• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI PARA SISWA KELAS I DAN II SMA SEMINARI MENENGAH SINAR BUANA WEETEBULA TAHUN AJARAN 20072008 TERHADAP ASPEK-ASPEK PEMBINAAN CALON IMAM SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERSEPSI PARA SISWA KELAS I DAN II SMA SEMINARI MENENGAH SINAR BUANA WEETEBULA TAHUN AJARAN 20072008 TERHADAP ASPEK-ASPEK PEMBINAAN CALON IMAM SKRIPSI"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

TAHUN AJARAN 2007/2008 TERHADAP ASPEK-ASPEK

PEMBINAAN CALON IMAM

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh:

AGUSTINUS TANGGU DAGA NIM: 0 4 1 1 1 4 0 2 7

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

MOTO DAN PERSEMBAHAN

MOTO:

Ia yang memanggil kamu adalah setia, Ia juga akan menggenapinya” (1 Tes 5:24). “Jika engkau tidak bisa mengubah nasibmu maka ubahlah sikapmu kepada dirimu, kepada orang lain dan kepada kehidupan”.

“Kerjakan hal-hal baik yang dapat kau kerjakan, dengan semua cara yang dapat kau lakukan, pada setiap tempat di mana kau berada, pada setiap waktu yang ada padamu, dengan semua semangat yang ada padamu, selama kau mampu melakukannya”.

PERSEMBAHAN:

(5)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 4 Nove mber 2008 Penulis

(6)

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : AGUSTINUS TANGGU DAGA

Nomor Mahasiswa : 0 4 1 1 1 4 0 2 7

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

PERSEPSI PARA SISWA KELAS I DAN II SMA

SEMINARI MENENGAH SINAR BUANA WEETEBULA

TAHUN AJARAN 2007/2008 TERHADAP ASPEK-ASPEK

PEMBINAAN CALON IMAM

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Yogyakarta, 14 November 2008

Yang menyatakan

(7)

ABSTRAK

PERSEPSI PARA SISWA KELAS I DAN II SMA SEMINARI MENENGAH SINAR BUANA WEETEBULA

TAHUN AJARAN 2007/2008

TERHADAP ASPEK-ASPEK PEMBINAAN CALON IMAM

Oleh

Agustinus Tanggu Daga Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2008

Persepsi terhadap pembinaan calon imam merupakan unsur yang penting dalam proses pembinaan para siswa Seminari sebagai calon imam. Penelitian ini bertujuan memperoleh informasi tentang persepsi terhadap aspek-aspek pembinaan calon imam para siswa kelas I dan II SMA Seminari Menengah Sinar Buana Weetebula tahun ajaran 2007/2008.

Masalah yang diteliti adalah (1) Bagaimana persepsi siswa kelas I dan II SMA Seminari Menengah Sinar Buana terhadap seluruh aspek pembinaan calon imam di Seminari Menengah? (2) Bagaimana persepsi siswa kelas I dan II SMA Seminari Menengah Sinar Buana terhadap tiap aspek pembinaan calon imam di Seminari Menengah? (3) Bagaimana persepsi tiap kelas (kelas I dan II SMA) terhadap setiap aspek pembinaan calon imam di Seminari Menengah Sinar Buana? (4) Apakah persepsi siswa kelas II SMA Seminari Sinar Menengah Sinar Buana terhadap setiap aspek pembinaan calon imam lebih tinggi daripada persepsi siswa kelas I?

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode survei. Alat pengumpulan data adalah kuesioner persepsi siswa Seminari terhadap aspek-aspek pembinaan calon imam yang berjumlah 180 item. Populasi penelitian adalah siswa kelas I dan II SMA Seminari Menengah Sinar Buana Weetebula yang berjumlah 55 orang. Uji hipotesis dengan teknik Chi-Kuadrat.

Gambaran persepsi para siswa kelas I dan II SMA seminari Menengah Sinar Buana menunjukan: (1) Jumlah siswa kelas I dan II SMA yang mempunyai persepsi tinggi terhadap semua aspek pembinaan calon imam lebih banyak (54,55%) dari jumlah siswa kelas I dan II yang mempunyai persepsi rendah (45,45%), (2) jumlah siswa kelas I SMA yang mempunyai persepsi tinggi terhadap semua aspek pembinaan calon imam lebih sedikit /lebih kecil (18,18%) daripada jumlah siswa kelas I SMA yang mempunyai persepsi rendah (25,45%), (3) jumlah siswa kelas II SMA yang mempunyai persepsi tinggi terhadap aspek-aspek pembinaan calon imam lebih banyak (36,36 %) daripada jumlah siswa kelas II SMA yang mempunyai persepsi rendah (20 %).

(8)

persepsi para siswa kelas I, (2) persepsi para siswa kelas II SMA Seminari Menengah Sinar Buana terhadap aspek pembinaan hidup kristiani tidak lebih tinggi daripada persepsi para siswa kelas I, (3) persepsi para siswa kelas II SMA Seminari Menengah Sinar Buana terhadap aspek pembinaan menanggapi panggilan tidak lebih tinggi daripada persepsi para siswa kelas I, (4) persepsi para siswa kelas II SMA Seminari Menengah Sinar Buana terhadap aspek intelektual tidak lebih tinggi daripada persepsi para siswa kelas I, (5) persepsi para siswa kelas II SMA Seminari Menengah Sinar Buana terhadap aspek pembinaan misioner lebih tinggi daripada persepsi para siswa kelas I, (6) persepsi para siswa kelas II SMA Seminari Menengah Sinar Buana terhadap aspek pembinaan sikap dialog antar umat beragama tidak lebih tinggi daripada persepsi para siswa kelas I.

(9)

ABSTRACT

THE PERCEPTION OF THE STUDENTS OF CLASS I AND II SINAR BUANA SECONDARY SEMINARY WEETEBULA ACADEMIC YEAR 2007/2008 TOWARD

ASPECTS FORMATION OF CANDIDATES PRIESTHOOD By:

Agustinus Tanggu Daga Sanata Dharma University

Yogyakarta 2008

The perception toward formation of candidates for priesthood is one of the important elements in the formation process of the students as candidates for priesthood. This research was done to get information about the perception toward aspects of formation of candidates of the students of Sinar Buana Secondary Seminary, Weetebula, during the academic year of 2007/2008.

This study asked the following questions: (1) What is the perception of the students of class I and II of Sinar Buana Secondary Seminary toward the whole formation of candidates for priesthood in the Secondary Seminary? (2) What is the perception of the students of class I and II of Sinar Buana Secondary Seminary toward the different aspects of formation of candidates for priesthood in the Secondary Seminary? (3) What is the perception of the students of each class (I and II) of Sinar Buana Secondary Seminary toward every aspect of formation of candidates for priesthood in the Secondary Seminary? (4) Weather the perception of the students in class II Sinar Buana Secondary Seminary toward each aspect of formation was highter than the perception of class I?

This study was a descriptive research, which employed a survey method. This study used a questionaire regarding the Seminary students perception toward the formation of candidates for priesthood consisting of 180 items as the tool of data collection. The participants of this research were 55 students of class I and II Sinar Buana Secondary Seminary. This hypothesis testing was done by using Chi-Square technique.

The description of the perception of the students of class I and II Sinar Buana Secondary Seminary showed that: (1) The total of students of class I and II Sinar Buana Secondary Seminary had a high level of perception toward all formation aspects higher (54,55%) than those who had low level perception (45,45%), (2) The total of students of class I Sinar Buana Secondary Seminary who had a high level of perception toward all formation aspects was lower(18,18%) than those who had low level perception (25,45%), (3) The total of students of class II Sinar Buana Secondary Seminary who had a high level of perception toward all formation aspect was higher(36,36 %) than those who had a low level perception (20 %).

(10)

toward Christian formation was equal with that of the class I, (3) ) The perception of class II students at Sinar Buana Secondary Seminary toward the understanding of the intention of formation was equal with that of the class I, (4) The perception of class II students Sinar Buana Secondary Seminary toward intellectual formation was equa l with that of the class I, (5) The perception of class II students of Sinar Buana Secondary Seminary toward missionary (apostolate) formation was higher that of the class I, (6) The perception of class II students of Sinar Buana Secondary Seminary toward interfaith-dialoque formation was equal with that of the class I.

Therefore the formator’s attempts to prepare and implement the formation program in formation activities and also the student’s attempts to practice the formation program increased the students perception toward all aspects of formation of candidates for priesthood. Hence, there is a need for upgrading the quantity and quality of formation activities in all aspects of formation of candidates for priesthood.

(11)

Penulis menghaturkan pujian dan syukur kepada Tuhan atas tuntunanN ya kepada penulis selama mengikuti kegiatan perkuliahan, terutama selama penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya hingga akhir.

Penulis menyadari keterlibatan banyak pihak selama penulisan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih, khususnya kepada:

1. Bapak Drs. Y.B. Adimassana, M.A selaku dosen pembimbing I yang telah membimbing penulis dengan sabar dan tekun.

2. Drs. H. Sigit Pawanta, SVD, M.A selaku dosen pembimbing II yang telah membaca dan mengoreksi skripsi ini serta memb erikan saran-saran yang bermanfaat bagi penulisan skripsi ini.

3. Drs. Wens Tanlain, M.Pd. yang telah membantu penulis mengolah data-data penelitian.

4. Panitia Penguji yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mempertanggungjawabkan dan mempertahankan skripsi ini.

5. Dr. M.M.Sri Hastuti, M.Si selaku Kaprodi Bimbingan dan Konseling dan para dosen Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Sanata Dharma yang telah memperkaya penulis dengan ilmu pengetahuan selama kegiatan perkuliahan. 6. Drs. T. Sarkim. M.Ed, Ph.D selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

(12)

7. Rektor dan seluruh Civitas Akademica Universitas Sanata Dharma yang memungkinkan penulis menimba ilmu pengetahuan di Universitas Sanata Dharma.

