• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. METODE PENELITIAN

3.11. Definisi Operasional

Proteinuria adalah apabila dijumpai protein dalam urin.2-5

Metode semikuantitatif yaitu dengan menggunakan asam sulfosalisilat 20% dimana pada metode ini urin diambil sebanyak 3 ml kemudian dicampur dengan asam sulfosalisilat 20% sebanyak 8 tetes dan ditunggu selama 5 menit kemudian dinilai berdasarkan kekeruhan dengan latar belakang hitam.22

Metode kuantitatif yaitu pemeriksaan spektrofotometer dimana pada metode ini urin ditampung dalam jerigen selama 24 jam kemudian urin diperiksakan dengan alat spektrofotometer.23

BAB IV. HASIL

Hasil Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah 55 orang anak yang disangkakan menderita penyakit ginjal pada waktu pertama kali datang ke rumah sakit. Semua sampel dilakukan penampungan urin 24 jam yang kemudian diperiksakan dengan menggunakan spektrofotometer dan asam sulfosalisilat 20%.

Gambar 4.1. Profil Penelitian

Pada penelitian ini didapati anak laki laki lebih banyak dibandingkan anak perempuan dimana anak laki laki terdiri dari 32 orang (58.2%) dan anak perempuan 23 orang (41.8%). Berdasarkan umur yang paling banyak adalah 3 sampai 7 tahun sebanyak 29 orang (52.7%), 8 sampai 12 tahun sebanyak

55 orang anak

Penampungan urin 24 jam

Pemeriksaan proteinuria menggunakan asam sulfosalisilat 20%

22 orang ( 40.0%) dan > 12 tahun sebanyak 4 orang (7.3%)Tingkat pendidikan yang terbanyak adalah Sekolah Dasar yaitu 32 orang (58.2%), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama 12 orang (21.8%), sedangkan yang belum sekolah terdiri dari 11 orang (20%). (table 4.1)

Tabel 4.1. Karakteristik Sampel

Karakteristik N % Jenis Kelamin Laki-laki 32 58.2 Perempuan 23 41.8 Umur 3-7 Tahun 29 52.7 8-12 Tahun 22 40.0 >12 Tahun 4 7.3 Tingkat Pendidikan Belum sekolah 11 20.0 SD 32 58.2 SLTP 12 21.8

Terlihat dari 55 orang anak diagnosa yang terbanyak dijumpai proteinuria adalah sindrom nefrotik sebanyak 37 orang (67.3%) sedangkan yang diperiksakan dengan spektrofotometer dengan hasil positif sebanyak 42 orang (76.4%) dan hasil yang negatif sebanyak 13 orang (23.6%). Hasil

positif dengan pemeriksaan asam sulfosalisilat 20% sebanyak 41 orang (74.5%) dan hasil negatif sebanyak 14 orang (25.5%). (Tabel 4.2)

Tabel 4.2. Gambaran hasil pemeriksaan proteinuria dengan menggunakan spektrofotometer dan asam sulfosalisilat 20%

Spektrofotometer Asam sulfosalisilat 20

% Total

Positif Negatif Positif Negatif Diagnosis n % n % N % n % N % Sindrom Nefrotik 37 67.3 27 49.1 10 18.2 27 49.1 10 18.2 Hidronefrosis 2 3.6 1 1.8 1 1.8 1 1.8 1 1.8 CHF 9 16.4 8 14.5 1 1.8 7 12.7 2 3.6 SLE 2 3.6 2 3.6 0 0 2 3.6 0 0 Meningitis 3 5.5 3 5.5 0 0 3 5.5 0 0 Glomerulonefritis 2 3.6 1 1.8 1 1.8 1 1.8 1 1.8 Jumlah 55 100 42 76.4 13 23.6 41 74.5 14 25.5

Tabel 4.3. Nilai konversi.3 Spektrofotometer Asam sulfosalisilat 20% < 0.050 g/dl - 0.020 g/dl Trace 0.050 g/dl + 0.20 g/dl ++ 0.5 g/dl +++ 1.0 g/dl ++++

Tabel 4.4. Perbedaan proteinuria pada 5 diagnosis penyakit tersering yang dijumpai pada penelitian ini

Proteinuria ringan Trace - +1 Proteinuria berat +2 - +4 Sindroma nefrotik CHF SLE Meningitis Glomerulonefritis - 9 - 3 - 37 - 2 - 2

