Makanan, Minuman, dan Gizi
A. DEFINISI EUTHANASIA
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang
berar-ti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity, dan
Thanatos yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia
dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Adapun secara har-fiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang. Menurut Philo (50-20 SM), euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya Vita Caesarum menga-takan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita”. Masa-lah euthanasia biasanya dikaitkan dengan masaMasa-lah bunuh diri.
Dalam hukum pidana, masalah bunuh diri yang perlu di-bahas adalah apakah seseorang yang mencoba bunuh diri atau membantu orang lain untuk melakukan bunuh diri itu dapat dipidana, karena dianggap telah melakukan kejahatan. Di be-berapa negara seperti Amerika Serikat, seseorang yang gagal melakukan bunuh diri dapat dipidana. Juga di Israel, perbuat-an percobaperbuat-an bunuh diri merupakperbuat-an perbuatperbuat-an yperbuat-ang dilarperbuat-ang dan diancam pidana. Pernah ada amendemen agar larangan ini dicabut, tetapi Prof. Amos Shapira berpendapat bahwa dengan konsep perbuatan percobaan bunuh diri sebagai tindakan yang
tidak terlarang, merupakan gerakan kearah diakuinya “hak un-tuk mati”.
Dilihat dari segi agama Samawi, euthanasia dan bunuh diri merupakan perbuatan yang terlarang. Sebab masalah kehidupan dan kematian seseorang itu berasal dari Sang Pencipta, yaitu Tu-han. Jadi, perbuatan yang menjurus kepada tindakan penghen-tian hidup yang berasal dari Tuhan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, oleh karenanya tidak di-benarkan. Apakah hak untuk mati dikenal di Indonesia? Indone-sia melalui Pasal 344 KUHP jelas tidak mengenal hak untuk mati dengan bantuan orang lain. Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati adalah hak asasi manusia, hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri sendiri” (the right of self
deter-mination/TROS) sehingga penolakan atas pengakuan terhadap
hak atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat disimpangi oleh siapa pun dan menuntut peng-hargaan dan pengertian yang penuh pada pelaksanaannya. Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tan-pa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Tuhan di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan yang sakit dengan memberi obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan se-ngaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
B. RUANG LINGKUP EUTHANASIA
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya
eutha nasia aktif dan dianggap sebagai pembunuhan berencana,
atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehing-ga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang
dipersa-lahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui peng-obatannya. Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup anti-sipatif dalam menghadapi perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI No.319/ PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang
Infor-med Consent”. Disebutkan di sana, manusia dewasa dan sehat
rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dila-kukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak meladila-kukan tin-dakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien itu sendiri. Kemudian SK PB IDI no. 336/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang Mati”. Sayangnya, SKPB IDI ini tidak atau belum tersosialisasi-kan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan pe-ngelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter dan rumah sakit ma-sih memiliki pandangan dan kebijakan yang berlainan. Apabila diperhatikan lebih lanjut, Pasal 338, 340, dan 344 KUHP, ketiga-nya mengandung makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”, karenanya biasa dikatakan se-bagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni Pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut “concursus idealis” yang diatur dalam Pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa:
pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pida-na yang umum diatur pula dalam aturan pidapida-na yang khu-sus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas “lex specialis derogat legi
generalis”, yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan
peraturan yang sifatnya umum.
a. Aspek Hak Asasi
Hak asasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai, dan sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan
euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup
la-yak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbesit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
b. Aspek Ilmu Pengetahuan
Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan keberhasil-an upaya tindakkeberhasil-an medis untuk mencapai kesembuhkeberhasil-an atau pe-ngurangan penderitaan pasien. Apabila secara iptekdok hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapat kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh meng-ajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat di-tuduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam habisnya keuangan.