• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III Dasar-Dasar Logika (Bagus Takwin)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III Dasar-Dasar Logika (Bagus Takwin)"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

DASAR-DASAR LOGIKA

Bagus Takwin

1. Apakah Logika Itu?

Secara umum, logika dikenal sebagai cabang filsafat, tetapi ada juga ahli yang menempatkannya sebagai cabang matematika. Kedua bidang kajian ini menempatkan logika sebagai dasar berpikir dalam memperoleh, mencermati dan menguji pengetahuan. Logika dapat diartikan sebagai kajian tentang prinsip, hukum, metode, dan cara berpikir yang benar untuk memperoleh pengetahuan yang benar.

Jika ditempatkan sebagai cabang filsafat, logika dapat diartikan sebagai cabang dari filsafat yang mengkaji prinsip, hukum dan metode berpikir yang benar, tepat dan lurus. Jika ditempatkan sebagai matematika maka logika merupakan cabang matematika yang mengkaji seluk-beluk perumusan pernyataan atau persamaan yang benar, khususnya pernyataan yang menggunakan bahasa formal. Bahasa formal adalah bahasa buatan yang dibedakan dari bahasa alamiah. Bahasa formal di sini merujuk kepada rangkaian simbol matematis seperti yang biasa kita jumpai dalam literatur matematika. Sedangkan bahasa alamiah, atau bahasa non-formal, adalah bahasa yang umumnya kita gunakan sehari-hari dalam berkomunikasi.

Dari sejarah filsafat kita mengenal Aristoteles sebagai filsuf yang pertama kali membeberkan hal-ihwal logika secara komprehensif. Sebelumnya ada beberapa filsuf Yunani Kuno yang sudah mengemukakan prinsip-prinsip berpikir dan pemerolehan pengetahuan seperti Parmenides, Zeno, dan Pythagoras. Tetapi penjelasan khusus dan menyeluruh tentang bagaimana pikiran manusia bekerja dan dapat memperoleh pengetahuan yang benar baru ditulis secara sistematis oleh Aristoteles.

Penggunaan istilah logika untuk menyebut cabang filsafat yang mengkaji prinsip, aturan, dan metode berpikir yang benar bukan berasal dari Aristoteles melainkan dari Alexander Aphrodisias sekitar permulaan abad ke-3 M. Sebelumnya istilah logika dipakai oleh Cicero (abad ke-1 M) yang menggunakan kata logika dalam arti ‘seni berdebat’. Aristoteles sendiri menggunakan istilah analitika untuk merujuk kepada penyelidikan terhadap argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang sudah

(2)

argumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang belum pasti kebenarannya (Bertens, 1999).

Dalam matematika, logika dikaji dalam kaitannya dengan upaya menyusun bahasa matematika yang formal, baku, dan jernih maknanya, serta dalam kajian tentang penyimpulan dan pembuatan pernyataan yang benar. Tradisi penggunaan dan pengkajian logika dalam matematika sudah sangat lama dilakukan sehingga matematika tak dapat dipisahkan dari logika, dan keduanya saling melengkapi. Bertrand Russell dan Alfred North Whitehead bahkan menyatakan bahwa matematika adalah logika murni. Istilah logika klasik (classical

logic, classical elementary logic, atau classical first-order logic) merujuk kepada kajian

tentang logika dalam matematika. Kata klasik di situ mengindikasikan betapa sudah menyatunya logika dan matematika, yang sudah dianggap sebagai dua sisi dari satu keping mata uang.

Terlepas dari latar belakang kajian dan penemuannya serta klasifikasinya dalam penggolongan ilmu, logika merupakan alat yang dibutuhkan dalam kajian berbagai ilmu pengetahuan dan juga dalam kehidupan sehari-hari. Logika, di samping etika, dapat dipahami sebagai asas pengaturan alam dan isinya yang dikembangkan manusia. Alam yang pada awalnya tampil di hadapan manusia sebagai sesuatu yang tak termaknai dan sebagai ketidakteraturan mendorong manusia untuk memaknainya dan untuk memberikan arti kepada unsur-unsurnya dan penjelasan kepada dinamikanya. Alam, yang awalnya tak terpahami dan terkesan tak teratur, pelan-pelan namun pasti mulai terpahamkan. Pemaknaan dan pengaturan itu dari waktu ke waktu berkembang semakin sistematis dan komprehensif. Logika berperan di sana, mulai dari penamaan benda-benda berdasarkan prinsip identitas (X = X) hingga penemuan beragam hubungan antara unsur alam melalui penalaran analogis, deduktif, dan induktif. Logika memungkinkan manusia memahami seluk-beluk dan dinamika alam berserta isinya, menerangkan, meramal, dan menata alam. Berbagai persoalan manusia terselesaikan dengan bantuan logika. Meskipun belum semua persoalan selesai sementara berbagai persoalan baru sudah muncul—termasuk persoalan yang disebabkan oleh penggunaan (dan penyalahgunaan) logika—tak dapat dimungkiri bahwa logika sudah membantu manusia meningkatkan kualitas hidupnya dan mengembangkan peradabannya seperti yang kita saksikan sekarang. Sebagai asas pengaturan, logika menjelaskan bahwa alam yang awalnya tampak sebagai kekacau-balauan (chaos) sebenarnya merupakan jagat raya (cosmos) yang teratur.

(3)

bertujuan memperoleh pengetahuan; dengan kata lain, penalaran merupakan aktivitas epistemik. Penalaran adalah proses penarikan kesimpulan berdasarkan alasan yang relevan. Dalam logika dikaji bagaimana berlangsungnya proses penarikan kesimpulan yang mencakup unsur-unsur dari proses, langkah-langkah, serta hukum, prinsip dan aturan-aturannya.

Untuk dapat menjelaskan karakteristik penaralan yang benar serta mengapa dan bagaimana itu dapat dihasilkan, logika menggunakan pemahaman tentang standar kebenaran yang diperoleh dari epistemologi yang merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat pengetahuan. Di samping itu, sebagai bagian dari epistemologi dalam arti luas, logika juga memerlukan dasar-dasar pengetahuan yang dikaji oleh epistemologi, yang mencakup segi-segi sumber pengetahuan, batas pengetahuan, struktur pengetahuan, dan keabsahan pengetahuan. Sebuah sistem logika didasari oleh asumsi tentang sumber pengetahuan, apakah pengetahuan itu dianggap bersumber dari pikiran, pengalaman atau dari hal-hal lain. Dalam sistem logika yang komprehensif juga ditentukan batas-batas kemampuan manusia untuk mengetahui, jenis pengetahuan yang dapat diperoleh, dan syarat-syarat dari pengetahuan sehingga dapat dipahami manusia. Struktur pengetahuan yang berkaitan dengan bagaimana pengetahuan terkumpul, tersusun, dan tertata sedemikian rupa dalam diri manusia juga mendasari sebuah sistem logika. Lalu, untuk menentukan benar atau tidaknya sebuah penalaran sebuah sistem logika perlu didasari oleh syarat-syarat dari keabsahan pengetahuan.

Dapat dikatakan bahwa logika merupakan dasar filosofis dari matematika. Ini disebabkan oleh asas epistemologis matematika yang berakar pada filsafat. Belakangan, mereka yang membahas matematika kebanyakan adalah filsuf, seperti Bertrand Russell, Alfred North Whitehead dan Gottlob Frege. Di sisi lain, matematika juga banyak memberi masukan kepada logika, bahkan dianggap sebagai logika murni oleh Russell dan Whitehead dalam buku mereka yang berjudul Principia Mathematica (1925). Dalam pengertiannya sebagai kajian tentang penalaran yang benar, logika memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan aspek matematis dari logika. Dua di antaranya ialah bagaimana pembuatan kesimpulan dari prinsip-prinsip umum yang sudah ada dan validitasnya berhubungan dengan penalaran yang benar? Dan bagaimana matematika sebagai proses pembuatan kesimpulan khusus berdasarkan hukum-hukum umum dapat dipahami dari segi logis; dan, sebaliknya, bagaimana logika dipahami dari sudut pandang matematika?

Sebagai kajian tentang penalaran, logika juga berhubungan erat dengan bahasa alamiah yang sehari-hari dipakai oleh manusia. Untuk berkomunikasi, orang bernalar dengan menggunakan bahasa alamiah. Ini juga berkaitan dengan matematika. Hal ini menimbulkan

(4)

matematik? Bagaimana matematika dapat menjelaskan realitas sehari-hari? Bagaimana matematika dapat digunakan untuk melakukan penalaran yang benar? Apa dasar epistemologis dari matematika sehingga dapat digunakan untuk membuat penalaran yang benar?

Buku ini tidak akan menjelaskan bagaimana logika dan matematika saling berhubungan, dan juga tidak menjelaskan secara khusus dan rinci hubungan antara bahasa dan penalaran sehari-hari dengan logika. Uraian tadi hanya sekadar menunjukkan secara singkat bahwa logika berkaitan erat dengan matematika sehingga beberapa simbol matematika digunakan di dalam logika. Logika juga berkaitan dengan pemahaman manusia dalam kesehariannya karena sama-sama menggunakan bahasa sebagai medianya.

