PERBANDINGAN EFEK ANALGESIA PARECOXIB
DENGAN KETOROLAK SEBAGAI PREEMPTIF
ANALGESIA PADA ANESTESI UMUM
TESIS
OLEH
RAHMATSYAH
DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA
UTARA RSUP. H. ADAM MALIK
MEDAN
2008
LEMBAR PENGESAHAN
PERBANDINGAN EFEK ANALGESIA PARECOXIB
DENGAN KETOROLAK SEBAGAI PREEMPTIF
ANALGESIA PADA ANESTESI UMUM
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Asmin Lubis, DAF SpAn Dr.Akhyar H. Nasution, SpAn
NIP. 130 701 881 NIP. 140 190 471
Penguji,
Ketua Sekretaris
Pror.Dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC Dr. Hasanul Arifin, SpAn
NIP. 130 900 680 NIP. 130 702 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ketua Departemen
Anestesiologi dan Reanimasi Anestesiologi dan Reanimasi
FK USU Medan FK USU/ RSUP H.Adam
Malik Medan
Dr. Hasanul Arifin, SpAn Prof.Dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn KIC
NIP. 130 702 001 NIP. 130 900 680
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji syukur saya sampaikan hanya
kepada Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nyalah saya dapat mengikuti
dan menjalani Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara serta menyelesaikan penelitian
ini sebagai salah satu syarat dalam penyelesaian pendidikan. Salawat dan salam
saya sampaikan bagi Nabi Muhammad SAW yang telah membawa perubahan
sistem dari kejahiliyahan ke sIstem berilmupengetahuan seperti saat ini.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang
telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program
Pendidikan Dokter Spesialis I di fakultas ini.
Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, yang
telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan bekerja di
lingkungan Rumah Sakit ini.
Rasa hormat dan terima kasih saya sampaikan kepada dr. Asmin lubis
SpAn DAFK, dr. Akhyar H. Nasution SpAn, dr. Arlinda Sri Wahyuni MSi sebagai
pembimbing penelitian saya, dimana atas bimbingan, arahan dan sumbang
saran yang telah diberikan, saya dapat menyelesaikan penelitian ini sesuai
dengan waktu yang ditentukan.
Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada dr. Hasanul Arifin SpAn
sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi dan Reanimasi, Prof.dr.
Achsanuddin Hanafie SpAn KIC sebagai Ketua Departemen Anestesiologi dan
Reanimasi, dr. Nazaruddin Umar SpAn KNA sebagai Sekretaris Program Studi
Anestesiologi dan Reanimasi dan dr. Akhyar H. Nasution SpAn sebagai
Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Reanimasi atas bimbingannya selama
saya menjalani program pendidikan penelitian ini.
Rasa hormat dan terima kasih saya sampaikan kepada guru-guru saya :
dr. A. Sani P. Nasution SpAn KIC, dr. Chairul M. Mursin SpAn, dr. Nadi Zaini
Bakri SpAn, dr. Veronica H.Y. SpAn KIC, dr. Soejat Harto SpAn, dr. Muhammad
A.R. SpAn, dr. Tjahaya Indra Utama SpAn, dr. Syamsul Bahri Siregar SpAn dan
guru-guru saya sewaktu saya menjalani program pendidikan di Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya Prof. dr. Kariyadi SpAn KIC, Prof. dr.
Herlin Megawie SpAn KIC, Prof. dr. Siti Chasnak Saleh SpAn KNA, Prof. Dr. dr.
Eddy Rahardjo SpAn KIC, Prof. dr. Koeshartono SpAn KIC Pall Med, Prof. Dr. dr.
Rita Rehatta SpAn KIC, dr. Sri Wahyuningsih SpAn KIC, dr. Tommy Sonartomo
SpAn KIC, dr. Bambang Wahyuprayitno SpAn KIC, dr. Herdy Sulistiyo SpAn KIC,
dan lain-lain baik di Fakultas Kedokteran USU Medan maupun di Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu yang dengan keikhlasan dan ketulusannya telah mendidik dan
memberikan bimbingan kepada saya selama mengikuti program pendidikan ini
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada kakak-kakak kelas
saya yang telah mendorong untuk segera menyelesaikan pendidikan dan
penelitian ini dan seluruh teman-teman program Pendidikan Dokter Spesialis
Anestesiologi dan Reanimasi terutama dr. Guido M. Solihin yang telah banyak
membantu dalam penyelesaian program pendidikan dan penelitian ini.
Rasa syukur dan terima kasih sebesar-besarnya saya persembahkan
kepada kedua orang tua saya tercinta, ibunda Radiah (almh) dan ayahanda
Sabarudin (alm) atas segala jerih payah, pengorbanan, do’a, dan kasih sayang
beliau dalam mengasuh, membesarkan dan membimbing saya dengan keringat
dan air mata sampai akhir hayatnya. Semoga Allah mengampuni segala dosa
dan kesalahan beliau dan mengekalkan segala amal jariyah yang telah beliau
kerjakan selama ini. Demikian halnya kepada kedua mertua saya abak
Jamaluddin (alm) dan amak Sarigumilan yang senantiasa memberi nasehat,
motivasi, dan teladan. Demikian juga kepada abang-abang, kakak-kakak saya
yang telah banyak memberikan bantuan moril dan materil selama saya mengikuti
program pendidikan ini.
Terimakasih yang tak terkira kepada istri tercinta Yuhelmi dan
anak-anakku M. Rasyid Ghufron bin Rahmatsyah, Khalisha Fadila binti Rahmatsyah,
Nurul Umi binti Rahmatsyah atas pengertian, dorongan semangat kesabaran,
dan kesetiaan yang tulus dalam suka dan duka mendampingi saya selama
pendidikan yang panjang dan cukup melelahkan.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT jualah kita berlindung dan kembali,
semoga kita semua senantiasa diberi limpahan rahmat dan karunia-Nya. Amin
ya Robbal’alamin.
Wassalam,
Medan, 10 Desember 2007
Dr. Rahmatsyah
DAFTAR ISI
2.4.5. Klasifikasi AINS ...12
2.4.6. Cyclooxygenase-2 spesific inhibitors ...13
2.4.7. Parecoxib...13
a. Farmakokinetik...13
b. Efek samping ...14
3.7.2. Variable tergantung ... 22
DAFTAR TABEL
Halaman
Table 4.1 Data deskriptif umur, berat badan, dan lamanya operasi
pada penelitian perbandingan efek analgesia parecoxib
dan ketorolak sebagai preemptif analgesia pada anestesi
umum...25
Table 4.2.Data PS ASA pasien yang mengikuti penelitian perbandingan
efek analgesia parecoxib dan ketorolak sebagai preemptif
analgesia pada anestesi umum...26
Table 4.3.Data jenis kelamin pasien yang mengikuti penelitian
perbandingan efek analgesia parecoxib dan ketorolak
sebagai preemptif analgesia pada anestesi umum...27
Table 4.4.Data lamanya waktu antara pemberian obat premedikasi
dan obat yang diteliti dengan sayatan pertama pada
penelitian perbandingan efek analgesia parecoxib
dan ketorolak sebagai preemptif analgesia pada anestesia
umum...27
Tabel 4.5.Jenis-jenis pembedahan pada penelitian perbandingan
efek analgesia parecoxib dengan ketorolak sebagai
preemptif analgesia pada anestesia umum...28
Tabel 4.6.Data VAS pasien sebelum pembedahan pada penelian
perbandingan efek analgesia parecoxib dengan ketorolak
sebagai preemptif analgesia pada anestesia umum...29
Tabel 4.7.Nilai VAS paska pembedahan pada pasien yang mengikuti
penelitian perbandingan efek analgesia parecoxib dengan
ketorolak sebagai preemptif analgesia pada anestesia umum...29
Tabel 4.8.Nilai selisih VAS paska dan pre pembedahan pada pasien
yang mengikuti penelitian perbandingan efek analgesia
parecoxib dengan ketorolak sebagai preemptif analgesia
pada anestesia umum...30
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1. Perjalanan nyeri dan tempat-tempat intervensi
yang dapat memodulasinya...5
Gambar 2.2. Skematik preemptif analgesia dengan penekanan pada
pencegahan sensitisasi sistem saraf selama perioperatif...8
Gambar 2.3. Biosintesis Prostaglandin ...11
Gambar 2.4. Kartu penilaian VAS dengan ekspresi wajah...17
DAFTAR GRAFIK
Halaman
Grafik 4.1. Perubahan VAS mulai dari sebelum dan sesudah pembedahan...31
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1...40
Lampiran 2...42
Lampiran 3...46
Lampiran 4...47
Lampiran 5...49
DAFTAR SINGKATAN
ACTH = Adrenocotricotropin Hormone
USU = Universitas Sumatera Utara.