Pada penelitian ini setelah diuji statistik didapatkan nilai sensitivitas 88.1%, spesifisitas 69.2%, nilai prediksi positif 90.2% dan nilai prediksi negatif 64.3% dimana nilai P 0.0001. (Tabel 4.5)

Tabel 4.5. Hasil uji diagnostik dan hubungan pemeriksaan asam sulfosalisilat 20% dan spektrofotometer

Kadar proteinuria dengan spektrofotometer

Positif Negatif Jumlah Kadar proteinuria dengan asam sulfosalisilat 20 % n % N % N % Positif 37 67.3 4 7.3 41 74.5 Negatif 5 9.1 9 16.4 14 25.5 Jumlah 42 76.4 13 23.6 55 100 Sensitivitas : a/(a+c) = 37/42 =88.1% Spesifisitas : d/(b+d) = 4/9 = 69.2%

Nilai prediktif positif : a/(a+b) = 37/41 = 90.2%

BAB V. PEMBAHASAN

Pemeriksaan proteinuria yang akurat dan cepat sangat diperlukan untuk diagnosis penyakit ginjal ataupun penyakit lainnya dan juga

mengetahui prognosis dari berbagai kelainan ginjal. Pada orang dewasa

eksresi protein < 150 mg/24 jam dianggap normal sedangkan pada anak

proteinuria fisiologis bervariasi sesuai dengan umur dan ukuran tubuh.15

Pada anak eksresi protein dalam urin dikatakan abnormal jika lebih dari 4

mg/m2 perjam. Eksresi proteinuria lebih dari 40 mg/m2 per jam dikatakan

nefrotik proteinuria.19 Pada bayi baru lahir, eksresi protein didalam urin relatif tinggi yang merupakan protein tubular dimana mencerminkan ketidakmatangan fungsi ginjal yang asimptomatik.24

Prevalensi proteinuria asimptomatik pada anak diperkirakan antara

0.6% sampai 6.3%.17,26-29 Suatu penelitian di Iran dijumpai prevalensi

proteinuria asimptomatik pada 56 orang anak adalah 3.6%, anak laki-laki dan

perempuan masing-masing berjumlah 22 dan 34 orang.30

Proteinuria dapat terjadi secara transien atau persisten dan dapat

menunjukkan kondisi ringan atau serius dari suatu penyakit.15 Proteinuria

yang terus menerus dapat menyebabkan cedera ginjal progresif dan telah ditemukan data bahwa abnormalitas struktur ginjal berhubungan dengan proteinuria.5,17,19 Proteinuria juga dapat menjadi petunjuk untuk mendasari

penyakit ginjal danjuga merupakan faktor penting untuk melihat trauma ginjal dan prognosisnya.19,25

Kebanyakan anak mengalami proteinuria asimptomatik pada evaluasi

inisial dan hanya 10% anak yang masih mempunyai proteinuria persisten

setelah 6-12 bulan pada kedua jenis kelamin. 17 Dodge dkk melakukan tiga

kali berturut-turut pemeriksaan urin pada anak 6 sampai 12 tahun dengan interval waktu 3 sampai 6 minggu ditemukan proteinuria 0.94% pada anak perempuan dan 0.33% pada anak laki laki.26

Protein analisis adalah metode yang paling baik untuk evaluasi proteinuria yang dikumpulkan dalam urin 24 jam. Pengumpulan sampel urin 24 jam pada anak membutuhkan kemampuan kontrol kandung kemih secara penuh, tidak ada enuresis dan membutuhkan kehati-hatian serta kecermatan dalam pengumpulan urin..19

Penelitian kami ini dilakukan pada 55 orang anak. Anak laki-laki lebih banyak menderita proteinuria dibandingkan anak perempuan yaitu masing-masing 32 orang (58.2%) dan 23 orang (41.8%).

Urinalisis rutin selalu dilakukan pada anak SD dan SLTP.25 Penelitian di Iran pada 1520 orang anak sehat berusia 4 sampai 6 tahun ditemukan prevalensi proteinuria 1.57% dan pevalensi proteinuria dan hematuria