Di atas sudah dibahas secara umum tentang dua pengertian logika, yakni sebagai cabang filsafat dan sebagai cabang matematika. Sebelum pembahasan lebih khusus tentang logika, di sini dikemukakan dua pengertian lain dari logika, yakni logika sebagai kajian tentang kebenaran khusus atau fakta dan logika sebagai kajian ciri-ciri atau bentuk umum dari putusan (bahasa Inggris: judgment). Sebagai kajian tentang kebenaran khusus, logika merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan menjelaskan kebenaran atau fakta tertentu, sama halnya dengan ilmu pengetahuan lain yang bertujuan menjelaskan kebenaran lainnya. Kebenaran logis dapat dipahami sebagai kebenaran paling umum, satu kebenaran yang dikandung oleh semua kumpulan kebenaran lain yang hendak dijelaskan oleh ilmu pengetahuan. Dalam pengertian ini logika berbeda dari biologi karena logika lebih umum; tetapi, di pihak lain, sama dengan biologi, yaitu sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan mencapai kebenaran tertentu. Pengertian logika ini sering kali diasosiasikan dengan Gottlob Frege (1848-1925), ahli matematika dan filsuf dari Jerman. Konsepsi logika ini secara dekat diasosiasikan dengan satu pernyataan yang diperoleh dengan menggunakan logika secara fundamental tentang kesimpulan-kesimpulan tertentu dan tentang semua konsekuensi logis dari tiap kesimpulan itu. Pengertian logika di sini dapat dipulangkan kepada asal katanya,

logos, dari Herakleitos yang berarti ‘aturan’, ‘prinsip’, atau ‘kata-kata yang menjelaskan

realitas’.

Kebenaran logis dalam pengertian ini merupakan satu kebenaran yang diungkapkan dengan representasi yang secara logis tidak mengikuti asumsi apa pun. Kebenaran logis ini dapat dipahami juga sebagai asumsi dasar atau postulat atau prinsip pertama yang mencukupi dirinya sendiri (self-sufficient reason). Dalam pengertian lain, kebenaran logis adalah satu pernyataan yang kebenarannya dijamin sejauh makna dari konstanta logisnya tetap, terlepas

(5)

Dalam arti kajian ciri-ciri atau bentuk umum dari putusan atau bentuk pikiran dari putusan, logika dapat dipahami sebagai kajian yang mempelajari unsur-unsur putusan dan susunannya dengan tujuan untuk memperoleh pola atau bentuk umum dari proses pembuatan putusan. Satu contoh bentuk kegiatan dari logika ini adalah penyelidikan tentang struktur hubungan antara subjek dan predikat dari berbagai putusan yang ada; penelitian tentang jenis putusan, dan bagaimana pikiran manusia menggunakan bentuk-bentuk pernyataan tertentu untuk membuat kesimpulan. Fokus kajian dari logika ini adalah pikiran, representasi linguistik, meskipun pikiran dan bahasa saling terkait erat. (Putusan terdapat dalam pikiran dan diungkapkan dengan tanda-tanda konvensional yang dapat diinderai.) Kajian ini berurusan dengan berbagai bentuk putusan, bukan bentuk kalimat seperti yang dipelajari oleh linguistik meskipun dalam praktiknya keduanya mirip karena sama-sama menggunakan bahasa sebagai alat ekspresi utamanya. Berbeda dengan bentuk dari bahasa sebagai representasi linguistik yang konstan terlepas dari apa pun isinya, bentuk pikiran diperoleh melalui abstraksi dari isi pikiran.

2. Kategori

Manusia berpikir dengan menggunakan kategori. Contohnya, kita mengenal kursi sebagai perabot, kucing sebagai makhluk hidup, mobil sebagai kendaraan, dan rumah sebagai tempat tinggal. Perabot, makhluk hidup, kendaraan, dan tempat tinggal adalah contoh kategori yang digunakan untuk mengenali dan mengelompokkan benda-benda. Sejak anak dapat mengenali dunia, kategori digunakan untuk mengenali obyek-obyek di dunia.

Pada awalnya kategori yang digunakan sangat sederhana dan umum seperti lebih besar dan lebih kecil, atau lebih jauh dan lebih dekat, atau lebih keras atau lebih lembut. Kemudian kategori yang lebih kompleks dikemba ngkan, seperti makhluk hidup yang bernafas dengan paru-paru, tempat tinggal yang layak huni dan nyaman, dan sebagainya.

Selain itu, ada hierarki kategori, baik berdasarkan sifat umum atau khusus, maupun sifat kompleks atau simpleks. Makhluk hidup, contohnya, merupakan kategori yang lebih umum dari hewan yang didefinisikan sebagai makhluk hidup yang berindera. Contoh lain, zat merupakan kategori yang lebih umum dari zat cair dan zat padat. Dilihat dari kompleksitasnya, hotel lebih adalah kategori yang lebih kompleks daripada rumah karena pada hotel ada karakteristik yang lebih banyak daripada pada rumah, seperti memiliki

(6)

fasilitas ruang tidur yang dapat disewakan, ruang makan bersama, lobi, tempat parkir, pegawai hotel, tarif menginap, dan lain-lain.

Para filsuf membantu kita untuk mengenali benda-benda secara lebih sistematis dan koheren dengan mengajukan kategori-kategori dasar dari semua yang ada dan mungkin ada di dunia. Aristoteles adalah filsuf pertama yang menggunakan istilah kategori dalam filsafat dan mengajukan jenis-jenis kategori yang menurutnya dapat diterapkan pada semua benda yang ada di dunia. Untuk memahami secara lengkap apa yang dimaksud dengan kategori oleh Aristoteles kita perlu membaca dua kutipan berikut ini.

“We should distinguish the kinds of predication (ta genê tôn katêgoriôn) in which the four

predications mentioned are found. These are ten in number: what-it-is, quantity, quality, relative, where, when, being-in-a-position, having, doing, undergoing. An accident, a genus, a peculiar property and a definition will always be in one of these categories.”

(Topics I.9, 103b20-25 dalam Owen (ed.), 1968; Smith, 2000)

“Of things said without any combination, each signifies either substance or quantity or

quality or a relative or where or when or being-in-a-position or having or doing or undergoing. To give a rough idea, examples of substance are man, horse; of quantity: four-foot, five-foot; of quality: white, literate; of a relative: double, half, larger; of where: in the Lyceum, in the market-place; of when: yesterday, last year; of being-in-a-position: is-lying, is-sitting; of having: has-shoes-on, has-armor-on; of doing: cutting, burning; of undergoing: being-cut, being-burned.” (Categories 4, 1b25-2a4, tr. Ackrill,

1961)

Dari dua kutipan tersebut, diketahui bahwa Aristoteles membagi segala sesuatu dalam sepuluh kategori mencakup (1) substansi’ (2) kualitas, (3) kuantitas atau ukuran, (4) relasi (relatio), (5) aksi (actio), (6) reaksi atau terkena aksi (pasif, menderita, pasio), (7) waktu (kapan), (8) lokasi (dimana), (9) posisi (dalam arti posisi fisik atau posture, silus) dan (10) memiliki atau mengenakan (habitus).

Bagi Aristoteles, ke-10 kategori yang diajukannya bukan hanya berkaitan dengan logika tetapi lebih jauh lagi berkaitan dengan segala hal yang ada dan mungkin ada di dunia ini. Penentuan kesepuluh kategori itu berangkat dari penggolongan dari seluruh ‘ada’ (being). Ia membagi ‘ada’ menjadi ‘ada bagi diri sendiri’ dan ‘ada bagi yang lain’. Dari dua jenis ada ini lalu diturunkan lagi hingga diperoleh sepuluh kategori tempat setiap hal dapat dimasukkan ke dalam salah satu kategori itu (lihat gambar 3. Skema kategori menurut Aristoteles dalam Bittle, 1950: 55). Dari sini dapat dipahami bahwa dasar dari kategori adalah pengetahuan tentang ada yang menjadi pembahasan utama dalam metafisika dan ontologi. Dengan penentuan sepuluh kategori, Aristoteles telah mengklaim bahwa ia memahami segala hal sebagai ‘ada’ (being).

(7)

Filsuf setelah Aristoteles yang mengemukakan pemikiran mengenai kategori adalah Immanuel Kant. Kant (dalam Takwin, 2005) memandang manusia sebagai agen aktif dengan pikiran sebagai pusat aktivitasnya. Menurut Kant pikiran manusia sudah memiliki pengetahuan bawaan dalam bentuk kategori-kategori.

Pengetahuan bawaan yang secara tegas tak dapat ditolak keberadaannya adalah kerangka pemahaman ruang dan waktu. Menurut Kant, setiap pemahaman tentang sesuatu selalu dalam kerangka ruang dan waktu. Pengetahuan apa pun selalu terkait dengan kualitas-kualitas serta kuantitas-kuantitas ruang dan waktu. Sejauh berkaitan dengan pengalaman, manusia selalu berpikir dalam kerangka ruang dan waktu. Setiap benda yang diperoleh dari pencerapan indrawi selalu dipahami dalam kerangka ruang dan waktu. Benda-benda sendiri pada dirinya tidak mengandung kualitas dan kuantitas ruang dan waktu. Manusialah yang menempatkan mereka dalam kerangka ruang dan waktu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemahaman tentang ruang dan waktu tidak diperoleh dari pengalaman. Pengetahuan tentang ruang dan waktu sudah ada pada diri manusia, dibawanya sejak lahir. Pemahaman tentang ruang dan waktu sudah ada dalam pikiran manusia sebagai pengetahuan bawaan.

Selain ruang dan waktu, menurut Kant, manusia juga memiliki pengetahuan bawaan berupa kategori-kategori. Dari analisis dan abstraksinya terhadap berbagai macam putusan dan bentuk-bentuk intelektualnya, Kant menemukan bahwa fungsi berpikir manusia yang tetuang dalam putusan-putusan dapat dikategorikan dalam empat kelompok besar, kuantitas (quantity), kualitas (quality), relasi (relation) dan modalitas (modality). Masing kelompok terdiri dari tiga momenta yang biasa disebut sebagai kategori. Kuantitas mencakup kategori universal, partikular dan singular. Kualitas mencakup kategori afirmatif, negatif dan infinit. Relasi mencakup kategori kategorikal, hipotetikal dan disjunktif. Modalitas mencakup kategori problematik (problematical), asertorik (assertorical) dan apodeiktik (apodeictical).