VAS = Visual Analog Scale
RS HAM = Rumah Sakit Haji Adam Malik .
COX-1 = Cyclo Oxigenase-1
SSP = Sistem Saraf Pusat
AINS = Anti Inflamasi Non Steroid
NMDA = N- Methyl D- Aspartat.
PG = Prostaglandin
IV = Intra Vena
IM = Intra Muscular
THT = Telinga Hidung Tenggorok
PS ASA = Physical Status American Society of Anesthesiologist
GA = General Anestesi.
SD = Standard Deviasi.
ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Nyeri merupakan salah satu masalah yang penting mulai dari sebelum, selama, dan paska pembedahan, karena banyak
kerugian-kerugian yang timbul bila nyeri tersebut tidak diatasi seperti atelektasis paru,
disritmia jantung, pelepasan beta-endorphine dan ACTH. Maka dibuat beberapa
metode dan jenis obat untuk mengatasi nyeri tadi. Penelitian ini dibuat untuk
melihat manfaat metode preemptif analgesia dengan memakai obat ketorolak
dibandingkan dengan parecoxib.
Metode: Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah eksperimental pada manusia dengan acak buta berganda yang dilaksanakan di Departemen
Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran USU Rumah Sakit Umum
Pusat H. Adam Malik. Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien yang
menjalani pembedahan dengan anestesi umum. Selanjutnya dari semua
populasi tadi dibuat kriteria inklusi dan eksklusi untuk menjadi sampel penelitian.
Dari 53 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan sudah menjalani penelitian
dipertengahan penelitian 9 pasien dikeluarkan karena memerlukan analgetik lain
selain yang diteliti (1 pasien) dan operasi berlangsung lama (8 pasien). Dari 44
pasien yang tersisa pasien dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok ketorolak
mendapat ketorolak (R/ Xefolac) 30 mg iv dan kelompok parecoxib mendapat
parecoxib (R/ Dynastat) 40 mg iv 1 jam sebelum pembedahan dilakukan. Semua
sampel dari kedua kelompok dinilai tingkat nyerinya dengan VAS (Visual Analog
Scale) sebelum pembedahan dan 1,2,3,4,5 jam paska pembedahan. Semua
sampel dari kedua kelompok mendapat perlakuan yang sama dengan
premedikasi petidin dan midazolam, N2O + O2 + Halotan/ Isoflurane untuk
maintenance selama pembedahan.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna VAS paska pembedahan pada kedua kelompok. Dengan Mann-Whitney test didapat p 1 jam paska pembedahan 0,375; 2 jam paska pembedahan 0,65; 3 jam paska pembedahan
0,78; 4 jam paska pembedahan 0,98; dan 5 jam paska pembedahan 0,89.
Semua nilai p nya < 0,05
Kesimpulan: Tidak ada perbedaan yang bermakna tingkat nyeri paska pembedahan setelah penggunaan ketorolak dibanding dengan parecoxib
sebagai preemptif analgesia. Lamanya pembedahan tidak mempengaruhi VAS
paska pembedahan dengan tehnik preemptif analgesia.
Kata kunci: nyeri, preemptif analgesia, Visual Analog Scale, ketorolak, parecoxib.
ABSTRACT
Background and objectives: Pain is one of the most important thing that begins before the operation, during the operation, and after the operation is completed,
because it could lead to pulmonary atelectasis, cardiac dysritmia, release of
betha-endorphine and ACTH. Many methods and types of drugs are used to
abolish the pain.The aim of this experiment was to compare the effects of
ketorolac and parecoxib for preemptive analgesia.
Methods: The method used in this experiment was double blind randomirized controlled trial that took place in Departement of Anesthesiology and
Reanimation of Medical Faculty North Sumatera University in H. Adam Malik
Hospital. The populations of this experiment were all patient underwent surgery
under general anesthesia. Inclusion and exclusion criterias were made to select
the experimental sample. From 53 patient that qualified the inclusion criteria 9
patients were excluded because other analgesia was needed (1 patients) and the
operation was longer than anticipated (8 patients). Two groups were made from
the 44 patients. The first group received ketorolac (R/ xevolac) 30 mg iv and
second group received parecoxib (R/ dynastat) 40 mg iv one hour before the
surgery. All of the sample from both groups were assesed with VAS before
surgery and 1 until 5 hours after surgery. All of the sample from both groups
received the same premedication with pethidin and midazolam, and for the
maintenance with N2O + O2 + Halotan/ Isoflurane during surgery.
Results. There was no significant different in pain level after surgery between two groups. By Mann-Whitney test was found p value 1 hour after surgery 0,375; 2 hours after surgery 0,65; 3 hours after surgery 0,78; 4 hours after surgery 0,98;
and 5 hours after surgery 0,89. All of the p value < 0,05 .
xiv
Conclusions. There was no significant different in pain level after surgery between ketorolac and parecoxib as preemptive analgesia. Duration of the
surgery was not affected VAS after surgery by preemptif analgesic technics.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan kesadaran yang bersifat
pulih kembali (reversible) dan meniadakan nyeri secara sentral . Trias anestesia
terdiri dari analgesia, hipnosis dan arefleksia/ relaksasi.1 Tindakan anestesia tidak selalu mencakup ketiga komponen tersebut, bergantung pada jenis
pembedahan yang akan dilakukan.2 Analgetik merupakan komponen terpenting dalam suatu tindakan anestesi karena pada keadaan tertentu tindakan
pembedahan hanya membutuhkan analgesi. Nyeri dapat terjadi mulai dari
sebelum , selama , dan paska pembedahan.
Analgetik sangat diperlukan setelah pasien menjalani pembedahan,
karena banyak efek yang merugikan bila pasien tadi masih merasa nyeri paska
pembedahan. Nyeri paska pembedahan dapat menyebabkan respon segmental
dan supra-segmental refleks yang dapat berefek pada sistem pernafasan,
kardiovaskular, pencernaan, urine, neuro-endokrin. Contoh efek pada sistem
pernafasan yaitu bila pasien masih merasa nyeri terutama sewaktu bernafas
dapat menyebabkan gagal nafas, pneumonia, dan atelektasis. Efek terhadap
kardiovaskuler terjadi peningkatan stress kardiovaskular menyebabkan
peningkatan oksigen demand dan penurunan osigen supply otot jantung, dan
menyebabkan terjadinya disritmia jantung. Pengaruh terhadap hormonal adalah
lepasnya beta-endorphine dan ACTH dari pituitary anterior.3,15
Untuk mengatasi nyeri paska pembedahan banyak tehnik dan jenis obat
yang dapat digunakan. Di RS HAM tersedia beberapa tehnik dan jenis obat yang
dapat dipakai untuk menghilangkan nyeri paska pembedahan, seperti tehnik
peridural, morfin syringe pump, Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) secara
berkala.
Pemakaian opioid khususnya petidin memang cukup efektif untuk
menghilangkan nyeri pada saat sayatan pertama.4 Tetapi untuk menghilangkan
nyeri paska pembedahan dibutuhkan lagi analgetik lain yaitu golongan AINS
termasuk di dalamnya ketorolak. Opioid jarang digunakan untuk post operasi
karena kesulitan mengawasi peredaran obat ini di ruangan. Selain itu opioid
memiliki efek samping yang tidak diinginkan yaitu depresi pernafasan, mual
muntah dan gangguan hemodinamik yang memerlukan pengawasan yang ketat.
