• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Definisi Operasional dan Variabel Penelitian

a. Persepsi adalah pandangan, tanggapan dan penilaian individu terhadap benda, kejadian, tingkah laku manusia, dan hal- hal lain yang ditemuinya dalam kehidupan sehari- hari (Mulyono 1978:22).

b. Seminari

Seminari adalah lembaga pendidikan calon imam dalam gereja katolik c. Seminari Sinar Buana

Seminari Sinar Buana adalah tempat pendidikan calon imam pada tingkat SMP dan SMA di Keuskupan Weetebula Sumba Barat Daya NTT.

d. Pembinaan

Pembinaan berarti usaha, kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh hasil yang lebih baik (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990: 117). Pembinaan adalah pendampingan berupa pemeliharaan, pengasuhan kepada seseorang dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa depannya (Sarimas, 2005:8).

e. Calon Imam

Calon imam di Seminari Menengah adalah remaja (siswa SMA) yang bercita-cita untuk menjadi imam.

Pembinaan calon imam adalah pendampingan berupa pemeliharaan, pengasuhan siswa seminari sebagai calon imam dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan demi mencapai pribadi yang dewasa secara manusiawi dan kristiani dan siap memenuhi tuntutan panggilan. Pendampingan itu mencakup aspek pribadi-sosial, kristiani, menanggapi panggilan, intelektual, semangat misioner, dialog antar umat beragama. 2. Variabel Penelitian

a. Aspek pembinaan calon imam

1) Persepsi siswa dalam aspek pembinaan pribadi adalah pengalaman, pandangan dan tanggapan siswa dalam kegiatan pemeliharaan diri dan lingkungan, solidaritas, relasi sosial dan komunikasi di seminari dan diukur dengan kuesioner persepsi serta ditunjuk oleh skor yang diperoleh siswa.

2) Persepsi siswa dalam aspek pembinaan kristiani adalah pengalaman, pandangan dan tanggapan siswa terhadap bimbingan rohani, kitab suci, doa, ekaristi, sakramen tobat, rekoleksi/ret-ret, doa rosario, bacaan rohani, lagu-lagu gereja, petugas liturgi dan diukur dengan kuesioner persepsi serta ditunjuk oleh skor yang diperoleh siswa.

3) Persepsi siswa dalam aspek pembinaan menanggapi panggilan adalah pengalaman, pandangan dan tanggapan siswa terhadap kejujuran, penerimaan diri, orientasi status/fungsi, cita-cita, pengenalan dunia, tanggungjawab terhadap panggilan teman dan diukur dengan kuesioner persepsi serta ditunjuk oleh skor yang diperoleh siswa.

4) Persepsi siswa dalam aspek pembinaan intelektual adalah pengalaman, pandangan dan tanggapan siswa terhadap kegiatan yang berkaitan dengan pengetahuan akademis (pengajaran di kelas, sikap dan cara belajar), keterampilan dan diukur dengan kuesioner persepsi serta ditunjuk oleh skor yang diperoleh siswa.

5) Persepsi siswa dalam aspek pembinaan semangat misioner (kerasulan) adalah pengalaman, pandangan dan tanggapan siswa terhadap kegiatan ambulasi/pesiar, aksi panggilan dan aksi sosial, mengenal dokumen-dokumen gereja, mengenal nilai-nilai budaya, katekese diukur dengan kuesioner dan diukur dengan kuesioner persepsi serta ditunjuk oleh skor yang diperoleh siswa.

6) Persepsi siswa dalam aspek pembinaan sikap dialog antar umat beragama adalah pengalaman, pandangan dan tanggapan siswa terhadap kegiatan pendalaman ajaran agama, relasi dengan umat beragama lain dan diukur dengan kuesioner persepsi serta ditunjuk oleh skor yang diperoleh siswa. b. Tingkat kelas siswa adalah pengalaman pendidikan siswa SMA Seminari

Menengah Sinar Buana yaitu kelas I, kelas II. D. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah persepsi para siswa kelas II SMA Seminari Menengah Sinar Buana terhadap tiap aspek pembinaan calon imam lebih tinggi daripada siswa kelas I SMA. Hipotesis ini dapat dijabarkan menjadi 6 hipotesis yaitu:

1. Persepsi siswa kelas II SMA Seminari Menengah Sinar Buana terhadap aspek pemb inaan pribadi calon imam lebih tinggi daripada siswa kelas I SMA

2. Persepsi siswa kelas II SMA Seminari Menengah Sinar Buana terhadap aspek pembinaan hidup kristiani calon imam lebih tinggi daripada siswa kelas I SMA. 3. Persepsi siswa kelas II SMA Seminari Menengah Sinar Buana terhadap aspek

pembinaan menanggapi panggilan calon imam lebih tinggi daripada siswa kelas I SMA.

4. Persepsi siswa kelas II SMA Seminari Menengah Sinar Buana terhadap aspek pembinaan intelektual calon imam lebih tinggi daripada siswa kelas I SMA. 5. Persepsi siswa kelas II SMA Seminari Menengah Sinar Buana terhadap aspek

pembinaan semangat misioner calon imam lebih tinggi daripada siswa kelas I SMA.

6. Persepsi siswa kelas II SMA Seminari Menengah Sinar Buana terhadap aspek pembinaan sikap dialog antar umat beragama calon imam lebih tinggi daripada siswa kelas I SMA.

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. Seminari Sebagai Le mbaga Pendidikan Calon Imam dalam Gereja Katolik 1. Landasan Hukum Seminari

Landasan hukum berdirinya sebuah Seminari -Seminari Tinggi dan Seminari Menengah- tercantum dalam Kitab Hukum Kanonik tentang Pembinaan Klerus. Kanon 232 mengatakan: “Gereja mempunyai kewajiban dan juga hak yang bersifat miliknya sendiri dan eksklusif untuk membina mereka yang ditugaskan bagi pelayanan suci” (Rubiyatmoko, 2005: 86). Kanon ini menegaskan bahwa pendidikan calon imam dalam gereja merupakan sebuah kewajiban dan hak yang bersifat eksklusif bagi gereja. Artinya pendidikan calon imam adalah hak istimewa bagi gereja. Kanon 234 menyatakan:

“Hendaknya dipelihara, kalau ada, dan juga dibina seminari-seminari menengah atau lembaga-lembaga sejenis, di mana diselenggarakan pendidikan keagamaan khusus bersama dengan pendidikan humaniora dan ilmiah demi pembinaan pangilan, bahkan bilamana dinilai bermanfaat, hendaknya Uskup diosesan mengusahakan didirikannya seminari menengah atau lembaga sejenis” (Rubiyatmoko, 2005:87).

Kanon ini menegaskan bahwa pembinaan calon imam adalah tugas uskup diosesan melalui pendidikan khusus di seminari. Maka di setiap keuskupan perlu didirikan seminari untuk mendidik calon imam; baik Seminari Tinggi maupun Seminari Menengah.

2. Tingkatan Seminari

779). The Chatolic EncyclopediaFor Shcool and Home (1965:27) mendefinisikan seminari sebagai “An institution established for the training of diocesan priest those who work directly under the bishop in serving the faithful of a diocese”. Istilah Seminari dipakai untuk menunjukkan menyemai dan menumbuhkan benih-benih panggilan imamat. Seminari merupakan tempat dimana sekelompok pemuda dipersiapkan menjadi imam (Staf Kepamongan Medan Utama, 1996:95). Selanjutnya, menurut Ponomban (2007: http://yesaya.indocell.net/id766.htm.), sekretaris eksekutif Komisi Seminari KWI, seminari adalah tempat di mana benih-benih panggilan imam yang terdapat dalam diri anak-anak muda, disemaikan secara khusus, untuk jangka waktu tertentu, dengan tatacara hidup dan pelajaran yang khas, dengan dukungan bantuan para staf pengajar dan pembina, yang biasanya terdiri dari para imam / biarawan. Adapun kata “seminaris” menunjuk pada para siswa yang menempuh pembinaan di seminari.

