• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Mellitus (DM)

2.2. Nefropati Diabetik :

2.2.1. Definisi Nefropati Diabetik

Nefropati Diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien diabetes mellitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (> 300 mg/24 jam atau > 200 mg/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurang waktu 3 sampai 6 bulan (Hendromartono, 2007).

2.2.2. Etiologi

Penyebab utama untuk nefropati diabetik yalah diabetes mellitus. Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari penyakit DM dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung terjadinya Nefropati Diabetika. Hipertensi yang tak terkontrol dapat meningkatkan progresifitas untuk mencapai fase Nefropati Diabetika yang lebih tinggi (Fase V Nefropati Diabetika) (Walaa, S., 2004).

2.2.3. Patofisiologi

Pada diabetes perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah pembesaran ukuran ginjal dan hiperfiltrasi. Glukosa yang difiltrasi akan direabsorbsi oleh tubulus dan sekaligus membawa natrium, bersamaan dengan efek insulin (eksogen pada IDDM dan endogen pada NIDDM) yang merangsang reabsorbsi tubuler natrium, akan menyebabkan volume ekstrasel meningkat, terjalah hiperfiltrasi. Pada diabetes, arteriole eferen, lebih sensitif terhadap pengaruh angiotensin II dibanding arteriole aferen, dan mungkin inilah yang dapat menerangkan mengapa pada diabetes yang tidak terkendali tekanan intraglomeruler naik dan ada hiperfiltrasi glomerus (Djokomuljanto R., 1999).

Sampai saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Hiperfiltrasi yang

terjadi pada sisa nefron yang sehat lambat laun akan menyebabkan sklerosis dari nefron tersebut.

Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtrasi glomerulus pada nefropati diabetik ini masih belum jelas benar, tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai hormon vasoaktif IGF-1, Nitric Oxide, prostaglandin dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi TGF-β yang diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C (PKC) yang termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki fungsi pada vaskular seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan permeabilitas kapiler. Hiperglikemi kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan protein (reaksi Mallard dan Browning). Pada awalnya glukosa akan mengikat residu asam amino secara non enzimatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi masih reversibel dan disebut sebagai produk amadori. Jika proses ini berlangsung terus akan terjadi Advance Glycation End Products (AGEs) yang irreversible. AGEs diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi adhesion molecules yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya hipertrofi sel, sintesa sel matriks ekstraseluler, serta inhibisi sintesis Nitric Oxide. Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi ekspansi sesuai tahap-tahap pada mogensen. Hipertensi yang timbul bersama dengan bertambahnya kerusakan ginjal juga akan mendorong sklerosis pada ginjal pasien DM. Penelitian pada hewan DM menunjukkan adanya vasokonstriksi arteriol sebagai akibat kelainan renin/angiotensin sistem. Diperkirakan bahwa hipertensi pada DM terutama disebabkan oleh spasme arteriol eferen intrarenal atau intraglomerulus (Hendromartono, 2007).

Secara histologis, gambaran utama yang tampak adalah penebalan membran basalis, ekspansi mesangium (berupa akumulasi matriks ekstra selular; penimbunan kolagen tipe IV, laminin dan fibronektin) yang kemudian akan menimbulkan glomerulosklerosis noduler dan / atau difus ( Kimmelstiel – Wilson), hyalinosis arteriolar aferen dan eferen, serta fibrosis tubulo – interstisial (Hendromartono, 2007).

Tabel 2.2. Karakteristik Nefropati Diabetik Karakteristik Nefropati Diabetik

• Peningkatan material matriks mesangium • Penebalan membran basalis glomerulus • Hialinosis arteriol aferen dan eferen • Atrofi tubulus

• Fibrosis interstisial

2.2.5.

Diagnosis Nefropati Diabetika dapat dibuat apabila dipenuhi persyaratan seperti di bawah ini:

Diagnosis

1. DM

2. Retinopati Diabetika

3. Proteinuri yang presisten selama 2x pemeriksaan interval 2 minggu tanpa penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria 1x pemeriksaan serta kadar kreatinin serum >2,5mg/dl (Lestariningsih, 2004).

Data yang didapatkan pada pasien antara lain pada: A. Anamnesis

Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun keluhan tidak khas dari gejala penyakit diabetes. Keluhan khas berupa poliuri, polidipsi, polipagi, penurunan berat badan. Keluhan tidak khas berupa: kesemutan,

luka sukar sembuh, gatal-gatal pada kulit, ginekomastia, impotens (Lestariningsih, 2004).

B. Pemeriksaan Fisik  Pemeriksaan Mata

Pada Nefropati Diabetika didapatkan kelainan pada retina yang merupakan tanda retinopati yang spesifik dengan pemeriksaan Funduskopi, berupa :

i. Obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah dalam kapiler retina.

ii. Mikroaneusisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama daerah kapiler vena.

iii. Eksudat berupa :

 Hard exudate. Berwarna kuning, karena eksudasi plasma yang lama.

 Cotton wool patches.

Berwarna putih, tak berbatas tegas, dihubungkan dengan iskhemia retina.

iv. Shunt artesi-vena, akibat pengurangan aliran darah arteri karena obstruksi kapiler.

v. Perdarahan bintik atau perdarahan bercak, akibat gangguan permeabilitas mikroaneurisma atau pecahnya kapiler.

vi. Neovaskularisasi

vii. Bila penderita jatuh pada stadium terakhir (stadium IV-V) atau CRF end stage, didapatkan perubahan pada.(

 Cor  kardiomegali

Lestariningsih, 2004) :

C. Pulmo  oedem pulmo D. Pemeriksaan Laboratorium

Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan interval 2 minggu tanpa ditemukan penyebab proteinuria yang lain atau

proteinuria satu kali pemeriksaan plus kadar kreatinin serum > 2,5 mg/dl (Lestariningsih, 2004).