Ketorolak merupakan suatu obat yang bekerja dengan cara menghambat
enzim COX-1 dan COX-2 sehingga selain dapat menghilangkan nyeri dan
inflamasi tetapi juga memiliki efek samping berupa gangguan mukosa lambung,
ginjal dan proses pembekuan darah.5 Di RS HAM telah lama dipakai ketorolak sebagai analgetik post operasi dengan tingkat VAS yang relatif tinggi. Penelitian
awal di RS HAM terhadap 16 pasien paska berbagai jenis pembedahan
didapatkan VAS 2 jam post op 2,55 (SD 0,94).
Di lain pihak telah ditemukan obat analgetik AINS yang memilki efek
analgetik yang sebanding dengan ketorolak. Obat ini bekerja menghambat
enzim COX-2 selektif. Sehingga efek yang ditimbulkan karena penghambatan
enzim COX-1 dapat ditiadakan. Ditambah lagi efek samping opioid juga dapat
ditiadakan.5,16 Maka dari itu dibuatlah penelitian ini yaitu membandingkan keefektifan antara parecoxib dengan ketorolak dalam penatalaksanaan nyeri
post operatif.
Di beberapa rumah sakit sudah dilakukan penelitian dengan jenis obat
yang sama dengan hasil yang berbeda. Butron-lopez FG dkk mendapatkan hasil
ketorolak tromethamine membuat lebih analgesia dibanding parecoxib maupun
valdecoxib pada berbagai jenis pembedahan. Hasil penelitian NG A dkk
parecoxib 40 mg kurang efektif dibanding 30 mg intra vena 1 jam setelah
sterilisasi laparoscopic. Barton, S.F,FF.Langeland dkk (2002) parecoxib sodium
20 mg dan 40 mg dosis tunggal setelah operasi laparotomi membuat keadaan
tidak nyeri. Sama efektifnya dibanding iv 30 mg ketorolak, lebih unggul dibanding
iv morfin 4 mg. Daniels, S.E., E.H. Grossman dkk pada paska pembedahan
mulut, parecoxib iv dan im membuat analgesia yang efektif. Dosis 40 mg
parecoxib sebanding dengan 60 mg ketorolak tetapi memiliki masa kerja yang
lebih panjang9,10,11,23
1.2. Rumusan masalah
Uraian ringkas dalam latar belakang masalah di atas memberikan dasar bagi
peneliti untuk merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
Apakah ada perbedaan rasa nyeri paska pembedahan setelah pemberian
parecoxib 40 mg intra vena sebelum sayatan dibandingkan dengan dengan
ketorolak 30 mg intra vena?
1.3.Hipotesa
Ada perbedaan nyeri paska pembedahan setelah pemberian parecoxib 40 mg
intra vena sebelum sayatan dibandingkan dengan ketorolak 30 mg intra vena
sebagai preemptif analgetik pada anestesi umum.
1.4.Tujuan umum: Mengetahui jenis obat apa yang lebih baik dalam mengatasi nyeri paska pembedahan pada anestesi umum.
1.4.1. Tujuan khusus:
a. untuk mencari alternatif obat golongan AINS yang dapat dipakai sebagai
preemptif analgesia.
b. untuk mencari kombinasi yang tepat antara obat AINS dengan opioid
sebagai preemptif analgesia untuk penatalaksanaan nyeri peri operatif.
1.5.Manfaat
a. Dari penelitian ini diharapkan ditemukan obat yang dapat dipakai sebagai
preemptif analgesia sehingga efek yang merugikan dari nyeri paska
pembedahan dapat dihilangkan.
b. Dapat dipakai sebagai pedoman penelitian selanjutnya dengan memakai
obat yang berbeda seperti dextromethorpan yang bekerja di NMDA
reseptor
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Respon Nyeri
Persepsi nyeri melibatkan sistem saraf perifer dan pusat. Komponen
spinal dan supra spinal dari SSP memegang peranan utama pada persepsi nyeri
tadi (gambar 1). Rangsangan karena luka mulai dari nociceptor di perifer
ditranduksikan melalui serabut saraf A yang kecil dan bermielin dan serabut
saraf C tidak bermielin ke soma di dorsal root ganglion. Akson-aksonnya
bersinap di dorsal horn medulla spinalis, dimana neuron dari laminae I, II dan
V-nya baV-nyak terlibat dalam persepsi nyeri.4,15,22
Gambar 2.1. Perjalanan nyeri dan tempat-tempat intervensi yang dapat memodulasinya
Sinyal-sinyal tersebut kemudian melalui traktus spinotalamikus dari
medula spinalis menuju thalamus dan cortex. Serabut saraf besar masuk dari
jalur sensorik lain dan jalur desenden dapat memodulasi aktifitas di dorsal horn,
dimana jalur desenden ini bisa memberi penjelasan fisiologis mengapa pasien
yang memiliki pengalaman nyeri persepsi, nyerinya meningkat bila mengalami
depresi hebat dan cemas. Rangsang nyeri pada akhirnya menimbulkan aktifitas
di bagian somatotopik yang sesuai porsi dari kedua kortek sensorik dan sistem
limbik.4,15
Respon dari rangsangan karena luka dapat dimodulasi oleh respon
ulangannya. Sebagai contoh, nociceptor di perifer menjadi lebih responsif
dengan rangsangan luka yang diulang . Sensitifitasnya dapat jauh diperkuat oleh
berbagai faktor jaringan dan mediator-mediator inflamasi yang dilepaskan akibat
adanya trauma pada jaringan. Respon terhadap neuron-neuron di dorsal horn
dari medula spinalis pada binatang percobaan telah ditemukan bersifat bifasik.
Respon awal dari rangsang melukai tersebut singkat dan berhubungan dengan
nyeri tajam dan terlokalisir. Fase kedua dari respon ini lebih lama dan
berhubungan dengan nyeri yang tumpul dan difus yang dialami setelah trauma
pertama. Dari penelitian, fase kedua ini berhubungan dengan daerah
hipersensitifitas yang terus bertumbuh di sekitar titik dimana rangsangan awal
diberikan.4,12
Proses dimana neuron-neuron dorsal horn neuron medula spinalis
disensitasi oleh rangsangan melukai sering dihubungkan dengan sensitasi
sentral atau sensitasi “windup” (memutar) . Sedikit banyak telah diketahui
tentang sensitasasi yang diinduksi nyeri dari komponen SSP. Secara umum,
bagaimanapun mekanisme di atas memperkuat sensitifitas dari rangsangan
melukai dan meningkatkan ambang nyeri paska pembedahan. terhadap noxious
stimuli dan bisa meningkatkan tingkat pengalaman nyeri setelah operasi.4,12,22
2.2. Preemptif Analgesia
Salah satu dari penelitian paling dipercaya menyatakan sensitisasi pusat
memegang peranan utama pada fase pertama dari respon nyeri. Penggunaan
opioid sebelum fase pertama dan direverse dengan antagonis opioid naloxon
(Narcan) sebelum onset yang diharapkan dari fase kedua ternyata mampu
mencegah stadium lanjut ini dari respon nyeri. Oleh karena itu,mencegah
kaskade neural awal dapat membawa keuntungan jangka panjang dengan
menghilangan hipersensitifitas yang ditimbulkan oleh rangsangan melukai.4.14
Percobaan pada hewan memperlihatkan keuntungan dari pencegahan
sensitisasi sentral dengan infiltrasi lokal anestesi, suatu pendekatan yang secara
khusus efektif pada nyeri yang berhubungan dengan diferensiasi, seperti yang
terjadi pada amputasi. Secara umum, hasil dari percobaan tadi menjadikan
konsep preemptif analgesia-dimulai dengan analgesia sebelum onset dari
rangsangan melukai untuk mencegah sensitisasi sentral dan membatasi
pengalaman nyeri selanjutnya.4,12,14
Pembedahan mungkin merupakan aplikasi klinis dimana tehnik preemptif
analgesia menjadi sangat efektif karena onset rangsangan yang kuat dapat
diketahui (gambar 2). Penting diketahui bahwa anestesia umum dengan volatile
anestesia seperti isoflurane (Forane) tidak dapat mencegah sensitisasi sentral.
