• Tidak ada hasil yang ditemukan

Preemptif analgesia-dimulai dengan analgesia sebelum onset dari rangsangan melukai untuk mencegah sensitisasi sentral dan membatasi pengalaman nyeri selanjutnya.4,12,14

Ketorolak adalah suatu AINS yang menunjukkan efek analgesia yang poten tetapi hanya memiliki aktifitas anti inflamasi yang moderat bila diberi secara im atau iv. Obat ini dipakai sebagai analgesia paska pembedahan baik sebagai obat tunggal ( kurang nyeri pada pasien rawat jalan) maupun suplemen dengan opioid. Onsetnya mulai 15 menit. Efek puncak dicapai dalam 2-3 jam. Dosis orang dewasa < 65 tahun 60 mg dosis tunggal im, 30 mg dosis tunggal iv. Pasien > 65 tahun, gangguan ginjal, dan berat badan < 50 kg 30 mg dosis tunggal im, 15 mg dosis tunggal iv.

Parecoxib adalah inhibitor COX-2 spesifik yang hanya tersedia dalam sediaan parenteral. Untuk penanganan nyeri paska pembedahan parecoxib 40 mg 1 jam sebelum pembedahan dan ditambahkan 40 mg setelah pembedahan jika diperlukan. Dosis dapat ditingkatkan sampai 80 mg pada pasien tertentu. Parecoxib merupakan prodrug yang diubah pada tubuh menjadi valdecoxib.5,16 Efek analgetik pertama terlihat setelah 7-13 menit, di klinik terlihat setelah 23-39 menit dan efek puncak dalam 2 jam setelah pemberian 40 mg iv atau im.16

VAS adalah alat yang sudah sering digunakan untuk mengukur nyeri. Caranya dengan menanyakan kepada pasien dan memintanya untuk menunjuk intensitas nyerinya pada sepanjang garis horizontal 100 mm, dan tingkat nyerinya diukur mulai dari sisi kiri. 21 Hasilnya dinilai mulai dari 0 mm (tidak nyeri) sampai 100 mm (nyeri sangat hebat).23 Contoh lembaran penilaian VAS ada pada lampiran proposal ini.

3.10. Masalah etika.

Kedua obat yang diteliti ini memiliki efek samping yang dapat diantisipasi. Dari penelitian yang sudah dilakukan didapatkan efek samping ketorolak berupa ulkus peptikum, bleeding time memanjang, gangguan pada ginjal yang semuanya ditemukan kurang dari 12%. Efek samping parecoxib berupa perubahan tekanan darah, nyeri punggung, edema perifer, dispepsia, insomnia, anemia paska pembedahan, gangguan pernafasan, pruritus dan oliguria. Efek tadi dilaporkan dengan insiden kurang dari 1%.16 Bila efek samping ditemukan pemakaian obat langsung dihentikan dan pasien diterapi sesuai penyakit yang ditimbulkannya.

Sebelum penelitian kepada pasien dilakukan informed consent.

Penelitian ini aman dilaksanakan pada manusia karena kedua obat sudah lama dipakai sebagai analgesia paska pembedahan dan terbukti aman bila tidak ada kontra indikasi pada pasien yang memakainya. Pada penelitian ini dosis obat yang digunakan adalah dosis terapeutik. Selain itu penelitian dengan jenis obat yang sama sudah sering dilakukan pada pusat-pusat pendidikan lain.

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Dari 53 pasien yang bersedia mengikuti penelitian sesuai dengan prosedur penelitian sebanyak 8 pasien dikeluarkan karena operasi berlangsung lama , 1 pasien dikeluarkan karena memerlukan analgetik lain selama dan sesudah pembedahan ditambah masih terintubasi sesudah pembedahan. 2 pasien masing-masing 1 dari kelompok ketorolak dan 1 dari kelompok parecoxib mendapat tambahan analgetik lain selama penilaian paska pembedahan. Jadi tetap dimasukkan sebagai sampel dan pasien dikeluarkan setelah mendapat analgetik tambahan.