8. Mgr G. Kherubim Pareira, SVD dan Administrator Keuskupan Weetebula serta Ekonom Keuskuan Weetebula yang telah memberikan kesempatan belajar serta memberikan bantual moril dan materiil selama penulis menjalani pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

9. Rm. Yohanes Kota Sando, Pr dan para staf pembina/guru di Seminari Menengah Sinar Buana Weetebula yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melakukan kegiatan penelitian.

10.Rm Emilianus Sarimas, Pr yang telah mengijinkan penulis menggunakan kuesioner penelitian.

11.Para siswa kelas I dan II SMA Seminari Menengah Sinar Buana Tahun Ajaran 2007/2008 yang telah mengisi kuesioner penelitian.

12.Pater Rektor dan anggota komunitas Wisma Sang Penebus Nandan yang dengan tulus menerima, mendukung penulis selama menempuh pendidikan di Yogyakarta.

(13)

kerjasama dengan penulis selama masa perkuliaan serta dengan cara masing-masing memberikan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini.

14.Pihak-pihak manapun yang telah mendukung, memperhatikan, membantu penulis secara langsung dan tidak langsung dalam menjalani masa pekuliahan dan dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki keterbatasan. Penulis sangat menghargai kritik dan saran yang ditujukan terhadap skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Yogyakarta, 4 November 2008 Penulis

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii

HALAMAN PENGESAHAN...iii

HALAMAN MOTO PERSEMBAHAN...iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...v

ABSTRAK...vi

ABSTRACT...viii

KATA PENGANTAR...x

DAFTAR ISI...xiii

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Rumusan Masalah...6

C. Tujuan Penelitian...7

D. Manfaat Penelitian...7

E. Definisi Operasional dan Variabel Penelitian...8

1. Definisi Operasional...8

2. Variabel Penelitian...9

F. Hipotesis...10

BAB II KAJIAN TEORITIS...12

(15)

1. Landasan Hukum Seminari...12

2. Tingkatan Seminari...12

3. Tujuan Pendidikan di Seminari Menengah...14

4. Gambaran Lulusan Seminari Menengah...16

B. Aspek-Aspek Pembinaan Calon Imam di Seminari Menengah...21

1. Pembinaan Pribadi...22

2. Pembinaan Hidup Kristiani...25

3. Pembinaan Menanggapi Panggilan...27

4. Pembinaan Intelektual...29

5. Pembinaan Semangat Misioner...31

6. Pembinaan Sikap Dialog Antar Umat Beragama...31

C. Pembinaan di Seminari Menengah Sinar Buana...32

1. Gambaran Umum tentang Seminari Menengah Sinar Buana...32

2. Kegiatan Pembinaan di Seminari Menengah Sinar Buana...33

D. Persepsi...36

1. Arti Persepsi...36

2. Faktor-Faktor yang Berperan dalam Persepsi...37

3. Proses Terjadinya Persepsi...40

4. Fungsi dan Sifat-Sifat Dunia Persepsi...42

E. Persepsi Para Siswa Seminari Menengah Sinar Buana...43

1. Perkembangan Persepsi Siswa Seminari...43

(16)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN...50

A. Jenis Penelitian...50

B. Populasi Penelitian...50

C. Alat Penelitian...51

1. Kuesioner Persepsi Siswa...51

2. Pengskoran Item Kuesioner...54

3. Reliabilitas dan Validitas Kuesioner...54

a. Reliablitas...54

b. Validitas...55

D. Pengumpulan Data...55

E. Analisa Data...55

1. Perhitungan Reliabilitas dan Validitas ...55

2. Mean...57

3. Standar Deviasi...58

4. Uji Hipotesis...58

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...60

A. Hasil Penelitian...60

1. Gambaran Umum Persepsi Para Siswa Kelas I dan II SMA Seminari Menengah Sinar Buana Tahun Ajaran 2007/2008 Terhadap Semua Aspek Pembinaan Calon Imam...60

(17)

3. Gambaran umum persepsi para siswa tiap kelas (kelas I dan II) SMA Seminari Menengah Sinar Buana Tahun Ajaran

2007/2008 terhadap tiap-tiap aspek pembinaan calon imam...62

4. Uji Hipotesis...65

B. Pembahasan...71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...80

A. Kesimpulan...80

B. Saran...82

DAFTAR PUSTAKA...84

DAFTAR LAMPIRAN...90 Lampiran 1 : Kuesioner Persepsi Siswa Kelas I dan II SMA Seminari Sinar Buana Lampiran 2 : Total Skor Penelitian Persepsi Kelas I dan II Seminari Sinar Buana Lampiran 3 : Skor Gasal-Genap Penelitian Persepsi Kelas I dan II

Lampiran 4 : Perhitungan Reliabilitas dan Validitas

Lampiran 5 : Tabel Frekuensi Skor dan Tinggi- Rendah Skor Lampiran 6 : Perhitungan Uji Hipotesis

Lampiran 7 : Surat Permohonan Ijin Penelitian. Lampiran 8 : Surat Pemberitahuan Penelitian

(18)

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sidang Majelis Wali Gereja Indonesia (sekarang: Konferensi Wali Gereja Indonesia ) tentang pendidikan calon imam menegaskan bahwa imam yang diharapkan adalah imam yang mempunyai hubungan yang erat dengan Tuhan, imam yang penuh dedikasi terhadap umat, imam yang komunikatif, imam yang solider dengan rekan-rekan seimamat dan imam ya ng suka belajar seumur hidupnya. Imam yang memiliki hubungan yang erat dengan Tuhan mengandaikan bahwa imam mempunyai iman yang mendalam, menjadikan doa dan ekaristi sebagai pusat hidupnya dan mampu merefleksikan karya pastoralnya (Sidang MAWI, 1977:3).

(19)

Gambaran imam tersebut ditegaskan kembali oleh KWI dalam Pedoman Dasar Pembinaan Imam di Indonesia tentang citra imam di Indonesia, yakni. imam yang tampil sebagai pemimpin rohani, pendoa, pelayan, nabi, misionaris. Imam sebagai pemimpin rohani berperan membimbing umat dengan sabar, lembut dan tegas untuk menempuh perjalanan hidup rohani yang mampu memberi makna pada segala bidang dan peristiwa hidup, mahir dalam pelbagai pengalaman iman, terbuka terhadap nilai- nilai religius pada agama dan kepercayaan lain, bersedia dan mampu bekerjasama dengan pemuka umat dan tenaga pastoral lainnya (Komisi Seminari KWI, 1987:16).

Imam sebagai pendoa berarti imam meneladani Kristus yang mengawali karya perutusanNya dengan berdoa. Kehidupan doa hendaknya meresapi cipta, rasa dan karsa imam. Doa seorang imam selalu menggereja dan misioner artinya dilaksanakan bagi dan bersama umnat yang dilayaninya dan demi perkembangan injil (Komisi Seminari KWI, 1987: 17).

(20)

gaya hidup maupun dengan perkataan dan perbuatannya. Imam memberi perhatian penuh kepada soal-soal keadilan dan perikemanusiaan dan memperjuangkan apa yang baik dan benar (Komisi Seminari KWI, 1987: 18)

Imam sebagai misionaris berarti imam terus- menerus mempelajari nilai- nilai injil yang terdapat dalam masyarakat dan mengintegrasikan dalam diri dan karya pastoralnya. Imam juga memiliki keterbukaan terhadap karya misi gereja universal sehingga ia selalu siap untuk diutus kemana pun (Komisi Seminari KWI, 1987: 19).

Rapat para pembina calon imam di Seminari Menengah Se-Nusa Tenggara pada tahun 1978 menghasilkan pedoman pendidikan dan pembinaan siswa-siswa Seminari Menengah Se-Nusa Tenggara. Pedoman tersebut mengatakan bahwa Seminari Menengah merupakan pendidikan awal calon imam yang bertujuan membentuk manusia yang hidupnya berpusat pada Kristus, mengembangkan segala aspek kepribadian secara seimbang dan mengarahkannya kepada imamat. Seminari Menengah mempunyai tugas mempersiapkan siswa-siswa melanjutkan pendidikan ke Seminari Tinggi (Rapat Pimpinan Seminari Menengah, 1978:3).

Pedoman pembinaan calon imam di Indonesia bagian Seminari Menengah menyatakan bahwa lulusan Seminari Menengah adalah manusia yang dewasa secara manusiawi dan dewasa secara kristiani pada tingkatnya serta diperlengkapi dengan kemampuan untuk belajar mandiri, hidup berpola pada Kristus, terarah kepada imamat dan meneladani Bunda Maria dalam menghayati panggilannya (Driyanto, 2001:31).

(21)

dan arah pembinaan calon imam di Indonesia. Pembinaan tersebut menurut Paus Yohanes Paulus II (1992:84) adalah pembinaan manusiawi, pembinaan hidup rohani dan pembinaan intelektual.

Konsili Vatikan II dalam dokumen Optatam Totius (Dekrit tentang Pembinaan Imam) mengungkapkan bahwa seminari sebagai lembaga pendidikan calon imam “diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan para seminaris” (Hardawiryana, 1993:275). Oleh karena itu Pedoman Pembinaan Calon Imam di Indonesia Bagian Seminari Menengah memuat enam aspek pembinaan diri calon imam di Seminari Menengah yaitu aspek pribadi, aspek hidup kristiani, aspek menanggapi panggilan, aspek intelektual, aspek semangat kerasulan atau misioner, aspek sikap dialog antar umat beragama (Driyanto, 2001: 37).

Calon imam menjalani pendidikan dan pembinaan pada lembaga gerejani yang disebut seminari. Dewasa ini khususnya di Indonesia, seminari dibagi dalam dua tingkat yaitu Seminari Menengah dan Seminari Tinggi. Seminari Menengah merupakan tempat pendidikan calon imam yang mene mpuh pendidikan tingkat SMP dan SMA. Ada dua tipe Seminari Menengah yaitu: Seminari yang merupakan satu kesatuan asrama dan sekolah, seminari yang terpisah antara asrama dan sekolah. Ada tiga tipe Seminari Tinggi yaitu: Seminari Tinggi yang merupakan satu-kesatuan asrama dan tempat studi filsafat- teologi, Seminari Tinggi yang hanya menjadi tempat studi filsafat dan teologi, Seminari Tinggi hanya tempat tinggal pembinaan rohani dan pastoral ( Heuken, 1994: 202-204).