Oleh karena itu, potensi sensitisasi sentral muncul bahkan pada pasien tidak
sadar yang tampak tidak respon secara klinis terhadap rangsangan
pembedahan.4,1
2.3. Preventif analgesia
Pada tahun 1994 Kissin menambahkan istilah “preventif analgesia” pada
“preemptif analgesia” dan menggunakan istilah “preemptif analgesia” hanya
terbatas pada efek karena sensitisasi oleh bagian dari preventif treatment yang
dimulai sebelum pembedahan dan tidak termasuk waktu paska pembedahan.
Katz baru-baru ini membandingkan outcome dari penelitian dengan pendekatan
yang dirancang untuk membuktikan pencegahan hipersensitifiti dari nyeri. Dia
melaporkan bahwa cara PRE melawan NO (preventif analgesia) menghasilkan
efek yang positif lebih sering dibandingkan cara PRE lawan POST (preemptif
analgesia) dan secara umum, efek dengan cara PRE lawan NO terdapat jarak
yang lebih besar. Hal ini menggambarkan bahwa pencegahan yang menyeluruh
terhadap sensitisasi ( tidak hanya disebabkan oleh luka karena sayatan tetapi
juga karena trauma inflamasi) memiliki nilai klinis yang lebih baik.8
Perbandingan cara pemberian analgetik
Gambar 2.2. Skematik preemptif analgesia dengan penekanan pada
pencegahan sensitisasi sistem saraf selama perioperatif. Tipe nyeri tanpa
intervensi ditunjukkan pada gambar A, dimana tergambar nyeri saat awal
pembedahan dan selanjutnya berkembang menjadi hipersensitifiti. Gambar B,
analgesia diberikan setelah sensitisasi dapat menurunkan nyeri sedikit tetapi
tidak memiliki keuntungan jangka panjang. Pada gambar C, analgesia diberikan
sebelum pembedahan membatasi nyeri dari mulai rangsangan dan menurunkan
hipersensitifiti selanjutnya. Yang paling efektif adalah pada gambar D di mana
analgesia diberikan sebelum pembedahan dan dilanjutkan selama masa
perioperatif.
2.4. Farmakologi AINS
Obat analgesik antipiretik serta obat antiinflamasi nonsteroid (AINS)
merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat
berbeda secara kimia. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki
persamaan dalam efek terapi dan efek samping.7
Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberi penjelasan
mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek
samping. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan
atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG).7
2.4.1. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja yang berhubungan dengan biosintesis PG ini mulai
dilaporkan pada tahun 1971 oleh Vene dan kawan-kawan yang memperlihatkan
secara in vitro bahwa dosis rendah aspirin dan indometasin menghambat
produksi enzimatik PG. kini banyak terbukti bahwa PG berperan pada
patogenese inflamasi, analgesia dan demam (gambar 1). Golongan obat ini
menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi
PG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklo-oksigenase dengan cara
berbeda. Aspirin sendiri menghamnbat dengan mengadakan asetilasi gugus aktif
serin dari enzim ini. Dan trombosit sangat rentan terhadap penghambatan ini
karena sel ini tidak mampu mengadakan regenerasi enzimnya. Sehingga dosis
tunggal aspirin 40 mg sehari cukup untuk menghambat siklo-oksigenase
trombosit manusia selama masa hidup trombosit, yaitu 8-11 hari.7
2.4.2. Inflamasi
Sampai sekarang fenomen inflamasi tingkat bioselular masih belum dapat
dijelaskan secara rinci. Fenomen yang diketahui dan disepakati adalah meliputi
kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi
leukosit ke jaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal ialah
kalor, rubor, tumor, dolor, dan functio laesia. Selama berlangsungnya fenomen inflamasi banyak mediator kimiawi yang dilepaskan secara lokal antara lain
histamin, 5-hidroksitriptamin (5HT), faktor kemotaktik, bradikinin, leukotrien dan
PG. dengan migrasi sel fagosit ke daerah ini, maka membran lisozim pecah dan
melepaskan enzim pemecah. Obat AINS dikatakan tidak berefek terhadap
mediator kimiawi tersebut kecuali PG.7
Secara in vitro terbukti bahwa prostaglandin E2 (PGE2) dan prostasiklin (PGI2)
dalam jumlah nanogram, menimbulkan eritema, vasodilatasi dan peningkatan
aliran darah lokal. Histamin dan bradikinin dapat meningkatkan permeabilitas
vaskular, tetapi efek vasodilatasinya tidak besar. Dengan penambahan sedikit
PG, efek eksudasi plasma histamin dan bradikinin akan lebih jelas. Migrasi
leukosit ke jaringan radang merupakan aspek penting dalam proses inflamasi.
PG sendiri tidak bersifat kemotaktik, tetapi produk lain dari asam arakidonat
yakni leukotrien B4 merupakan zat kemotaktik yang sangat poten. Obat AINS
tidak menghambat sistem lipooksigenase yang menghasilkan leukotrien
sehingga golongan obat ini tidak menekan migrasi sel. Tetapi bila diberi dosis
yang besar terlihat juga penghambatan migrasi sel tanpa mempengaruhi enzim
lipoksigenase. Obat yang menghambat biosintesis PG maupun leukotrien tentu
lebih poten menekan proses inflamasi.7
2.4.3. Rasa Nyeri
PG hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerusakan jaringan
atau inflamasi. Penelitian telah membuktikan bahwa PG menyebabkan
sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulus mekanik dan kimiawi. Jadi PG
menimbulkan keadaan hiperalgesia, kemudian mediator kimiawi seperti
bradikinin dan histamin merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata.7 Obat AINS tidak mempengaruhi hiperalgesia atau nyeri yang ditimbulkan oleh
efek langsung PG. Ini menunjukkan bahwa sintesis PG yang dihambat oleh
golongan obat tadi.7
Rangsang
Gangguan pada membran sel
Dihambat kortikosteroid Enzim fosfolipase Fosfolopid
Asam arakidonat
Enzim lipooksigenase Enzim siklo-oksigenase
Dihambat obat AINS
Hidroperoksid
Endoperoksid PGG2/PGH
PGE2,PGF2,PGD2 Prostasiklin
Leukotrien
Tromboksan A2
Gambar 2.3. Biosintesis Prostaglandin
2.4.4. Enzym Cyclooxygenase
Cyclooxygense (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalis sintesis
prostaglandin dari asam arakidonat. Prostaglandin memediasi sejumlah besar
proses di tubuh termasuk inflamasi,nyeri, sekresi pelindung lapisan lambung,
mempertahankan perfusi renal, dan aggregasi platelet. AINS memblok aksi dari
enzim COX maka menurunkan produksi mediator prostaglandin. Hal ini
menghasilkan kedua efek, baik yang positif ( analgesia, antiinflamasi) maupun
yang negatif (ulkus lambung, penurunan perfusi renal, perdarahan). Aktifitas
COX dihubungkan dengan 2 isoenzim, yang ubiquitously dan constitutive
diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksi inflamasi COX-2. COX-1
terdapat terutama di mukosa lambung, parenchym ginjal, dan platelet. COX-1
hanya sedikit diregulasi dalam merespon hormon inflamasi. Enzim ini penting
dalam proses homeostatik seperti aggregasi platelet, keutuhan mukosa
gastrointestinal, dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat inducible dan
diekspresikan terutama pada tempat trauma ( otak dan ginjal) dan menimbulkan
inflamasi, demam,nyeri dan carcinogenesis. Keberadaan COX-2 bisa difasilitasi
beberapa proses onkogenik, termasuk invasi tumor, angiogenesis, dan
metastase. Regulasi COX-2 yang transien di medulla spinalis dalam merespon
inflamasi pembedahan mungkin penting dalam sensitisasi sentral.5
2.4.5. Klasifikasi AINS
AINS adalah suatu istilah untuk semua obat variasi dari grup mulai dari
proses analgesia, antiinlamsi, dan efek antipiretik. Obat-obat ini dapat
dikategorikan ke dalam inhibitor nonspesifik konvensional dari kedua isoform
COX (ibuprofen, naproxen, aspirin, acetaminophen, ketorolak) dan COX-2
inhibitor selektif (celecoxib, rofecoxib, valdecoxib, parecoxib). Semua AINS dan
COX-2 inhibitor memiliki ceiling efek dan penambahan dosis hanya
meningkatkan resiko efek toksis obat ini.5
2.4.6. Cyclooxygenase-2 spesific inhibitors
Enzyme COX-2 inhibitor spesifik selektif menunjukkan efikasi analgesia,
dibandingkan dengan AINS yang konvensional. Obat-obat ini sedikit
berpengaruh pada platelet dengan dosis terapeutik dan mungkin menyebabkan
efek samping pada gastrointestinal yang sedikit pada pasien arthritis,
dibandingkan dengan non spesifik AINS. Resiko miokard infark akut dan
kejadian cerebrovaskular dapat meningkat pada pasien yang diterapi lama
dengan selective COX-2 spesifik enzyme inhibitor.5
2.4.7. Parecoxib
Parecoxib merupakan inhibitor COX-2 spesifik yang hanya tersedia dalam
sediaan parenteral. Untuk penanganan nyeri paska pembedahan parecoxib 40
mg 1 jam sebelum pembedahan dan ditambahkan 40 mg setelah pembedahan
jika diperlukan. Dosis dapat ditingkatkan sampai 80 mg pada pasien tertentu.