Mikroalbuminuria umumnya didefnisikan sebagai ekskresi albumin lebih dari 30 mg/ hari dan dianggap sebagai prediktor penting timbulnya nefropati diabetik (Hendromartono, 2007).

Mikroalbuminuria

Tabel 2.3. Laju Ekskres Albumin Urin:

Kondisi Laju Ekskresi Albumin Urin Perbandngan Albumin Urin – Kreatinin (ug/mg) Sewaktu 24 jam (mg/hari) Normoalbuminuria <30 <20 <30 Mikroalbumnuria 30-300 20-200 30-300 (299) Makroalbuminuria >300 >200 >300

International Society of Nephrology (ISN) menganjurkan penggunakan perbandingan albumin-kretinine (albumin-creatinine ratio-ACR) untuk kuantufikasi proteinuria serta sebagai sarana follow up.

Perlu dingat bahwa banyak penyebab mikroalbuminuria di samping DM. Penyebab proteinuria lain yang sering ditemukan adalah tekanan darah tinggi serta umur lanjut. Selain itu, kehamilan, asupan protein yang sangat tinggi, stress, infeksi sistemk atau saluran kemih, dekompensasi metabolik akut, demam, latihan berat dan gagal jantung dapat meningkatkan laju enskresi albumin urin (Hendromartono, 2007).

Diagnosis ditegakkan jika 2 dari 3 pemeriksaan berturut-turut dalam 3 bulan menunjukkan adanya mikroalbuminuria (Hendromartono, 2007).

a.

Ada beberapa kondisi yang berhubungan dengan mikroalbuminuria antara lain : b. Mikroangiopati diabetik c. Penyakit kardiovaskuler d. Hipertensi

Hiperlipidemia karena itu jika ditemukan mikroalbuminuria maka perlu dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lanjutan lain.

Urinalisis rutin untuk deteksi protein

Gambar 2.1. Penapisan untuk mikroalbuminuria. ( disadur dari DenFronzo Diabetic Nephropaty, ADA, 2004 )

Negatif Positif

Tes untuk mikroalbumin (30-300mg/hari)

Nefropati yang jelas

Tentukan jumlah eskskresi protein Memulai terapi

Jika tes mikroalbumin Positif, ulang dua kali

Dalam 3 bulan

Jika 2 dari 3 tes positif, diagnosis mikroalbuminuria ditegakan

Gambar 2.2. Pemeriksaan lanjutan mikroalbuminuria. (Disadur dari Vora JP & Ibrahim AA : Clinical Manifestations and Natural History of

Diabetic Nephropathy, 2003)

Pada saat diagnosa diabetes melitus ditegakkan, kemungkinan adanya penurunan fungsi ginjal juga harus diperiksa, demikian pula saat pasien sudah menjalani pengobatan rutin. Pemantauan yang dianjurkan oleh American Diabetes Assaciation (ADA) adalah pemeriksaan terhadap adanya mikroalbuminuria serta penentuan kretinin serum dan klirens kretinin (Hendromartono, 2007).

Tabel 2.4. Pemantauan Fungsi Ginjal pada Pasien Diabetes Tes Evaluasi awal Follow-up*

Penentuan Mikroalbum inuria

Sesudah

pengendalian gula darah awal (dalam 3 bulan diagnosis

Diabetes tipe 1 : Tiap tahun setelah 5 tahun

Diabetes tipe 2 : Tiap tahun setelah diagnosis ditegakkan.

Pantau kreatinin serum

mikroalbuminuria Periksa adanya penyakit pembuluh darah perifer

Periksa dab obati

hipertensi secara agresif Periksa profil lemak

Perketat kendali gula darah Periksa adanya kelainan

penyakit jantung skemik

Stop merokok Periksa adanya

retinopati

Cari penyebab lain kelainan

ditegakkan) Klirens

Kreatinin

Saat awal diagnosis ditegakkan

Tiap 1-2 tahun sampai laju filtrasi glomerulus <100 ml/men/1,73m2, kemudian tiap tahun atau lebih sering Kreatinin

serum

Saat awal diagnosis ditegakkan

Tiap tahun atau lebih sering tergantung dari laju penurunan fungsi ginjal

Untuk mempermudah evaluasi, NKF menganjurkan perhitungan laju filtrasi glomerulus dengan menggunakan rumus dari Cockroft-Gault yaitu : ( 140 – umur ) x Berat badan

Klirens Kreatinin = --- x ( 0,85 untuk wanita )

72 Kreatinin Serum

Sebagian besar kasus proteinuria yang timbul pada pasien diabetes adalah diabetik nefropati. Tetapi harus tetap disadari bahwa ada kasus-kasus tertentu yang memerlukan evaluasi lebih lanjut, terutama bila ada gambaran klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium yang mengarah kepada penyakit-penyakit glomerulus non-diabetik (hematuria makroskopik, cast sel darah merah dll), atau kalau timbul azotemia bermakna dengan proteinuria derajat sangat rendah, tidak ditemukannya retinopati (terutama pada diabetes mellitus tipe 1), atau pada kasus proteinuria yang timbul sangat mendadak serta tidak melalui tahapan perkembangan nefropati. Pada kasus-kasus seperti ini, dianjurkan pemeriksaan melalui biopsi ginjal (Hendromartono, 2007).

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

Dokumen terkait