• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

3.2 Definisi Operasional

4. Tabel 4.1 Hasil Uji Validitas Variabel Komunikasi efektif 98

5. Tabel 4.2 Hasil Valid dan Jumlah validasi komunikasi efektif 100 6. Tabel 4.3 Hasil Uji Validitas Variabel Pengetahuan patient safety 100 7. Tabel 4.4 Hasil Valid dan Jumlah Validasi Pengetahuan Patient safety 102

8. Tabel 4.5 Hasil Uji Validitas Variabel Motivasi Kerja 103

9. Tabel 4.6 Hasil Valid dan Validasi Motivasi Kerja 104

10. Tabel 4.7 Hasil Uji Validitas Vaariabel Pelaksanaan Patient safety 105 11. Tabel 4.8 Hasil valid dan Validasi Pelaksanaan Patient safety 107

12. Tabel 4.8 Hasil Uji Reabilitas 108

13. Tabel 4.9 Teknik Pengumpulan data skala likert 109

14. Tabel 4.10 Teknik Pengumpulan data skala guttman 110

15. Tabel 5.1 Distribusi Umur Responden 119

16. Tabel 5.2 Distribusi Tingkat pendidikan Responden 120

17. Tabel 5.3 Distribusi Golongan Kerja Responden 122

18. Tabel 5.4 Distribusi Komunikasi efektif 124

19. Tabel 5.5 Distribusi Pengetahuan 125

20. Tabel 5.6 Distribusi Motivasi 127

xii

25. Tabel 5.11 Hasil Uji F 136

26. Tabel 5.12 Hasil Uji t 138

27. Tabel 5.13 Coefisien uji statik 138

28. Tabel 5.14 Uji t dua sisi / Paired sample t test 139

29. Tabel 5.15 Hasil Uji Regresi Berganda 140

30. Tabel 5.16 Rangkuman Hasil Sumbangan Efektif 141

xiii

Lampiran 2 Uji Coba Instrumen Lampiran 3 Data mentah Responden Lampiran 4 Data olah excel untuk validitas Lampiran 5 Data Hasil Deskriptif

Lampiran 6 Data Frequencies Lampiran 7 Data Reliability

Lampiran 8 Data Analisis Linear Berganda

Lampiran 9 Data tes homogenity / tes Normalitas kosmogolov-Smirnov Lampiran 10 t Test Berpasangan 2 sisi/ Paired Sampel test

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Ada lima isu penting yang terkait dengan keselamatan (safety) di rumah sakit yaitu: keselamatan pasien (patient safety), keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas, keselamatan lingkungan (green productivity) yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan keselamatan ”bisnis” rumah sakit yang terkait dengan kelangsungan hidup rumah sakit. Kelima aspek keselamatan tersebut sangatlah penting untuk dilaksanakan di setiap rumah sakit. Namun harus diakui kegiatan institusi rumah sakit dapat berjalan apabila ada pasien. Karena itu keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan dan hal tersebut terkait dengan isu mutu dan citra perumahsakitan.

Pelayanan kesehatan pada dasarnya adalah untuk menyelamatkan pasien. Namun diakui, dengan semakin berkembangnya ilmu dan teknologi pelayanan kesehatan khususnya di rumah sakit menjadi semakin kompleks dan berpotensi terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) atau Adverse Event apabila tidak dilakukan dengan hati-hati. Hal ini beralasan, karena di rumah sakit terdapat ratusan macam obat, ratusan tes dan prosedur, banyak alat dengan teknologinya, bermacam jenis tenaga profesi dan non profesi yang siap memberikan pelayanan pasien 24 jam

terus menerus. Keberagaman dan kerutinan pelayanan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik, maka berpotensi besar untuk terjadinya KTD.