Parecoxib merupakan prodrug yang diubah pada tubuh menjadi valdecoxib.5,16
a. Farmakokinetik
Setelah pemberian IV atau IM parecoxib diubah menjadi valdecoxib oleh
hidrolisis enzimatik di hati. Konsentrasi puncak valdecoxib di serum tercapai
setelah 30 menit pemberian secara IV dan 1 jam setelah pemberian IM injeksi. Di
pengalaman klinik efek analgetik pertama terlihat setelah 7-13 menit, dengan
secara klinik sangat berarti terlihat setelah 23-39 menit dan efek puncak dalam 2
jam setelah pemberian 40 mg IV atau IM.16
Valdecoxib dimetabolisme secara luas di hati dengan banyak cara,
termasuk cytochrome P450 3A4 dan 2C9 isoenzyme. Kurang dari 5% valdecoxib
yang tidak berubah dikeluarkan lewat urine. Sekitar 70% dari dosis dieksresi
lewat urine sebagai metabolit yang tidak aktif. Waktu paruh eliminasi valdecoxib
sekitar 8 jam.16
Dosis penyesuaian direkomendasikan pada pasien tua dengan berat badan
kurang 50 kg dan pada pasien dengan gangguan hati moderat. Tidak ada dosis
penyesuaian pada pasien dengan gangguan ginjal, walaupun selama
penggunaan harus menjadi perhatian.16
b. Efek samping
Kejadian dan ulkus lambung masih ditemukan setelah pemberian
parecoxib walaupun sangat kecil bila dibandingkan dengan ketorolak.16
Parecoxib sedikit atau tidak berefek pada agregasi platelet dibanding
ketorolak. Bleeding time meningkat bervariasi tetapi tidak bermakna bila
dibandingkan dengan ketorolak. Efek samping yang lain adalah perubahan
tekanan darah, nyeri punggung, edema perifer, dispepsia, insomnia, anemia
paska pembedahan, gangguan pernafasan, pruritus dan oliguria. Efek tadi
dilaporkan dengan insiden kurang dari 1%.16
c. Kontra indikasi
Parecoxib dikontraindikasikan pada pasien dengan perdarahan
gastrointestinal aktif atau ulkus peptik, gangguan hati berat. Sebagai tambahan,
pasien yang alergi dengan AINS atau COX-2 inhibitor lain. Hati-hati digunakan
pada pembedahan coronary artery bypass graft dan gagal ginjal.16
2.4.8.Ketorolak
Ketorolak adalah suatu AINS yang menunjukkan efek analgesia yang
poten tetapi hanya memiliki aktifitas antiinflamasi yang moderat bila diberi secara
IM atau IV. Obat ini dipakai sebagai analgesia paska pembedahan baik sebagai
obat tunggal ( kurang nyeri pada pasien rawat jalan) maupun suplemen dengan
opioid. Ketorolak mempotensiasi aksi antinociceptive dari opioid. Hal yang
berlawanan efek analgesik opioid tergantung dosis, ketorolak dan AINS lain
menimbulkan ceiling efek pada analgesia paska pembedahan. Penggunaan
ketorolak sebagai obat analgesik tunggal intraoperatif dihubungkan dengan
meningkatnya insiden bergeraknya pasien pada saat sayatan. Ketorolak 30 mg
IM menghasilkan analgesia yang sebanding dengan 10 mg morfin atau 100 mg
petidin. Keuntungan ketorolak sewaktu induksi adalah tidak adanya depresi pada
kardiovaskuler maupun pernafasan. Tidak seperti opioid, ketorolak sedikit atau
tidak mempengaruhi saluran empedu.5
a. Farmakokinetik
Setelah injeksi IM, maximum plasma concentration tercapai pada 45
sampai 60 menit, dan waktu paruh eliminasi sekitar 5 jam. Onset of actionnya 10
menit. Efek puncak dicapai dalam 2-3 jam. Ikatan dengan protein melebihi 99%
dan clearance obat ini menurun dibanding opioid. Clearence menurun sebanding
dengan bertambahnya usia pasien, dan dosis lebih kecil pada pasien yang lebih
muda. Ketorolak dimetabolisme oleh konjugasi asam glukoronat.5
b. Efek Samping
Secara umum ketorolak dan AINS lain menghambat pembentukan
thromboxan platelet dan aggregasi platelet dengan cara menghambat enzim
prostaglandin synthetase secara reversibel. Bleeding time dapat meningkat pada
pemberian ketorolak intra vena dosis tunggal pada pasien yang mendapat spinal
anestesia (blok setinggi Th 6) tetapi tidak pada pasien yang di anestesi umum.
Perbedaan respon ini disebabkan reflek status hiperkoagulasi yang dihasilkan
respon neuroendokrin karena stress pembedahan selama anestesi umum
dibanding anestesi spinal.5
Bronkospasme yang mengancam nyawa dapat terjadi setelah pemberian
ketorolak pada pasien nasal polyposis, asthma, dan sensitif dengan aspirin.
Toleransi silang antara aspirin dengan AINS lain sering terjadi. Ketorolak sedikit
menyebabkan toksik pada ginjal dengan balance cairan yang adekuat
dipertahankan dan fungsi ginjal tidak tergantung pada prostaglandin ginjal.
Pasien dengan gagal jantung kongesti, hipovolemia, atau sirosis hepatis
melepaskan substansi vasoaktif, dimana prostaglandin merupakan kunci dari
pencegahan konstriksi arteri di ginjal, yang bisa menurunkan aliran darah ke
ginjal.peningkatan enzim transaminase hati bisa terjadi pada pasien yang
diterapi dengan ketorolak. Iritasi gastrointestinal dan perforasi, mual, sedasi, dan
edema perifer dapat menyertai pemberian AINS.5
2.5. Pengukuran nyeri
Sejumlah cara penilaian tingkat nyeri telah dicoba sebagai metode
pengukuran nyeri. Cara-cara ini telah digunakan pada penelitian, audit dan
praktik klinik. Semua metode berdasarkan pada nyeri yang dinilai secara
subjektif yang selanjutnya membuat sulit membandingkan antara individu.
Sebagai tambahan, nyeri adalah fenomena multidimensional yang komplek dan
tidak dapat digambarkan dengan skala satu dimensi. Bagaimanapun juga ada
beberapa cara pengukuran yang praktis digunakan di klinik,yaitu:
- Skala kategorikal seperti skala tingkat secara verbal mulai ringan, sedang,
berat.
- Visual Analog Skala (VAS) seperti digambarkan pada garis mulai angka 0
(tidak nyeri) sampai 100 (nyeri berat). Beratnya nyeri ditunjukkan dengan
tanda di sepanjang garis.
0 ——————————————————————————————100
- Complex pain assessment compendium seperti Brief Pain Inventory (BPI),
McGill Pain Questionnaire. BPI terdiri dari beberapa grup visual analog
skala bersama penilaian nyeri bergerak pada saat istirahat dan
aspek-aspek lain termasuk yang dipengaruhi efek latihan.