0.06%.31 Tahun 2005 insiden proteinuria di Tokyo pada anak SD berusia 6

Suatu skrining proteinuria di Indonesia pada anak SD dengan usia 7-14 tahun didapati proteinuria pada 28 orang anak setelah 3 kali pemeriksaan terdiri dari 10 orang anak laki laki dan 18 orang anak perempuan.33 Suatu skirining urin di China dan di Korea didapati persentasi proteinuria pada anak

sekolah masing-masing 0.58% dan 0.2%34,35 Suatu penelitian di India

dijumpai proteinuria lebih banyak pada anak laki laki (65%) dibandingkan anak perempuan (35%) dan usia terbanyak dijumpai pada usia 6 sampai 12 tahun (39%), usia 3 sampai 5 tahun (32%), usia 0 sampai 3 tahun (26%). Lima puluh orang anak didapati proteinuria diatas 40 mg/24 jam sebanyak 10 orang (20%), 4-40 mg/24 jam sebanyak 5 orang (10%) dan dibawah 4 mg/24 jam sebanyak 35 orang anak.(70%).12

Pada penelitian kami ini, berdasarkan tingkat pendidikan yang terbanyak adalah Sekolah Dasar yaitu 32 orang (58.2%), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama 12 orang (21.8%), sedangkan yang belum sekolah terdiri dari 11 orang (20%). Berdasarkan usia yang terbanyak adalah 3 sampai 7 tahun sebanyak 29 orang (52.7%), 8 sampai 12 tahun sebanyak 22 orang (40.0%) dan diatas usia 12 tahun sebanyak 4 orang (7.3%).

Suatu penelitian di Korea mendapatkan prevalensi proteinuria persisten tanpa hematuri sebesar 21.7% pada anak anak yang dirujuk karena abnormalitas urin.37 Studi di Malaysia, sebanyak 1.9% anak yang diskrining menunjukkan hasil yang positif, tetapi pada pemeriksaan lanjutan hanya

abnormalitas urin persisten, 74 orang diantaranya mengalami hematuria dan proteinuria.39

Pada penelitian kami ini terlihat dari 55 orang anak yang terbanyak dijumpai proteinuria adalah penderita sindrom nefrotik yaitu sebanyak 27 orang (49.1%), dengan cara spektrofotometer maupun asam sulfosalisilat 20%. Penderita penyakit glomerulonefritis akut (3.6%) dan didapati 1 orang yang positif proteinuria dan 1 orang yang negatif proteinuria dan ini dijumpai pada kedua pemeriksaan. Penderita penyakit hidronefrosis dijumpai pada 2 orang anak ( 3.6% ) dan yang positif proteinuria adalah 1 orang (1.8%) dan 1 orang yang negatif (1.8%) dan ini juga dijumpai pada kedua pemeriksaan. Sembilan orang anak yang menderita penyakit jantung (16.4%) dan pemeriksaan dengan spektrofotometer dijumpai 8 orang yang proteinuria positif (14.5 %) dan yang negatif 1 orang (1.8%) sedangkan dengan menggunakan asam sulfosalisilat 20% hanya 7 orang (12.7%) yang positif proteinuria dan yang negatif sebanyak 2 orang (3.6%). Penderita SLE dijumpai 2 orang dimana dijumpai keduanya positif baik dengan menggunakan spektrofotometer maupun asam sulfosalisilat 20%.

Prevalensi proteinuria ringan yaitu 30mg/dL sampai 100mg/dL sebanyak 4.9%, dimana 60,7% diantaranya terbukti sebagai glomerulopati yang signifikan.36 Pada penelitian kami ini dari 55 orang anak dijumpai 41 orang anak dengan proteinuria yang berat dan 12 orang anak dengan

proteinuria ringan. Tiga puluh tujuh dari 41 orang anak dengan proteinuria yang berat terbukti diagnosis akhirnya adalah sindrom nefrotik.

Pada penelitian ini menggunakan spektrofotometer sebagai gold

standart, dimana harga sekali pemeriksaan mencapai Rp.95.000, Pemeriksaan ini merupakan metode paling akurat untuk memantau proteinuria selama pengobatan dan telah dikenal dan digunakan di seluruh

dunia, namun kurang praktis karena membutuhkan urin 24 jam untuk

mendeteksi proteinuria.40 Suatu penelitian di Bangladesh pada 100 orang

anak yang nefrotik proteinuria dimana dilakukan pemeriksaan urin 24 jam

dengan menggunakan spektrofotometer sebagai gold standart didapati 50

orang positif proteinuria.41 Penelitian di China didapati bahwa pemeriksaan urin 24 jam dengan menggunakan spektrofotometer memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan dipstik.42

Suatu penelitian dalam mendeteksi mikroalbuminuria pada spot urine

sampel dengan menggunakan spektrofotometer didapati nilai sensitivitas 87.8%, spesifisitas 89.3%, nilai prediksi positif 29.3% dan nilai prediksi negatif 96.2% sedangkan untuk rasio protein kreatinin didapati nilai sensitivitas 87.8%, spesifisitas 89.3%, nilai prediksi positif 29.3% dan nilai prediksi negatif 96.2%.14