(22)

merupakan tipe seminari terpadu. Secara kurikuler, proses pendidikan bagi para siswa Seminari Sinar Buana berlangsung di Seminari Sinar Buana. Ada siswa Seminari Menengah Pertama dan ada siswa Seminari Menengah Atas. Setiap kelompok menurut jenjangnya mempunyai asrama masing- masing, namun satu-kesatuan sebagai calon imam. Seminari Sinar Buana melaksanakan pembinaan bagi siswa-siswa dengan menekankan aspek-aspek pembinaan calon imam di Seminari Menengah.

Uraian tentang gambaran imam dan lulusan calon imam dalam konteks Indonesia mengisyaratkan adanya tantangan bagi para calon imam dan tuntutan bagi lembaga pendidikan calon imam. Pembinaan calon imam di Seminari Menengah memiliki kendala tersendiri yang berkaitan dengan kepribadian calon imam dan pola pembinaan yang dijalankan. Berkaitan dengan pola pembinaan, Hill (1987:133-134) menegaskan bahwa kesulitan di seminari disebabkan oleh ketidakberesan pola pendidikan dan ketidakseriusan pembinaan calon imam sehingga menyebabkan banyak calon imam yang meninggalkan seminari. Oleh karena itu para penyelenggara pendidikan dan pembinaan calon imam perlu memeriksa pola pendidikan dan pembinaan yang sedang dijalankan. Kardinal Pio Laghi mengatakan: “They are more conservative and conforming than before. They are also more individualistic, even choosy. Their catechatical formation is not as good as in generation past...” (Suharman, 2007: 12). Suyitno (2005:8) mengatakan: “Para pengelola Seminari Menengah sepakat mengakui bahwa panggilan menurun karena sulitnya menjaring calon seminaris apalagi bicara soal kualitas”.

(23)

(1) Masalah gambaran imam: Para siswa seminari gambaran memiliki yang keliru tentang imam, misalnya: imam itu rapi dan anggun, sering naik sepeda motor atau mobil, disapa duluan, status sosialnya tinggi. Akibatnya, siswa seminari bersikap enggan kerja kerja tangan. (2) Masalah kedisiplinan. Kedisiplinan seminaris semakin menurun, misalnya: tidak tepat waktu, tidak menghargai silentium (waktu hening), suka bolos. (3) Mentalitas negatif. Misalnya: tidak jujur terhadap pembina, solider dalam hal- hal negatif, permisif terhadap kelakuan jelek temannya, kurang menghargai sopan santun, kurang serius belajar, tidak menghargai fasilitas umum, kurang bertanggngjawab, tidak terbuka terhadap pembina, tidak mempunyai ‘rasa memiliki’, kurang menghargai bimbingan rohani (Sarimas, 2005: 5).

Pertemuan para Rektor Seminari Menengah seluruh Indonesia pada tanggal 3-7 Oktober 2005 di Wisma Samadi Klender Jakarta merumuskan beberapa tantangan pembinaan di seminari sebagai berikut:

“Daya juang, kreativitas dan insiatif menurun, belum siap menghadapi perubahan yang cepat (globalisasi), latar belakang keluarga yang miskin, belum tampak keunggulan/kekhasan seminaris daripada siswa SMA lainnya, internalisani nilai dan panggilan menurun” (Kusumawanta, 2007: 31).

Masalah- masalah tersebut menyebabkan banyak siswa yang tidak merasa nyaman menjalani proses pembinaan di seminari. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai pandangan para siswa seminari terhadap pembinaan calon imam di Seminari Menengah. Penelitian dengan topik “Persepsi Para Siswa Kelas I dan II SMA Seminari Menengah Sinar Buana Weetebula Tahun Ajaran 2007/2008 Terhadap Aspek-Aspek Pembinaan Calon Imam” ini dilaksanakan dengan tujuan memperoleh jawaban obyektif terhadap permasalahan tersebut.

B. Perumusan Masalah

(24)

Menengah Sinar Buana terhadap tiap aspek pembinaan calon imam di Seminari Menengah? (3) Bagaimana persepsi para siswa tiap kelas (kelas I dan II SMA) terhadap setiap aspek pembinaan calo n imam di Seminari Menengah Sinar Buana? (4) Apakah ada perbedaan yang signifikan persepsi siswa kelas I dan II SMA Seminari terhadap tiap aspek pembinaan calon imam di Seminari Menengah. ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Menge tahui persepsi para siswa kelas I dan II SMA Seminari Menengah Sinar Buana terhadap seluruh aspek pembinaan calon imam di Seminari Menengah.

2. Mengetahui persepsi para siswa kelas I dan II SMA Seminari Menengah Sinar Buana terhadap tiap aspek pembinaan calon imam di Seminari Menengah. 3. Mengetahui persepsi para siswa tiap kelas (kelas I dan II SMA) terhadap tiap

aspek pembinaan calon imam di Seminari Menengah Sinar Buana

4. Mengetahui ada tidaknya perbedaan yang signifikan persepsi siswa kelas I dan II SMA Seminari terhadap tiap aspek pembinaan calon imam di Seminari Menengah.

D. Manfaat Penelitian

(25)

Konseling Universitas Sanata Dharma sebagai masukan dalam merencanakan dan menyusun kegiatan mahasiswa.

E. Definisi Operasional dan Variabel Penelitian 1. Definisi Operasional

a. Persepsi adalah pandangan, tanggapan dan penilaian individu terhadap benda, kejadian, tingkah laku manusia, dan hal- hal lain yang ditemuinya dalam kehidupan sehari- hari (Mulyono 1978:22).

b. Seminari

Seminari adalah lembaga pendidikan calon imam dalam gereja katolik c. Seminari Sinar Buana

Seminari Sinar Buana adalah tempat pendidikan calon imam pada tingkat SMP dan SMA di Keuskupan Weetebula Sumba Barat Daya NTT.

d. Pembinaan

Pembinaan berarti usaha, kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh hasil yang lebih baik (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990: 117). Pembinaan adalah pendampingan berupa pemeliharaan, pengasuhan kepada seseorang dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa depannya (Sarimas, 2005:8).

e. Calon Imam

Calon imam di Seminari Menengah adalah remaja (siswa SMA) yang bercita-cita untuk menjadi imam.

(26)

Pembinaan calon imam adalah pendampingan berupa pemeliharaan, pengasuhan siswa seminari sebagai calon imam dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan demi mencapai pribadi yang dewasa secara manusiawi dan kristiani dan siap memenuhi tuntutan panggilan. Pendampingan itu mencakup aspek pribadi-sosial, kristiani, menanggapi panggilan, intelektual, semangat misioner, dialog antar umat beragama. 2. Variabel Penelitian

a. Aspek pembinaan calon imam

1) Persepsi siswa dalam aspek pembinaan pribadi adalah pengalaman, pandangan dan tanggapan siswa dalam kegiatan pemeliharaan diri dan lingkungan, solidaritas, relasi sosial dan komunikasi di seminari dan diukur dengan kuesioner persepsi serta ditunjuk oleh skor yang diperoleh siswa.

2) Persepsi siswa dalam aspek pembinaan kristiani adalah pengalaman, pandangan dan tanggapan siswa terhadap bimbingan rohani, kitab suci, doa, ekaristi, sakramen tobat, rekoleksi/ret-ret, doa rosario, bacaan rohani, lagu-lagu gereja, petugas liturgi dan diukur dengan kuesioner persepsi serta ditunjuk oleh skor yang diperoleh siswa.

(27)

4) Persepsi siswa dalam aspek pembinaan intelektual adalah pengalaman, pandangan dan tanggapan siswa terhadap kegiatan yang berkaitan dengan pengetahuan akademis (pengajaran di kelas, sikap dan cara belajar), keterampilan dan diukur dengan kuesioner persepsi serta ditunjuk oleh skor yang diperoleh siswa.

5) Persepsi siswa dalam aspek pembinaan semangat misioner (kerasulan) adalah pengalaman, pandangan dan tanggapan siswa terhadap kegiatan ambulasi/pesiar, aksi panggilan dan aksi sosial, mengenal dokumen-dokumen gereja, mengenal nilai-nilai budaya, katekese diukur dengan kuesioner dan diukur dengan kuesioner persepsi serta ditunjuk oleh skor yang diperoleh siswa.

6) Persepsi siswa dalam aspek pembinaan sikap dialog antar umat beragama adalah pengalaman, pandangan dan tanggapan siswa terhadap kegiatan pendalaman ajaran agama, relasi dengan umat beragama lain dan diukur dengan kuesioner persepsi serta ditunjuk oleh skor yang diperoleh siswa. b. Tingkat kelas siswa adalah pengalaman pendidikan siswa SMA Seminari

Menengah Sinar Buana yaitu kelas I, kelas II. D. Hipotesis

(28)

1. Persepsi siswa kelas II SMA Seminari Menengah Sinar Buana terhadap aspek pemb inaan pribadi calon imam lebih tinggi daripada siswa kelas I SMA

2. Persepsi siswa kelas II SMA Seminari Menengah Sinar Buana terhadap aspek pembinaan hidup kristiani calon imam lebih tinggi daripada siswa kelas I SMA. 3. Persepsi siswa kelas II SMA Seminari Menengah Sinar Buana terhadap aspek

pembinaan menanggapi panggilan calon imam lebih tinggi daripada siswa kelas I SMA.

4. Persepsi siswa kelas II SMA Seminari Menengah Sinar Buana terhadap aspek pembinaan intelektual calon imam lebih tinggi daripada siswa kelas I SMA. 5. Persepsi siswa kelas II SMA Seminari Menengah Sinar Buana terhadap aspek

pembinaan semangat misioner calon imam lebih tinggi daripada siswa kelas I SMA.