Gambar 2.4. Kartu penilaian VAS dengan ekspresi wajah
Tingkat nyeri memakai VAS atau kumpulan dari skala VAS (seperti BPI) adalah
penilaian nyeri yang dapat dipercaya. Karena hasilnya bisa membandingkan
terapi yang diberikan dan fasilitas yang ada.6
KERANGKA KONSEP
Pra
Pembedahan
Paska Pembedahan Pembedah
an
Anestesi /opioid ketorolak
Luka operasi
Multi modal analgetik inflamasi
parecoxib
nyeri
VAS VAS VAS VAS
Keterangan:
: menghambat
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Desain
Penelitian ini menggunakan metode randomized clinical trial dengan
tehnik double blind.
Random dilakukan dengan memakai cara Randomisasi Blok.
Double blind dilaksanakan dengan cara:
Pasien yang sudah dibagi secara random oleh relawan, ditentukan obat apa
yang disuntikkan. Kedua obat dibuat dalam pengenceran yang sama, yaitu 2 cc
dalam syringe 3 cc. Yang menentukan adalah seorang relawan. Relawan tadi
memberikan obat yang sudah ditentukan kepada peneliti dalam amplop putih
dengan instruksi yang tertulis di dalamnya. Lalu peneliti sendiri yang
menyuntikkan obat tadi . VAS sebelum dan sesudah pembedahan dinilai dan
dicatat oleh peneliti. Setelah semua sampel terkumpul relawan memberikan
daftar identitas pasien dan jenis obat yang diberikan kepada pasien selama
penelitian.
3.2. Tempat dan Waktu
a. Tempat
Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan
b. Waktu
September 2007 s/d Desember 2007
3.3. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi adalah seluruh pasien yang menjalani pembedahan dengan anestesi
umum di RSUP HAM Medan.
b. Sampel
Diambil dari pasien yang menjalani anestesi umum. Jenis operasi : digestif,
onkologi, orthopaedi,THT, plastik,gynekologi. Status fisik: ASA 1-2.
Setelah dihitung secara statistik, seluruh sampel dibagi secara random menjadi 2
kelompok. Kelompok I mendapat ketorolak 1 jam sebelum sayatan pertama.
Dilanjutkan dengan premedikasi petidin dan midazolam dilanjutkan prosedur
tetap anestesi umum. Kelompok II mendapat dinastat 1 jam sebelum sayatan
pertama. Dilanjutkan dengan premedikasi petidin dan midazolam dilanjutkan
prosedur tetap anestesi umum.
3.4. Kriteria inklusi dan Eksklusi
a. Kriteria Inklusi:
1. Bersedia ikut dalam penelitian
2. Usia 17-60 tahun
3. Dilakukan anestesia umum.
4. Operasi: onkologi, orhopaedi, THT, plastik,gynaekologi.
5. PS ASA 1-2
6. VAS pre operasi 0-1.
7. Berat badan > 50 kg.
8. Nyeri somatik post operasi
b. Kriteria Ekslusi:
1. Memerlukan analgetik selain yang diteliti
2. Dikombinasilkan dengan regional anestesi.
3. Post operasi masih terintubasi.
4. Alergi terhadap obat yang diteliti
5. Menderita ulkus pepticum dan faal hemostasis
6. Penderita/ riwayat asthma.
7. Riwayat pemakai obat-obatan penghilang nyeri yang berlama-lama
8. Operasi lebih dari 2 jam.
9. Operasi daerah anus, rongga dada, rongga perut atas.
10. Pasien post trauma.
3.5. Besar Sampel
Besar sampel dihitung dengan rumus:17
N1=N2= 2 (Z + Z )S 2
X1 – X2
Kesalahan tipe I = 5%, hipotesis dua arah, maka Z =1,96
Kesalahan tipe II=10%, maka Z =1,28
Simpangan baku gabungan (studi pendahulunya) = 0,94
Selisih minimal yang dianggap bermakna = 1
N1=N2= (1,96+1,28) 0,94 2 2 1
N1=N2= 21
Total pasien untuk kedua kelompok = 42
3.6. Cara kerja
a. Setelah mendapat informed consent dan disetujui komite ethic semua
sampel dinilai VAS sebelum menjalani operasi.
b. Pasien PS ASA I-II dibagi secara random menjadi 2 grup.
c. Grup ketorolak mendapat ketorolak 30 mg iv 1 jam sebelum sayatan
pertama, lalu dilanjutkan premedikasi petidin 1 mg/kg im dan midazolam
0,1 mg/kg im sebelum GA, grup parecoxib mendapat parecoxib 40 mg iv 1
jam sebelum sayatan pertama dilanjutkan premedikasi petidin 1 mg/kg
dan midazolam 0,3 mg/kg im sebelum GA.
d. Kedua grup menjalani GA dengan manitenance N2O + O2 + titrasi halotan
yang sudah standard dilakukan di RS HAM.
e. Kedua grup paska pembedahan diperlakukan sama dengan mendapat
ketorolak 30 mg iv 8 jam setelah injeksi pertama.
f. Post op kedua grup pasien dinilai VAS 1 jam, 2 jam, 3 jam,4 jam, 5 jam.
g. Pasien mendapat tambahan analgetik bila VAS > 7. analgetik yang diberi
petidin 1 mg/ kg i.m.
h. Kedua hasil VAS pre dan post op dibandingkan secara statistik.
KERANGKA DESAIN PENELITIAN
1. Visual Analog Skala
3.8. Rencana manajemen dan analisis data
Analisis data bila distribusinya normal dengan t test tidak berpasangan. Bila
distribusinya tidak normal dengan MannWithney. Pengujian kemaknaan
dilakukan dengan Kolmogorov-Siminov.
Batas kemaknaan yang ditetapkan: 5%
Interval kepercayaan yang dipakai: 95%
3.9. Definisi operasional
Preemptif analgesia-dimulai dengan analgesia sebelum onset dari
rangsangan melukai untuk mencegah sensitisasi sentral dan membatasi
pengalaman nyeri selanjutnya.4,12,14
Ketorolak adalah suatu AINS yang menunjukkan efek analgesia yang
poten tetapi hanya memiliki aktifitas anti inflamasi yang moderat bila diberi
secara im atau iv. Obat ini dipakai sebagai analgesia paska pembedahan baik
sebagai obat tunggal ( kurang nyeri pada pasien rawat jalan) maupun suplemen
dengan opioid. Onsetnya mulai 15 menit. Efek puncak dicapai dalam 2-3 jam.
Dosis orang dewasa < 65 tahun 60 mg dosis tunggal im, 30 mg dosis tunggal iv.
Pasien > 65 tahun, gangguan ginjal, dan berat badan < 50 kg 30 mg dosis
tunggal im, 15 mg dosis tunggal iv.
Parecoxib adalah inhibitor COX-2 spesifik yang hanya tersedia dalam
sediaan parenteral. Untuk penanganan nyeri paska pembedahan parecoxib 40
mg 1 jam sebelum pembedahan dan ditambahkan 40 mg setelah pembedahan
jika diperlukan. Dosis dapat ditingkatkan sampai 80 mg pada pasien tertentu.
Parecoxib merupakan prodrug yang diubah pada tubuh menjadi valdecoxib.5,16 Efek analgetik pertama terlihat setelah 7-13 menit, di klinik terlihat setelah 23-39
menit dan efek puncak dalam 2 jam setelah pemberian 40 mg iv atau im.16
VAS adalah alat yang sudah sering digunakan untuk mengukur nyeri.
Caranya dengan menanyakan kepada pasien dan memintanya untuk menunjuk
intensitas nyerinya pada sepanjang garis horizontal 100 mm, dan tingkat
nyerinya diukur mulai dari sisi kiri. 21 Hasilnya dinilai mulai dari 0 mm (tidak nyeri) sampai 100 mm (nyeri sangat hebat).23 Contoh lembaran penilaian VAS ada pada lampiran proposal ini.
3.10. Masalah etika.
Kedua obat yang diteliti ini memiliki efek samping yang dapat diantisipasi.
