• Tidak ada hasil yang ditemukan

Definisi Induksi

Dalam dokumen BAB III Dasar-Dasar Logika (Bagus Takwin) (Halaman 43-62)

Hukum 8: Tidak boleh kedua premis partikular, setidaknya salah satu harus universal

7. Argumen Induktif 3

7.1. Definisi Induksi

Istilah argumen induktif atau induksi biasanya mencakup proses-proses inferensial dalam mendukung atau memperluas keyakinan kita pada kondisi yang mengandung risiko atau ketidakpastian. Argumen induktif dapat dipahami sebagai hipotesis yang mengandung risiko dan ketidakpastian.

Ketidakpastian dalam argumen induktif muncul dalam dua area yang berhubungan, yaitu dalam premis-premis argumen dan dalam asumsi-asumsi inferensial argumen. Mari kita 33 Pasal tentang induksi ini disadur dari buku A. K. Bierman dan R. N. Assali, The Critical Thinking Handbook

ambil sebuah contoh kasus: “Jono mati tertembak”. Argumen berikut ini merupakan argumen deduktif yang sahih yang dapat diberikan untuk mendukung pernyataan bahwa “Andi membunuh Jono”.

Andi lari dari kamar Jono dengan membawa pistol.

Siapa pun yang lari dari kamar Jono dengan membawa pistol pasti membunuh Jono.

Andi membunuh Joon.

Jika kita menerima bahwa premis-premis argumen ini benar, maka kita juga harus menerima bahwa kesimpulannya benar. Informasi dalam premis-premis itu secara logis tidak mencakup pernyataan apa pun yang merupakan kontradiksi dari kesimpulan. Para ahli logika menggambarkan hal ini sebagai berikut: isi informasi dari premis-premis mencakup isi informasi dari kesimpulan. Tidak ada informasi dalam kesimpulan di luar apa yang sudah ada dalam premis-premisnya.

Seandainya orang yang mengajukan argumen itu merasa tidak pasti akan kebenaran premis pertama, yaitu dia tidak merasa benar-benar pasti bahwa Andi yang lari dari kamar itu (mungkin saksi matanya tidak sepenuhnya dapat dipercaya), maka dia hanya dapat mengeluarkan argumen induktif (Garis dua berarti ‘jadi, ada kemungkinan bahwa…’.)

Kemungkinan besar, Andilah yang lari dari kamar Jono dengan membawa pistol.

Siapa pun yang lari dari kamar Jono pasti membunuh Jono. Andi membunuh Jono.

Jelas bahwa kalaupun kita menerima bahwa premis-premis argumen ini benar, kita tidak harus menerima bahwa kesimpulannya benar. Bisa saja orang yang mengajukan argumen ini punya alasan-alasan yang tidak dapat dibantah mengenai kebenaran premis kedua, namun argumen ini tetap tidak dapat menjamin bahwa Andilah yang membunuh Jono. Kesimpulan bahwa Andi membunuh Jono telah melebihi apa yang dapat dideduksi dari premis-premisnya.

Kemungkinan lain, asumsi inferensialnyalah yang tidak pasti benar sehingga orang yang mengajukan argumen terpaksa membuat argumen induktif. Misalnya, dia melihat sendiri Andi lari dari kamar Jono dengan membawa pistol. Hanya itu bukti yang dimilikinya. Berdasarkan bukti itu, dia menyimpulkan bahwa Andi membunuh Jono. Ini berarti dia mengambil kesimpulan terlalu cepat karena dia tidak merasa pasti akan kebenaran asumsi inferensialnya, padahal asumsi ini dibutuhkan untuk dapat menarik kesimpulan dari bukti yang ada. Argumennya menjadi seperti ini:

Andi lari dari kamar Jono dengan membawa pistol.

Kemungkinan, orang yang lari dari kamar Jono dengan membawa pistol telah membunuh Jono.

Andi telah membunuh Jono.