Dari 44 pasien yang menjadi sampel hanya 42 pasien yang diikutkan sampai penelitian berakhir yaitu 21 pasien dalam kelompok ketorolak dan 21 pasien dalam kelompok parecoxib.

Dari data deskriptif berupa umur, berat badan, jenis kelamin, PS ASA dari kedua kelompok tidak ditemukan perbedaan yang bermakna (tabel 4.1 4.2 dan 4.3). Sedangkan lamanya operasi menghasilkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok. (tabel 4.1)

Tabel 4.1. Data deskriptif umur, berat badan, dan lamanya operasi pada penelitian perbandingan efek analgesia parecoxib dan ketorolak sebagai preemptif analgesia pada anestesi umum

Ketorolak n=22 Parecoxib n=22 P Umur (tahun) 31,5 (SD 11,4) (18-55) 31,5 (SD 12,9) (17-53) 0,99 Berat badan(kg) 53,9 (SD 8,0) (43-71) 54,0 (SD 7,9) (46-80) 0.99 Lama operasi (menit) 94,1 (SD 36,6) (15-135) 57,4 (SD 38,0) (5-130) 0,003 25

Umur pasien yang menjadi sampel kelompok ketorolak yang paling muda berusia 18 tahun dan yang tertua berusia 55 tahun dengan rerata 31,5 (SD 11,4) sedangkan kelompok parecoxib yang paling muda berusia 17 tahun dan yang tertua berusia 53 tahun dengan rerata 32,1 (SD 12,9 ) dengan t-test di dapat p = 0,99 (p>0,05) berarti tidak ada perbedaan umur yang bermakna antara kedua kelompok.

Berat badan pasien yang menjadi sampel pada kelompok ketorolak yang paling ringan 43 kg dan yang paling berat 71 kg rerata 53,9 (SD 8,0), sedangkan kelompok parecoxib yang paling ringan 46 kg dan yang paling berat 80 kg dengan rerata 54,0 (SD 7,9). Dengan memakai test Mann-whitney didapat p = 0,96 (p>0,05) berarti tidak ada perbedaan berat badan yang bermakna antara kedua kelompok.

Table 4.2. Data PS ASA pasien yang mengikuti penelitian perbandingan efek analgesia parecoxib dan ketorolak sebagai preemptif analgesia pada anestesi umum Ketorolak n=22 Parecoxib n=22 TOTAL P PS ASA 1 16 (72,7%) 18 (81,8%) 34 (77,3%) 0,72 PS ASA 2 6 (27,3%) 4 (18,2%) 10 (22,7%) JUMLAH 22 (100%) 22 (100%) 44 (100%)

Status Fisik menurut American socieity of Anesthesiologist (PS ASA) pada kelompok ketorolak 16 pasien (72,7%) dengan PS ASA 1, dan 6 pasien (27,3%) dengan PS ASA 2. sedangkan kelompok parecoxib 18 pasien (81,8%) dengan PS ASA 1, dan 4 pasien (18,2%) dengan PS ASA 2. Dengan memakai chi square test didapat p= 0,719 (p>0,05) berarti tidak ada perbedaan PS ASA yang bermakna antara kedua kelompok.

Table 4.3. Data jenis kelamin pasien yang mengikuti penelitian perbandingan efek analgesia parecoxib dan ketorolak sebagai preemptif analgesia pada anestesi umum Ketorolak n=22 Parecoxib n=22 TOTAL P Laki-laki 10 (45,5%) 13 (59,1%) 23 (52,3%) 0,55 Perempuan 12 (54,5%) 9 (40,9%) 21 (47,7%) JUMLAH 22 (100%) 22 (100%) 44 (100%)

Jenis kelamin pasien yang menjadi sampel pada kelompok ketorolak laki-laki sebanyak 10 pasien (45,5%) sedangkan perempuan sebanyak 12 pasien (54,5%). Kelompok parecoxib laki-laki sebanyak 13 pasien (59,1%) dan perempuan sebanyak 9 pasien (40,9%) dengan memakai chi square test didapat p= 0,55 (p>0,05) berarti tidak ada perbedaan jenis kelamin yang bermakna antara kedua kelompok.