Seminari merupakan lembaga pendidikan calon imam dalam gereja katolik. Ada dua tingkatan Seminari yakni Seminari Tinggi dan Seminari Menengah. Seminari Tinggi merupakan lembaga pendidikan calon imam pada tingkat perguruan tinggi. Di Seminari Tinggi para calon imam memperoleh pendidikan dalam bidang filsafat dan teologi sebagai persiapan menjadi imam.

Seminari Menengah merupakan lembaga pendidikan calon imam pada tingkat SMP dan SMA. Siswa Seminari SMP berasal dari lulusan Sekolah Dasar. Para siswa menemp uh masa pembinaan selama tiga tahun, mengikuti kurikulum nasional ditambah dengan beberapa materi pelajaran khas Seminari. Siswa Seminari SMA berasal dari lulusan SMP Seminari dan juga dari siswa Kelas

Persiapan Bawah (KPB). Para siswa menempuh masa pembinaan selama tiga tahun, mengikuti kurikulum pemerintah ditambah beberapa materi pelajaran yang khas Seminari, sekaligus dengan tambahan 1 tahun, entah pada tahun pertama memasuki Seminari (disebut KPB: Kelas Persiapan Bawah) atau nanti ditambahkan sesudah melewatkan 3 tahun pendidikan SMU (disebut KPA: Kelas Persiapan Atas).

Seminari Menengah menerapkan dua kurikulum yaitu kurikulum nasional dan kurikulum Seminari. Kurikulum nasional merupakan kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah yang wajib ditempuh oleh siswa-siswa sekolah menengah di seluruh Indonesia. Sedangkan kurikulum Seminari adalah kurikulum yang ditetapkan oleh Komisi Seminari Konferensi Wali Gereja Indonesia. Kurikulum ini memuat sejumlah mata pelajaran yakni: Bahasa Latin, Kitab Suci, Liturgi, Sejarah Gereja, Tradisi Doa, Pengenalan Ordo dan Kongregasi, etiket pergaulan, public speaking, musik dan kesenian gereja, hidup berkomunitas, panggilan dan motivasi panggilan, bimbingan rohani, katekese.

3. Tujuan Pendidikan di Seminari Menengah

Konsili Vatikan II melalui Dekrit Optatam Totius (Dekrit tentang Pembinaan Imam) No. 3 mengungkapkan bahwa Seminari Menengah Atas didirikan untuk memupuk tunas-tunas panggilan. Para seminaris disiapkan untuk mengikuti Kristus Penebus dengan semangat rela berkorban dan hati yang jernih melalui pembinaan hidup rohani yang khas terutama bimbingan rohani yang cocok. Seminaris dibantu untuk menjalani hidup yang cocok dengan usia dan prinsip-prinsip psikologi yang sehat. Seminari Menengah menjadi tempat bagi

seminaris memperoleh pengalaman-pengalaman manusia secukupnya dan memiliki hubungan yang biasa dengan keluarganya (Hardawiryana, 1993: 271).

Seminari Menengah didirikan untuk mempersiapkan para seminaris memasuki Seminari Tinggi. Paus Yohanes Paulus II (1992: 117) melalui Ensiklik Pastores Dabo Vobis menegaskan bahwa Seminari Menengah merupakan lembaga gereja dibidang karya pendidikan untuk untuk memelihara, melindungi dan mengembangkan benih-benih panggilan imam. Tujuan pendidikan di Seminari Menengah adalah melaksanakan secara bertahap pembinaan manusiawi, budaya dan rohani untuk mengantar seminaris memasuki Seminari Tinggi dengan dasar yang memadai dan andal.

Untuk mewujudkan tujuan pendidikan di Seminari ini, misalnya Seminari Menengah Mertoyudan memiliki visi: Sanctitas (Kesucian), Scientia

(Pengetahuan) dan Sanitas (Kesehatan). Aspek sanctitas menekankan kehidupan rohani yang Kristosentris melalui meditasi,doa dan ekaristi, rekoleksi dan ret-ret, pendalaman kitab susi. Aspek scientia menekankan pengetahuan ilmiah dan keterampilan. Aspek sanitas menekankan pendidikan dan pemeliharaan kesehatan fisik dan psikis (Staf Kepamongan Medan Utama, 1996:98-99).

