. pertimbangan terapi pembedahan (Sumber : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2010).

Dokumen terkait