Dari segi kuantitasnya, setiap pernyataan atau putusan selalu dapat digolongkan sebagai universal atau partikular. Kuantitas universal atau partikular dari sebuah pernyataan ditentukan oleh ekstension (keluasan) dari term (istilah) subjek pernyataan. Jika ekstension term subjek mencakup keseluruhan individu yang diwakili oleh term itu maka pernyataan yang menyertakan term subjek ini adalah universal. Jika ekstension term subjek hanya mencakup sebagian individu yang diwakili oleh term itu maka pernyataan yang menyertakan term subjek ini adalah partikular. Contoh: ‘Semua manusia adalah makhluk hidup.’ Pernyataan ini adalah pernyataan universal karena term manusia yang dalam pernyataan ini merupakan subjek memiliki ekstension yang mencakup semua individu yang tergolong

(8)

pernyataan partikular karena term filsuf yang dalam pernyataan ini merupakan subjek memiliki ekstension yang hanya mencakup sebagain filsuf. Jika term subjek memiliki ekstension yang hanya mencakup satu saja maka term ini adalah term ini masuk dalam kategori singular. Dalam logika umum (general logic) ketika term singular digunakan dalam pernyataan maka pernyataan itu adalah pernyataan universal. Namun bagi Kant pernyataan dengan term subjek singular perlu dibedakan dari pernyataan universal dan pernyataan partikular. Contoh: pernyataan ‘Tuhan mendasari hukum moral.’ Term ‘Tuhan’ dalam pernyataan ini adalah term singular karena merujuk hanya pada satu hal saja, Tuhan. Dengan memahami bahwa term ‘Tuhan’ sebagai term singular, bahwa hukum moral yang dimaksud dalam pernyataan tersebut adalah hukum moral tertentu dan bukan hukum moral yang lain.

Dari segi kualitasnya, setiap pernyataan dapat dibedakan apakah itu afirmatif, negatif atau infinit. Sebuah pernyataan memiliki kualitas afirmatif jika itu mengafirmasi atau mengiyakan suatu hal. Contoh: ‘Hari ini hujan.’ Sebuah pernyataan memiliki kualitas negatif jika itu menegasi atau menidakkan/membukankan suatu hal. Contoh: ‘Hari ini tidak hujan.’ Sebuah pernyataan memiliki kualitas infinit jika pernyataan itu mengungkapkan sesuatu yang tak terbatas. Contoh: ‘Jiwa manusia abadi.’ Dari segi waktu, keberadaan jiwa manusia tak terbatas. Perlu dipahami di sini bahwa dalam logika umum pernyataan infinit ini digolongkan sebagai pernyataan afirmatif karena secara logis itu mengafirmasi sesuatu, misalnya mengafirmasi bahwa jiwa adalah abadi. Pernyataan ‘jiwa manusia abadi’ secara logis memiliki pengertian yang definit karena dapat dibedakan dengan pernyataan-pernyataan lain yang mengungkap hal-hal yang terbatas seperti ‘Daya ingat manusia terbatas.’ Namun Kant membedakan pernyataan-pernyataan infinit dari pernyataan afirmatif untuk memahami pernyataan-pernyataan a priori sintetik. Sesuatu yang infinit, tak terbatas ruang dan waktu, perlu diandaikan ada untuk kepentingan praktis menjaga keteraturan dunia.

Dari segi relasi, pernyataan-pernyataan yang ada dapat digolongkan sebagai kategorikal, hipotetikal atau disjunktif. Sebuah pernyataan termasuk dalam kategori kategorikal jika pernyataan itu dapat langsung dinilai benar salahnya tanpa tergantung pada kondisi dan situasi tertentu, juga tidak tergantung pada tempat dan waktu. Contoh: ‘Makhluk hidup bernafas.’ Sejauh sesuatu itu adalah makhluk hidup, maka di mana pun dan kapan pun, dalam keadaan bangun atau tidur, ia pasti bernafas, tidak mungkin tidak. Sebuah pernyataan termasuk kategori hipotetikal jika benar atau salahnya tergantung pada kondisi atau situasi tertentu. Contoh: ‘Jika hari ini turun hujan maka jalan basah.’ Basah tidaknya jalan ditentukan oleh hujan-tidaknya hari ini. Penyataaan disjunktif ditentukan berdasarkan

(9)

lainnya. Contoh: ‘Dunia terjadi kalau tidak karena kebetulan semata atau karena ada yang menciptakan.’ Pernyataan ini mengandung dua kemungkinan yang satu sama lain saling meniadakan yaitu ‘kebetulan belaka’ dan ‘ada yang menciptakan.’ Tidak mungkin keduanya sekaligus benar, salah satu pasti salah. Jika yang satu benar maka yang lain salah. Pernyataan disjunktif mengandung seluruh hubungan yang ada dalam ruang-lingkup pikiran karena setiap kemungkinan yang ada dalam ruang-lingkup pikiran dapat dinyatakan dengan pernyataan disjunktif lepas dari apakah kemungkinan-kemungkinan itu secara logis berhubungan satu sama lain atau tidak. Semua hal yang tak dapat diungkapkan baik secara kategorikal maupun hipotetikal dapat diungkapkan secara disjunktif.

Dari segi modalitas, setiap pernyataan dapat digolongkan sebagai pernyataan problematik, asertorik atau apodeiktik. Sebuah pernyataan adalah problematik jika apa yang diungkap dengan pernyataan itu masih berupa kemungkinan. Contoh: ‘Manusia dapat hidup di bulan.’ Apa yang dikemukakan pernyataan ini masih berupa kemungkinan. Sejauh ini manusia belum dpaat hidup di bulan tetapi hal itu mungkin karena sudah ada manusia yang mendarat di bulan. Sebuah pernyataan adalah asertorik jika apa yang diungkap dengan pernyataan itu nyata dan sudah terjadi. Contoh: ‘Manusia mampu membuat pesawat ulang-alik.’ Sebuah pernyataan adalah apodeiktik jika apa yang diungkap dengan pernyataan itu merupakan sesuatu yang pasti terjadi, dengan kata lain apa yang diungkapkan oleh pernyataan itu merupakan keharusan atau keniscayaan. Contoh: ‘Manusia harus makan agar dapat bertahan hidup.’

Dalam pandangan Kant, kategori-kategori yang sudah diuraikan di atas merupakan ide bawaan. Kategori-kategori itu terkandung dalam pikiran manusia dan menjadi kerangka bagi rasionalitas manusia.

Filsuf berikutnya yang mengemukakan mengenai kategori adalah Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Hegel (Takwin, 2005) mengartikan kategori sebagai ide-ide yang menjelaskan realitas. Ia menggunakan skema triadik sebagai prinsip bagi penentuan kategori dan menemukan sekitar 272 kategori. Berbeda dari Aristoteles dan Kant, Hegel menyatakan bahwa jenis-jenis kategori dan jumlahnya yang tepat tidak dapat ditentukan sebelum sistem realitas dijelaskan secara lengkap. Ia lalu mengubah arti kategori menjadi sekedar pernyataan, konsep atau prinsip dasar dalam sistem filsafat.

Di awal abad ke-20, kita temukan Charles Sanders Pierce (10 September 1839-19 April 1914) memahami kategori sebagai istilah-istilah paling umum yang dapat digunakan untuk membagi-bagi atau menggolong-golongkan pengalaman. Kategori-kategori, dalam

(10)

utama menurutnya adalah (1) firstness; (2) secondness; dan (3) thirdness. Masing-masing kategori ini berperan dalam pola pemaknaan monadic, dyadic dan polyadic. Whitehead menggunakan pernyataan tradisional tentang kategori dan mengelaborasi satu set kategori yang berisi 37 kategori yang menjadi dasar bagi penjelasan semua pengalaman.

Pendapat tentang kategori yang mengkritik penggolongan kategori dari filsuf-filsuf sebelumnya dikemukakan oleh Gilbert Ryle. Ryle (1949) berpendapat bahwa kategori berjumlah tak terhingga dan tak teratur. Totalitas dari kategori tidak terletak pada prinsip yang menentukan hirarki dari jenis-jenis hal yang tak terbatas. Totalitas kategori tidak dapat ditentukan polanya. Jumlah kategori yang tak terhingga dan sifatnya yang tak beraturan menjadikan mereka tak terangkum dalam satu prinsip. Dengan ketidakteraturannya itu, maka secara tegas kesalahan kategori terutama bukan terletak pada ketidaktepatan menempatkan suatu hal dalam kategori tertentu tetapi lebih pada memaksakan sesuatu dalam kategori tertentu. Kesalahan kategorikal bagi Ryle dimulai dari penentuan sejumlah kategori yang diklaim sebagai fundamental, dasar dan mutlak. Dari sini kesalahan-kesalahan pemahaman selanjutnya terjadi. Bagi Ryle, siapa pun dapat menentukan kategori apa pun tetapi tak ada yang berhak mengklaim satu sistem kategori sebagai benar dan mutlak sementara sistem yang lain salah. Saat ini kata ‘kategori’ digunakan kebanyakan filsuf untuk merujuk pada jenis-jenis fundamental tanpa menentukan apa saja jenis-jenis-jenis-jenis itu. Padahal kategori-kategori yang ada, menurut Ryle, tidak terbatas pada apa yang dirumuskan oleh filsuf-filsuf itu dan tidak terbatas pula jumlahnya.