Asam sulfosalisilat sensitif pada konsentrasi protein 20mg/L-100mg/L dan juga memiliki nilai prediktif yang sangat tinggi yaitu 95% sehingga hasil negatif pada tes ini dapat menyingkirkan kasus mikroalbuminuria. Pada

penelitian ini harga asam sulfosalisilat 20% sebanyak 100 ml adalah Rp.100.000, berarti dengan 100 ml asam sulfosalisilat bisa mendeteksi 250 orang pasien (harga sekali pemeriksaan dengan asam sulfosalisilat 20% adalah Rp.400). waktu yang dibutuhkan untuk mendeteksi proteinuria dengan asam sulfosalisilat 20% hanya lebih kurang 8 menit yang artinya jauh lebih praktis dan lebih murah dibandingkan spektrofotometer. Metode asam sulfosalisilat memiliki akurasi dan spesifisitas terhadap beberapa jenis protein dibandingkan dipstiks tetapi terjadinya kekeruhan pada uji ini dapat dihambat oleh deterjen konsentrasi tinggi.43

Suatu penelitian di Jepang mengemukakan tentang penggunaan asam sulfosalisilat untuk skrining proteinuria pada anak sekolah dasar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asam sulfosalisilat dapat dipakai untuk

skrining proteinuria pada anak sekolah dasar.32 Penelitian di Inggris dan

Amerika Serikat lainnya yang menggunakan asam sulfosalisilat sebagai gold

standart yang dibandingkan dengan pemeriksaan dipstiks urin dalam uji diagnostik.44,45

Tes sensitivitas yang ideal untuk proteinuria belum ditentukan. Hal ini melibatkan banyak faktor kompleks yang menentukan evaluasi yang baik. Suatu tes yang sensitif akan menunjukkan banyak spesimen positif dengan klinis minimal yang signifikan, oleh karena itu banyak dokter merasakan bahwa error suatu tes umum terjadi pada sisi sensitivitas.45

Penelitian di Amarika Serikat didapati asam sulfosalisilat lebih baik mendeteksi urin yang lebih pekat dibandingkan dipstiks tetapi asam sulfosalisilat kurang baik memperkirakan konsentrasi protein secara

semikuantitatif.46 Suatu penelitian cross sectional di Amerika Serikat

mengenai skrining mikroalbuminuria dengan menggunakan asam sulfosalisilat 20% pada 221 orang anak dimana di dapati nilai sensitivitas 76.7%, spesifisitas 75.4%, nilai prediksi positif 32.9% dan nilai prediksi negatif

95.4%.22 Penelitian di Amerika Serikat (2010) yang membandingkan empat

metode untuk mendeteksi albumin pada urin anjing dan kucing didapatkan nilai spesifisitas asam sulfosalisilat sebesar 94.2%, nilai prediksi positif 65.2% dan sensitivitas 28.7%.47

Penelitian di Australia mendapatkan metode asam sulfosalisilat secara

konsisten performa yang sangat buruk (Australasian Urine Quality Assurance

Programme). Peneliti tersebut menyatakan metode ini tidak baik digunakan untuk pemeriksaan rutin dan merekomendasikan agar laboratorium yang menggunakan metode ini untuk mencari metode baru pemeriksaan kuantitatif

untuk proteinuria.48 Pada penelitian tahun 1983 yang juga dilakukan di

Australia dimana membandingkan enam metode pemeriksaan proteinuria menyimpulkan bahwa asam sulfosalisilat mudah dilakukan tetapi membutuhkan jumlah urin yang banyak dan memiliki presisi yang buruk oleh karena overestimasi mendeteksi konsentrasi albuminuria bila tidak ada kontrolhanya saja metode ini lebih praktis dan lebih sedikit timbul bias .49

Penelitian kami ini menemukan bahwa pemeriksaan asam sulfosalisilat 20% memiliki nilai sensitivitas 88.1%, spesifisitas 69.2%, nilai prediksi positif 90.2% dan nilai prediksi negatif 64.3% sehingga dapat disimpulkan bahwa asam sulfosalisilat 20% memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah untuk mendeteksi proteinuria namun memiliki keuntungan yaitu lebih praktis dan murah dalam mendeteksi proteinuria dibandingkan spektrofotometer.

Dokumen terkait