Dari penelitian yang sudah dilakukan didapatkan efek samping ketorolak berupa
ulkus peptikum, bleeding time memanjang, gangguan pada ginjal yang
semuanya ditemukan kurang dari 12%. Efek samping parecoxib berupa
perubahan tekanan darah, nyeri punggung, edema perifer, dispepsia, insomnia,
anemia paska pembedahan, gangguan pernafasan, pruritus dan oliguria. Efek
tadi dilaporkan dengan insiden kurang dari 1%.16 Bila efek samping ditemukan pemakaian obat langsung dihentikan dan pasien diterapi sesuai penyakit yang
ditimbulkannya.
Sebelum penelitian kepada pasien dilakukan informed consent.
Penelitian ini aman dilaksanakan pada manusia karena kedua obat sudah lama
dipakai sebagai analgesia paska pembedahan dan terbukti aman bila tidak ada
kontra indikasi pada pasien yang memakainya. Pada penelitian ini dosis obat
yang digunakan adalah dosis terapeutik. Selain itu penelitian dengan jenis obat
yang sama sudah sering dilakukan pada pusat-pusat pendidikan lain.
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Dari 53 pasien yang bersedia mengikuti penelitian sesuai dengan
prosedur penelitian sebanyak 8 pasien dikeluarkan karena operasi berlangsung
lama , 1 pasien dikeluarkan karena memerlukan analgetik lain selama dan
sesudah pembedahan ditambah masih terintubasi sesudah pembedahan. 2
pasien masing-masing 1 dari kelompok ketorolak dan 1 dari kelompok parecoxib
mendapat tambahan analgetik lain selama penilaian paska pembedahan. Jadi
tetap dimasukkan sebagai sampel dan pasien dikeluarkan setelah mendapat
analgetik tambahan.
Dari 44 pasien yang menjadi sampel hanya 42 pasien yang diikutkan
sampai penelitian berakhir yaitu 21 pasien dalam kelompok ketorolak dan 21
pasien dalam kelompok parecoxib.
Dari data deskriptif berupa umur, berat badan, jenis kelamin, PS ASA dari
kedua kelompok tidak ditemukan perbedaan yang bermakna (tabel 4.1 4.2 dan
4.3). Sedangkan lamanya operasi menghasilkan perbedaan yang bermakna
antara kedua kelompok. (tabel 4.1)
Tabel 4.1. Data deskriptif umur, berat badan, dan lamanya operasi pada
penelitian perbandingan efek analgesia parecoxib dan ketorolak sebagai
preemptif analgesia pada anestesi umum
Umur pasien yang menjadi sampel kelompok ketorolak yang paling muda
berusia 18 tahun dan yang tertua berusia 55 tahun dengan rerata 31,5 (SD 11,4)
sedangkan kelompok parecoxib yang paling muda berusia 17 tahun dan yang
tertua berusia 53 tahun dengan rerata 32,1 (SD 12,9 ) dengan t-test di dapat p = 0,99 (p>0,05) berarti tidak ada perbedaan umur yang bermakna antara kedua
kelompok.
Berat badan pasien yang menjadi sampel pada kelompok ketorolak yang
paling ringan 43 kg dan yang paling berat 71 kg rerata 53,9 (SD 8,0), sedangkan
kelompok parecoxib yang paling ringan 46 kg dan yang paling berat 80 kg
dengan rerata 54,0 (SD 7,9). Dengan memakai test Mann-whitney didapat p = 0,96 (p>0,05) berarti tidak ada perbedaan berat badan yang bermakna antara
kedua kelompok.
Table 4.2. Data PS ASA pasien yang mengikuti penelitian perbandingan efek
analgesia parecoxib dan ketorolak sebagai preemptif analgesia pada anestesi
umum
Status Fisik menurut American socieity of Anesthesiologist (PS ASA) pada
kelompok ketorolak 16 pasien (72,7%) dengan PS ASA 1, dan 6 pasien (27,3%)
dengan PS ASA 2. sedangkan kelompok parecoxib 18 pasien (81,8%) dengan
PS ASA 1, dan 4 pasien (18,2%) dengan PS ASA 2. Dengan memakai chi
square test didapat p= 0,719 (p>0,05) berarti tidak ada perbedaan PS ASA yang bermakna antara kedua kelompok.
Table 4.3. Data jenis kelamin pasien yang mengikuti penelitian perbandingan
efek analgesia parecoxib dan ketorolak sebagai preemptif analgesia pada
anestesi umum
Jenis kelamin pasien yang menjadi sampel pada kelompok ketorolak laki-laki
sebanyak 10 pasien (45,5%) sedangkan perempuan sebanyak 12 pasien
(54,5%). Kelompok parecoxib laki-laki sebanyak 13 pasien (59,1%) dan
perempuan sebanyak 9 pasien (40,9%) dengan memakai chi square test
didapat p= 0,55 (p>0,05) berarti tidak ada perbedaan jenis kelamin yang bermakna antara kedua kelompok.
Lamanya waktu pembedahan untuk kelompok ketorolak yang tercepat 15
menit dan yang terlama 135 menit dengan rerata 92,9 (SD 37,03) . Sedangkan
kelompok parecoxib yang tercepat 5 menit dan yang terlama 130 menit dengan
rerata 57,4 (SD 38,0). Dengan memakai t test di dapat p = 0,003 (p< 0,05) berarti ada perbedaan lamanya pembedahan yang bermakna antara kedua kelompok
dalam hal lamanya waktu pembedahan.
Table 4.4. Data lamanya waktu antara pemberian obat premedikasi dan obat
yang diteliti dengan sayatan pertama pada penelitian perbandingan efek
analgesia parecoxib dan ketorolak sebagai preemptif analgesia pada anestesia
umum.
Kelompok N Mean SD P
Ketorolak 22 68,1 29 0,84
Parecoxib 22 66,3 24
Lamanya waktu antara pemberian obat premedikasi dan obat yang diteliti
dengan sayatan pertama pada kelompok ketorolak rerata 68,1 menit (SD 29) dan
kelompok parecoxib rerata 66,3 menit (SD 24). Dengan test Mann-Whitney
didapat p= 0,84 (p > 0,05) berarti tidak ada perbedaan yang bermakna dalam hal waktu antara premedikasi dengan sayatan pertama.
Jenis operasi juga hampir tidak jauh berbeda antara kedua kelompok
(tabel 4.5)
Tabel 4.5. Jenis-jenis pembedahan pada penelitian perbandingan efek analgesia
parecoxib dengan ketorolak sebagai preemptif analgesia pada anestesia umum.
Ketorolak n=22 Parecoxib n=22
Tabel 4.6. Data VAS pasien sebelum pembedahan pada penelian perbandingan
efek analgesia parecoxib dengan ketorolak sebagai preemptif analgesia pada
anestesia umum.
Kelompok N Mean SD P
Ketorolak 22 3,6 4,4 0,87
Parecoxib 22 3,6 4,9
VAS sebelum pembedahan pada kelompok ketorolak dengan rerata 3,6
(SD 4,4) sedangkan kelompok parecoxib dengan rerata 3,6 (SD 4,9). Dengan
Mann Whitney test didapatkan p= 0,87 (p>0,05) berarti tidak ada perbedaan yang bermakna nilai VAS sebelum pembedahan antara kedua kelompok.
Tabel 4.7. Nilai VAS paska pembedahan pada pasien yang mengikuti penelitian
perbandingan efek analgesia parecoxib dengan ketorolak sebagai preemptif
VAS setelah pembedahan pada kelompok ketorolak pada 1 jam paska
pembedahan rerata 18,9 (SD 22,2), 2 jam paska pembedahan rerata 18,5 (SD
14,2), 3 jam paska pembedahan rerata 22,4 (SD 15,1), 4 jam paska
pembedahan rerata 23,8 (SD 15,97), 5 jam paska pembedahan rerata 27,6 (SD
19,2).
VAS kelompok parecoxib pada 1 jam paska pembedahan rerata 13,6 (SD
14,0), 2 jam paska pembedahan rerata 22,5 (SD 17,4), 3 jam paska
pembedahan rerata 26,7 (SD 21,5), 4 jam paska pembedahan rerata 26,0 (SD
19,1), 5 jam paska pembedahan rerata 28,7 (SD 20,1). Dengan Mann Whitney
test didapat nilai p berturut 0,375 (1 jam); 0,65 (2 jam);0,78 (3 jam);0,98 (4 jam);0,89 (5 jam). Semua nilai p>0,05 berarti tidak ada perbedaan VAS antara
kedua kelompok.
