Keluarga Berencana dalam Islam
D. MASALAH KEPENDUDUKAN DALAM PANDANGAN ISLAM
Mahmud Syaltut memberikan argumen sebagai dasar dibo-lehkannya KB karena alasan untuk menghindari kemudharatan jika salah satu pihak dari suami atau istri menderita penyakit berbahaya yang bisa menurun kepada anak keturunannya.
Di antara ulama yang membolehkan KB adalah Imam al-Gazali, Syaikh al-Hariri, dan Syaikh Syaltut. Ulama yang mem-bolehkan melaksanakan KB ini berpendapat bahwa dimem-bolehkan mengikuti program KB dengan ketentuan antara lain untuk menjaga kesehatan ibu, menghindari kesulitan ibu, dan untuk menjarangkan anak. Mereka juga berpendapat bahwa perenca-naan keluarga itu tidak sama dengan pembunuhan, karena pem-bunuhan itu berlaku ketika janin mencapai tahap ketujuh dari penciptaan. Mereka mendasarkan pendapatnya pada surah
al-Mu’minūn (23) ayat 12, 13 dan 14.
Ulama yang melarang KB diantaranya ialah Madkourdan Abu A’la al-Maududi. Mereka melarang mengikuti KB karena
perbuatan itu termasuk membunuh keturunan seperti firman Al-lah Swt. dalam surah al-Israa’ [17] ayat 31: “Dan janganAl-lah kamu
membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguh-nya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”
Dalam sebuah Hadis Rasulullah shalallahu ‘allaihi wasallam bersabda: “Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.” (HR. Abu Dawud No. 2050)
Anjuran Rasulullah saw. untuk memperbanyak keturunan tidak berarti agar keluarga Muslim mendapatkan anak setiap tahun. Karena kalau kita konsekuen terhadap pengajaran Is-lam, maka minimal seorang Muslim mendapatkan anak setiap tiga tahun, karena setiap bayi yang melahirkan ada hak untuk menyusui dua tahun. Dan begitu juga seorang ibu punya hak untuk istirahat. Jika dipahami secara baik, maka Islam menga-jarkan perencanaan yang matang dalam mengelola keluarga dan mengaturnya dengan baik. Dalam konteks inilah KB dibolehkan. Adapun upaya pembatasan keturunan secara masal dalam skala sebuah umat, maka hal tersebut diharamkan, diharamkan untuk mempromosikannya, apalagi memaksanya dan diharamkan me-nerimanya.
Adapun menurut Hamid Laonso menjelaskan bahwa pelsanaan KB yang mendapat legitimasi dari syariat Islam jika ak-tivitas tersebut berorientasi pada konteks menjarangkan, bukan membatasi keturunan. Karena dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Mengkhawatirkan keselamatan jiwa atau kesehatan ibu, na-mun kekhawatiran ini harus dilaksanakan berdasarkan indi-kasi dari dokter yang dapat dipercaya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. QS. al-Baqarah ayat 195.
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
b. Mengkhawatirkan kesehatan atau pendidikan anak-anak bila jarak kelahiran anak terlalu dekat. Kebolehan melaku-kan KB antara lain karena untuk menjaga kesehatan istri, mempertimbangkan kepentingan anak, mempertimbangkan biaya hidup berumah tangga.
Di dalam Al-Qur’an dan Hadis, yang merupakan sumber po-kok hukum Islam dan yang menjadi pedoman hidup bagi umat Islam tidak ada nash yang sahih yang melarang ataupun yang memerintahkan ber-KB secara eksplisit. Oleh karena itu, hukum ber-KB harus dikembalikan kepada kaidah hukum Islam (kaidah
fiqhiyyah) yang menyatakan:
اهَيرَت ىلع ليلدلا لدي ِتح ةحِبَلا لاعفَلاو ءايشَلا ِف لصَلا
“Pada dasarnya segala sesuatu perbuatan itu boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”
Terkait program KB, apa yang hendak dicapai sesungguhnya adalah bagaimana menciptakan kondisi yang sejahtera, kondisi maslahat, bagi seluruh warga negara. Pangaturan dan pengenda-lian populasi dalam program KB adalah suatu cara yang penting menciptakan kondisi maslahat bagi warga negara. Sebab, ma-salah populasi adalah mendasar, karena mama-salah-mama-salah lain hanya merupakan dampak atau akibat saja dari masalah popula-si. Ibaratnya, soal kependudukan adalah hulu, sedang masalah-masalah lain adalah hilirnya (Rohim, 2016).
Motivasi yang melatar-belakanginya bukan karena takut ti-dak mendapat rezeki. Karena bila motivasinya seperti ini, berarti kita telah kufur kepada salah satu sifat Allah, yaitu Ar-Razzaq. Sifat Allah Swt. yang satu ini harus kita imani dalam bentuk kita yakin sepenuhnya bahwa tidak ada satu pun bayi lahir kecuali Allah telah menjamin rezeki untuknya. Karena itu membunuh bayi karena takut kelaparan dianggap sebagai dosa besar di
da-lam Al-Qur’an. “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu
karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka” (QS. al-An’aam [6]: 151). “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesung-guhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar” (QS. al-Israa’ [17]: 31).
Motivasi yang dibenarkan adalah mencegah sementara ke-hamilan untuk mengatur jarak kelahiran itu sendiri. Atau karena alasan medis berdasarkan penelitian para ahli berkaitan dengan keselamatan nyawa manusia bila harus mengandung anak. Da-lam kasus tertentu, seorang wanita bila hamil bisa membaha-yakan nyawanya sendiri atau nyawa anak yang dikandungnya. Dengan demikian, maka dharar itu harus ditolak.
Metode pencegah kehamilan serta alat-alat yang digunakan haruslah yang sejalan dengan syariat Islam. Ada metode yang secara langsung pernah dicontohkan langsung oleh Rasulullah saw. dan para sahabat dan ada juga yang memang diserahkan kepada dunia medis dengan syarat tidak melanggar norma dan etika serta prinsip umum ketentuan Islam. Contoh metode pen-cegah kehamilan yang pernah dilakukan di zaman Rasulullah saw. adalah ‘azl. Dari Jabir berkata: “Kami melakukan ‘azl di masa Nabi saw. sedang Al-Qur’an turun” (HR. Bukhari dan Mus-lim). Dari Jabir berkata: “Kami melakukan ‘azl di masa Rasul-ullah saw., dan Rasul mendengarnya tetapi tidak melarangnya” (HR. Muslim). Adapun metode di zaman ini yang tentunya be-lum pernah dilakukan di zaman Rasulullah saw. membutuhkan kajian yang mendalam dan melibat para ahli medis dalam me-nentukan kebolehan atau keharamannya.