Pada dasarnya Seminari Menengah merupakan lembaga pendidikan awal calon imam yang bertujuan membentuk manusia kristiani yang Kristosentris dengan mengembangkan segala aspek kepribadian secara seimbang dan mengarahkannya kepada imamat. Tugas Seminari Menengah adalah mempersiapkan seminaris untuk menempuh pendidikan lebih lanjut ke Seminari

Tinggi atau memasuki tarekat/ordo tertentu ( Rapat Pimpinan Seminari Menengah, 1978: 3).

4. Gambaran Lulusan Seminari Menengah

Menurut Pedoman Pembinaan Calon Imam di Indonesia Bagian Seminari Menengah, lulusan Seminari Menengah adalah manusia dewasa secara manusiwi dan kristiani pada tingkatnya serta diperlengkapi dengan kemampuan belajar secara mandiri, hidup berpola pada Yesus Kristus untuk menuju imamat dengan meneladan Bunda Maria dalam menghayati panggilannya (Driyanto, 2001: 31). Dengan demikian seorang lulusan seminari Menengah adalah pribadi yang dewasa secara menusiawi, pribadi dewasa secara kristiani dan pribadi yang siap sedia terhadap tuntutan panggilan.

a. Pribadi Dewasa Secara Manusiawi

Pribadi dewasa secara manusiawi adalah pribadi yang mengalami kepurnaan dan keutuha n jiwa dan badan dalam kesatuan dirinya. Ia tahu dan menyadari apa yang dilakukannya karena ia sadar akan tujuan yang hendak dicapainya. Ia dapat menempatkan dirinya dalam kehidupan dan pergaulan. Pribadi yang dewasa adalah pribadi yang utuh. Ia mampu mengenal dan akrab dengan dirinya. Ia merasa bahagia dengan dirinya dan menyadari bahwa ia berarti bagi sesama. Ia mengenal dan menerima keunggulan maupun kelemahannya. Ia sadar dan bangga dengan nilai- nilai hidupnya. Ia menggunakan kemampuannya dengan sepenuhnya. Ia menerima dirinya dan sesamanya apa adanya. Ia sanggup membangun relasi yang wajar dengan sesama. Ia berani menghadapi berbagai kenyataan hidupnya. Ia mampu

mengatasi konflik-konflik tanpa menjadi bingung dan putus asa ( Driyanto, 2001: 32).

Dalam konteks psikologi kepribadian Allport, pribadi yang dewasa (matang) adalah pribadi yang memiliki perluasan diri, memiliki hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki keamanan emosional, memiliki persepsi yang realistis, memiliki keterampilan-keteramp ilan dalam tugas, memiliki pemahaman diri yang obyektif, memiliki filsafat hidup yang mempersatukan (Schultz, 1991:10-35). Menurut Maslow, pribadi yang dewasa adalah pribadi yang mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan yakni kebutuhan fisiologis, keamanan, dimiliki dan cinta, memiliki harga diri dan aktualisasi diri (Alwisol, 2005:257-260).

Disamping itu seminaris mampu membangun relasi yang wajar dengan orang-orang di sekitarnya. Ia merasakan bahwa nilai- nilai manusiawi yang tumbuh dari suasana hidup di keluarga dapat berkembang dengan baik dalam suasana hidup berkomunitas di Seminari. Oleh karena itu seminaris sadar dan rela menciptakan suasana hidup berkomunitas yang menumbuhkan rasa aman dan kerasan dalam kehidupan berkomunitas di Seminari (Driyanto, 2001:33). Dalam kehidupan bersama dengan orang lain ia mengembangkan sikap yang benar seperti empati, otentik, respek, konfrontasi diri dan mewujudkan diri (Fuster, 1985: 125).