Pada dasarnya, pemikiran mengenai kategori dari berbagai filsuf memberi pelajaran kepada kita bahwa dalam mengenali dan memahami benda-benda, kita perlu cermat dan hati-hati. Kita tidak dapat sembarangan mengartikan satu hal dan tidak dapat mencampuradukan kategori yang satu dengan kategori yang lain. Meski, seperti yang dinyatakan oleh Ryle, jenis kategori tak terbatas, kita perlu tetap menggunakan aturan dan disiplin dalam menggunakan kategori. Kita dapat menggunakan kategori yang kita anggap sesuai dengan kebutuhan kita dalam mencari pengetahuan, tetapi kita harus konsisten dan koheren dalam menggunakannya. 3. Term, Definisi dan Divisi1

3.1 Term

Setiap hal yang diinderai dan dipersepsi dibentuk oleh pikiran menjadi ide. Hasil dari pembentukan ini adalah konsep. Setiap konsep ditandakan dalam bentuk term. Rangkaian 11 Sebagian dari pasal yang menjelaskan term, definisi dan divisi disadur dari C.N. Bittle, The Science of

(11)

term yang bermakna adalah pernyataan. Term dan pernyataan merupakan bagian dari bahasa. Bahasa adalah sarana bagi manusia untuk menyampaikan kepada orang lain dan menerima ide dari orang lain.

Term merupakan tanda untuk menyatakan suatu ide yang dapat diinderai (sensible) sesuai dengan pakat (conventional). Tanda itu dapat bersifat formal dan instrumental. Tanda formal digunakan berdasarkan kesamaan antara tanda dan yang ditandai seperti gambar, potret, film, dan huruf hieroglif. Tanda instrumental digolongkan atas dua, yakni tanda alamiah dan tanda konvensional. Tanda alamiah digunakan berdasarkan kaitan alamiah antara tanda dan yang ditandai, misalnya asap menandai api, rasa sakit menandai gangguan pada tubuh, dan tangis menandai kesedihan. Tanda konvensional digunakan berdasarkan kesepakatan sejumlah orang tertentu pada waktu tertentu, misalnya sandi Morse, tanda lalu-lintas, dan bahasa.

Secara umum term adalah tanda yang didasarkan pada kelaziman, bukan tanda alamiah. Hal ini terlihat dari adanya berbagai bahasa di dunia. Jika semua term bersifat alamiah maka akan terdapat hanya satu bahasa di dunia. Tetapi kita melihat bahwa untuk hal yang sama, bahasa-bahasa menggunakan term-termnya sendiri. Sebagai contoh, untuk term ‘kursi’ bahasa Indonesia memakai kursi, bahasa Inggris chair, dan bahasa Belanda stuhl.

Suatu term sering kali mempunyai bermacam-macam arti. Jika dikelompokkan, setidaknya ada tiga jenis makna term dan penggabungannya dalam kalimat, yakni makna denotatif, makna kesan (sense), dan makna emotif. Makna denotatif merujuk kepada satu arti yang tertera dalam kamus; sering disebut makna sesungguhnya, namun penentuan ‘makna sesungguhnya’ ini dilakukan berdasarkan kesepakatan. Makna kesan (sense) ialah makna term berdasarkan penggabungannya dengan kata lain; dalam hal ini term dapat memiliki makna lain, misalnya penggunaan term hati pada kalimat “Saya sakit hati” berbeda dengan “Semur hati itu enak sekali”. Makna emotif ialah makna term yang didasarkan pada perasaan atau emosi, sikap--baik secara tersurat maupun secara tersirat. Term keras hati secara denotatif memiliki makna yang sama dengan keras kepala, namun keras hati sering kali diartikan sebagai ‘teguh’ atau ‘tahan godaan’, sedangkan keras kepala sering diartikan sebagai ‘tidak mau mengalah’ atau ‘tidak mau mendengarkan orang lain’.

3.2 Definisi

Untuk menyamakan pengertian dan menghindari kesalahan penafsiran terhadap term diperlukan definisi. Di samping itu, definisi juga diperlukan untuk dapat memahami sebuah

(12)

pernyataan yang menerangkan hakikat suatu hal. Definisi menjawab pertanyaan, “Apakah itu?” Untuk dapat mendefinisikan suatu term kita harus tahu persis tentang hal yang didefinisikan.

Kendala yang sering muncul dalam pembuatan definisi adalah keterbatasan pengetahuan dan keterbatasan term. Keterbatasan pengetahuan sering menghasilkan definisi yang terlalu luas. Keterbatasan term memungkinkan penggunaan term yang sama untuk mewakili hal yang berbeda. Kedua kendala ini menyebabkan sulit dicapai definisi yang 100% menjelaskan hal yang hendak didefinisikan.

3.2.1 Penggolongan definisi

Menurut kesesuaiannya dengan hal atau kenyataan yang diwakilinya ada dua jenis definisi, yakni definisi nominal (definisi sinonim) dan definisi real (definisi analitik). Definisi nominal ialah definisi yang menerangkan makna kata seperti yang dimuat dalam kamus, misalnya introspeksi berarti ‘menilai diri sendiri’, inspeksi ‘memeriksa’, dan kursi ‘tempat duduk’. Definisi real adalah definisi yang menerangkan arti hal itu sendiri. Pembuatannya menuntut dilakukannya analisis terhadap hal yang akan didefinisikan terlebih dahulu. Sebagai contoh, sikap adalah ‘kecenderung memberikan tanggapan secara positif atau negatif terhadap objek tertentu’ dan HP adalah ‘daya gerak yang ada dalam mesin yang dinyatakan dengan daya gerak seekor kuda’.

Definisi real dibedakan atas dua, yakni definisi esensial dan definisi deskriptif. Definisi esensial menerangkan inti (esensi) dari suatu hal dengan menyebutkan genus dan diferentia-nya. Genus adalah kelompok besar atau kelas dari hal yang akan dijelaskan, sedangkan

diferentia adalah ciri khas yang hanya ada pada hal yang didefinisikan. Ciri khas inilah yang

membedakan suatu hal dengan hal lain dalam genus atau kelompok yang sama. Sebagai contoh, dalam “Manusia adalah makhluk rasional”, makhluk adalah genusnya dan rasional adalah diferentia spesifiknya. Definisi ini adalah definisi yang ideal dan mendekati pengertian hal yang hendak didefinisikan.

Definisi deskriptif mengemukakan segi-segi yang positif tetapi belum tentu esensial mengenai suatu hal. Definisi deskriptif dibedakan atas empat, yakni definisi distingtif, definisi genetik, definisi kausal, dan definisi aksidental. Definisi distingtif menunjukkan properti, misalnya “Oksigen adalah gas yang tak berwarna, tak berbau, tak mempunyai rasa,

1105 kali dari berat udara, dan mencair pada suhu di bawah -115 derajat C”. Definisi

(13)

bentuk geometris yang terdiri dari garis-garis lurus yang sama panjang yang terletak pada bidang datar dan berawal dari satu titik pusat”. Definisi kausal menunjukkan penyebab atau

akibat dari sesuatu hal, misalnya “Lukisan adalah gambar yang dibuat oleh seorang

seniman”, dan “Arloji adalah alat penunjuk waktu”. Definisi aksidental tidak mengandung

hal-hal yang esensial dari suatu hal, misalnya “Dijual rumah. Luas tanah 170 m2. Bangunan

bertingkat dan pekarangan tertata rapi. Lokasi: Jln. Macan No. 30 Jakarta Pusat. Dilengkapi telepon dan AC. Lingkungan nyaman, aman, dan tentram”.

Definisi real jarang dapat tercapai sepenuhnya karena sering kali ada karakteristik yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Kadang-kadang perumusannya terkendala karena kurangnya pengetahuan si pembuat definisi. Ada term yang tidak dapat didefinisikan karena berhubungan langsung dengan indera, misalnya manis, pahit, dan sakit. Ada juga term yang sulit didefinisikan karena sangat umum, misalnya ada (hanya dapat didefinisikan dengan cara membandingkannya dengan tidak ada yang merupakan term di luar term yang didefinisikan). Contoh lain ialah satu, benda, dan hal.

Di samping definisi yang telah diuraikan di atas, ada juga definisi yang dibuat dengan menggunakan contoh, misalnya “Minuman yang sehat itu, di antaranya ialah air dan hasil perasan buah segar”. Pernyataan seperti ini sebenarnya kurang memadai sebagai definisi karena tidak mencakup keseluruhan ide yang terkandung dalam term atau hal yang didefinisikan.

3.2.2 Aturan membuat definisi

Pembuatan definisi yang memadai untuk digunakan dalam pemikiran logis harus mengikuti aturan-aturan berikut ini. Pertama, definisi harus lebih jelas dari yang didefinisikan; jika tidak, maka definisi akan kehilangan fungsinya. Untuk itu harus diperhatikan catatan-catatan berikut ini. Term-term yang muluk seperti contoh berikut,

“Manusia adalah alam semesta yang mengejawantah” dan “Kewibawaan adalah pancaran nurani dan kedigjayaan manusia” harus dihindari. Demikian pula term-term yang sulit

dimengerti (tidak lazim), misalnya definisi pemimpin berikut ini yang diberikan kepada orang yang bukan penutur bahasa Jawa, “Pemimpin adalah orang yang bersifat ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani”.

Kedua, definisi tidak boleh mengandung ide atau term dari yang didefinisikan seperti pada contoh “Binatang adalah hewan yang mempunyai indera” dan “Emosi adalah gejolak

(14)

Ketiga, definisi dan yang didefinisikan harus dapat dibolak-balik dengan pas, misalnya

“Buku adalah sejumlah kertas yang terjilid”. Kalau dibalik, “Sejumlah kertas yang terjilid adalah buku”. Contoh yang salah ialah “Kecap adalah penyedap masakan”. Jika urutannya

dibalik menjadi, “Penyedap masakan adalah kecap” maka pernyataan itu menjadi salah karena penyedap makanan belum tentu kecap.