(29)

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. Seminari Sebagai Le mbaga Pendidikan Calon Imam dalam Gereja Katolik 1. Landasan Hukum Seminari

Landasan hukum berdirinya sebuah Seminari -Seminari Tinggi dan Seminari Menengah- tercantum dalam Kitab Hukum Kanonik tentang Pembinaan Klerus. Kanon 232 mengatakan: “Gereja mempunyai kewajiban dan juga hak yang bersifat miliknya sendiri dan eksklusif untuk membina mereka yang ditugaskan bagi pelayanan suci” (Rubiyatmoko, 2005: 86). Kanon ini menegaskan bahwa pendidikan calon imam dalam gereja merupakan sebuah kewajiban dan hak yang bersifat eksklusif bagi gereja. Artinya pendidikan calon imam adalah hak istimewa bagi gereja. Kanon 234 menyatakan:

“Hendaknya dipelihara, kalau ada, dan juga dibina seminari-seminari menengah atau lembaga-lembaga sejenis, di mana diselenggarakan pendidikan keagamaan khusus bersama dengan pendidikan humaniora dan ilmiah demi pembinaan pangilan, bahkan bilamana dinilai bermanfaat, hendaknya Uskup diosesan mengusahakan didirikannya seminari menengah atau lembaga sejenis” (Rubiyatmoko, 2005:87).

Kanon ini menegaskan bahwa pembinaan calon imam adalah tugas uskup diosesan melalui pendidikan khusus di seminari. Maka di setiap keuskupan perlu didirikan seminari untuk mendidik calon imam; baik Seminari Tinggi maupun Seminari Menengah.

2. Tingkatan Seminari

(30)

779). The Chatolic EncyclopediaFor Shcool and Home (1965:27) mendefinisikan seminari sebagai “An institution established for the training of diocesan priest those who work directly under the bishop in serving the faithful of a diocese”. Istilah Seminari dipakai untuk menunjukkan menyemai dan menumbuhkan benih-benih panggilan imamat. Seminari merupakan tempat dimana sekelompok pemuda dipersiapkan menjadi imam (Staf Kepamongan Medan Utama, 1996:95). Selanjutnya, menurut Ponomban (2007: http://yesaya.indocell.net/id766.htm.), sekretaris eksekutif Komisi Seminari KWI, seminari adalah tempat di mana benih-benih panggilan imam yang terdapat dalam diri anak-anak muda, disemaikan secara khusus, untuk jangka waktu tertentu, dengan tatacara hidup dan pelajaran yang khas, dengan dukungan bantuan para staf pengajar dan pembina, yang biasanya terdiri dari para imam / biarawan. Adapun kata “seminaris” menunjuk pada para siswa yang menempuh pembinaan di seminari.

Seminari merupakan lembaga pendidikan calon imam dalam gereja katolik. Ada dua tingkatan Seminari yakni Seminari Tinggi dan Seminari Menengah. Seminari Tinggi merupakan lembaga pendidikan calon imam pada tingkat perguruan tinggi. Di Seminari Tinggi para calon imam memperoleh pendidikan dalam bidang filsafat dan teologi sebagai persiapan menjadi imam.

(31)

Persiapan Bawah (KPB). Para siswa menempuh masa pembinaan selama tiga tahun, mengikuti kurikulum pemerintah ditambah beberapa materi pelajaran yang khas Seminari, sekaligus dengan tambahan 1 tahun, entah pada tahun pertama memasuki Seminari (disebut KPB: Kelas Persiapan Bawah) atau nanti ditambahkan sesudah melewatkan 3 tahun pendidikan SMU (disebut KPA: Kelas Persiapan Atas).

Seminari Menengah menerapkan dua kurikulum yaitu kurikulum nasional dan kurikulum Seminari. Kurikulum nasional merupakan kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah yang wajib ditempuh oleh siswa-siswa sekolah menengah di seluruh Indonesia. Sedangkan kurikulum Seminari adalah kurikulum yang ditetapkan oleh Komisi Seminari Konferensi Wali Gereja Indonesia. Kurikulum ini memuat sejumlah mata pelajaran yakni: Bahasa Latin, Kitab Suci, Liturgi, Sejarah Gereja, Tradisi Doa, Pengenalan Ordo dan Kongregasi, etiket pergaulan, public speaking, musik dan kesenian gereja, hidup berkomunitas, panggilan dan motivasi panggilan, bimbingan rohani, katekese.

3. Tujuan Pendidikan di Seminari Menengah

(32)

seminaris memperoleh pengalaman-pengalaman manusia secukupnya dan memiliki hubungan yang biasa dengan keluarganya (Hardawiryana, 1993: 271).

Seminari Menengah didirikan untuk mempersiapkan para seminaris memasuki Seminari Tinggi. Paus Yohanes Paulus II (1992: 117) melalui Ensiklik Pastores Dabo Vobis menegaskan bahwa Seminari Menengah merupakan lembaga gereja dibidang karya pendidikan untuk untuk memelihara, melindungi dan mengembangkan benih-benih panggilan imam. Tujuan pendidikan di Seminari Menengah adalah melaksanakan secara bertahap pembinaan manusiawi, budaya dan rohani untuk mengantar seminaris memasuki Seminari Tinggi dengan dasar yang memadai dan andal.

Untuk mewujudkan tujuan pendidikan di Seminari ini, misalnya Seminari Menengah Mertoyudan memiliki visi: Sanctitas (Kesucian), Scientia

(Pengetahuan) dan Sanitas (Kesehatan). Aspek sanctitas menekankan kehidupan rohani yang Kristosentris melalui meditasi,doa dan ekaristi, rekoleksi dan ret-ret, pendalaman kitab susi. Aspek scientia menekankan pengetahuan ilmiah dan keterampilan. Aspek sanitas menekankan pendidikan dan pemeliharaan kesehatan fisik dan psikis (Staf Kepamongan Medan Utama, 1996:98-99).

(33)

Tinggi atau memasuki tarekat/ordo tertentu ( Rapat Pimpinan Seminari Menengah, 1978: 3).

4. Gambaran Lulusan Seminari Menengah

Menurut Pedoman Pembinaan Calon Imam di Indonesia Bagian Seminari Menengah, lulusan Seminari Menengah adalah manusia dewasa secara manusiwi dan kristiani pada tingkatnya serta diperlengkapi dengan kemampuan belajar secara mandiri, hidup berpola pada Yesus Kristus untuk menuju imamat dengan meneladan Bunda Maria dalam menghayati panggilannya (Driyanto, 2001: 31). Dengan demikian seorang lulusan seminari Menengah adalah pribadi yang dewasa secara menusiawi, pribadi dewasa secara kristiani dan pribadi yang siap sedia terhadap tuntutan panggilan.

a. Pribadi Dewasa Secara Manusiawi

(34)

mengatasi konflik-konflik tanpa menjadi bingung dan putus asa ( Driyanto, 2001: 32).

Dalam konteks psikologi kepribadian Allport, pribadi yang dewasa (matang) adalah pribadi yang memiliki perluasan diri, memiliki hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki keamanan emosional, memiliki persepsi yang realistis, memiliki keterampilan-keteramp ilan dalam tugas, memiliki pemahaman diri yang obyektif, memiliki filsafat hidup yang mempersatukan (Schultz, 1991:10-35). Menurut Maslow, pribadi yang dewasa adalah pribadi yang mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan yakni kebutuhan fisiologis, keamanan, dimiliki dan cinta, memiliki harga diri dan aktualisasi diri (Alwisol, 2005:257-260).

Disamping itu seminaris mampu membangun relasi yang wajar dengan orang-orang di sekitarnya. Ia merasakan bahwa nilai- nilai manusiawi yang tumbuh dari suasana hidup di keluarga dapat berkembang dengan baik dalam suasana hidup berkomunitas di Seminari. Oleh karena itu seminaris sadar dan rela menciptakan suasana hidup berkomunitas yang menumbuhkan rasa aman dan kerasan dalam kehidupan berkomunitas di Seminari (Driyanto, 2001:33). Dalam kehidupan bersama dengan orang lain ia mengembangkan sikap yang benar seperti empati, otentik, respek, konfrontasi diri dan mewujudkan diri (Fuster, 1985: 125).

(35)

kebebasannya dengan aturan yang mendorongnya kepada kedewasaan. Dalam kehidupan bersama di Seminari, siswa seminari sudah mulai memperjuangkan dan mau mewujudkan ciri-ciri pribadi yang dewasa. Misalnya: keseimbangan antara segi rasional dan afektif, ketekunan, ketabahan, disiplin diri, inisiatif dan kreatif, menerima dan menghayati seksualitas secara sehat.

Siswa menyadari diri sebagai calon imam yang akan bertanggungjawab untuk mewartakan sabda Allah dan menanggapi berbagai aspek hidup manusia. Untuk itu ia tekun dan sabar dalam belajar. Ia menemukan cara belajar yang baik untuk mencapai perkembangan yang optimal dalam segi intelektual. Dengan demikian mereka siap mengikuti pendidikan di perguruan tinggi. Ia memiliki sikap dan kesanggupan belajar terus- menerus.

b. Pribadi Dewasa Secara Kristiani.

Menjadi pribadi yang dewasa pribadi secara kristiani merupakan suatu proses penerimaan dan penghayatan rahmat Tuhan. Kedewasaan secara kristiani diperoleh melalui penghayatan hidup rohani yang berpusat pada Kristus. Seminaris ditantang untuk semakin mengenal Kristus dengan tepat dan benar sebagai “Jalan, Kebenaran dan Kehidupan” (Yoh 14:6), memiliki gambaran yang semakin jelas tentang Kristus sebagai “Sang Imam” (Ibr 9:11), “Nabi dan Raja” (Mat 27:37). Dengan pengenalan tersebut, seminaris semakin memiliki penghayatan kehidupan rohani yang baik.

(36)

karena itu pembinaan rohani merupakan poros yang menyatukan dan menghidupkan kenyataan pribadi (Leteng, 2003: 11). Dengan penegasan tersebut maka kehidupan rohani merupakan prinsip pemersatu dan identitas diri serta kegiatan hidup seorang kristiani, juga seminaris sebagai calon imam.