Lamanya waktu pembedahan untuk kelompok ketorolak yang tercepat 15 menit dan yang terlama 135 menit dengan rerata 92,9 (SD 37,03) . Sedangkan kelompok parecoxib yang tercepat 5 menit dan yang terlama 130 menit dengan rerata 57,4 (SD 38,0). Dengan memakai t test di dapat p = 0,003 (p< 0,05) berarti ada perbedaan lamanya pembedahan yang bermakna antara kedua kelompok dalam hal lamanya waktu pembedahan.

Table 4.4. Data lamanya waktu antara pemberian obat premedikasi dan obat yang diteliti dengan sayatan pertama pada penelitian perbandingan efek analgesia parecoxib dan ketorolak sebagai preemptif analgesia pada anestesia umum.

Kelompok N Mean SD P

Ketorolak 22 68,1 29 0,84 Parecoxib 22 66,3 24

Lamanya waktu antara pemberian obat premedikasi dan obat yang diteliti dengan sayatan pertama pada kelompok ketorolak rerata 68,1 menit (SD 29) dan kelompok parecoxib rerata 66,3 menit (SD 24). Dengan test Mann-Whitney didapat p= 0,84 (p > 0,05) berarti tidak ada perbedaan yang bermakna dalam hal waktu antara premedikasi dengan sayatan pertama.

Jenis operasi juga hampir tidak jauh berbeda antara kedua kelompok (tabel 4.5)

Tabel 4.5. Jenis-jenis pembedahan pada penelitian perbandingan efek analgesia parecoxib dengan ketorolak sebagai preemptif analgesia pada anestesia umum. Ketorolak n=22 Parecoxib n=22 Eksisi Melanoma :1 Hernioraphy :1 Ismulobectomy :2 Polipectomy :1 Konisasi : 1 FESS :2 Open Biopsi : 1 ORIF. : 5 MRM : 1

Eksisi Osteochondroma digity :1 ORIF :1 Eksisi Lipoma :1 Eksisi Keloid : 1 Mastoidektomy Radikal :1 Removal Implant :1 Total Paratidektomy :1 Mikrolaring : 1 Isthmulobectomy : 2 Rekonstruksi Nasal : 2 Removal Implant : 5 Simple Mastectomy : 1 Eksis FAM : 1 FESS : 2 ORIF : 1 Evicerasi : 1 CWL : 1 Incisional Biopsi:1 Excisional Biopsi : 1 Eksisi Fibrolipoma : 1 Mastoidektomy Radikal : 1 Tonsilectomy : 1 28

Tabel 4.6. Data VAS pasien sebelum pembedahan pada penelian perbandingan efek analgesia parecoxib dengan ketorolak sebagai preemptif analgesia pada anestesia umum.

Kelompok N Mean SD P

Ketorolak 22 3,6 4,4 0,87 Parecoxib 22 3,6 4,9

VAS sebelum pembedahan pada kelompok ketorolak dengan rerata 3,6 (SD 4,4) sedangkan kelompok parecoxib dengan rerata 3,6 (SD 4,9). Dengan Mann Whitney test didapatkan p= 0,87 (p>0,05) berarti tidak ada perbedaan yang bermakna nilai VAS sebelum pembedahan antara kedua kelompok.

Tabel 4.7. Nilai VAS paska pembedahan pada pasien yang mengikuti penelitian perbandingan efek analgesia parecoxib dengan ketorolak sebagai preemptif analgesia pada anestesia umum.

(paska pembedahan) Kelompok N Mean SD P 1 jam Ketorolak Parecoxib 22 22 18,9 13,6 22,2 14,0 0,38 2 jam Ketorolak Parecoxib 21 22 18,5 22,5 14,2 17,4 0,65 3 jam Ketorolak Parecoxib 21 22 22,4 26,7 15,1 21,5 0,78 4 jam Ketorolak Parecoxib 21 21 23,8 26,0 15,9 19,1 0,98 5 jam Ketorolak parecoxib 21 21 27,6 28,7 19,2 20,1 0,89 29

VAS setelah pembedahan pada kelompok ketorolak pada 1 jam paska pembedahan rerata 18,9 (SD 22,2), 2 jam paska pembedahan rerata 18,5 (SD 14,2), 3 jam paska pembedahan rerata 22,4 (SD 15,1), 4 jam paska pembedahan rerata 23,8 (SD 15,97), 5 jam paska pembedahan rerata 27,6 (SD 19,2).