Keempat, definisi harus dinyatakan dalam kalimat positif. Kalimat ingkar atau negatif seperti “Gembira adalah keadaan tidak sedih” atau “Manusia bukan binatang” tidak memenuhi syarat definisi.

Dalam tulisan jenis sastra ada kekecualian dalam pembuatan definisi karena pendefinisian di situ umumnya bukan dalam rangka menjelaskan hal tertentu secara harafiah, melainkan untuk memberi kesan tertentu. Sastra juga memakai teknik gaya bahasa yang tidak harus mengikuti tata cara pembuatan definisi tersebut di atas. Tulisan-tulisan retorika yang mementingkan makna sense dan pengaruh tulisan terhadap pembaca atau pendengar juga tidak harus mengikuti tata cara pembuatan definisi itu.

3.3 Divisi

Selain dapat dijelaskan apa artinya, term juga dapat diuraikan dengan kriteria tertentu menjadi bagian-bagian. Penguraian term itu biasa disebut divisi. Divisi adalah uraian suatu keseluruhan ke dalam bagian-bagian berdasarkan satu kesamaan karakteristik tertentu. Pembagian dalam bentuk divisi merupakan upaya lain untuk menjelaskan term. Ada beberapa jenis divisi, yakni divisi real (atau aktual) dan divisi logis.

3.3.1 Divisi real atau aktual

Penguraian dengan divisi real atau aktual dilakukan berdasarkan bagian-bagian yang ada pada objek itu sendiri—baik fisik maupun metafisik—terlepas dari aktivitas mental manusia. Divisi berdasarkan bagian fisik dilakukan berdasarkan faktor-faktor fisik yang dapat dipisahkan, satu dari yang lain. Bagian itu dapat berupa bagian yang esensial atau bagian yang integral. Bagian-bagian yang essensial ialah bagian-bagian yang harus lengkap. Jika salah satu di antaranya hilang maka hilang pula eksistensi keseluruhannya, misalnya “Manusia terdiri dari badan dan jiwa”, “air terdiri dari oksigen dan hidrogen”, “garam

dapur terdiri dari sodium dan klorin”, dan “mobil terdiri dari mesin dan ‘tubuh’”.

Bagian-bagian yang integral ialah Bagian-bagian-Bagian-bagian yang tidak harus lengkap. Jika salah satu anggotanya hilang, hal itu tidak mlenyapkan eksistensi atau esensi halnya. Bagian yang integral terbagi atas dua, yakni yang homogen dan yang heterogen. Bagian-bagian yang

(15)

homogen ialah segolongan unsur yang menjadi bagian dari sesuatu hal, misalnya “Air terdiri

dari titik-titik”, “Api terdiri dari percikan-percikan”, dan “Pasir terdiri dari butir-butir”.

Sementara itu, bagian-bagian yang heterogen ialah bagian-bagian—yang tidak segolongan— dari sesuatu hal, misalnya “Manusia terdiri dari kaki, tangan, dan mata”, dan “Masyarakat

terdiri dari golongan kaya dan miskin”.

Divisi berdasarkan bagian metafisik dilakukan berdasarkan bagian-bagian yang

merupakan esensi dari sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena dalam kenyataannya bagian-bagian itu merupakan ketunggalan, misalnya “Manusia terdiri dari

rasio, indera, nyawa, dan tubuh”. Bagian-bagian ini tidak terpisahkan. Dalam pembuatan

divisi real sebaiknya dilakukan observasi, analisis, dan abstraksi terhadap hal yang akan diuraikan. Observasi, analisis, dan abstraksi ini diperlukan untuk memahami hal yang akan diuraikan sehingga penguraiannya tidak bertentangan dengan kenyataan dari hal itu.

3.3.2 Divisi Logis

Dalam divisi logis mental manusialah yang membagi keseluruhan hal menjadi bagian-bagian. Kita menambahkan unsur-unsur tertentu kepada suatu hal untuk menjadikannya kelas atau sub-kelas, misalnya “Hal”, “Hal yang hidup”, “Hal hidup yang berindera (= hewan)”, “Hal hidup yang berindera dan berakal (= manusia)”. Kegiatan menambahkan elemen-elemen ini, yang merupakan kegiatan dari divisi logis, disebut sintesis.

3.3.3 Aturan Pembuatan Divisi

Divisi harus dibuat memadai; artinya, jumlah semua bagian harus sama dengan keseluruhan. Ada sejumlah aturan yang harus diikuti dalam pembuatan divisi.

1) Tidak boleh ada bagian yang terlewati. 2) Bagian tidak boleh melebihi keseluruhan.

3) Tidak boleh ada bagian yang meliputi bagian yang lain. 4) Divisi harus jelas dan teratur.

5) Jumlah bagian harus terbatas; kalau kebanyakan akan kacau. Jika diperlukan, dibuat sub-bagian.

Berikut adalah contoh divisi yang salah, “Pengguna terminal terdiri dari pengendara

kendaraan bermotor, supir kendaraan umum, pengendara kendaraan tak bermotor, mahasiswa/pelajar, pedagang kaki lima, ibu rumah tangga, pejalan kaki, penumpang kendaraan umum, dan karyawan.” Pembagian divisi ini salah karena hal-hal berikut ini.

(16)

tempat kerjanya). Kedua, ada bagian yang meliputi bagian yang lain (mahasiswa bisa saja sekaligus pengendara kendaraan bermotor atau tak bermotor; penumpang kendaraan umum bisa saja sekaligus mahasiswa/pelajar, ibu rumah tangga, dan karyawan). Ketiga, dasar pembagiannya tidak jelas (apakah berdasarkan jenis pekerjaan, lama atau sebentarnya di jalan, atau penggunaan kendaraan?). Keempat, jumlah bagian terlalu banyak.

4. Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi2

4.1. Pengertian Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi

Perhatikanlah kalimat-kalimat berikut. (1) “Hari ini cuaca cerah.” (2) “Apakah kamu sudah sarapan tadi pagi?” (3) “Jawab pertanyaan saya.” Kalimat-kalimat itu merupakan tiga kalimat yang berbeda. Kalimat (1) adalah kalimat berita, yaitu kalimat yang memberitakan hal tertentu. Kalimat (2) adalah kalimat tanya; isinya merupakan pertanyaan tentang hal tertentu. Kalimat (3) adalah kalimat perintah yang isinya menyerukan atau memerintahkan orang untuk melakukan hal tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, untuk berkomunikasi kita menggunakan kalimat, baik kalimat berita, kalimat perintah, maupun kalimat tanya. Secara umum, kalimat didefinisikan sebagai: serangkaian kata yang disusun berdasarkan aturan-aturan tata bahasa dalam suatu bahasa, dan dapat digunakan untuk tujuan menyatakan, menanyakan, atau memerintahkan sesuatu hal.

Benar atau salahnya struktur suatu kalimat ditentukan berdasarkan kaidah atau aturan tata bahasa suatu bahasa. Penilaian terhadap kalimat terutama dalam hal apakah susunan atau bangunan kata yang membentuk kalimat tepat atau tidak. Secara umum, struktur kalimat berita terdiri dari subjek-predikat-objek, misalnya, “Saya memakai baju”. Dalam kalimat itu,

saya adalah subjek, memakai predikat, dan baju objek. Kalimat tanya umumnya dibuat

dengan menggunakan kata yang dilengkapi dengan bentuk akhir -kah, seperti apakah,

adakah, sudahkah, pernahkah, dan maukah. Bisa juga kalimat tanya hanya terdiri dari satu

kata, seperti “Mau?” atau “Ada?” Dalam bahasa lisan kalimat tanya ditandai dengan intonasi tertentu; dalam bahasa tulis ditandai dengan tanda tanya [?]. Kalimat perintah umumnya dimulai dengan kata kerja, seperti “Pergi kau!”, atau dengan kata larangan seperti “Jangan

datang lagi.” Kalimat perintah bisa saja hanya terdiri dari satu kata. Dalam bahasa lisan,

kalimat perintah dengan satu kata ditandai dengan intonasi yang menunjukkan ketegasan,

22 Sebagian dari pasal yang membahas kalimat, pernyataan, dan proposisi ini disadur dari buku A. K.Bierman

(17)

sedang dalam bahasa tulisan kalimat ini diakhiri dengan tanda titik [.] dan kadang-kadang dengan tanda seru [!].

Salah satu jenis kalimat adalah pernyataan (bahasa Inggris statement) yang dalam praktiknya sama dengan kalimat berita. Tetapi, pernyataan memiliki pengertian yang lebih khusus. Pernyataan adalah kalimat yang digunakan untuk membuat suatu klaim atau menyampaikan sesuatu yang bisa benar atau salah.

Kalimat yang berupa pertanyaan atau perintah berbeda dari pernyataan karena pertanyaan dan perintah tidak bisa benar dan sekaligus salah. Pernyataan memiliki nilai kebenaran (truth value). Artinya, suatu pernyataan bisa dinilai benar atau salah, misalnya pernyataan “Hari ini hujan turun” benar jika sesuai dengan kenyataan bahwa hari ini memang hujan. Tetapi jika kenyataan menunjukkan bahwa hari ini tidak hujan, maka pernyataan itu salah. Suatu pernyataan tidak bisa benar dan salah sekaligus. Jika ada pernyataan yang mengandung benar dan salah sekaligus, maka itu adalah paradoks yang merupakan satu bentuk kesalahan dalam berpikir.