Sebagai remaja, siswa seminari menyadari perlunya perkembangan bebas menuju kedewasaan. Oleh karena itu ia menciptakan suasana kebebasan yang mendukung terwujudnya perkembangan itu. Ia menerima dan menjalani

kebebasannya dengan aturan yang mendorongnya kepada kedewasaan. Dalam kehidupan bersama di Seminari, siswa seminari sudah mulai memperjuangkan dan mau mewujudkan ciri-ciri pribadi yang dewasa. Misalnya: keseimbangan antara segi rasional dan afektif, ketekunan, ketabahan, disiplin diri, inisiatif dan kreatif, menerima dan menghayati seksualitas secara sehat.

Siswa menyadari diri sebagai calon imam yang akan bertanggungjawab untuk mewartakan sabda Allah dan menanggapi berbagai aspek hidup manusia. Untuk itu ia tekun dan sabar dalam belajar. Ia menemukan cara belajar yang baik untuk mencapai perkembangan yang optimal dalam segi intelektual. Dengan demikian mereka siap mengikuti pendidikan di perguruan tinggi. Ia memiliki sikap dan kesanggupan belajar terus- menerus.

b. Pribadi Dewasa Secara Kristiani.

Menjadi pribadi yang dewasa pribadi secara kristiani merupakan suatu proses penerimaan dan penghayatan rahmat Tuhan. Kedewasaan secara kristiani diperoleh melalui penghayatan hidup rohani yang berpusat pada Kristus. Seminaris ditantang untuk semakin mengenal Kristus dengan tepat dan benar sebagai “Jalan, Kebenaran dan Kehidupan” (Yoh 14:6), memiliki gambaran yang semakin jelas tentang Kristus sebagai “Sang Imam” (Ibr 9:11), “Nabi dan Raja” (Mat 27:37). Dengan pengenalan tersebut, seminaris semakin memiliki penghayatan kehidupan rohani yang baik.

Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa kehidupan rohani adalah inti kehidupan dan panggilan hidup kristiani. Kehidupan rohani merupakan nilai pusat dan menyatukan pribadi maupun hidup sebagai orang kristen. Oleh

karena itu pembinaan rohani merupakan poros yang menyatukan dan menghidupkan kenyataan pribadi (Leteng, 2003: 11). Dengan penegasan tersebut maka kehidupan rohani merupakan prinsip pemersatu dan identitas diri serta kegiatan hidup seorang kristiani, juga seminaris sebagai calon imam.

Pribadi yang dewasa secara kristiani juga semakin mengenal Kristus sebagai saksi sejati akan kehadiran Allah Bapa yang ditampakkan dalam hidupNya, caraNya berpikir, sikap dan tindakanNya. Kristus adalah pribadi yang terbuka sepenuhnya kepada kehendak BapaNya. Keterbukaan itu diungkapkanNya antara lain dalam sikap melaya ni semua orang dengan setia demi terwujudnya kehendak Bapa bagi manusia. Sikap dan semangat Kristus ini menjadi sikap dan semangat seminaris. Keakraban dengan pribadi Kristus secara nyata diungkapkan dalam hidup sehari- hari dalam komunitas (Fuellenbach, 2004: 90). Kehidupan dalam kesatuan yang akrab dengan Kristus dalam kehidupan rohaninya ini mendorong seminaris menjalani hidup di Seminari sesuai dengan kehendak Allah.

Pedoman Dasar Pembinaan Imam di Indonesia menegaskan bahwa hidup rohani calon imam hendaknya berpola pada pribadi Yesus Kristus Sang Imam Agung (Komisi Seminari KWI, 1987: 22). Maka kedewasaan kristiani tampak dalam usaha membina hidup yang berpolakan pada Kristus. Hidup yang berpolakan pada Kristus ini dibina melalui ketekunan dan kesetiaan dalam doa dan refleksi dibawah bimbingan Roh Kudus (Purnomo, 2003:16). Dengan demikian seminaris semakin peka dalam membedakan roh yang bersuara dan bekerja dalam dirinya sehingga akhirnya ia sanggup memihak kepada Roh

Kudus dan tegas menolak roh jahat. Kerelaan dan kesetiaan dibimbing oleh Roh Kudus diungkapkan dalam menerima kehadiran Kristus dalam perayaan ekaristi dan menjalani pertobatan melalui sakramen rekonsiliasi.