Pada tahun 2000 Institute of Medicine di Amerika Serikat menerbitkan laporan yang mengagetkan banyak pihak: “TO ERR IS HUMAN”, Building a Safer Health System. Laporan itu mengemukakan penelitian di rumah sakit di Utah dan Colorado

serta New York. Di Utah dan Colorado ditemukan KTD sebesar 2,9%, dimana 6,6% diantaranya meninggal. Sedangkan di New York KTD adalah sebesar 3,7% dengan angka kematian 13,6%. Angka kematian akibat KTD pada pasien rawat inap di seluruh Amerika yang berjumlah 33,6 juta per tahun, berkisar 44.000 – 98.000 per tahun. Publikasi WHO pada tahun 2004, mengumpulkan angka-angka penelitian rumah sakit di berbagai Negara yakni Amerika, Inggris, Denmark, dan Australia, ditemukan KTD dengan rentang 3,2 – 16,6%. Dengan data-data tersebut, berbagai negara bergegas dan segera melakukan penelitian dan mengembangkan Sistem Keselamatan Pasien.

Di Indonesia data tentang KTD apalagi Kejadian Nyaris Cedera (Near miss) masih langka, namun dilain pihak terjadi peningkatan tuduhan “mal praktek”, yang belum tentu sesuai dengan pembuktian akhir. Dalam rangka menyikapi hal tersebut, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia telah mengambil inisiatif membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS).Komite tersebut telah aktif melaksanakan langkah langkah penerapan keselamatan pasien rumah sakit dengan mengembangkan Program Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Depkes RI, 2006).

Kejadian Tidak Diduga (KTD) atau disebut pula Kejadian Tidak Diharapkan adalah suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien

karena suatu tindakan (commision) atau karena tidak bertindak (ommision), dan bukan karena ”underlying disease” atau kondisi pasien (KKP-RS).

Masalah KTD bisa terjadi dikarenakan oleh beberapa hal, salah satunya adalah masalah komunikasi. Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ

Publication No.04-RG005, Desember 2003), dalam publikasinya menegaskan bahwa penyebab medical errors yang paling umum adalah kegagalan komunikasi. Kegagalan tersebut terkait komunikasi verbal/tertulis, miskomunikasi antar staf, antar shif, informasi tidak didokumentasikan dengan baik/hilang. Selain itu, disebabkan oleh masalah-masalah komunikasi yang lain misalnya: tim layanan kesehatan di satu lokasi, antar berbagai lokasi, antar tim layanan dengan pekerja non klinis, dan antar staf dengan pasien. Hal ini diantaranya disebabkan oleh arus informasi yang tidak adekuat, ketersediaan informasi yang kritis saat akan merumuskan keputusan penting, komunikasi yang kurang tepat waktu dan tidak dapat diandalkan terutama saat pemberian hasil pemeriksaan yang kritis, koordinasi instruksi obat yang lemah saat transfer antara unit, informasi penting tidak disertakan saat pasien ditransfer ke unit lain/dirujuk ke RS lain.

Proses interaksi dalam asuhan keperawatan terjadi melalui komunikasi dalam bentuk komunikasi verbal dan non verbal, tertulis dan tidak tertulis, terencana maupun tidak terencana. Agar perawat efektif dalam berinteraksi, mereka harus memiliki ketrampilan komunikasi yang baik. Mereka harus menyadari kata-kata dan bahasa tubuh yang mereka sampaikan kepada pasien dan rekan kerja perawat atau petugas medis.

lainnya dalam peningkatan kinerja pegawai salah satunya ditentukan oleh suasana dalam organisasi yang diciptakan oleh tata hubungan atau komunikasi (interpersonal relationships) yang berlaku dilingkungan organisasi tersebut (Gibson, Ivancevich, dan

Donelly, 1997).

Perawat sebagai salah satu komponen utama pemberi layanan kesehatan kepada masyarakat memiliki peran penting karena terkait langsung dengan pemberi asuhan keperawatan kepada pasien sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Perawat sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan yang ada dilapangan sangat menentukan dalam upaya pencegahan dan memutus rantai transmisi infeksi dalam rangka memenuhi kebutuhan patients safety.