Dalam literatur logika dan ilmu pengetahuan, kita juga menemukan term proposisi (dari kata bahasa Inggris proposition). Proposisi ialah makna yang diungkapkan melalui pernyataan, atau dengan kata lain arti atau interpretasi dari suatu pernyataan. Sebagai analogi, jika kata mengungkapkan konsep atau ide (konsep/ide = makna kata), maka pernyataan mengungkapkan proposisi (proposisi = makna pernyataan). Proposisi juga dapat dipahami sebagai makna dari kalimat berita, mengingat bahwa pernyataan merupakan kalimat berita yang dapat dinilai benar atau salah.

Berikut ialah tiga hal yang menjadi konsekuensi dari definisi kalimat, pernyataan dan proposisi tersebut. Pertama, kalimat yang tidak bermakna atau tidak koheren tidak mengungkapkan proposisi apa pun. Misalnya, deretan kata penerangan tapi kecepatan

membaca tidak mengungkapkan proposisi apa pun karena penerangan dan kecepatan membaca di sini tidak mempunyai hubungan yang jelas dan penggunaan kata tapi di sini

tidak tepat. Kedua, pernyataan atau kalimat yang berbeda dapat mengungkapkan proposisi yang sama, misalnya, “Rina adalah adik Yanto” merupakan proposisi yang sama dengan “Yanto adalah kakak Rina.” Ketiga, kalimat atau pernyataan yang sama dapat mengungkapkan proposisi yang berbeda, misalnya, “Masyarakat Jakarta adalah masyarakat

yang majemuk” dapat mengungkapkan proposisi yang berbeda-beda, antara lain “Masyarakat Jakarta terdiri dari banyak etnis” atau “Masyarakat Jakarta terdiri dari banyak agama” dan

(18)

Kita dapat memastikannya melalui pencermatan terhadap informasi non-bahasa atau konteks atau dengan menggunakan kalimat lain yang lebih jelas dan khusus.

Kalimat atau pernyataan yang boleh ditafsirkan lebih dari satu makna (multi-tafsir) dapat menyebabkan kita salah dalam memahami dan menanggapinya. Jika kita menggunakan hasil pemaknaan itu dalam pembuatan keputusan, maka kita pun bisa salah membuat keputusan dan menanggung kerugian akibat kesalahan itu. Oleh karena itu, perlu dihindari penggunaan kalimat atau pernyataan yang multi-tafsir dengan membuat pernyataan yang baik, yang jelas maknanya. Untuk membuat suatu pernyataan yang baik, perlu dilakukan hal-hal berikut. Pertama, membangun suatu kalimat yang mengungkapkan suatu proposisi. Kedua, mengusahakan supaya proposisi yang ingin diungkapkan menjadi jelas. Akhirnya, membuat pernyataan mengenai nilai kebenaran kalimat itu.

Biasanya langkah-langkah itu tidak disadari ketika seseorang menyusun suatu pernyataan. Oleh karena itu orang perlu berlatih membuat pernyataan yang baik agar terbiasa. Tanpa latihan, orang cenderung membuat kalimat yang multi-tafsir atau tidak jelas maknanya. Bahkan orang bisa saja membuat kalimat atau pernyataan yang tidak koheren sehingga sama sekali tidak dapat dimaknai.

Kesalahan yang mungkin terjadi dalam pembuatan kalimat atau pernyataan adalah yang berikut. 1) Kalimatnya tidak koheren sehingga tidak dapat dimaknai oleh pendengar atau pembaca. 2) Kalimatnya sudah koheren tetapi proposisi apa yang dimaksudkan tidak jelas sehingga dapat menyebabkan salah tafsir. 3) Tidak menunjukkan dengan jelas bahwa kita sedang menyatakan nilai kebenaran dari kalimat kita (dan bukannya sedang bertanya, mencoba sound system, berspekulasi, atau berlatih drama). Dalam bahasa lisan, kesalahan ini seringkali disebabkan oleh salah intonasi. Dalam bahasa tulis, hal ini seringkali timbul karena kesalahan penggunaan tanda baca.

4.2 Pernyataan Sederhana dan Pernyataan Kompleks

Secara umum, berdasarkan proposisi yang dikandung, ada dua jenis pernyataan, yaitu pernyataan sederhana dan pernyataan kompleks. Pernyataan sederhana adalah pernyataan yang hanya mengandung satu proposisi, misalnya, “Anak itu menangis”. Pernyataan kompleks adalah pernyaataan yang mengandung lebih dari satu proposisi, misalnya, “Selain

gemar membaca buku, Adi juga senang menulis cerita pendek”. Pernyataan ini mengandung

dua proposisi, yaitu “Adi gemar membaca buku” dan “Adi senang menulis cerita pendek”. Proposisi yang dikandung oleh suatu pernyataan juga disebut komponen logika dari

(19)

suatu pernyataan. Oleh karena sebuah pernyataan ditentukan benar-salahnya berdasarkan makna yang diungkapkannya atau proposisinya, maka komponen logika suatu pernyataan dapat dipahami dari proposisi pernyataan itu.

Tidak semua kalimat kompleks (kalimat yang mengandung lebih dari satu komponen) merupakan pernyataan kompleks, karena komponen itu belum tentu merupakan komponen logika. Sebagai contoh, “Saya harap kamu belajar giat” memang merupakan kalimat kompleks tetapi termasuk jenis pernyataan sederhana karena hanya mengandung satu proposisi atau satu komponen logika. Yang menentukan benar atau tidaknya pernyataan itu adalah “saya harap”. Jika kenyataannya saya berharap kamu belajar giat maka pernyataan itu benar. Tetapi jika kenyataannya saya tidak berharap kamu belajar giat maka pernyataan itu salah.

Perhatikan kalimat-kalimat berikut ini.

(1) Tidak benar bahwa anak itu nakal. (2) Rani pikir anak itu nakal.

Pernyataan yang dikandung dalam kalimat (1) adalah ‘[Hal] itu (anak itu nakal) tidak

benar’ dan “Anak itu nakal”. Dalam pernyataan pertama, anak itu nakal merupakan

komponen logika karena benar atau salahnya komponen itu turut menentukan benar atau salahnya pernyataan itu: jika kenyataannya benar bahwa anak itu nakal, maka pernyataan itu adalah salah, sedangkan jika kenyataannya tidak benar bahwa anak itu nakal, maka pernyataan itu adalah benar. Kalimat ini mengandung dua proposisi.

Pernyataan yang terkandung dalam kalimat (2) adalah ‘Rani pikir [x]’ dan ‘Anak itu

nakal.’ Dalam pernyataan itu, anak itu nakal bukan komponen logika karena benar atau

salahnya hal itu tidak menentukan benar atau salahnya pernyataan: apakah kenyataan anak itu nakal atau tidak nakal, tidak menentukan apakah benar bahwa Rani berpikir anak itu nakal. Nilai kebenaran pernyataan kedua ada pada: apakah benar bahwa Rani pikir anak itu nakal, ataukah Rani tidak berpikir bahwa anak itu nakal. Kalimat ini hanya mengandung satu proposisi. Demikianlah anak itu nakal merupakan komponen logika dalam kalimat (1), tetapi bukan komponen logika dalam kalimat (2). Jadi, kalimat (1) merupakan pernyataan kompleks, sedangkan kalimat (2) merupakan pernyataan sederhana.

Biasanya, komponen yang mengikuti kata-kata yang menunjukkan sikap atau pendapat pribadi, seperti pikir, harap, kira, dan percaya bukan merupakan komponen logika. Dalam percakapan sehari-hari, komponen-komponen dalam pernyataan kompleks sering kali tidak diungkapkan secara lengkap, seperti diperlihatkan oleh contoh-contoh berikut.

(20)

(1) Kalau kamu tidak mau pergi, tidak usah. (Lengkapnya: Kalau kamu tidak mau pergi,

kamu tidak usah pergi.)

(2) Mengingat kamu punya kehendak sendiri, kamu boleh memilih untuk ikut atau tidak. (Lengkapnya: Kamu punya kehendak sendiri, jadi kamu boleh memilih untuk ikut

atau kamu boleh memilih untuk tidak ikut.)

(3) Kuda tidak satu spesies dengan keledai. (Lengkapnya: Tidak benar bahwa kuda satu

spesies dengan keledai.) 4.3 Jenis-jenis Pernyataan Kompleks

Hubungan di antara proposisi atau pernyataan sederhana dalam pernyataan kompleks ditunjukkan oleh penggunaan kata penghubung seperti tidak, dan, atau, jika, dan maka. Kata-kata yang menghubungkan pernyataan-pernyataan sederhana—sehingga terbentuk satu pernyataan kompleks—dan menjelaskan hubungan-hubungan yang terdapat di antara pernyataan-pernyataan sederhana itu disebut kata penghubung logis atau kata penghubung kalimat. Kata penghubung itu digunakan untuk membangun struktur logika dari pernyataan kompleks.

Berdasarkan hubungan di antara proposisi-proposisi yang terkandung dalam pernyataan kompleks, ada empat jenis pernyataan kompleks, yaitu:

1) Negasi (bukan P)

2) Konjungsi (P dan Q), dan 3) Disjungsi (P atau Q)

4) Kondisional (Jika P maka Q)

Secara umum struktur logika terdiri atas empat jenis seperti yang sudah disebutkan di atas. Dalam praktiknya, tidak mudah menemukan struktur logika suatu pernyataan atau suatu argumen. Hal itu dapat terjadi karena 1) ada lebih dari satu cara untuk mengungkapkan keempat jenis pernyataan kompleks tersebut di atas, dan 2) struktur logika suatu pernyataan sering kali tersembunyi. Untuk dapat menemukan struktur logika dari pernyataan-pernyataan, kita perlu mempelajari struktur logika dari keempat pernyataan kompleks itu.