Premis-premis dalam argumen ini juga tidak menjamin kebenaran kesimpulannya. Karena orang yang mengajukan argumen masih merasa tidak pasti akan kebenaran asumsi yang menjembatani bukti (pada premis pertama) dengan kesimpulan, maka dia hanya menyatakan bahwa asumsi itu mungkin terjadi. Sama seperti contoh argumen induktif yang pertama, dalam argumen ini pun informasi pada kesimpulan melampaui apa yang dapat dideduksi dari premis-premisnya.

Dalam semua argumen induktif, ada premis atau asumsi inferensial yang lemah yang mencerminkan ketidakpastian karena informasi ada yang kurang lengkap. Pada contoh yang pertama, argumen tidak memiliki bukti yang kuat untuk menjamin kebenaran kesimpulannya. Pada contoh yang kedua, argumen tidak memiliki jembatan inferensial yang kuat untuk mendeduksi kesimpulan dari bukti yang ada.

Jadi, karakteristik semua argumen induktif adalah bahwa dalam kondisi ketidakpastian atau kurangnya informasi, kita langsung mengambil kesimpulan dengan risiko bahwa kita mengambil kesimpulan yang salah. Penalaran induktif yang baik berusaha meminimalkan risiko sehingga kita lebih sering mengambil kesimpulan yang benar daripada yang salah, dan berusaha memperhitungkan risiko itu dengan akurat. Panduan umum untuk melakukan penalaran induktif yang baik adalah yang berikut. 1) Usahakanlah mengumpulkan semua informasi yang tersedia yang berhubungan dengan topik argumen sebelum mengambil kesimpulan mengenai topik itu. Kita menginginkan kesimpulan yang kecil kemungkinannya menjadi batal jika ada informasi baru. 2) Cobalah mengeliminasi kesimpulan lain yang juga konsisten dengan bukti yang ada sebelum meyakini kesimpulan pilihan kita. 3) Jangan membuat kesimpulan jika kita menilai bahwa premis-premis yang kita miliki terlalu lemah.

Karena argumen induktif mempunyai karakteristik ketidakpastian, kesimpulan dari suatu argumen induktif sering disebut hipotesis. Suatu hipotesis adalah suatu proposisi yang diterima secara tentatif untuk menjelaskan fakta-fakta atau bukti-bukti tertentu. Kesimpulan dari suatu argumen induktif sering kali merupakan pernyataan yang dapat menjelaskan mengapa informasi dalam premis-premisnya benar. Misalnya, hipotesis bahwa Andi membunuh Jono dapat menjelaskan mengapa Andi lari dari kamar Jono dengan membawa pistol.

Sejalan dengan itu, strategi untuk membangun dan mengevaluasi argumen induktif adalah menentukan apakah kesimpulan yang diambil dari premis-premis yang ada merupakan penjelasan terbaik mengapa premis-premis bukti benar. Para ahli logika menggambarkan hal ini sebagai berikut: argumen induktif yang baik sebagai “kesimpulan yang merupakan penjelasan terbaik dari bukti.” Sayang sekali, tidak ada metode yang sederhana untuk mengevaluasi argumen induktif jika dibandingkan dengan pengukuran validitas argumen deduktif. Terlebih lagi, ada banyak kesulitan filosofis di sekitar konsep dukungan induktif, dan apakah induksi dapat dijadikan alat untuk mendapatkan pengetahuan.

Walaupun ada masalah-masalah teoretis, para ahli logika sering kali setuju mana yang termasuk dalam penalaran induktif yang baik. Kita dapat membedakan kapan bukti-bukti yang ada sudah cukup untuk mengambil kesimpulan dan kapan tidak, jika kita mempunyai akal sehat dan pengalaman, dan berefleksi dengan teliti.