Pribadi yang dewasa secara kristiani juga semakin mengenal Kristus sebagai saksi sejati akan kehadiran Allah Bapa yang ditampakkan dalam hidupNya, caraNya berpikir, sikap dan tindakanNya. Kristus adalah pribadi yang terbuka sepenuhnya kepada kehendak BapaNya. Keterbukaan itu diungkapkanNya antara lain dalam sikap melaya ni semua orang dengan setia demi terwujudnya kehendak Bapa bagi manusia. Sikap dan semangat Kristus ini menjadi sikap dan semangat seminaris. Keakraban dengan pribadi Kristus secara nyata diungkapkan dalam hidup sehari- hari dalam komunitas (Fuellenbach, 2004: 90). Kehidupan dalam kesatuan yang akrab dengan Kristus dalam kehidupan rohaninya ini mendorong seminaris menjalani hidup di Seminari sesuai dengan kehendak Allah.

(37)

Kudus dan tegas menolak roh jahat. Kerelaan dan kesetiaan dibimbing oleh Roh Kudus diungkapkan dalam menerima kehadiran Kristus dalam perayaan ekaristi dan menjalani pertobatan melalui sakramen rekonsiliasi.

Kedewasaan secara kristiani tersebut juga tampak dalam kerelaan dan kesetiaan seminaris menerima bimbingan rohani dari pembimbing rohani. Kerelaan membuka diri menjadikannya semakin mampu mengenal panggilan Allah melalui sejarah hidupnya sehingga ia makin menyadari dan sanggup menjawab panggilannya yang khas yakni menjadi imam (Driyanto,2001: 35). c. Pribadi yang Siap dan Bersedia Memenuhi Tuntutan Panggilan

Kesiapan dan kesediaan memenuhi tuntutan panggilan adalah kepatuhan untuk mendengarkan dan menjawab panggilan Tuhan. Kesiapan dan kesediaan itu mencakup kemauan bebas dan kesanggupan mengikuti Kristus Sang Penebus dengan kebesaran jiwa dan hati yang murni (Fuellenbach, 2004: 87). Kesiapan dan kesediaan tersebut mengandaikan kemauan dan kemampuan memenuhi tuntutan-tuntutan panggilan: “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikuti Aku” (Luk 9:23).

(38)

dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mrk 28:19).

Kesiapan dan kesediaan mengikuti tuntutan-tuntutan panggilan dapat dipupuk dan dikembangkan melalui kesadaran dan latihan hidup sebagai pendoa, sikap melayani tanpa pamrih dan tanpa kenal lelah, keberanian menyampaikan kebenaran, kerelaan untuk diutus dan diperintah dengan sikap taat orang beriman. Untuk itu seminaris dapat belajar dari Bunda Maria dalam menjawabi tuntutan panggilan. Jawaban dan sikap “YA” Maria dalam menanggapi panggilan Tuhan itu diwujudkan dalam seluruh hidupnya, konsisten dalam suka dan duka. Paus Yohanes Paulus II mengatakan:

“Melalui contoh dan kepengantaraannya, kita juga belajar untuk percaya dan menerima kekayaan rahmat yang hendak Tuhan curahkan ke atas kita. Dalam sejarah individu- individu dan masyarakat Bunda Marialah yang menyingkapkan pedagogi Allah kepada komunitas-komunitas dan kepada seluruh gereja. Ia membuat kita responsif terhadap iman, kepercayaan dan sambutan yang rendah hati” (Leteng, 2003: 356).

Maria memberi teladan dalam kesiapsediaan bagi seminaris dalam usaha membina diri memenuhi tuntutan panggilan. Oleh karena itu di dalam kehidupan sehari- hari, seminaris berusaha membina keakraban dengan Bunda Maria melalui doa dan devosi.

B. Aspek-Aspek Pembinaan Calon Imam di Seminari Menengah

(39)

1. Pembinaan Pribadi

Kepribadian adalah pola menyeluruh dari semua kemampuan, perbuatan serta kebiasaan seseorang baik yang jasmani, mental, rohani, emosional maupun sosial (Heuken, dkk, 2002:15). Pembinaan pribadi adalah pembinaan untuk mengenal dan akrab dengan diri sendiri dan orang lain. Pembinaan pada aspek ini menekankan pemeliharaan diri dan lingkungan, solodaritas dan relasi sosial. Pengenalan diri mencakup kesadaran akan kekuatan dan kelemahan, bakat dan minat. Pembinaan pribadi diarahkan antara lain agar seminaris “terbuka untuk mengetahui dan menerima dirinya dan orang lain” (Prasetya, 1992: 100). Pengenalan dan penerimaan terhadap diri membuat individu menghargai dan mempercayai dirinya dan mempu membuat keputusan yang tepat bagi dirinya (Bennet 2004: 60). Oleh karena itu melalui pengenalan diri tersebut seminaris semakin dapat menggunakan kemampuannya seoptimal mungkin untuk mengembangkan diri dan bertumbuh menjadi orang yang bertanggungjawab, berinisiatif, kreatif, eksploratif, jujur, tekun dan dapat menjadi pemimpin yang baik. (Driyanto, 2001:37).

Konseli Vatikan II dalam Optatam Totius (Dekrit tentang Pembinaan Imam) nomor 11 menegaskan bahwa pembinaan kepribadian bertujuan:

(40)

Pembinaan diri juga diwujudkan dalam usaha seminaris menjaga keseimbangan antara hidup individual dan hidup bersama. Briere (2003:57) mengatakan: “Kristus mengutus para rasul berdua-dua sehingga mereka dapat saling mencintai. Kristus menghendaki murid- muridNya saling mencintai”. Hidup bersama dalam asrama membutuhkan suasana yang mendukung pertumbuhan pribadi dan perkembangan aspek kepemimpinan. Disamping itu perlu pula seminaris menciptakan suasana kebebasan yang diimbangi dengan kesadaran bertanggungjawab. Dalam konteks tersebut Prama (2006: 45) mengatakan: “Dalam rumah...kita diberi kebebasan yang seluas- luasnya untuk mengisinya dengan apa saja...tapi apapun kegiatan yang digunakan untuk mengisinya berpengaruh terhadap wajah rumah kita”. Oleh karena itu dalam kehidupan berasrama seminaris dibiasakan mengembangkan rasa sosial sehingga ia menjadi pribadi yang sanggup memperhatikan dan melayani kepentingan sesama. Untuk itu seminaris perlu berlatih untuk mengendalikan diri untuk tidak mementingkan diri. Hal itu dilakukan karena seminaris menyadari bahwa hidup bersama di asrama merupakan salah satu bentuk latihan untuk menyiapkan diri guna memasuki persaudaraan sakramental para imam dalam keuskupan.

(41)

perkembangan pribadi, pertumbuhan hidup rohani, perkembangan panggilan setiap siswa seminari.

Dalam rangka pembinaan pribadi, seminaris perlu menerima pembinaan intensif untuk dapat bersikap terbuka dan mudah berkomunikasi dengan orang lain. Seminaris juga dibimbing untuk mencintai kebenaran, menghargai sesama, mampu menciptakan rasa percaya diri, mudah menjalin kerjasama, setia kawan, mempunyai rasa keadilan, memiliki sikap belaskasihan yang tulus, mampu menyampaikan penilaian secara jernih dan obyektif (Driyanto, 2001: 39).

(42)

kebenaran bahwa ada suatu kepenuhan dan kedalaman hidup yang melampaui apa yang kita kihat sekarang”. Untuk mencapai pemahaman dan kedewasaan dalam aspek seksualitas ini para seminaris diberi penjelasan dan pendampingan pribadi di bidang seksualitas. Pembinaan dan pendampingan seksualitas diarahkan agar seminaris mendapat pemahaman yang benar dan wajar serta mampu mewujudkan kebenaran cinta kasih manusiawi. Dengan penghayatan seksualitas secara sehat maka seminaris terarah untuk “...menyadari keluhuran kehidupan selibat yang dikuduskan kepada Kristus sehingga atas pilihan sendiri...mereka membaktikan diri kepada Tuhan dengan menyerahkan jiwa-raga seutuhnya” (Hardawiryana, 1993: 279).

2. Pembinaan Hidup Kristiani

(43)

Kristus menjadi sumber dan pola hidup mereka. Sebagai sumber, Kristus dasar kekuatan bagi perkembangan hidup rohani seperti yang dikatakn oleh Santo Paulus: “Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal 2:20). Sebagai pola hidup, sikap kerohanian Kristus mendasari hidup rohani para seminaris (Habeahan, 2006:87).

Yohanes Paulus II (1992:89) menegaskan bahwa hidup rohani adalah pusat hidup imam. Oleh karena itu kehidupan rohani adalah inti kehidupan dan panggilan calon imam juga. Krisnamurti salah seorang alumni Seminari Mertoyudan mengatakan:

“Kehidupan rohani bagi seorang imam adalah hal yang amat esensial sebab pondasi utama dari kehidupan selibat (tidak menikah) adalah kehidupan rohani. Kehancuran dari kehidupan spiritualitas sama artinya dengan runtuhnya kehidupan imamat seorang selibater.... Oleh karena itu, seminari menengah sebagai lembaga pendidikan dasar dari para kandidat imam diharapkan dengan sangat untuk dapat memberikan pondasi yang kuat bagi para kandidat imam sehingga kelak dapat menjadi imam yang tangguh; apalagi di tengah-tengah badai globalisasi dan

kemajuan teknologi ini (2001:

http://krisnaster.blogspot.com/2001_03_01_archive.html)

(44)

teratur, refleksi bersama yang terpimpin, pengajaran dan pendalaman kitab suci, bacaan rohani, rekoleksi dan ret-ret, devosi pribadi dan bersama (Driyanto, 2001:44). Dalam konteks ini Venantius salah seorang staf Seminari Menengah mengatakan:

“Kehidupan rohani harus menjadi satu keunggulan seminaris yang diharapkan menjadi pemimpin umat kelak. Maka dalam hal ini, seminaris mempunyai keniscayaan mempunyai nilai lebih dari yang lain. Untuk mendukung keunggulan ini, Seminari Menengah me mfasilitasi siswa dengan berbagai macam kegiatan seperti misa setiap hari, lectio brevis bacaan rohani, retret dan rekoleksi, latihan meditasi, kerasulan anak sekolah minggu dan doa lingkungan, pengakuan dosa, berkunjung ke tempat-tempat wisata rohani, menulis refleksi harian. Melalui seluruh kegiatan ini, siswa diharapkan akan mempunyai rasa religius yang tinggi. Keunggulan ini tampak dalam rasa empati yang tinggi, pengorbanan terhadap orang lain, kemauan untuk saling meneguhkan dalam panggilan, keterbukaan untuk berbagi hidup, kemampuan untuk mensyukuri, sikap ikut serta menderita bersama teman” (2007: http://seminaripem.wordpress.com/2007/06/08/pendidikan-dan-pembinaan-seminaris-ke-depan/ )

3. Pembinaan Menanggapi Panggilan

(45)

Ponomban (2007: http://yesaya.indocell.net/id766.htm), mengatakan bahwa peranan para staf pembina, baik rektor maupun sesama imam lainnya menjadi sangat penting. Mereka bertugas membantu seminaris memurnikan motivasi panggilannya, membantu seminaris untuk mengatasi berbagai kekurangan dan masalah panggilan, menolong seminaris untuk mengambil keputusan yang matang menjadi imam atau tidak. Selain itu seminaris mempunyai peran yang tidak tergantikan dalam keputusan bebas bebas untuk “menuruti tuntutan-tuntutan injil: kemiskinan, kemurnian dan ketaatan (Philibert, 2002:95) yang merupakan tuntutan utama bagi kehidupan dan panggilan imam dan calon imam.

Pembinaan menanggapi panggilan menjadi imam dilaksanakan melalui program-program yang membantu seminaris menyadari dan menerima konsekuensi-konsekuensi mengikuti Tuhan. Mereka perlu dibantu untuk berani menerima diri secara realistis dan terbuka terhadap kehendak Roh Kudus. Seminaris perlu memiliki komitmen dalam pangilannya. Artinya, seminaris memiliki motivasi rohani dan apostolik, terarah kepada penyerahan diri dalam kebebasan menanggapi panggilan Tuhan

Para seminaris juga perlu mengenal dokumen-dokumen gereja mengenai calon imam, mengenal imam dioses dan imam tarekat religius supaya pada akhir masa pendidikan di Seminari Menengah mereka dapat memilih dan meneruskan ke jenjang selanjutnya sesuai dengan keinginan mereka.

(46)

sadar dan bertanggungawab, menunaikan tugas yang diserahkan kepadanya, bergaul dengan sopan yang disadari rasa cinta dan hormat terhadap sesama.

4. Pembinaan Intelektual

Paus Yohanes Paulus II (1992:99) mengatakan: “Pembinaan intelektual merupakan tuntutan mendasar akal budi manusia yang merupakan ‘partisipasi dalam cahaya budi Allah’ dan melaluinya manusia berusaha meraih kebijaksanaan yang mengarahkannya mengenal Allah dan berpaut padaNya”. Konsili Vatikan II dalam Optatam Totius (Dekrit tentang Pembinaan Imam) nomor 13 menyatakan bahwa para seminaris perlu dibekali dengan pendidikan humaniora dan ilmiah yang memungkinkan seminaris menempuh pendidikan lebih tinggi (Hardawiryana, 1993: 281). Oleh karena itu menurut Krisnamurti (2001: http://krisnaster.blogspot.com/2001_03_01_archive.html) : “....seminari menengah dalam kapasitasnya sebagai lembaga calon imam tingkat dasar dituntut untuk dapat memberikan bekal kemampuan intelektualitas yang memadai bagi para calon imamnya”.

Pembinaan intelektual merupakan upaya yang dilakukan membantu siswa seminari untuk semakin menguasai ilmu pengetahua n yang relevan dengan perkembangannya. Hal ini dilakukan agar di kemudian hari seminaris menjadi orang berpendidikan yang sanggup mewartakan kabar baik kepada sesama.

(47)

secara kritis dan mencari pemecahan sehingga mereka siap mengikuti pendidikan imamat pada jenjang selanjutnya. Untuk itu sejak awal seminaris perlu mendapat pema haman dan penyadaran tentang cara belajar yang efisien dan efektif sesuai dengan kemampuan mereka, memelihara kebiasaan belajar seumur hidup (Driyanto,2001:49). Berkaitan dengan hal tersebut Venantius mengatakan:

“Seminaris kiranya unggul secara intelektual, artinya seminaris mempunyai kelebihan yang sungguh signifikan dalam kemampuan intelektual bila dibandingkan dengan anak muda seusianya yang non seminaris. Seminaris hendaknya mampu menelaah, menganalisa suatu masalah. Seminaris dengan kemampuan intelektual yang mumpuni mempunyai daya pikir yang tajam, mampu belajar otodidak” (http://seminaripem.wordpress.com/2007/06/08/pendidikan-dan-pembinaan-seminaris-ke-depan/ )

Pembinaan keterampilan bertujuan mengembangkan bakat dan minat seminaris yang mendukung pelayanan imam di kemudian hari. Tujuan ini dilaksanakan melalui berbagai kegiatan terbimbing seperti berpidato, musik dan paduan suara, orkes, tari, menulis dan mengarang, pertukangan praktis, drama, olah raga, dan lain- lain.

(48)

5. Pembinaan Semangat Misioner atau kerasulan

Pembinaan semangat kerasulan adalah pembinaan semangat mewartakan injil kepada orang lain. Paus Benediktus XVI (2007: 2) dalam pesannya pada hari minggu misi sedunia yang ke-81 menegaskan: “Gereja yang telah menerima pewartaan injil dipanggil dan diutus oleh Gembala yang baik untuk mengabdikan diri mereka pada misi ad gentes”. Tugas mewartakan injil adalah tugas yang diemban oleh gereja. Maka seminaris turut mengemban tugas tersebut. Konferensi Wali Gereja Filipina mengatakan bahwa salah satu cara untuk menanamkan semangat dan komitmen misioner adalah memberikan pelajaran tentang misi di Seminari untuk membekali para seminaris dengan mengetahuan dan pemahaman tentang misi (Patris, 2007:42).

Seminaris perlu memahami ajaran sosial gereja, memahami keadaan nyata masyarakat melalui berbagai media massa. Dengan bimbingan seorang imam seminaris merefleksikan, mengevaluasi berbagai situasi tersebut untuk merasakan dan menangkap pesan Tuhan di balik semua peristiwa tersebut dan mendorong mereka menanggapinya (Driyanto, 2001: 51).

6. Pembinaan Sikap Dialog Antar Umat Beragama

(49)

kepada dialog. Dialog itu hendaknya diserta refleksi untuk menjaga otentisitas iman.

Kesadaran dan upaya dialog ini diungkapkan oleh Konsili Vatikan II melalui Nostra Aetate (Pernyataan Tentang Hubungan Gereja Denga n Agama-Agama Bukan Kristen) nomor 1 yang mengatakan:

“Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup,kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang...Maka gereja mendorong para puteranya supaya dengan bjaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerjasama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta peri hidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai- nilai sosio-budaya yang terdapat pada mereka (Hardawiryana, 1992: 311).

Dialog antar umat beragama memerlukan refleksi iman, pedoman-pedoman untuk menjaga otentisitas iman, kesadaran akan hubungan dialog dengan kesaksian kristiani. Selain itu perlu juga dikembangkan sikap-sikap yang membantu terciptanya dialog seperti kemampuan mendengarkan orang lain, keterbukaan hati terhadap berbagai situasi dan kebutuhan sesama dalam semangat cinta kasih.

C. Pembinaan di Seminari Menengah Sinar Buana

1.Gambaran Umum tentang Seminari Menengah Sinar Buana

(50)

St. Aloysius dan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) St. Alfonsus Weetebula. Sejak tahun 1987 asrama Sinar Buana menampung siswa-siswa SMAK St. Thomas Aquinas yang ingin menjadi imam, biarawan dan katekis. Pada tahun 1990 Sinar Buana dikukuhkan oleh Uskup Weetebula Mgr. G. Kherubim Pareira, SVD menjadi Seminari Menengah Sinar Buana. Para siswa Seminari masih menempuh pendidikan di SMP St. Aloysius dan SMAK St. Thomas Aquinas. Sejak tahun 1999 pendidikan formal SMP dan SMA diselenggarakan di Seminari Menengah Sinar Buana.

2. Kegiatan Pembinaan di Seminari Menengah Sinar Buana

Seminari Menengah Sinar Buana merupakan lembaga pendidikan calon imam Keuskupan Weetebula tingkat sekolah lanjutan (SMP dan SMA) dengan tujuan mempersiapkan kaum muda katolik untuk menjadi imam. Tujuan pendidikan tersebut tekandung dalam visi dan misi Seminari Menengah yaitu:

“Seminari Menengah Sinar Buana adalah lembaga pendidikan calon imam Keuskupan Weetebula, bercita-cita agar seminaris dididik dan didampingi - para pembina dalam kerjasama dengan orang tua - berkembang secara seimbang dalam sanctitas, sanitas, scientia, sapientia, solidaritas sehingga menjadi orang beriman yang mengikuti Yesus Kristus ke arah imamat dalam Gereja umat Allah” (Sando, 2007:13).