VAS kelompok parecoxib pada 1 jam paska pembedahan rerata 13,6 (SD 14,0), 2 jam paska pembedahan rerata 22,5 (SD 17,4), 3 jam paska pembedahan rerata 26,7 (SD 21,5), 4 jam paska pembedahan rerata 26,0 (SD 19,1), 5 jam paska pembedahan rerata 28,7 (SD 20,1). Dengan Mann Whitney test didapat nilai p berturut 0,375 (1 jam); 0,65 (2 jam);0,78 (3 jam);0,98 (4 jam);0,89 (5 jam). Semua nilai p>0,05 berarti tidak ada perbedaan VAS antara kedua kelompok.

Tabel 4.8. Nilai selisih VAS paska dan pre pembedahan pada pasien yang mengikuti penelitian perbandingan efek analgesia parecoxib dengan ketorolak sebagai preemptif analgesia pada anestesia umum.

Waktu (paska pembedahan) Kelompok N Mean SD P 1 jam Ketorolak Parecoxib 22 22 11,6 10,0 12,5 14,1 0,51 2 jam Ketorolak Parecoxib 22 22 18,6 18,9 21,0 17,3 0,85 3 jam Ketorolak Parecoxib 21 22 19,0 23,1 15,1 21,9 0,87 4 jam Ketorolak Parecoxib 21 21 20,5 22,2 15,9 19,1 0,98 5 jam Ketorolak parecoxib 21 21 24,2 24,9 18,9 20,0 0,87 30

Demikian juga perubahan VAS dari sebelum dan setelah pembedahan pada kelompok ketorolak pada 1 jam paska pembedahan rerata 11,6 (SD12,5), 2 jam paska pembedahan rerata18,6 (SD 21,0), 3 jam paska pembedahan rerata 19,0 (SD 15,1), 4 jam pembedahan rerata 20,5 (SD15,9), 5 jam paska pembedahan rerata 24,2 (SD 18,9).

Kelompok parecoxib pada 1 jam paska pembedahan rerata 10,0 (SD 14,1), 2 jam paska pembedahan rerata 18,9 (SD 17,3), 3 jam paska pembedahan 23,1 (SD 21,9), 4 jam paska pembedahan rerata 22,2 (±19,1), 5 jam paska pembedahan rerata 24,9 (± 20,0). Dengan Mann Whitney test didapat nilai p berturut 0,51(1 jam); 0,85(2 jam); 0,87(3 jam); 0,98(4 jam);0,87(5 jam). Semua nilai p>0,005 berarti tidak ada perbedaan VAS antara kedua kelompok.

Dengan memakai General Linear Methode didapatkan ada perbedaan yang bermakna perubahan VAS pada masing-masing kelompok dari waktu ke waktu walaupun antar kelompok tidak ada perbedaan yang bermakna.(Grafik 4.1)

Post Op ( JAM ) VAS

(mm)

Estimated Marginal Means of MEASURE_1

5 4 3 2 1 Pre op 40 30 20 10 KELOMPOK ketorolak dynastat 0

Grafik 4.1. Perubahan VAS mulai dari sebelum dan sesudah pembedahan

BAB 5 PEMBAHASAN

Dari data deskriptif yang ada baik umur, berat badan, jenis kelamin, maupun PS ASA tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok sehingga dapat dikatakan sampel terdistribusi secara merata. Karena itu data VAS yang didapat dari kedua kelompok baik sebelum pembedahan maupun sesudah pembedahan dapat dipakai sebagai alat ukur untuk membandingkan efek kedua obat dalam menghilangkan rasa sakit. Demikian pula dengan jenis pembedahan yang memakai kedua jenis obat, tidak jauh berbeda antara kedua kelompok.