7.1.1 Induksi Enumeratif (Generalisasi Induktif)

Induksi enumeratif, atau generalisasi induktif, adalah proses yang menggunakan premis-premis yang menggambarkan karakteristik sampel untuk mengambil kesimpulan umum mengenai kelompok asal sampel itu. Induksi jenis argumen ini merupakan argumen induktif yang paling terkenal. Begitu terkenalnya jenis argumen ini sampai-sampai beberapa penulis mendefinisikan argumen induktif sebagai argumen yang “bergerak dari premis-premis partikular ke kesimpulan umum.” Namun, sebenarnya bentuk ini hanyalah salah satu bentuk saja dari argumen induktif.

Perhatikanlah contoh-contoh argumen berikut ini dan polanya:

(1) Kami mengobservasi 27.830 ekor angsa di Inggris dan menemukan bahwa setiap angsa tersebut berwarna putih. Kami menyimpulkan dari bukti ini bahwa semua angsa putih.

Pola Argumen 1:

X1 mempunyai karakteristik P.

X2 mempunyai karakteristik P. Dasar bukti atau

X3 mempunyai karakteristik P. tabel konfirmasi

:

Xn mempunyai karakteristik P. (n=27.830)

Semua X mempunyai karakteristik P.

(2) Saya pergi ke New York untuk pertama kalinya minggu lalu. Orang pertama yang saya tanyai tentang jalan ke Carnegie Hall bersikap sangat kasar dan menyuruh saya mundur. Saya bertanya kepada orang kedua, dan dia juga kasar dan menyumpahi saya supaya

pergi. Saya bertanya kepada tujuh orang lagi, dan setiap orang mengusir saya tanpa menolong saya. Akhirnya, orang kesepuluh yang saya tanya memberi tahu saya jalan ke Carnegie Hall. Dari sini, saya menyimpulkan bahwa hampir semua orang New York bersikap kasar kepada pendatang yang menanyakan jalan.

Pola Argumen 2:

X1 mempunyai karakteristik R. X2 mempunyai karakteristik R.

X3 mempunyai karakteristik R. Tabel konfirmasi

:

X10 tidak mempunyai karakteristik R. Kebanyakan X mempunyai karakteristik R.

(3) Dari 200.000 cip (chip) yang dibuat dengan proses baru kami bulan lalu, diambil secara acak (random) 1.000 buah untuk diuji. Hanya 50 buah dari sampel itu yang cacat, yang berarti 95% buah sampel lainnya sempurna. Kita menyimpulkan bahwa proses pembuatan cip yang baru ini menghasilkan sekitar 95% cip yang sempurna, dan hanya 5% yang cacat. Pola Argumen 3: X1 mempunyai karakteristik G. X2 mempunyai karakteristik G. X3 mempunyai karakteristik G. :

X950 mempunyai karakteristik G. Tabel konfirmasi

X951 tidak mempunyai karakteristik G. X952 tidak mempunyai karakteristik G. X953 tidak mempunyai karakterisitk G.

:

X1000 tidak mempunyai karakteristik G. Sekitar 95% X mempunyai karakteristik G.

Dalam masing-masing argumen itu, premis-premisnya merupakan contoh dari individu-individu yang mempunyai karakteristik tertentu. Kesimpulannya menggeneralisasikan bahwa individu dari kelompok itu mempunyai karakteristik itu sampai dengan batas tertentu. Pada contoh (1), batasnya adalah 100%, dan kesimpulannya merupakan generalisasi universal, yaitu semua individu mempunyai karakteristik tersebut. Pada dua contoh lainnya, korelasinya tidak mencapai 100%. Kesimpulannya berupa

generalisasi statistikal yang memperkirakan persentase individu yang mempunyai karakteristik tersebut. Perkiraan ini masih belum jelas pada contoh (2), tetapi jauh lebih jelas pada contoh (3).

Secara umum induksi enumeratif dapat dianggap sebagai argumen dari sampel. Individu yang diobservasi merupakan sampel yang diambil dari populasi yang lebih besar, yang kebanyakan anggotanya belum diobservasi. Berdasarkan karakteristik yang diobservasi pada sampel, kesimpulan dibuat mengenai populasi secara keseluruhan.