Visi tersebut dijabarkan dalam misi Seminari Menengah Sinar Buana, yaitu:

(51)

Mengacu pada visi dan misi tersebut maka kegiatan pembinaan di Seminari Menengah Sinar Buana dapat dijabarkan dalam enam aspek pembinaan menurut pedoman pembinaan di Seminari Menengah:

a. Pembinaan Kepribadian

Pembinaan kepribadian dilaksanakan untuk membantu para siswa seminari untuk lebih mengenal dan menerima dirinya sehingga siswa seminari semakin menghargai dan percaya pada dirinya. Pembinaan kepribadian ini dilakukan dalam kegiatan seperti konferensi kelas (bimbingan klasikal/kelompok), konsultasi pribadi, refleksi pribadi, kerja (Opus Manuale).

b. Pembinaan Kehidupan Kristiani

Pembinaan kehidupan kristiani dilaksanakan untuk membantu para seminaris agar memupuk kehidupan rohani melalui kegiatan doa-doa, liturgi, sharing kitab suci, adorasi dan bacaan rohani, bimbingan rohani, penerimaan sakramen tobat, latihan lagu gerejani, rekoleksi dan ret-ret. Pembinaan kehidupan kristiani dilaksanakan dalam kegiatan-kegiatan: doa pribadi dan doa bersama, renungan kitab suci, ekaristi dan sakramen tobat, meditasi pribadi, kunjungan kepada sakramen maha kudus, sharing kitab suci.

c. Pembinaan Menanggapi Panggilan

(52)

panggilan dilaksanakan melakui penyadaran (refleksi) akan panggilan pribadi, pengenalan kehidupan imam tarekat dan diosesan, pengenalan tarekat/ordo, aksi panggilan.

d. Pembinaan Intelektual

Pembinaan intelektual merupakan upaya membantu seminaris untuk mengenal dan menguasai ilmu pengetahuan yang relevan. Pembinaan dalam aspek ini meliputi pengetahuan akademik dan keterampilan. Pembinaan akademik dilaksanakan sesuai dengan kurikulum nasional dan kurikulum seminari menengah. Sedangkan pembinaan keterampilan dilaksanakan melalui kegiatan musik dan padua n suara, berpidato, drama, olahraga, tulis-menulis, opus manuale atau kerja tangan.

e. Pembinaan Semangat Kerasulan atau Misioner

Pembinaan misioner adalah upaya membantu seminaris untuk mewartakan injil kepada orang lain. Kegiatan pembinaan semangat misioner dilaksanakan melalui pendalaman kitab suci, aksi sosial kemasyarakatan, memimpin ibadat sabda lingkungan, latihan kotbah atau memberikan renungan harian, kegiatan live in dalam masyarakat, mendampingi putera altar/misdinar, mendampingi sekami (anak misioner).

f. Pembinaan Sikap Dialog Antar Umat Beragama

(53)

beragama dilaksanakan melalui studi praktis tentang agama lain, kunjungan ke tempat ibadat agama lain, live in ke daerah yang mayoritas beragama lain.

D. Persepsi 1. Arti Persepsi

Secara etimologis, kata persepsi atau dalam kata bahasa Inggris perception

(54)

dengan penginderaan terhadap stimulus kemudian stimulus itu diorganisasikan dan diinterpretasikan menjadi sesuatu yang bermakna (Walgito, 2004: 88).

2. Faktor-Faktor yang berperan dalam persepsi

Ada faktor- faktor yang berperan dalam pembentukan persepsi. Menurut Su’adah (2003: 32), faktor- faktor yang berperan terjadinya persepsi adalah obyek yang dipersepsi, alat indra atau reseptor dan perhatian.

a. Obyek yang dipersepsi

Obyek yang dipersepsi menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus datang dari luar individu yang mempersepsi. Stimulus dapat datang dari luar langsung mengenai alat indera atau reseptor yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, pencecapan dan kulit atau peraba. Stimulus dapat datang dari dalam langsung mengenai susunan syaraf yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Stimulus harus cukup kuat agar dapat disadari oleh individu.

(55)

perbedaan. Ada individu yang dapat membedakan stimulus yang satu dengan yang lain secara tajam tetapi ada individu yang tidak dapat membedakannya. Pada suatu ketika stimulus ditambah kekuatannya sampai tidak dapat dirasakan atau disadari oleh individu. Apabila tercapai keadaan yang demikian maka stimulus tersebut maka menurut Underwoor (1949) mencapai

ambang absolut sebelah atas (Walgito, 2004:104-105), yaitu kekuatan stimulus maksimal, kekuatan stimulus yang ada di atasnya sudah tidak dapat disadari lagi. Range antara ambang absolut sebelah bawah dan ambang absolut sebelah atas merupakan daerah yang dapat disadari oleh individu. Misalnya, menurut Christian Huygens, kekuatan stimulus untuk penglihatan terletak antara 390 milimocron dan 760 milimicron. Kekuatan dibawah 390 milimicron adalah sublimanil, sedangkan yang diatas 760 adalah supralimanil (Walgito, 1989:162).

b. Alat indera, saraf dan pusat susunan saraf

Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus dari luar individu. Di samping itu, ada saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima ke pusat susunan saraf. Pusat susunan saraf adalah otak sebagai pusat kesadaran. Dan sebagai alat untuk mengadakan respons diperlukan syaraf motorik.

c. Perhatian

(56)

merupakan langkah pertama dalam diri individu untuk mengadakan persepsi. Drever (1960) mendefinisikan bahwa perhatian merupakan penyeleksian terhadap stimulus (Walgito 1989:56). Hal ini terjadi karena stimulus yang diterima individu dapat berupa sejumlah stimulus atau sekumpulan obyek. Individu menerima banyak sekali stimulus setiap saat. Meskipun demikian individu tidak dapat menanggapi semua stimulus. Untuk itu individu memusatkan perhatian para stimulus-stimulus tertentu saja (Irwanto 1989:96).

Ditinjau dari segi timbulnya perhatian maka perhatian dapat dibedakan atas perhatian spontan dan perhatian tidak spontan. Perhatian spontan adalah perhatian yang timbul dengan sendirinya. Perhatian ini mempunyai hubungan erat dengan minat individu. Bila individu memiliki minat terhadap sesuatu obyek maka terhadap obyak tersebut biasanya timbul perhatian spontan. Misalnya, bila individu memiliki minat terhadap sepak bola maka secara spontan perhatiannya akan tertuju kepada sepak bola. Sedangkan perhatian tidak spontan adalah perhatian yang ditimbulkan dengan sengaja, karena ada kemauan untuk menimbulkannya. Misalnya, seorang murid harus memperhatikan pelajaran fisika yang sedang diajarkan oleh gurunya sekalipun ia kurang menyenangi pelajaran tersebut karena ia harus mempelajarinya (Su’adah, 2003: 36).

(57)

suatu waktu pada sedikit obyek. Sedangkan perhatian yang luas adalah perhatian individu pada suatu waktu kepada banyak obyek. Berkaitan dengan perhatian yang luas maka perhatian dapat dibedakan atas perhatian yang terpusat dan perhatian yang terbagi-bagi (Walgito, 2004:100). Perhatian yang terpusat adalah perhatian individu pada suatu waktu pada suatu obyek. Perhatian yang terbagi-bagi adalah perhatian individu pada suatu waktu pada banyak obyek.

3. Proses terjadinya persepsi

Obyek menimbulkan stimulus. Stimulus tersebut mengenai alat indera atau reseptor. Proses stimulus mengenai alat indera merupakan proses fisik. Stimulus yang diterima alat indera diteruskan oleh saraf sensoris ke otak. Proses ini disebut sebagai proses fisiologi. Proses selanjutnya terjadi di otak sebagai pusat kesadaran individu. Di dalam otak terjadi proses pengorganisasian dan penginterpretasian stimulus sehingga individu menyadari stimulus tersebut. Proses yang terjadi di dalam otak atau dalam pusat kesadaran ini disebut proses psikologis. Dengan demikian proses terakhir persepsi adalah individu menyadari tentang apa yang diterima melalui alat indera atau reseptor. Proses inilah yang menjadi proses persepsi yang sebenarnya. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil leh individu dalam berbagai-bagai bentuk (Su’adah, 2003: 33).

(58)

dipersepsi. Stimulus mana yang yang mendapat respon dari individu tergantung pada perhatian individu yang bersangkutan. Dengan demikian individu akan diberikan oleh individu terhadap stimulus yang menarik individu.

Secara skematis, proses persepsi dapat digambarkan sebagai berikut:

Keterangan: L: Lingkungan S: Stimulus

O: Organisme atau individu R: Respon atau reaksi.

Menurut Pareek (1996), terjadinya persepsi sampai menghasilkan respon meliputi tiga proses yaitu proses menerima stimulus, proses menyeleksi stimulus dan proses pengorganisasian (Sobur, 2003: 451-463). Dalam proses menerima stimulus, kebanyakan stimulus diterima melalui alat indera. Dalam proses menyeleksi stimulus individu memperhatikan stimulus yang menarik baginya. Faktor-faktor intern individu yang mempengaruhi proses seleksi stimulus adalah kebutuhan psikologis, latar belakang , pengalaman, kepribadian, sikap dan kepercayaan umum, penerimaan diri individu. Faktor- faktor ekstern individu yang mempengaruhi proses seleksi stimulus adalah intensitas, ukuran, kontras, gerakan, ulangan, keakraban (menarik), sesuatu (simulus) yang baru. Proses

L S

(59)

pengorganisasian memiliki tiga dimensi utama yaitu pengelompokan, bentuk timbul dan latar, kemantapan persepsi. Pengelompokan simulus dipengaruhi oleh faktor kesamaan stimulus, kedekatan stimulus dan kecenderungan untuk melengkapi hal- hal yang belum lengkap. Bentuk timbul dan latar merupakan pemusatan perhatian pada gejala tertentu yang timbul menonjol sedangkan simulus yang lain berada di latar belakang. Kemantapan persepsi merupakan proses menstabilkan persepsi sehingga tidak dipengaruhi oleh perubahan- perubahan. Dengan demikian persepsi itu telah terbentuk.

Meskipun telah terjadi kemantapan persepsi, biasanya individu masih selalu membuat penafsiran terhadap stimulus dengan berbagai cara. Dengan proses penafsiran ini individu memberi arti stimulus yang diterimanya. Setelah memberi arti stimulus yang diterima selanjutnya individu memberikan reaksi terhadap stimulus yang diterimanya.