Adapun dalam hal lamanya pembedahan pada kedua kelompok ditemukan perbedaan yang bermakna, yaitu kelompok ketorolak rerata 92,9 (SD 37,03) dan kelompok parecoxib rerata 55,6 (SD 37,95). Tetapi perbedaan waktu ini tidak mempengaruhi terhadap interpretasi hasil VAS kedua kelompok karena:

1. Onset of action parecoxib 7-13 menit dan efek puncak dalam 2 jam sedang waktu paruh eliminasinya sekitar 8 jam. Sedang onset of action ketorolak 10 menit dan efek puncak dalam 2-3 jam sedang waktu paruh eliminasinya sekitar 5 jam. Jadi lamanya waktu mulai dari pemberian kedua jenis obat sampai penilaian pertama paska pembedahan pada kedua kelompok masih dalam rentang waktu puncaknya kedua obat.

2. Berdasarkan umur, berat badan, PS ASA, dan jenis pembedahan pasien sudah terbagi secara merata sedangkan lamanya waktu pembedahan tidak dapat diprediksi sebelum pembedahan dilakukan.

Berdasarkan kedua alasan di atas maka hasil VAS yang didapat baik sebelum maupun sesudah pembedahan dapat dipakai untuk membandingkan kedua obat sebagai preemptif analgesia.

VAS sebelum pembedahan ditentukan hanya 0-10 karena untuk menghilangkan kemungkinan bias yang disebabkan nyeri sebelum pembedahan. Sebab yang akan dinilai adalah nyeri akibat pembedahan bukan nyeri karena penyakit yang diderita sebelum pembedahan.

VAS paska pembedahan pada kedua kelompok obat tidak ada perbedaan yang bermakna, walaupun sebenarnya hasil VAS pada kelompok ketorolak lebih kecil sedikit dibandingkan kelompok parecoxib kecuali pada 1 jam paska pembedahan. Dengan kata lain ketorolak lebih baik sedikit menghilangkan nyeri paska pembedahan dibanding parecoxib, tetapi nilainya tidak bermakna sehingga tidak bisa menjadi kesimpulan. Hal ini dapat diterangkan dengan farmakologi kedua obat. Kedua obat adalah golongan COX inhibitor, dimana ketorolak merupakan COX-1 dan COX-2 inhibitor sedang parecoxib merupakan COX-2 inhibitor saja. Seperti telah dijelaskan di tinjauan pustaka nyeri disebabkan oleh prostaglandin yang sintesisnya dikatalisir oleh enzim cyclooxygenase-2. Oleh kedua obat enzim tadi dihambat sehingga tidak terbentuk prostaglandin dan selanjutnya nyeri juga tidak terjadi. Dengan terhambatnya enzim COX-2 oleh kedua obat maka efek kedua obat dalam menghilangkan nyeri adalah sama. Yang berbeda hanyalah dalam hal penghambatan enzim COX-1 yang hanya ada pada ketorolak. Adapun akibat penghambatan enzim ini adalah terganggunya mukosa lambung, fungsi ginjal, dan aggregasi platelet. Tidak ada hubungannya ke respon nyeri. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Barton, S.F,FF.Langeland dkk (2002) yang membandingkan parecoxib sodium 20 mg dan 40 mg dosis tunggal dengan ketorolak iv 30 mg setelah operasi laparotomi.9

Penelitian ini berbeda hasilnya dengan penelitian yang dilakukan Ng A dkk (2004) yang menyimpulkan parecoxib 40 mg i.v yang diberikan saat induksi kurang efektif dibandingkan ketorolak 30 mg i.v. pada jam pertama setelah laparoskopi sterilisasi. Metode yang dipakai pada penelitian Ng A dkk adalah semua pasien mendapat propofol 2-4 mg/ kg i.v., fentanyl 1,5 µg/ kg i.v. ondansetron 4 mg i.v. dan pelumpuh otot non depolarisasi. Pasien diventilasi dengan N2O dan isoflurane + O2. Sisa pelumpuh otot diantagonis dengan