Dalam pola-pola argumen yang digambarkan di atas, pernyataan-pernyataan yang menggambarkan hasil observasi individual didaftarkan. Ini disebut tabel konfirmasi. Secara lebih umum, karena premis-premis ini mengandung data yang digunakan sebagai bukti dalam membuat kesimpulan, maka premis-premis ini disebut dasar induksi atau dasar bukti atau, lebih sederhana lagi, data atau bukti.

Tabel konfirmasi tidak selalu dibuat. Kalaupun dibuat, hal itu dilakukan pada proses pengumpulan bukti dan jarang sekali dicantumkan pada pernyataan argumen. Namun, bukti lebih sering diringkas dalam bentuk statistik mengenai sampel yang diobservasi. Agar dapat diterima, argumen yang berdasarkan sampel harus mempunyai asumsi bahwa sampel itu representatif terhadap populasi dan cukup besar sehingga dapat menyediakan perkiraan yang terandalkan (reliable). Kalaupun tidak disebutkan, asumsi ini selalu merupakan premis atau asumsi inferensial yang implisit dalam argumen induktif yang baik. Oleh sebab itu, pola generalisasi induktif yang baik adalah sebagai berikut:

N persen dari sampel S yang diambil dari F yang diobservasi mempunyai karakteristik G.

Sampel S cukup besar dan representatif terhadap F. Kira-kira N persen dari F mempunyai karakteristik G.

Induksi enumeratif sangat bervariasi dalam hal kualitas pengumpulan dan presentasi datanya, dan dalam kekuatan kesimpulannya. Karena itu, kita dapat menggunakan pola argumen ini sebagai perkiraan kasar untuk mengevaluasi argumen jenis ini secara cepat. Kita dapat menggunakan model ini untuk melakukan rekonstruksi kekuatan suatu induksi enumeratif. Dari sini terlihat bagaimana suatu argumen dapat ditingkatkan kekuatannya.

Dalam argumen (1) di atas, N=100% sehingga kesimpulannya merupakan generalisasi universal untuk semua angsa. Rekonstruksi kekuatan argumen (1) adalah sebagai berikut:

Sampel sebesar 27.830 cukup besar dan representatif terhadap semua angsa.

Semua angsa berwarna putih.

Kebenaran premis pertama dari argumen ini dapat dipertanyakan, misalnya seseorang dapat meragukan apakah semua unggas yang diobservasi memang benar-benar angsa. Namun jika bukti dikumpulkan dengan hati-hati, fokus kritik terhadap argumen ini terletak pada premis kedua.

Dalam semua argumen yang didasarkan pada suatu sampel, selalu harus dipertanyakan apakah sampelnya cukup besar dan representatif terhadap populasi sehingga kesimpulannya dapat dipercaya. Mengambil kesimpulan yang terlalu kuat berdasarkan sampel yang terlalu kecil berarti melakukan percontoh salah (error sampel) yang tidak cukup. Membuat kesimpulan berdasarkan sampel yang tidak representatif berarti melakukan percontoh salah yang bias.

Dalam kasus ini, percontoh atau sampelnya nampaknya cukup besar untuk menjamin kesimpulan mengenai semua angsa. Namun kita dapat melihat bahwa observasi hanya dilakukan pada angsa di Inggris sementara kesimpulannya mengenai semua angsa. Jadi, jika kita menduga bahwa angsa di Inggris berbeda dari angsa pada umumnya, dapat dipertanyakan apakah sampelnya representatif. Argumen ini akan lebih kuat jika lebih dimiripkan dengan pola di atas, yaitu dengan melemahkan kesimpulannya sampai dengan batas semua angsa di Inggris saja. Dengan demikian, argumen (2) dapat direkonstruksi kekuatannya menjadi:

Sebanyak 9 dari 10 orang New York sampel yang diobservasi (90%) bersikap kasar pada pendatang yang menanyakan jalan. 10 orang itu merupakan sampel yang cukup besar dan representatif

dari orang New York.