4.3.1 Negasi

Negasi dari suatu pernyataan sederhana adalah pengingkaran atas pernyataan itu. Jika A adalah suatu pernyataan, negasinya adalah “Tidak benar bahwa A”. Ini disingkat menjadi “Bukan-A” atau “Bukan (A).” Suatu pernyataan dan negasinya tidak mungkin benar kedua-duanya, atau salah kedua-duanya. Benar atau salahnya (nilai kebenaran) suatu negasi

(21)

tergantung pada nilai kebenaran komponen logikanya. Karena itu, negasi termasuk pernyataan kompleks, bukan pernyataan sederhana.

Dalam percakapan sehari-hari, kita jarang menyatakan negasi dalam kalimat, “Tidak benar bahwa…” melainkan kita cukup menyingkatnya dengan kata tidak, misalnya:

(1) Orang jujur tidak bisa berbohong. (‘Tidak benar bahwa orang jujur bisa berbohong’.) (2) Kamu tidak pernah mengajak saya makan-makan. (‘Tidak benar bahwa kamu mengajak

saya makan-makan’.)

Perhatikan bahwa penafsiran dari contoh (2) sebenarnya agak kurang tepat. Untuk menafsirkan “Kamu tidak pernah mengajak saya jalan-jalan” diperlukan teknik logika lebih lanjut, yang akan dijelaskan kemudian.

Kata-kata yang maknanya berlawanan (antonim) tidak berarti bahwa kata-kata saling menegasikan. Misalnya, “Brian membenci Ratih,” bukan negasi dari “Brian mencintai

Ratih.” Negasi dari “Brian membenci Ratih” adalah “Brian tidak membenci Ratih”. Bisa saja

terjadi bahwa Brian tidak mencintai Ratih tetapi juga tidak membenci Ratih. Umpamanya, jika Brian tidak mengenal Ratih sama sekali, atau Brian dan Ratih berteman, maka mereka tidak saling mencintai dan juga tidak saling membenci. Dengan kata lain, “Brian membenci

Ratih” menunjukkan bahwa Brian mempunyai sikap negatif terhadap Ratih. Sementara itu,

“Brian tidak mencintai Ratih” hanya menunjukkan bahwa Brian tidak mempunyai afeksi positif terhadap Ratih, namun itu tidak harus berarti Brian membenci Ratih. “Brian

membenci Ratih” merupakan suatu pernyataan sederhana.

Negatif ganda pada umumnya membentuk pernyataan positif seperti pada contoh-contoh berikut.

(1) Pikiran manusia tidak tak terbatas. (Pikiran manusia terbatas.) (2) Jangan sekali-sekali tidak membayar pajak. (Bayarlah pajak.) 4.3.2 Konjungsi

Suatu pernyataan kompleks yang komponen logikanya dihubungkan dengan kata dan disebut konjungsi atau kalimat konjungtif. Jika P dan Q adalah pernyataan yang merupakan komponen, bentuk standar dari konjungsi adalah P dan Q. Komponen-komponennya (masing-masing P dan Q) disebut konjung. Sebagai contoh, pernyataan kompleks “Indonesia

dan Malaysia berasaskan demokrasi” terbentuk dari dua pernyataan sederhana,

masing-masing “Indonesia berasaskan demokrasi” dan “Malaysia berasaskan demokrasi”.

(22)

ini terdiri dari tiga pernyataan sederhana, yaitu “Indonesia berasaskan demokrasi”, “Malaysia berasaskan demokrasi”, dan “Australia berasaskan demokrasi”.

Suatu konjungsi benar bila semua konjungnya benar, dan salah jika salah satu konjungnya salah. Sebagai contoh, pernyataan “Indonesia dan Malaysia berasaskan

demokrasi” benar jika dalam kenyataannya memang “Indonesia berasaskan demokrasi” dan

“Malaysia berasaskan demokrasi”. Jika semua salah atau salah satu pun konjungnya salah, maka konjungsi salah. Pernyataan “Manusia dan burung adalah makhluk rasional” salah karena pernyataan “Burung adalah makhluk rasional” salah.

Ada kata lain di samping dan yang fungsinya kurang lebih sama. Perhatikanlah contoh-contoh berikut.

(1) Saya mau nasi dan daging, tetapi sayur tidak. (Saya mau nasi, dan saya mau daging, tapi saya tidak mau sayur.)

(2) Walaupun miskin, dia bahagia. (Dia miskin dan dia bahagia.)

(3) Anto datang ke rapat itu, begitu pula Yana. (Anto datang ke rapat itu dan Yana datang ke rapat itu.)

(4) Kami berhasil; namun demikian, kami menyadari kekurangan kami. (Kami berhasil, dan kami menyadari kekurangan kami.)

Penggunaan tapi, walaupun, dan lain-lain itu mengandung arti lebih dari sekadar dan. Tetapi, secara logis, nilai kebenaran “Dia miskin dan dia bahagia” sama dengan nilai kebenaran “Walaupun dia miskin, dia bahagia”. Artinya, jika “Dia miskin dan dia bahagia” benar, maka “Walaupun dia miskin, dia bahagia” juga benar. Sebaliknya, jika “Dia miskin

dan dia bahagia” salah, maka “Walaupun dia miskin, dia bahagia” juga salah.

Penggunaan kata dan kadang-kadang taksa atau ambigu (ambiguous). Contohnya, “Joko dan Patmo memenangkan perlombaan maraton.” Pernyataan ini dapat diinterpretasikan menjadi:

1) Joko memenangkan perlombaan maraton dan Patmo memenangkan perlombaan maraton (konjungsi), atau

2) Pasangan Joko dan Patmo memenangkan perlombaan maraton (pernyataan sederhana). Untuk mengetahui interpretasi mana yang benar, digunakan konteks atau informasi lain yang tersedia. Jika kita yang menyampaikan pernyataan itu, sebaiknya kita menggunakan pernyataan yang lebih lengkap dan jelas. Meskipun ada konteks, kemungkinan salah tafsir tetap besar. Oleh sebab itu, penggunaan pernyataan yang taksa atau bertafsir ganda harus dihindari.

(23)

Menurut logika, urutan konjungsi boleh dibolak-balik tanpa mempengaruhi nilai kebenarannya, misalnya “Saya ingin makan nasi dan minum teh” dapat dibalik menjadi “Saya ingin minum teh dan makan nasi.” Kedua pernyataan ini sama saja arti dan nilai kebenarannya. Namun, dalam kasus-kasus tertentu, urutannya tidak dapat dibalik. Sebagai contoh, pernyataan “Made meninggal dunia dan dibakar” berbeda maknanya dengan “Made

dibakar dan meninggal dunia” karena urutannya berbeda. 4.3.3 Disjungsi

Pernyataan kompleks yang komponen logikanya dihubungkan dengan kata atau disebut disjungsi atau pernyataan disjungtif. Jika P dan Q adalah pernyataan yang merupakan komponen pernyataan kompleks, bentuk standar dari disjungsi adalah P atau Q, misalnya “Joko atau Padmo yang memenangkan pertandingan bulu tangkis”. Komponen-komponennya (masing-masing P dan Q) disebut disjung. Jumlah disjung dalam suatu disjungsi tidak harus dua, tetapi bisa juga lebih, misalnya, “Joko atau Padmo atau Riski yang

memenangkan pertandingan bulu tangkis”. Urutan disjung dalam suatu disjungsi tidak

mempengaruhi nilai kebenarannya. A atau B secara logis ekuivalen dengan B atau A. Umpamanya, “Joko atau Padmo yang memenangkan pertandingan bulu tangkis” sama maknanya dengan “Padmo atau Joko yang memenangkan pertandingan bulu tangkis”.

Suatu disjungsi benar bila paling sedikit salah satu disjungnya benar, dan salah jika semua disjungnya salah. Jadi, A atau B benar jika A benar, B benar, atau A dan B benar. Sedangkan A atau B salah jika A dan B salah. Disjungsi “Joko atau Padmo yang

memenangkan pertandingan bulu tangkis” benar jika salah satu konjungnya benar, misalnya

“Joko yang memenangkan pertandingan bulu tangkis.” Disjungsi “Joko atau Padmo yang

memenangkan pertandingan bulu tangkis” salah jika baik pernyataan “Joko yang memenangkan pertandingan bulu tangkis” maupun “Padmo yang memenangkan pertandingan bulu tangkis” salah. Penggunaan kata atau seperti ini disebut atau-inklusif.

Dalam percakapan sehari-hari, kadang-kadang kata atau digunakan sebagai atau-eksklusif, yang berarti bahwa hanya salah satu dari disjungnya yang benar, misalnya “Anto

ada di Jakarta atau di Bandung” (tidak mungkin kedua disjungnya benar). Dalam teori-teori

logika, yang dipakai adalah atau-inklusif. Jika dalam teori logika, kita ingin mengungkapkan suatu hubungan atau -eksklusif, maka struktur logikanya menjadi A atau B dan bukan (A

dan B), misalnya “Anto ada di Jakarta atau dia ada di Bandung dan tidak benar bahwa dia ada di Jakarta sekaligus dia ada di Bandung”.

(24)

Perhatikan penulisan struktur logika, jika kita menggunakan bentuk negasi tanpa tanda kurung, maka hasilnya menjadi ambigu seperti ini: A atau B dan bukan -A dan B.

4.3.4 Kondisional

Pernyataan kompleks yang komponen logikanya dihubungkan dengan jika…, maka… disebut pernyataan kondisional atau hipotetisis. Jika P dan Q adalah pernyataan yang merupakan komponen, bentuk standar dari konjungsi adalah Jika P maka Q. Pernyataan dalam anak kalimat yang mengandung kata jika disebut anteseden, dan pernyataan dalam anak kalimat yang mengandung kata maka disebut konsekuen.