Dalam perkembangannya hingga kini, masih ditemui banyak kasus dimana tenaga kesehatan yang bekerja tanpa menghiraukan patients safety, bekerja sekedar untuk mencari nafkah guna menghidupi keluarganya sehingga mengabaikan

aturan-aturan yang ada. Masih ditemui kasus dimana para petugas

kesehatan/perawat yang bekerja dengan tidak melaksanakan prosedur (protap) yang ada sehingga membahayakan keselamatan pasien. Hal yang kerap dijumpai misalnya mengawali tindakan tanpa cuci tangan terlebih dahulu, masuk kerja tidak tepat waktu dan bekerja sebagai formalitas tanpa adarasa bersalah kepada masyarakat. Hal tersebut dapat terlihat pada fakta yang didapat dilapangan yaitu masih banyaknya keluhan pasien yang ditujukan pada perawat tentang pelayanan yang tidak memuaskan baik secara langsung, lewat kotak saran, maupun lewat pesan elektronik.

Dengan demikian, untuk dapat melakukan pelayanan kesehataan yang baik, sangat dibutuhkan petugas kasehatan yang memiliki kinerja yang baik. Untuk dapat

melakukan kinerja dengan baik, maka dibutuhkan komunikasi yang baik dan efektif serta motivasi kerja yang baik pula. Karena apabila motivasi kerja seseorang tinggi, maka akan mencurahkan potensinya dalam melakukan pekerjaan dengan baik dan selalu berupaya untuk meningkatkan kinerjanya.Motivasi kerja perawat merupakan daya dorong bagi seseorang untuk memberikan kontribusi yang sebesar mungkin demi keberhasilan organisasi mencapai tujuannya. Demikian pula, apabila dalam diri karyawan memiliki motivasi kerja perawat yang tinggi untuk berprestasi, maka tujuan dan sasaran organisasi dapat tercapai. Dengan kata lain, organisasi hanya akan berhasil mencapai tujuan dan berbagai sasarannyasecara optimal, apabila semua komponen organisasi berupaya menampilkan kinerja atau memiliki motivasi kerja yang tinggi.

Tenaga kesehatan secara umum merupakan satu kesatuan tenagayang terdiri dari tenaga medis, tenaga perawatan, tenaga paramedis nonperawatan dan tenaga non medis. Dari semua kategori tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit, tenaga perawatan merupakan tenaga terbanyak dan mereka mempunyai waktu kontak dengan pasien lebih lama dibandingkan tenaga kesehatan yang lain, sehingga mereka mempunyai peranan penting dalam menentukan baik buruknya mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit.Namun demikian, harus diakui bahwa peran perawat dalam memberikan pelayanan yang bermutu masih membutuhkan perhatian dari pihak manajemen.

Sejalan dengan beberapa uraian diatas, Rumah Sakit X Jakarta telah berupaya untuk selalau menjaga dan mengembangkan mutu layanan dengan melaksanakan Program Patients Safety. Rs X menyadari bahwa untuk mencapai hal tersebut

diperlukan pengembangan citra baru profesi tenaga kesehatan yang handal yang memiliki pola komunikasi yang baik, selalu berupaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terkait bidang tugasnya dan memiliki motivasi yang tinggi, penuh disiplin dan berkomitmen dalam memberikan pelayanan kesehatan yang selalu mengutamakan patients safety secara terpadu untuk mencapai pelayanan kesehatan yang optimal

kepada masyarakat yang dilayaninya.

Namun demikian, dibalik upaya tersebut, ternyata masih terdapat sejumlah masalah atau tantangan terkait indikator mutu layanan terutama dalam hal praktik melaksanakan patiens safety di rumah sakit ini.

Hal ini dapat dilihat dari Data Kinerja (operasional) Rumah Sakit X Jakarta tahun 2011 – 2013 yang menunjukkan rendahnya capaian pada beberapa indikator kinerja operasional, diantaranya adalah: BOR (Bed Occupancy Ratio/Angka Pemanfaatan tempat tidur) yang menunjukkan angka 56,2% di tahun 2011, menurun menjadi 54,3% ditahun 2012 dan kembali membaik menjadi 56,1% di tahun 2013. Angka tiga tahun terakhir ini ternyata masih relatif kurang jika dibandingkan dengan Parameter Depkes RI, 2005 yang mensyaratkan BOR ideal yakni 60-85%.