Kira-kira 9 dari 10 (90%) orang New York bersikap kasar pada pendatang yang menanyakan jalan.

Jelas bahwa kesimpulan ini bukanlah hasil dari penyelidikan yang sistematis. Kemungkinan besar, seperti yang terjadi pada banyak argumen sehari-hari, tidak diduga atau diharapkan bahwa argumennya akan dianalisis dan dievaluasi secara detil.

Kelemahan argumen kedua tampak jelas setelah direkonstruksi. Percontoh sejumlah 10 orang terlalu kecil untuk membuat kesimpulan secara meyakinkan mengenai orang New York pada umumnya. Di samping itu, juga tidak disebutkan bagaimana percontohnya dipilih

sehingga kita tidak tahu apakah percontoh itu representatif. Lagi pula, premis yang satunya lagi, yakni bahwa 9 dari 10 orang sampel yang diobservasi dan bersikap kasar kepadanya ketika dia menanyakan jalan baru diduga saja sebagai orang New York. Kita membutuhkan bukti tambahan apakah orang-orang itu memang orang New York dan apakah mereka menganggapnya pendatang. Singkatnya, argumen kedua itu belum memenuhi pola argumen, dan premis-premisnya tidak sepenuhnya relevan dengan kesimpulannya.

Jadi, dengan memeriksa argumen berdasarkan pola induksi enumeratif, kita mengungkapkan kemungkinan bahwa suatu argumen ternyata tidak kuat. Dengan demikian, argumen (3) dapat direkonstruksi menjadi:

95% dari 1000 cip yang dipilih secara acak dari semua cip yang dibuat bulan lalu dengan proses baru merupakan cip yang baik. 1000 cip itu merupakan percontoh yang cukup besar dan representatif

dari semua cip yang dibuat dengan proses baru.

Kira-kira 95% dari cip yang dibuat dengan proses baru merupakan cip yang baik.

Argumen (3) cukup mendekati pola induksi enumeratif. Dengan asumsi bahwa premis pertama benar, argumen ini boleh dikatakan kuat. Memilih cip secara acak berarti kemungkinannya sangat besar bahwa percontoh itu representatif terhadap populasi. Berdasarkan teori statistik, sampel sebesar itu cukup besar untuk mendukung kesimpulan dengan probabilitas 99%, dan kira-kira 95% dianggap sebagai interval di sekitar 95%, plus atau minus 3% (jadi, dari 92% sampai 98%).

Satu masalah dalam argumen (3) adalah bahwa sampel dipilih dari cip yang dibuat bulan lalu, dan kesimpulannya mengenai cip yang dibuat dengan proses baru. Pola di atas menuntut bahwa populasi yang disebutkan di kesimpulan sama dengan populasi asal sampel. Ini berarti cip yang dibuat dengan proses baru harus merupakan cip yang dibuat dengan cara yang sama dengan cip yang dibuat bulan lalu.

7.1.2 Spesifikasi Induktif: Silogisme Statistikal

Silogisme statistikal merupakan argumen yang menggunakan generalisasi statistik tentang suatu kelompok untuk mengambil kesimpulan mengenai suatu sub-kelompok atau anggota individual dari kelompok itu. Silogisme statistikal—jenis spesifikasi induktif yang paling umum digunakan sehari-hari—merupakan kebalikan dari proses generalisasi induktif. Dalam konteks profesional atau ilmiah— yang menggunakan teori-teori matematika untuk menarik

kesimpulan mengenai sampel dari informasi mengenai populasi yang lebih besar—spesifikasi statistik jauh lebih kompleks..

Penyimpulan dalam silogisme statistikal bergerak dari generalisasi mengenai suatu kelompok ke kesimpulan yang lebih spesifik mengenai satu anggota kelompok itu atau lebih. Bentuk standar silogisme statistikal ialah yang berikut:

N persen dari M adalah P. Semua S adalah M.