neostigmin dan sulfas atropin. Setelah Filshie clips terpasang diberikan 10 dan 20 ml levobupivacaine 2,5 mg/ ml di tempat sayatan sampai rongga peritoneum. Pasien mendapat parecoxib 40 mg i.v.atau ketorolak 30 mg i.v. pada saat induksi. Setelah pembedahan selesai, pasien dinilai saat sadar dan setelah 1,2

dan 3 jam oleh staff yang tidak mengetahui obat yang diberi sebelumnya. Yang dinilai adalah VAS, mual muntah dan sedasi. Setiap jam setelah pembedahan selain dinilai pasien juga ditanyakan apakah membutuhkan analgetik ”pertolongan” yang dibagi 2, yaitu cocodamol 30/500 untuk nyeri ringan sampai sedang dan morfin 10 mg i.m. untuk nyeri berat. Hasilnya nyeri abdomen pada saat istirahat dan bernafas lebih tinggi pada kelompok parecoxib dibanding ketorolak. Sedangkan pemakaian analgetik ”pertolongan” tidak ada perbedaan yang bermakna.9

Hasil penelitian Ng A dkk ini disebabkan :

1. Penelitian Ng A dkk memakai sample pasien dengan pembedahan yang semuanya relatif singkat (21-35 menit) sehingga parecoxib yang merupakan prodrug belum mencapai masa puncak operasi telah berakhir. Seperti telah diketahui adapun parecoxib adalah suatu prodrug, yang diubah di hati menjadi obat bentuk aktif valdecoxib. Setelah parecoxib 50 mg iv, C max valdecoxib

sebesar 1,02 mg/ liter tercapai setelah 0,6 jam. Sedangkan ketorolak yang diberikan sudah merupakan obat dalam bentuk aktif yang segera menghambat enzim COX dan mencegah pembentukan prostaglandin. Maka pada pembedahan yang berlangsung cepat pencapaian masa puncak kerja obat parecoxib lebih lambat dibanding ketorolak sehingga ada keunggulan sedikit ketorolak dalam hal menghilangkan nyeri.

2. Waktu antara pemberian obat yang diteliti dan sayatan pertama sangat singkat sehingga bagi obat yang belum aktif sinyal nyeri tadi sudah terkirim tanpa diblok sebelumnya di level transduksi akibatnya nyeri yang dinilai paska pembedahan akan lebih tinggi dibandingkan dengan pemakai obat yang sudah dalam bentuk aktif.

Berbeda dengan penelitian Ng A dkk , Barton SF dkk memakai metode yang hampir sama dengan penelitian ini yaitu sampel yang dipakai adalah yang menjalani abdominal hysterektomy atau miomectomy yang durasi operasinya relatif lebih lama dibanding dengan penelitian Ng A dkk akibatnya efek kedua obat sudah mencapai masa puncaknya sehingga nyeri yang diblok hampir sama pengurangannya.

Perbedaan score VAS dari waktu ke waktu pada tiap kelompok disebabkan nyeri yang ditimbulkan reaksi inflamasi luka operasi. Sementara paska pembedaan tidak ada penambahan analgetik untuk mengatasi nyeri tersebut sehingga setelah masa puncak kedua obat, konsentrasi obat dalam darah akan menurun dari waktu ke waktu dan akhirnya VAS yang diukur juga meningkat dari waktu ke waktu.

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 KESIMPULAN

1. Dari penilaian VAS paska pembedahan pada berbagai jenis operasi yang diberikan ketorolak dan parecoxib sebagai preemptif analgesia didapatkan hasil tidak ada perbedaan bermakna diantara kedua kelompok.

2. Perbedaan lamanya pembedahan tidak mempengaruhi VAS paska pembedahan dengan tehnik preemptif analgesia.

3. Tehnik preemptif analgesia sangat berguna bagi pasien dalam hal menghilangkan rasa nyeri paska pembedahan.

6.2 SARAN

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada jenis pembedahan dan lamanya pembedahan yang sama.