Begitu pula dengan LOS (Length Of Stay/Lama Hari Menginap) yang menunjukkan angka 14,7 hari di tahun 2011, 14,6 hari di tahun 2012 dan semakin menurun menjadi 15,1 hari di tahun 2013. Angka ini masih di bawah standar Depkes 2005, yang menetapkan LOS yang baik adalah 5-13 hari.

Penurunan terjadi pada angka BTO (Bed Turn Over/angka perputaran tempat tidur). Meskipun masih dalam rentang normal sesuai Parameter Depkes RI, 2005 yakni 40-50 kali, namun data RS X menunjukkan terjadinya penurunan dalam kurun

waktu tiga tahun terkahir ini yakni dari angka 51 di tahun 2011, menurun menjadi 46 di tahun 2012 dan semakin menurun menjadi 47 di tahun 2013.

Penurunan tampak pula terjadi pada persentase Pasien Rawat Inap. Pada tahun 2011 mencapai 50,1%, menurun menjadi 45,9% di tahun 2012 dan semakin menurun menjadi 43,7% di tahun 2013. Indikator angka kematian pasien yang keluar mati kurang dari 48 Jam (NDR/Net Death Rate), telah mendekati angka ideal Depkes, yakni kurang dari 25%. Namun angka ini relatif menurun di tahun terakhir ini. Pada tahun 2011 telah meraih angka 19%, telah membaik menjadi 10% di tahun 2012, namun kembali menurun menjadi 13% di tahun 2013.

Tingginya angka kematian pasien dikarenakan oleh banyak faktor misalnya kebanyakan yang meninggal adalah pasien rujukan dari rumah sakit lain di wilayah sekitar Jakarta atau daerah lain yang kegawatannya sudah mengancam nyawa. Namun demikian tingginya angka kematian pasien di Unit Rawat Inap perlu mendapat perhatian dalam kaitannya pelayanan asuhan keperawatan yang merujuk pada konsep patients safety.

Unit Rawat Inap dalam melayani pasien melibatkan banyak SDM (medis, keperawatan, non keperawatan, teknisi, analis, dan tenaga administrasi) juga menggunakan banyak peralatan dan obat-obatan. Hal ini dapat memicu tingginya kemungkinan terjadi error dalam pelaksanaannya. Berdasarkan survey dan

wawancara awal yang dilakukan peneliti, ternyata di RS X masih dijumpai sejumlah kasus terkait sikap perawat yang kurang mendukung penerapan program patients safety, misalnya kasus kesalahan pemberian obat dan pasien jatuh.

perlu untuk melakukan penelitian tentang Pengaruh Komunikasi, Pengetahuan Patients Safety dan Motivasi Perawat terhadap Pelaksanaan program Patients

Safety di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit X Jakarta dalam upaya meningkatkan

mutu pelayanan kesehatan.

1.2. Identifikasi Masalah

Mengingat begitu luasnya makna tentang patients safety terhadap pelayanan yang diterimanya sehingga banyak sekali faktor-faktor yang akan berpengaruh terhadap patients safety itu sendiri. Di antara faktor-faktor tersebut kemudian dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut:

1. Perawat kurang memiliki kemampuan komunikasi yang baik dalam penerapan

program patients safety di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit X Jakarta dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

2. Terdapat perawat yang berkerja kurang menghiraukan patients safety di Ruang

Rawat Inap Rumah Sakit X Jakarta.

3. Perawat kurang memiliki pengetahuan yang cukup tentang patients safety di

Ruang Rawat Inap Rumah Sakit X Jakarta

4. Perawat kurang memiliki pengetahuan yang memadai tentang patients safety di

Ruang Rawat Inap Rumah Sakit X Jakarta

5. Motivasi kerja perawat kurang mendukung pelaksanaan program patients safety

1.3. Rumusan Masalah

Rumah Sakit X Jakarta merupakan salah satu Rumah Sakit terkemuka di Jakarta. Dengan lokasi yang strategis, seharusnya rumah sakit ini menjadi pilihan masyarakat dalam mendapatkan layanan kesehatan. Namun kenyataannya, masih terdapat sejumlah masalah yang dihadapi Rumah Sakit X Jakarta. Dari sejumlah masalah yang ada, terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi terkait pelaksanaan program patients safety, diantaranya adalah masih dijumpai sejumlah temuan terkait kurangnya kemampuan komunikasi perawat dalam penerapan program patients safety dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Di lain sisi, masih dijumpai pula adanya perawat yang berkerja tanpa menghiraukan patients safety. Hal ini bisa terjadi diantaranya karena kurangnya pengetahuan perawat tentang patients safety, namun juga bisa terjadi oleh karena rendahnya motivasi perawat untuk mendukung pelaksanaan program patients safety di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit X Jakarta.