(Kira-kira) N persen dari S adalah P.

Argumen jenis ini dapat atau tidak dapat diterima, tergantung pada seberapa tepat generalisasi statistikalnya dinyatakan. Mari kita perhatikan contoh Hampir semua M adalah

P atau Kebanyakan M adalah P. Jelas bahwa silogisme statistikal yang menggunakan

generalisasi yang samar-samar seperti ini tidak layak diyakini sepenuhnya.

Apakah suatu argumen dapat diterima atau tidak juga tergantung pada apa yang kita ketahui mengenai anggota S dan sejauh mana anggota S itu representatif terhadap M. Jika situasi anggota S itu tidak sama, maka penerapan generalisasi itu pada percontoh S patut dipertanyakan. Bila S sangat kecil jika dibandingkan dengan M, atau S adalah individu tunggal, maka dapat atau tidak dapat diterimanya argumen tergantung pada ukuran N selain pada ketepatan premis statistiknya. Misalnya, jika hanya 55% siswa di suatu kelas adalah murid baru, maka kesimpulan kita bahwa seorang siswa tertentu di kelas itu adalah murid baru dapat dikatakan lemah. Jika N sama dengan 100%, argumen jenis ini menjadi silogisme kategorial, dan kesimpulannya menjadi deduktif.

Contoh-contoh berikut akan memperjelas uraian di atas:

Sembilan dari 10 orang Indian di Amerika Serikat tinggal di daerah reservasi. Jadi, kemungkinannya sangat besar bahwa sekitar 90% suku Sioux tinggal di daerah reservasi.

90% dari orang Indian di Amerika Serikat tinggal di daerah reservasi.

Suku Sioux adalah orang Indian. (implisit)

Kira-kira 90% suku Sioux tinggal di daerah reservasi.

Karena hampir semua politisi di Washington dapat mengeja kata kentang dan karena Wakil Presiden adalah seorang politisi di Washington, maka kemungkinannya sangat besar bahwa dia dapat mengeja kata itu.

Hampir semua politisi di Washington dapat mengeja kata kentang. Wakil Presiden adalah seorang politisi di Washington.

Wakil Presiden dapat mengeja kata kentang.

Pada pandangan pertama, kedua argumen itu tampak cukup kuat. Dalam argumen (1), generalisasi bahwa 90% orang Indian tinggal di daerah reservasi dihubungkan dengan suku Sioux, suatu sub-kelompok dari kelompok orang Indian. Namun, kesimpulan ini masih goyah sebelum kita yakin bahwa tidak ada perbedaan yang relevan antara suku Sioux dengan populasi orang Indian secara keseluruhan. Walaupun kita berasumsi bahwa statistik 90% didapatkan dari sampel yang representatif, tetap ada masalah dalam menerapkan persentase ini pada suku Sioux. Statistik dalam premis itu mungkin didapatkan dari hasil sensus: berapa rasio jumlah orang Indian yang tinggal di daerah reservasi terhadap perkiraan jumlah populasi orang Indian keseluruhan. Jika memang demikian, berarti data ini mengabaikan kenyataan bahwa suku-suku Indian sangat berbeda dalam adat dan kebiasaan hidup. Ada kemungkinan lain juga, yakni misalnya, suku Sioux tidak wajib tinggal di reservasi khusus sehingga banyak yang tinggal di tempat lain.

Argumen (2) tampak sangat kuat. Memang ada masalah kecil, yaitu ketidakspesifikan premis pertama, namun argumen ini masih dapat diterima karena sangat kecil kemungkinannya ada penelitian mengenai kemampuan mengeja para politisi. Argumen ini menggunakan akal sehat—yaitu bahwa hampir semua politisi atau orang dewasa yang berpendidikan dapat mengeja kata yang sederhana seperti kentang. Jadi, kita dapat mengganggap pernyataan hampir semua politisi di Washington berarti tidak kurang dari 90%, sehingga kesimpulan mengenai Wakil Presiden termasuk sangat kuat (kecuali ada alasan untuk meyakini bahwa Wakil Presiden mempunyai masalah khusus dalam hal mengeja).