Kedewasaan secara kristiani tersebut juga tampak dalam kerelaan dan kesetiaan seminaris menerima bimbingan rohani dari pembimbing rohani. Kerelaan membuka diri menjadikannya semakin mampu mengenal panggilan Allah melalui sejarah hidupnya sehingga ia makin menyadari dan sanggup menjawab panggilannya yang khas yakni menjadi imam (Driyanto,2001: 35). c. Pribadi yang Siap dan Bersedia Memenuhi Tuntutan Panggilan

Kesiapan dan kesediaan memenuhi tuntutan panggilan adalah kepatuhan untuk mendengarkan dan menjawab panggilan Tuhan. Kesiapan dan kesediaan itu mencakup kemauan bebas dan kesanggupan mengikuti Kristus Sang Penebus dengan kebesaran jiwa dan hati yang murni (Fuellenbach, 2004: 87). Kesiapan dan kesediaan tersebut mengandaikan kemauan dan kemampuan memenuhi tuntutan-tuntutan panggilan: “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikuti Aku” (Luk 9:23).

Kesanggupan mengikuti tuntutan-tuntutan panggilan dapat dilaksanakan bila seminaris bersatu dengan Kristus yang memanggil: “Marilah dan kamu akan melihatnya” (Yoh 1:39). “Ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia” (Mrk 1:17) dan mengutusnya: “...pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,

dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mrk 28:19).

Kesiapan dan kesediaan mengikuti tuntutan-tuntutan panggilan dapat dipupuk dan dikembangkan melalui kesadaran dan latihan hidup sebagai pendoa, sikap melayani tanpa pamrih dan tanpa kenal lelah, keberanian menyampaikan kebenaran, kerelaan untuk diutus dan diperintah dengan sikap taat orang beriman. Untuk itu seminaris dapat belajar dari Bunda Maria dalam menjawabi tuntutan panggilan. Jawaban dan sikap “YA” Maria dalam menanggapi panggilan Tuhan itu diwujudkan dalam seluruh hidupnya, konsisten dalam suka dan duka. Paus Yohanes Paulus II mengatakan:

“Melalui contoh dan kepengantaraannya, kita juga belajar untuk percaya dan menerima kekayaan rahmat yang hendak Tuhan curahkan ke atas kita. Dalam sejarah individu- individu dan masyarakat Bunda Marialah yang menyingkapkan pedagogi Allah kepada komunitas-komunitas dan kepada seluruh gereja. Ia membuat kita responsif terhadap iman, kepercayaan dan sambutan yang rendah hati” (Leteng, 2003: 356).

Maria memberi teladan dalam kesiapsediaan bagi seminaris dalam usaha membina diri memenuhi tuntutan panggilan. Oleh karena itu di dalam kehidupan sehari- hari, seminaris berusaha membina keakraban dengan Bunda Maria melalui doa dan devosi.

B. Aspek-Aspek Pembinaan Calon Imam di Seminari Menengah

Pembinaan calon imam dilaksanakan secara integral dan berkesinambungan dalam aspek-aspek pribadi, hidup kristiani, menanggapi panggilan, intelektual, semangat kerasulan, sikap dialog antar umat beragama.

1. Pembinaan Pribadi

Kepribadian adalah pola menyeluruh dari semua kemampuan, perbuatan serta kebiasaan seseorang baik yang jasmani, mental, rohani, emosional maupun sosial (Heuken, dkk, 2002:15). Pembinaan pribadi adalah pembinaan untuk mengenal dan akrab dengan diri sendiri dan orang lain. Pembinaan pada aspek ini menekankan pemeliharaan diri dan lingkungan, solodaritas dan relasi sosial. Pengenalan diri mencakup kesadaran akan kekuatan dan kelemahan, bakat dan minat. Pembinaan pribadi diarahkan antara lain agar seminaris “terbuka untuk mengetahui dan menerima dirinya dan orang lain” (Prasetya, 1992: 100). Pengenalan dan penerimaan terhadap diri membuat individu menghargai dan mempercayai dirinya dan mempu membuat keputusan yang tepat bagi dirinya (Bennet 2004: 60). Oleh karena itu melalui pengenalan diri tersebut seminaris semakin dapat menggunakan kemampuannya seoptimal mungkin untuk mengembangkan diri dan bertumbuh menjadi orang yang bertanggungjawab, berinisiatif, kreatif, eksploratif, jujur, tekun dan dapat menjadi pemimpin yang baik. (Driyanto, 2001:37).