1.4. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan yang dapat diajukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah komunikasi efektif perawat berpengaruh terhadap pelaksanaan program

patients safety di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit X Jakarta?

2. Apakah pengetahuan perawat tentang patients safety berpengaruh terhadap

pelaksanaan program patients safety di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit X Jakarta?

3. Apakah motivasi kerja perawat berpengaruh terhadap pelaksanaan

program patients safety di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit X Jakarta?

4. Apakah komunikasi efektif, pengetahuan patients safety dan motivasi kerja

perawat secara bersama-sama berpengaruh terhadap pelaksanaan program patients safety di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit X Jakarta?

1.5. Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi dan terfokus pada:

1. Peranan sumber daya manusia, dalam hal ini adalah perawat Ruang Rawat

Inap .

2. Penelitian dilakukan terbatas pada perawat di Ruang Rawat Inap Rumah

Sakit X Jakarta.

3. Penelitian dilakukan mengacu hanya pada empat variabel yang ada yaitu

tentang: komunikasi efektif terkait patients safety, pengetahuan tentang patients safety, motivasi kerja perawat dalam praktik melaksanakan

program patients safety, pelaksanaan program patients safety.

1.6. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengkaji pengaruh komunikasi efektif terhadap pelaksanaan program patients safety di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit X Jakarta.

2. Mengkaji pengaruh pengetahuan perawat tentang patients safety terhadap pelaksanaan program patients safety di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit X Jakarta.

3. Mengkaji pengaruh motivasi kerja perawat terhadap pelaksanaan program patients safety di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit X Jakarta.

4. Mengkaji pengaruh yang paling dominan di antara komunikasi efektif, pengetahuan patients safety dan motivasi kerja perawat terhadap

pelaksanaan program patients safety di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit X Jakarta.

1.7. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat di petik dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.7.1 Manfaat Praktis

1. Sebagai sumbangan informasi bagi Rumah Sakit X Jakarta yang bermanfaat untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dalam memberikan keselamatan kepada pasien (patients safety).

2. Memberikan gambaran yang lebih konkrit dan dapat di jadikan sumber pijakan atau input alternatif dalam memecahkan masalah dan mengelola mutu pelayanan kesehatan melalui pelaksanaan program patients safety. 3. Sebagai bahan masukan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan

bagi para petugas kesehatan khususnya para perawat sebagai ujung tombak pemberi layanan kesehatan di rumah sakit.

4. Sebagai tolok ukur tentang keberhasilan program patiens safetyyang sedang dilaksanakan di Rumah Sakit Rumah Sakit X Jakarta, serta dijadikan bahan pemantauan dan evaluasi selanjutnya.

1.7.2. Manfaat Teoritis

1. Mengembangkan konsep dan kajian yang lebih mendalam tentang manajemen peningkatan mutu perilaku perawat tenaga kesehatan melalui komunikasi, pengetahuan patients safety dan motivasi perawat, sehingga diharapkan dapat menjadi dasar dan pendorong dilakukannya penelitian yang sejenis tentang masalah tersebut dimasa mendatang. 2. Penelitian ini bermanfaat, terutama bagi penulis, dalam menerapkan teori,

membandingkan teori dan pengalaman praktis di lapangan serta mendapatkan gambaran tentang perilaku organisasi pelayanan kesehatan. .

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Patient Safety 2.1.1. Pengertian Patients Safety

Patient safety adalah pasien bebas dari cedera yang tidak seharusnya

terjadi atau bebas dari cedera yang potensial akan terjadi (penyakit, cedera fisik/sosial psikologis, cacat, kematian ) terkait dengan pelayanan kesehatan (KKP-RS, 2008). Patient Safety (keselamatan pasien) rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah

sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk: assesment resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang di sebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (DepKes, 2006).