Dua contoh berikut menyajikan masalah yang menarik, yang tampaknya lebih mirip prediksi daripada silogisme statistikal.

Karena 9 dari 10 kartu yang tersisa di tumpukan itu bergambar hati, kartu berikutnya yang diambil pasti bergambar hati.

90% dari 10 kartu yang tersisa di tumpukan itu bergambar hati. Kartu berikutnya yang diambil merupakan salah satu dari 10 kartu

yang tersisa di tumpukan itu. (implisit) Kartu berikutnya yang diambil bergambar hati.

Setiap pengacara yang pernah kita temui bersifat agresif. Karena orang yang akan kita temui adalah pengacara, kemungkinan besar dia juga agresif.

100% pengacara yang pernah kita temui bersifat agresif. Orang yang akan kita temui adalah pengacara.

Orang yang akan kita temui bersifat agresif.

Argumen (3) tampaknya memprediksi kejadian di masa depan dan bukannya mengambil kesimpulan mengenai anggota suatu kelompok berdasarkan generalisasi mengenai kelompok itu secara keseluruhan. Namun, kartu berikutnya yang diambil dari tumpukan merupakan anggota tumpukan yang sudah mempunyai karakteristik yang relevan (yakni, bergambar hati) sejak sebelum kartu itu diambil. Jadi, kita dapat mengabaikan aspek prediktif dari kesimpulan itu. Argumen (3) merupakan argumen silogisme statistikal yang sangat kuat. Jika kita tahu bahwa tumpukan itu tidak diatur dan kocokannya jujur, maka tidak ada masalah atau pun informasi yang dapat memperlemah argumen itu. Kemungkinannya 9 berbanding 1 bahwa kesimpulannya benar.

Contoh (4) bukanlah silogisme statistik, walaupun tampak mirip contoh (3). Orang

yang akan kita temui yang tercantum dalam premis dan kesimpulan bukanlah anggota dari

kelompok pengacara yang pernah kita temui yang tercantum dalam generalisasi. Jadi, argumen ini bukanlah contoh langsung dari spesifikasi statistikal. Argumen ini tampaknya merupakan prediksi mengenai seorang pengacara yang belum ditemui berdasarkan sampel pengacara yang pernah ditemui.

Satu bentuk rekonstruksi dari contoh (4) mungkin ialah argumen dua langkah yang terdiri dari generalisasi induktif yang diikuti oleh silogisme statistikal:

100% dari sampel pengacara yang diobservasi bersifat agresif. Sampel yang diobservasi cukup besar dan representatif terhadap

semua pengacara. (implisit)

Kira-kira 100% pengacara bersifat agresif. Orang yang akan kita temui adalah pengacara. Orang yang akan kita temui bersifat agresif.

Di sini kita juga menghilangkan aspek prediktif dari silogisme statistikalnya. Jelas bahwa dapat atau tidak dapat diterimanya argumen ini tergantung pada kebenaran premis implisitnya dan pada hal lain yang kita ketahui mengenai orang yang akan kita temui.

Masalah yang timbul adalah kita tidak dapat yakin apakah rekonstruksi di atas memang merupakan apa yang dimaksud si pembicara. Ada kekemungkinan lain, yaitu si pembicara tidak memaksudkan observasinya mengenai pengacara yang pernah mereka temui sebagai generalisasi mengenai semua pengacara, melainkan hanya mengenai pengacara yang mereka temui. Jadi, rekonstruksinya mungkin seperti ini.

Dalam dokumen BAB III Dasar-Dasar Logika (Bagus Takwin) (Halaman 43-62)