4. Fungsi dan sifat-sifat dunia persepsi a. Fungsi persepsi

(60)

b. Sifat-sifat dunia persepsi

Dunia persepsi pada umumnya mempunyai berbagai sifat. Meskipun setiap indera memiliki kekhasan dalam mempersepsi namun, beberapa sifat ini berlaku untuk segala obyek yang dipersepsi, yaitu: (1) Dunia persepsi mempunyai sifat-sifat ruang; artinya obyek-obyek yang dipersepsi itu “meruang”, berdimensi ruang. (2) Dunia persepsi mempunyai dimensi waktu; artinya proses mempersepsi obyek (yang relatif stabil) itu memerlukan waktu. Oleh karena itu persepsi dapat berubah seiring dengan perjalanan waktu. (3) Dunia persepsi memiliki struktur menurut berbagai obyek persepsi; artinya persepsi terbentuk menurut struktur dari obyek yang dipersepsi. Misalnya, dalam ruang kelas yang dipersepsi siswa terdapat kursi, meja, papan tulis, maka terbentuk persepsi tentang meja, kursi, papan tulis, mahasiwa. (4) Dunia persepsi adalah dunia yang penuh dengan arti; artinya obyek-obyek yang dipersepsi “mengatakan sesuatu” kepada individu (Sobur, 2003:470).

E. Persepsi Para Siswa Seminari Menengah Sinar Buana 1. Perkembangan Persepsi Siswa Seminari

Para siswa seminari sebagai calon imam sedang mempersiapkan diri untuk menjawab dan mengikuti panggilan Tuhan (Mat 4:19). Dalam rangka menjawab dan mengikuti panggilan Tuhan tersebut para siswa perlu mengikuti proses pembinaan di seminari. Proses pembinaan tersebut dilaksanakan dalam bentuk kegiatan-kegiatan pembinaan dan aturan-aturan hidup harian.

(61)

sehingga menghasilkan tanggapan atau respon. Tanggapan tersebut nampak dalam aktifitas kognitif seperti terbentuknya pengetahuan perseptual, dan reaksi perasaan yang mendorong perilaku lahir seperti tindakan menjalankan kegiatan pembinaan, ketaatan menjalani aturan-aturan hidup harian (Sarimas, 2005: 40).

(62)

Kerap kali siswa belum menyadari manfaat dari kegiatan-kegiatan pembinaan. Siswa juga dapat mengalami kesulitan-kesulitan dalam menjalani kegiatan-kegiatan pembinaan tersebut. Oleh karena itu kegiatan bimbingan dan konseling di seminari perlu dilaksanakan bagi para siswa untuk meningkatkan pengetahuan tentang kegiatan dan manfaat, nilai dari kegiatan tersebut. Bimbingan diberikan untuk memperluas persepsi siswa terhadap kegiatan pembinaan dan memperoleh manfaat dari kegiatan tersebut. Konseling diberikan untuk membantu siswa yang memiliki masalah pribadi dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan pembinaan.

2. Perkembangan Persepsi Sisiwa Seminari Terhadap Aspek-Aspek Pembinaan Calon Imam

Konferensi Wali Gereja Indonesia menetapkan enam aspek pembinaan calon imam di Seminari Menengah, yaitu: aspek pembinaan pribadi (diri), aspek pembinaan hidup kristiani, aspek pembinaan menanggapi panggilan, aspek pembinaan intelektual, aspek pembinaan semangat kerasulan (misioner), aspek pembinaan sikap dialog antar umat beragama.

(63)

a. Persepsi Siswa Seminari terhadap Aspek Pembinaan Pribadi.

Persepsi siswa seminari terhadap aspek pembinaan pribadi adalah pandangan atau tanggapan para siswa seminari terhadap aturan-aturan hidup harian dan kegiatan-kegiatan pembinaan dalam aspek-aspek pembinaan diri yang diselenggarakan di seminari. Aturan-aturan hidup dan kegiatan-kegiatan pembinaan aspek pembinaan pribadi merupakan stimulus bagi siswa yang menimbulkan tanggapan tertentu dari siswa. Tanggapan siswa tersebut dipengaruhi oleh nilai- nilai yang dianutnya, kebutuhan-kebutuhannya dan berbagai pengalaman masa lalunya. Tanggapan tersebut menghasilkan reaksi kognitif seperti terbentuknya pengetahuan perseptual, dan reaksi afektif yang mendorong siswa untuk bertindak tertentu seperti mengikuti aturan-aturan harian serta berbagai kegiatan pembinaan dalam aspek pembinaan pribadi (diri).

b. Persepsi Siswa Seminari terhadap Aspek Hidup Kristiani

(64)

yang mendorong siswa untuk bertindak tertentu seperti mengikuti aturan-aturan harian serta berbagai kegiatan pembinaan dalam aspek pembinaan hidup kristiani.

c. Persepsi Siswa Seminari terhadap Aspek Menanggapi Panggilan

Persepsi siswa seminari terhadap aspek pembinaan menanggapi panggilan adalah pandangan atau tanggapan para siswa seminari terhadap aturan-aturan hidup harian dan kegiatan-kegiatan pembinaan dalam aspek-aspek pembinaan menanggapi panggilan yang diselenggarakan di seminari. Aturan-aturan hidup dan kegiatan-kegiatan pembinaan aspek pembinaan menanggapi panggilan merupakan stimulus bagi siswa yang menimbulkan tanggapan tertentu dari siswa. Tanggapan siswa tersebut dipengaruhi oleh nilai- nilai yang dianutnya, kebutuhan-kebutuhannya dan berbagai pengalaman masa lalunya. Tanggapan tersebut menghasilkan reaksi kognitif seperti terbentuknya pengetahuan perseptual, dan reaksi afaktif yang mendorong siswa untuk bertindak tertentu seperti mengikuti aturan-aturan harian serta berbagai kegiatan pembinaan dalam aspek menanggapi panggilan.

d. Persepsi Siswa Seminari terhadap Aspek Intelektual

(65)

Tanggapan siswa tersebut dipengaruhi oleh nilai- nilai yang dianutnya, kebutuhan-kebutuhannya dan berbagai pengalaman masa lalunya. Tanggapan tersebut menghasilkan reaksi kognitif seperti terbentuknya pengetahuan perseptual, dan reaksi afaktif yang mendorong siswa untuk bertindak tertentu seperti mengikuti aturan-aturan harian serta berbagai kegiatan pembinaan dalam aspek pembinaan intelektual.

e. Persepsi Siswa Seminari terhadap Aspek Semangat Misioner (Kerasulan) Persepsi siswa seminari terhadap aspek pembinaan misioner adalah pandangan atau tanggapan para siswa seminari terhadap aturan-aturan hidup harian dan kegiatan-kegiatan pembinaan dalam aspek-aspek pembinaan semangat misioner (kerasulan) yang diselenggarakan di seminari. Aturan-aturan hidup dan kegiatan-kegiatan pembinaan aspek pembinaan misioner merupakan stimulus bagi siswa yang menimbulkan tanggapan tertentu dari siswa. Tanggapan siswa tersebut dipengaruhi oleh nilai- nilai yang dianutnya, kebutuhan-kebutuhannya dan berbagai pengalaman masa lalunya. Tanggapan tersebut menghasilkan reaksi kognitif seperti terbentuknya pengetahuan perseptual, dan reaksi afaktif yang mendorong siswa untuk bertindak tertentu seperti mengikuti aturan-aturan harian serta berbagai kegiatan pembinaan dalam aspek pembinaan misioner (kerasulan).

(66)
(67)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapat gambaran tentang persepsi para siswa SMA Seminari Menengah Sinar Buana tahun ajaran 2007/2008 terhadap aspek-aspek pembinaan calon imam. Karena itu jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif dirancang untuk memperoleh informasi tentang status gejala pada saat penelitian dilakukan. Tujuan penelitian deskriptif adalah meluk iskan variabel atau kondisi apa adanya dalam suatu situasi (Ary, dkk, 2004: 447).

Penelitian ini menggunakan metode survei. Tujuan survei adalah mengumpulkan informasi tentang variabel (Ary, dkk, 2004: 450). Variabel adalah atribut suatu obyek yang mempunyai variasi antara satu dengan yang lain (Sugiyono, 2008: 60). Variabel dalam penelitian ini adala

Gambar

Tabel 1: Siswa kelas I dan II SMA Seminari Menengah Sinar Buana Tahun Ajaran 2007/2008 sebagai populasi penelitian
Tabel 3: Klasifikasi koefisien korelasi Gareth.
Tabel 6: Gambaran Umum Persepsi Para Siswa Secara Keseluruhan ( Kelas I dan II) SMA Seminari Terhadap Tiap-Tiap Aspek Pembinaan Calon Imam di Seminari Menengah Sinar Buana Tahun Ajaran 2007/2008
Tabel 7: Gambaran Umum Persepsi Para Siswa Tiap Kelas (Kelas I dan II) SMA Seminari Terhadap Masing-Masing Aspek Pembinaan Calon Imam di Seminari Menengah Sinar Buana Tahun Ajaran 2007/2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

belajaran, dan kegiatan penilaian.. 34 Studi dokumentasi dengan cara mengumpulkan hasil ujian nasional/sekolah, prestasi akademik dan non akademik, RPP, lembar

judul:“FUNGSI SIDIK JARI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA DI KEPOLISIANRESORT SIDOARJO” dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

untuk mentransfer pengelolaan penggunaan lahan dengan bekerja sama dengan masyarakat setempat untuk memetakan tutupan lahan dalam wilayah dan pemanfaatan sumber daya alam

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul “ Karakteristik Tablet

Buku Bunga Ratnpai Maluku Kie Raha: Kumpulan Puisi dan Pantun karya Husnyiah Albaar diharapkan menjadi bahanpembelajaran di sekolah.. Kami mengapresiasi bu ku kecil ini sebagai

3) Contoh-contoh perilaku asertif dari peserta yang telah menjadi model peran ini dapat diberikan dalam bentuk demonstrasi-demonstrasi oleh fasilitator dengan

Menurut Sugiyono bahwa penelitian kualitatif mempunyai beberapa karakteristik diantaranya yaitu dilakukan pada kondisi yang alamiah, langsung ke sumber data dan

Hal tersebut membuat peneliti melakukan penelitian dengan tujuan mendapatkan gambaran dan dampak dari psychological capital pada wirausaha yang memiliki pekerjaan tetap. Peneliti