2. Tehnik preemptif analgesia dapat dijadikan protokol pada pembedahan elektif.

DAFTAR PUSTAKA

1. As’at. Tanda-tanda anestesia. In: Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dahlan R,editors. Anestesilogi. Jakarta:bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta; p.1989,45.

2. Basuki G. Anestesia obstetri. In: Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dahlan R,editors. Anestesilogi. Jakarta:bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta; 1989, p.129.

3. Provenzano DA, Grass JA. Is epidural Analgesia superior to iv PCA?. In: Fleisher LA,editors. Evidence-Based Practice of Anesthesiology. Philadelphia: Saunders;2004, p.442-5.

4. Gottschalk A. New concepts in acute pain therapy: preemptive analgesia. American family physician. 2001;63(10):

5. Stoelting RK, Cyclooxygenase-2 Inhibitors and Nonspecific Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs. In: Stoelting RK, Hiller SC,editors. Pharmacology & physiology in anesthetic practice. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006,p.276-88.

6. Francesca F, Bader P, Echtle D, Giunta F, Williams J. Guidelines on pain management. European Association of Urology. 2006;14.

7. Wilmana PF, Analgetik-antipiretik analgetik anti-inflamasi non steroid dan obat pirai. In: Gan S,editors. Farmakologi dan Terapi Bagian Farmakologi

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Gaya Baru;1987,p.183-6.

8. Kissin I. Pain Medicine Preemptive Analgesia at the crossroad. Anesth Analg 2005;100:754-6

9. Ng A, Temple A, Smith G, Emembolu J. Early analgesic effects of parecoxib versus ketorolak following laparoscopic sterillization a randomized controlled trial. Cat. Inist. 2004;92(6):846-9.

10. Lopez B, Labastida V, Castillo A, Ibarra M, Serranto S, Zarco G. Preemptive analgesia for postoperative pain with preoperative IM ketorolac tromethamine vs. parecoxib sodium and postoperative oral ketorolac tromethamine vs. valdecoxib. Rev Mex Anest 2005; 28 (1): 27- 31.

11. Barton S, Langeland FF. Efficacy and safety of intravenous parecoxib sodium in relieving acute postoparetive pain following gynecologic laparotomy surgery. Anesthesiology 2002; 97(2): 306-14.

12. Sandkuhler J, Ruscheweyh R. Opioid and central sensitisation: I. Pre- emptive analgesia. European Journal of Pain 2005; 9: 145-8.

13. Perfusi RM, Selective Cyclooxygenase Inhibition in Pain Management. JAOA 2004; 104(11): 19-24.

14. Kelly DJ, Ahmad M, Sorin J, Brull MD. Preemptive analgesia II: recent advances and current trends. Can J Anest 2001;48(11): 1091-1101.

15. Cousins M, Power I. Acute and postoperative pain. In: Melzack R, Wall PD,editors. Handbook of pain management a clinical companion to wall

and melzack’s textbook of pain. London: churchill Livingstone; 2003,p.13- 30.

16. Anonymous. New Medicines on the market Parecoxib (Editorial). UK Medicines Information 2002;

17. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar sampel. In: sastroasmoro S, Ismael S,editors. Dasar- dasar metodologi penelitian klinis.edisi ke-2. Jakarta: CV Seagung Seto;2002,p. 280-1.

18. Dahlan MS . Statistika untuk kedokteran dan kesehatan: uji hipotesis dengan menggunakan SPSS. Jakarta: Arkans, 2004.p. 1-28.

19. Dahlan MS. Besar sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Arkans, 2006.p. 54.

20. Foegh ML, Ramwell PW. The eicosanoids: Prostaglandins, thromboxanes, leukotriens, & related compuonds. In: Katzung BG. Basic & clinical pharmacology.ninth edition. Singapura. Mc Graw Hill. 2004;p.298-301.

21. Myles PS, Troedel S, Boquest M, Reeves M. The pain visual scale: is it linier or linier? Anest Analg 1999;89:1517-20.