Nilai kebenaran suatu pernyataan kondisional agak rumit penentuannya. Hal ini menyebabkan timbulnya pandangan yang berbeda-beda. Salah satu di antaranya (yang dianut oleh para ahli logika formal) ialah pandangan kondisional material, yang menyatakan bahwa suatu pernyataan kondisional dianggap salah hanya jika antesedennya benar dan konsekuennya salah. Perhatikan pernyataan hari hujan dan tanah basah yang masing-masing benar. Menurut syarat kondisional material, hal itu berarti bahwa jika hari hujan maka tanah

basah adalah benar, semrntara jika hari hujan maka tanah kering salah; jika hari cerah, maka tanah basah adalah benar, dan jika hari cerah maka tanah kering benar. Nilai

kebenaran kondisional material tidak tergantung pada hubungan antara komponen-komponennya karena kondisional material tidak melihat isi dari pernyataan yang menjadi komponennya.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita menggunakan pernyataan kondisional untuk menggambarkan hubungan antara komponen-komponennya, misalnya jika Maulana minum

alkohol 1 liter, maka ia akan mabuk untuk menunjukkan hubungan kausal; jika binatang itu termasuk mamalia, maka dia pasti menyusui untuk menunjukkan hubungan konseptual; dan jika seseorang termasuk mahasiswa, maka dia pasti terdaftar secara resmi sebagai orang yang belajar di perguruan tinggi untuk menunjukkan hubungan definisional. Kebenaran

pernyataan-pernyataan itu tergantung pada hubungan antara anteseden dengan konsekuennya juga. Tetapi dari sudut pandang logika murni, maka yang dianut adalah kondisional material. Secara logika, jika A, maka B ekuivalen dengan jika tidak B, maka tidak A. Kedua bentuk ini disebut kontrapositif.

Pernyataan kondisional yang mempunyai anteseden yang salah disebut kondisional yang berlawanan dengan kenyataan. Dari sudut pandang kondisional material, nilai kebenaran kondisional seperti ini adalah benar.

(25)

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang orang menggunakan bentuk kondisional bukan untuk menggambarkan hubungan kondisional, misalnya jika saya jadi kamu, saya

akan minta melamar (kamu sebaiknya melamar); di gudang ada payung, kalau kamu mau

(kamu boleh ambil payung di gudang); kalau laki-laki itu kamu bilang ganteng, maka saya

adalah Arjuna (laki-laki itu tidak ganteng). Untuk membedakan mana pernyataan kondisional

yang sesungguhnya dan mana yang bukan, digunakan akal sehat dan ingatan tentang kenyataan-kenyataan yang dirujuk dalam pernyataan.

Ada banyak cara untuk mengungkapkan pernyataan kondisional, yang semuanya dapat dikembalikan ke bentuk standar Jika A, maka B. Kadang-kadang jika suatu bentuk kondisional yang tidak standar diterjemahkan ke bentuk standar, maka artinya berubah, misalnya “Saya senang hanya jika saya berhasil menjadi juara 1”. Jika diubah ke bentuk standar menjadi “Jika saya senang, maka saya berhasil menjadi juara 1”, maka artinya pun berubah jika kita menerjemahkan ‘Kesenangan saya menyebabkan saya menang’ke dalam bentuk kontrapositifnya menjadi “Jika saya tidak menang, maka saya tidak senang” maka artinya menjadi lebih masuk akal. Oleh sebab itu, dalam mengubah suatu bentuk kondisional menjadi bentuk standarnya, kita harus melihat apakah bentuk standar ataukah bentuk kontrapositifnya yang lebih dapat “menangkap” arti sesungguhnya dari pernyataan asalnya. (Periksa Tabel 2.1.)

Tabel 2.1: Pernyataan Kondisional dan Bentuk Standarnya

Pernyataan Kondisional Bentuk Standar

Hanya manusia yang dapat menggunakan simbol.

Jika suatu makhluk menggunakan simbol, maka makhluk itu adalah manusia.

Jika MS, maka M.

Di mana ada api, di situ ada oksigen. Jika ada api, maka ada oksigen. Jika A, maka O.

Saya tidak mau pergi kecuali dibiayai. Jika saya tidak dibiayai, saya tidak mau pergi.

Jika tidak D, tidak P. Kamu boleh menyetir mobil hanya jika

kamu sudah punya SIM A.

Jika kamu belum punya SIM A, kamu tidak boleh menyetir mobil.

Jika tidak SA, tidak MM. Tidak mungkin kamu datang ke rapat itu

tapi tidak melihat aku.

Jika kamu pergi ke rapat itu, maka kamu melihat aku.

Jika R, maka M.

Syarat untuk hidup sejahtera adalah sehat. Jika tidak sehat, maka tidak bisa hidup sejahtera.

(26)

Pengenalan terhadap kontrapositif dari suatu pernyataan akan berguna pada saat kita berusaha mengenal struktur logika dari suatu pernyataan atau argumen yang rumit. Ada aturan informal yang mengatakan bahwa kita boleh mengganti kata kecuali dengan jika tidak. Namun karena mengandung negasi, maka kalimat yang baru bisa jadi sangat rumit. Sebagai contoh, jika kalimat “Dodo tidak akan mengaku kecuali tidak ada sanksi atas perbuatannya” kita ubah sesuai dengan aturan informal itu, maka kita akan memperoleh “Dodo tidak akan

mengaku jika tidak ada sanksi atas perbuatannya”. Kemudian, kalimat yang baru itu dibalik

susunannya menjadi bentuk standar, “Jika tidak tidak ada sanksi atas perbuatannya, Dodo

tidak akan mengaku”, sehingga kita memperoleh dua bentuk negasi (tidak [ada...] dan tidak

[akan ...]). Jika kedua negasi itu diubah menjadi positif, maka pernyataan itu menjadi “Jika

ada sanksi atas perbuatannya, Dodo tidak akan mengaku”. Demikian pula, jika kita mau,

kita dapat mengubahnya menjadi kontrapositifnya, “Jika Dodo mengaku, maka [itu berarti]

tidak ada sanksi atas perbuatannya”.

4.3.5 Hubungan Kondisional: Kondisi Niscaya dan Kondisi yang Mencukupi

Ada dua kondisi yang merupakan bentuk khusus dari hubungan kondisional, yaitu yang mencukupi (sufficient condition, S) dan kondisi niscaya (necessary condition, N). Hanya jika pernyataan kondisional Jika S maka N adalah benar. Contoh:

1. Menghasilkan sperma merupakan kondisi yang mencukupi untuk membuktikan bahwa seseorang adalah laki-laki.

2. Jenis kelamin laki-laki merupakan kondisi niscaya untuk menghasilkan sperma. 3. Jika seseorang menghasilkan sperma, maka dia laki-laki.

Oleh karena pernyataan kondisional digunakan untuk menggambarkan hubungan tertentu antara komponennya, maka kondisi yang mencukupi dan niscaya juga demikian. Ada lima jenis hubungan itu, yang berikut ini didaftarkan beserta contohnya.

1) Kausal

a. Mencabut jantung Dul merupakan kondisi yang mencukupi untuk membunuhnya. b. Jika kita mencabut jantung Dul, maka kita membunuhnya.

2) Konseptual

a. Kondisi niscaya untuk tergolong manusia adalah mampu menggunakan simbol. b. (i) Jika B adalah manusia, maka dia pasti mampu menggunakan simbol.

(27)

c. (ii) Jika B tidak mampu menggunakan simbol, maka dia pasti bukan manusia.

3) Definisional

a. Kondisi niscaya dan mencukupi untuk disebut mahasiswa adalah orang yang terdaftar secara resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi.

b. Jika seseorang adalah mahasiswa, maka dia adalah orang yang terdaftar secara resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi, dan jika ia adalah orang yang terdafatar secara resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi maka ia adalah seorang mahasiswa. Seseorang adalah mahasiswa jika dan hanya jika dia adalah orang yang terdafatar secara resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi.

4) Regulatori

a. Lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi merupakan kondisi niscaya untuk kuliah di universitas negeri.

b. (i) Jika seseorang dapat kuliah di universitas negeri secara sah, maka ia lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi.

c. (ii) Jika seseorang tidak lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi, maka dia tidak dapat kuliah di universitas negeri secara sah.

5) Logis

a. Menjadi kucing hitam adalah kondisi niscaya untuk berwarna hitam. b. Jika seekor binatang adalah kucing hitam, maka warnanya hitam.

Ada kondisi yang niscaya sekaligus mencukupi untuk suatu situasi. Kondisi ini diungkapkan dalam bentuk X jika dan hanya jika Y, misalnya, “Makhluk hidup jika dan

hanya jika bernafas”. Ini bisa dibalik menjadi, “Bernafas jika dan hanya jika makhluk hidup”. Contoh lain, “Mahkluk adalah manusia jika dan hanya jika makhluk itu adalah makhluk rasional.” Ada juga kondisi niscaya dan mencukupi yang berlaku hanya dalam

konteks tertentu. Umpamanya, dalam suatu ruangan yang penuh oksigen dan hidrogen, menyalakan korek api merupakan kondisi yang mencukupi untuk terjadinya ledakan, namun tidak dalam konteks lain.

4.4 Hubungan Antar-pernyataan

Ada pengetahuan tertentu yang dapat langsung disimpulkan dari suatu pernyataan. Oleh para ahli logika, ini disebut hubungan langsung. Misalnya, jika benar bahwa semua manusia pasti akan mati maka dapat disimpulkan bahwa Sokrates, seorang manusia, pasti

Gambar

Tabel 2.1: Pernyataan Kondisional dan Bentuk Standarnya
Tabel 2.2: Perbedaan dan Bentuk Kontrari dengan Kontradiksinya
Tabel 2.3: Pernyataan yang Konsisten dan yang Inkonsisten

Referensi

Dokumen terkait