2.1.2. Kebijakan DepKes tentang keselamatan pasien

Kebijakan Depkes RI tentang keselamatan pasien rumah sakit antara lain: a. Terciptanya budaya keselamatan pasien dirumah sakit.

c. Menurunnya Kejadian Tak Diharapkan (KTD).

d. Terlaksananya program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD.

2.1.3. Kebijakan Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) tentang Patiens Safety Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS), telah mengeluarkan kebijakan Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012, yang memuat tentang Instrumen Akreditasi

Rumah Sakit. Dalam Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 ini, patients safety

ditempatkan sebagai salah satu komponen penting dalam Intrumen akreditasi Rumah Sakit di Indonesia. Standar ini disusun dengan mengacu pada standar JCI (Joint Commission International) yakni International Patient Safety Goals atau Sasaran

Internasional Keselamatan Pasien (SIKP) yangberisikan Enam Sasaran Keselamatan Pasien. Enam Sasaran Keselamatan Pasien (KARS, 2012:336) tersebut adalah sebagai berikut:

Sasaran I : Ketepatan identifikasi pasien

Sasaran II : Peningkatan komunikasi yang efektif

Sasaran III : Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high-alert medications)

Sasaran lV : Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi Sasaran V : Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan

Instrumen Akreditasi Rumah Sakit, Standar Akreditasi Versi 2012,

Edisi – 1, Tahun 2012

Uraian Keenam Sasaran Keselamatan Pasien adalah sebagai berikut: Sasaran I: Ketepatan identifikasi pasien

Standar SKP.I.

Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk memperbaiki/ meningkatkan ketelitian identifikasi pasien.

Maksud dan Tujuan SKP.I.

Kesalahan karena keliru-pasien sebenarnya terjadi di semua aspek diagnosis dan pengobatan. Keadaan yang dapat mengarahkan terjadinya error/kesalahan dalam mengidentifikasi pasien, adalah pasien yang dalam

keadaan terbius / tersedasi, mengalami disorientasi, atau tidak sadar sepenuhnya; mungkin bertukar tempat tidur, kamar, lokasi di dalam rumah sakit; mungkin mengalami disabilitas sensori; atau akibat situasi lain.

Maksud ganda dari sasaran ini adalah : pertama, untuk dengan cara yang dapat dipercaya/reliable mengidentifikasi pasien sebagai individu yang dimaksudkan untuk mendapatkan pelayanan atau pengobatan; dan kedua, untuk mencocokkan pelayanan atau pengobatan terhadap individu

tersebut. Kebijakan dan/atau prosedur yang secara kolaboratif dikembangkan untuk memperbaiki proses identifikasi, khususnya proses yang digunakan untuk mengidentifikasi pasien ketika pemberian obat, darah atau produk darah; pengambilan darah dan spesimen lain untuk

pemeriksaan klinis; atau memberikan pengobatan atau tindakan lain.

Kebijakan dan/atau prosedur memerlukan sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, dengan dua nama pasien, nomor identifikasi menggunakan nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang (identitas pasien) dengan bar-code, atau cara lain. Nomor kamar atau lokasi pasien tidak bisa digunakan untuk identifikasi.

Kebijakan dan/atau prosedur juga menjelaskan penggunaan dua pengidentifikasi/penanda yang berbeda pada lokasi yang berbeda di rumah sakit, seperti di pelayanan ambulatori atau pelayanan rawat jalan yang lain, unit gawat darurat, atau kamar operasi. Identifikasi terhadap pasien koma yang tanpa identitas, juga termasuk. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur untuk memastikan telah mengatur semua situasi yang memungkinkan untuk diidentifikasi. Elemen Penilaian Sasaran I:

1. Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien.

2. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah.

3. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk. pemeriksaan klinis.

4. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan

5. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten pada semua situasi dan lokasi.

Sasaran II: Peningkatan komunikasi yang efektif Standar SKP.II.

Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan efektivitas komunikasi antar para pemberi layanan.

Maksud dan Tujuan SKP.II.

Dokumen terkait