22. Tanra AH. Nyeri paska bedah dan pengobatannya. Anestesia & Critical Care 2005;23(2):152-8.

23. Daniels SE, Grossman EH. A double-blind, randomized comparison of intramuscularly and antravenously administered parecoxib sodium versus ketorolak and placebo in post-oral surgery pain model. Clin Ther 2001;23(7): 1018-31.

LAMPIRAN LAMPIRAN 1

Riwayat hidup

Nama : dr. Rahmatsyah N I P : 140355309

Tempat/ tgl. Lahir : Medan/ 17 Desember 1968.

Pekerjaan : PNS- Peserta Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Periode 2003- sekarang.

Jenis kelamin : Laki-laki Agama : Islam

Alamat rumah : Jl. Durung No. 139 Medan

No. Telepon : 061-6614162/ HP 081330059093

Alamat kantor : RSUD Rantau Prapat Jl. KI Hajar Dewantara Anak ke : 9 dari 9 bersaudara

Orang tua : (Alm) Sabarudin (Alm) Radiah Status : Kawin

Istri : Yuhelmi

Anak : M. Rasyid Ghufron Bin Rahmatsyah Khalisha Fadila Binti Rahmatsyah Nurul Ummi Binti Rahmatsyah Hobby : Sepak bola.

Riwayat pendidikan:

1976-1982 : SD Negeri NO.060857 Medan.

1982-1985 : SMP Perguruan Pahlawan Nasional Medan

1985-1988 : SMA Negeri 10 Medan

1989-1996 : dokter umum FK USU Medan

2003- : Program pendidikan dokter spesialis anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran USU Medan.

Riwayat pekerjaan:

1997-2000: Dokter PTT sebagai Kepala Puskesmas Sirukam Kecamatan Payung Sekaki.

2000-2003: PNS sebagai Dokter Umum Rumah Sakit Umum Daerah Rantau Prapat.

LAMPIRAN 2

PENJELASAN MENGENAI PENELITIAN:

“PERBANDINGAN EFEK ANALGESIA PARECOXIB DENGAN KETOROLAK SEBAGAI PREEMPTIF ANALGESIA PADA ANESTESI UMUM”

Bapak/Ibu/Saudara/I Yth,

Saat ini sedang melakukan penelitian yang berjudul:

“PERBANDINGAN EFEK ANALGESIA PARECOXIB DENGAN KETOROLAK SEBAGAI PREEMPTIF ANALGESIA PADA ANESTESI UMUM”

Sebelum menjelaskan tentang penelitian di atas saya memperkenalkan diri saya: Nama : dr. Rahmatsyah

Umur : 39 tahun

Alamat : Jl. Durung No. 139 Medan No. telp. : 061-6614162/ 081330059093

Pekerjaan : PNS-Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi Dan Reanimasi FK USU Medan

Bapak/ Ibu/ saudara/ iYth.

Penelitian ini menyangkut pelayanan tindakan anestesi pada pasien yang menjalani pembedahan yang terencana dengan anestesi umum. Seperti sudah kita ketahui bahwa pada anestesi umum selain pasien ditidurkan pasien juga diberi obat penghilang rasa sakit. Sakit atau nyeri selama pembedahan dan sesudah pembedahan harus dihilangkan karena banyak efek-efek yang merugikan bila nyeri tersebut berat seperti paru-paru bisa menjadi kuncup atau irama jantung menjadi tidak teratur.

Banyak obat-obatan dan cara yang dapat digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri tadi. Diantara obat-obatan tadi yang sering digunakan di RS H. Adam Malik adalah ketorolak. Obat ini cara menggunakannya adalah dengan menyuntikkan

lewat pembuluh darah balik sesaat sebelum pembedahan selesai. Hasil dari pengobatan ini terkadang pasien masih merasa nyeri dan ada beberapa efek samping yang ditemukan pada pasien setelah menggunakan obat tadi berupa tukak lambung, gangguan ginjal, dan gangguan pada pembekuan darah.

Bapak/ ibu/ saudara/I Yth.

Selain obat tersebut di atas ada obat lain yang segolongan dengan obat ketorolak tadi yang kekuatannya dalam menghilangkan nyeri seimbang dengan

Dokumen terkait