Konseli Vatikan II dalam Optatam Totius (Dekrit tentang Pembinaan Imam) nomor 11 menegaskan bahwa pembinaan kepribadian bertujuan:

“Mencapai kedewasaan kepribadian yang nyata dalam sifat kejiwaan yang stabil, dalam kemampuan mengambil keputusan yang dipertimbangkan, mampu menilai peristiwa-peristiwa dan orang-orang secara saksama, menghargai keutamaan-keutamaan seperti kejujuran, keadilan, kesetiaan pada janji-janji, sopan-santun dalam perilaku, kesederhanaan dalam berbicara yang diserta cintakasih” (Hardawiryana, 1993:279)

Pembinaan diri juga diwujudkan dalam usaha seminaris menjaga keseimbangan antara hidup individual dan hidup bersama. Briere (2003:57) mengatakan: “Kristus mengutus para rasul berdua-dua sehingga mereka dapat saling mencintai. Kristus menghendaki murid- muridNya saling mencintai”. Hidup bersama dalam asrama membutuhkan suasana yang mendukung pertumbuhan pribadi dan perkembangan aspek kepemimpinan. Disamping itu perlu pula seminaris menciptakan suasana kebebasan yang diimbangi dengan kesadaran bertanggungjawab. Dalam konteks tersebut Prama (2006: 45) mengatakan: “Dalam rumah...kita diberi kebebasan yang seluas- luasnya untuk mengisinya dengan apa saja...tapi apapun kegiatan yang digunakan untuk mengisinya berpengaruh terhadap wajah rumah kita”. Oleh karena itu dalam kehidupan berasrama seminaris dibiasakan mengembangkan rasa sosial sehingga ia menjadi pribadi yang sanggup memperhatikan dan melayani kepentingan sesama. Untuk itu seminaris perlu berlatih untuk mengendalikan diri untuk tidak mementingkan diri. Hal itu dilakukan karena seminaris menyadari bahwa hidup bersama di asrama merupakan salah satu bentuk latihan untuk menyiapkan diri guna memasuki persaudaraan sakramental para imam dalam keuskupan.

Selain itu seminaris berlatih bersikap positif terhadap peraturan seminari. Peraturan dapat membentuk kedisiplinan dalam diri seminaris. White (2005: 235) mengatakan: “Tujuan disiplin ialah mendidik seseorang untuk memerintah diri, bersandar pada diri dan mengendalikan diri”. Dengan demikian peraturan di seminari tidak diadakan untuk membatasi kebebasan melainkan membantu seminaris menciptakan suasana hidup bersama yang baik yang menunjang

perkembangan pribadi, pertumbuhan hidup rohani, perkembangan panggilan setiap siswa seminari.

Dalam rangka pembinaan pribadi, seminaris perlu menerima pembinaan intensif untuk dapat bersikap terbuka dan mudah berkomunikasi dengan orang lain. Seminaris juga dibimbing untuk mencintai kebenaran, menghargai sesama, mampu menciptakan rasa percaya diri, mudah menjalin kerjasama, setia kawan, mempunyai rasa keadilan, memiliki sikap belaskasihan yang tulus, mampu menyampaikan penilaian secara jernih dan obyektif (Driyanto, 2001: 39).

Salah satu aspek pembinaan pribadi yang sangat penting adalah aspek seksualitas. Goldman dan Bradley mengatakan: “Pada tingkat individu, pertumbuhan dan pemahaman seksualitas seseorang akan menambah perkembangan pribadinya, kepercayaan diri, kedewasaan dan kecakapan

Dokumen terkait