Tabel 4.8. Nilai selisih VAS paska dan pre pembedahan pada pasien yang
mengikuti penelitian perbandingan efek analgesia parecoxib dengan ketorolak
sebagai preemptif analgesia pada anestesia umum.
Demikian juga perubahan VAS dari sebelum dan setelah pembedahan
pada kelompok ketorolak pada 1 jam paska pembedahan rerata 11,6 (SD12,5), 2
jam paska pembedahan rerata18,6 (SD 21,0), 3 jam paska pembedahan rerata
19,0 (SD 15,1), 4 jam pembedahan rerata 20,5 (SD15,9), 5 jam paska
pembedahan rerata 24,2 (SD 18,9).
Kelompok parecoxib pada 1 jam paska pembedahan rerata 10,0 (SD
14,1), 2 jam paska pembedahan rerata 18,9 (SD 17,3), 3 jam paska
pembedahan 23,1 (SD 21,9), 4 jam paska pembedahan rerata 22,2 (±19,1), 5
jam paska pembedahan rerata 24,9 (± 20,0). Dengan Mann Whitney test didapat
nilai p berturut 0,51(1 jam); 0,85(2 jam); 0,87(3 jam); 0,98(4 jam);0,87(5 jam). Semua nilai p>0,005 berarti tidak ada perbedaan VAS antara kedua kelompok.
Dengan memakai General Linear Methode didapatkan ada perbedaan
yang bermakna perubahan VAS pada masing-masing kelompok dari waktu ke
waktu walaupun antar kelompok tidak ada perbedaan yang bermakna.(Grafik
4.1)
Grafik 4.1. Perubahan VAS mulai dari sebelum dan sesudah pembedahan
BAB 5 PEMBAHASAN
Dari data deskriptif yang ada baik umur, berat badan, jenis kelamin,
maupun PS ASA tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok
sehingga dapat dikatakan sampel terdistribusi secara merata. Karena itu data
VAS yang didapat dari kedua kelompok baik sebelum pembedahan maupun
sesudah pembedahan dapat dipakai sebagai alat ukur untuk membandingkan
efek kedua obat dalam menghilangkan rasa sakit. Demikian pula dengan jenis
pembedahan yang memakai kedua jenis obat, tidak jauh berbeda antara kedua
kelompok.
Adapun dalam hal lamanya pembedahan pada kedua kelompok
ditemukan perbedaan yang bermakna, yaitu kelompok ketorolak rerata 92,9 (SD
37,03) dan kelompok parecoxib rerata 55,6 (SD 37,95). Tetapi perbedaan waktu
ini tidak mempengaruhi terhadap interpretasi hasil VAS kedua kelompok karena:
1. Onset of action parecoxib 7-13 menit dan efek puncak dalam 2 jam
sedang waktu paruh eliminasinya sekitar 8 jam. Sedang onset of action
ketorolak 10 menit dan efek puncak dalam 2-3 jam sedang waktu paruh
eliminasinya sekitar 5 jam. Jadi lamanya waktu mulai dari pemberian
kedua jenis obat sampai penilaian pertama paska pembedahan pada
kedua kelompok masih dalam rentang waktu puncaknya kedua obat.
2. Berdasarkan umur, berat badan, PS ASA, dan jenis pembedahan pasien
sudah terbagi secara merata sedangkan lamanya waktu pembedahan
tidak dapat diprediksi sebelum pembedahan dilakukan.
Berdasarkan kedua alasan di atas maka hasil VAS yang didapat baik
sebelum maupun sesudah pembedahan dapat dipakai untuk membandingkan
kedua obat sebagai preemptif analgesia.
VAS sebelum pembedahan ditentukan hanya 0-10 karena untuk
menghilangkan kemungkinan bias yang disebabkan nyeri sebelum
pembedahan. Sebab yang akan dinilai adalah nyeri akibat pembedahan bukan
nyeri karena penyakit yang diderita sebelum pembedahan.
VAS paska pembedahan pada kedua kelompok obat tidak ada perbedaan
yang bermakna, walaupun sebenarnya hasil VAS pada kelompok ketorolak
lebih kecil sedikit dibandingkan kelompok parecoxib kecuali pada 1 jam paska
pembedahan. Dengan kata lain ketorolak lebih baik sedikit menghilangkan nyeri
paska pembedahan dibanding parecoxib, tetapi nilainya tidak bermakna
sehingga tidak bisa menjadi kesimpulan. Hal ini dapat diterangkan dengan
farmakologi kedua obat. Kedua obat adalah golongan COX inhibitor, dimana
ketorolak merupakan COX-1 dan COX-2 inhibitor sedang parecoxib merupakan
COX-2 inhibitor saja. Seperti telah dijelaskan di tinjauan pustaka nyeri
disebabkan oleh prostaglandin yang sintesisnya dikatalisir oleh enzim
cyclooxygenase-2. Oleh kedua obat enzim tadi dihambat sehingga tidak
terbentuk prostaglandin dan selanjutnya nyeri juga tidak terjadi. Dengan
terhambatnya enzim COX-2 oleh kedua obat maka efek kedua obat dalam
menghilangkan nyeri adalah sama. Yang berbeda hanyalah dalam hal
penghambatan enzim COX-1 yang hanya ada pada ketorolak. Adapun akibat
penghambatan enzim ini adalah terganggunya mukosa lambung, fungsi ginjal,
dan aggregasi platelet. Tidak ada hubungannya ke respon nyeri. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Barton, S.F,FF.Langeland dkk (2002) yang
membandingkan parecoxib sodium 20 mg dan 40 mg dosis tunggal dengan
ketorolak iv 30 mg setelah operasi laparotomi.9
Penelitian ini berbeda hasilnya dengan penelitian yang dilakukan Ng A
dkk (2004) yang menyimpulkan parecoxib 40 mg i.v yang diberikan saat induksi
kurang efektif dibandingkan ketorolak 30 mg i.v. pada jam pertama setelah
laparoskopi sterilisasi. Metode yang dipakai pada penelitian Ng A dkk adalah
semua pasien mendapat propofol 2-4 mg/ kg i.v., fentanyl 1,5 µg/ kg i.v.
ondansetron 4 mg i.v. dan pelumpuh otot non depolarisasi. Pasien diventilasi
dengan N2O dan isoflurane + O2. Sisa pelumpuh otot diantagonis dengan
neostigmin dan sulfas atropin. Setelah Filshie clips terpasang diberikan 10 dan
20 ml levobupivacaine 2,5 mg/ ml di tempat sayatan sampai rongga peritoneum.
Pasien mendapat parecoxib 40 mg i.v.atau ketorolak 30 mg i.v. pada saat
induksi. Setelah pembedahan selesai, pasien dinilai saat sadar dan setelah 1,2
dan 3 jam oleh staff yang tidak mengetahui obat yang diberi sebelumnya. Yang
dinilai adalah VAS, mual muntah dan sedasi. Setiap jam setelah pembedahan
selain dinilai pasien juga ditanyakan apakah membutuhkan analgetik
”pertolongan” yang dibagi 2, yaitu cocodamol 30/500 untuk nyeri ringan sampai
sedang dan morfin 10 mg i.m. untuk nyeri berat. Hasilnya nyeri abdomen pada
saat istirahat dan bernafas lebih tinggi pada kelompok parecoxib dibanding
ketorolak. Sedangkan pemakaian analgetik ”pertolongan” tidak ada perbedaan
yang bermakna.9
Hasil penelitian Ng A dkk ini disebabkan :
1. Penelitian Ng A dkk memakai sample pasien dengan pembedahan yang
semuanya relatif singkat (21-35 menit) sehingga parecoxib yang merupakan
prodrug belum mencapai masa puncak operasi telah berakhir. Seperti telah
diketahui adapun parecoxib adalah suatu prodrug, yang diubah di hati menjadi
obat bentuk aktif valdecoxib. Setelah parecoxib 50 mg iv, C max valdecoxib
sebesar 1,02 mg/ liter tercapai setelah 0,6 jam. Sedangkan ketorolak yang
diberikan sudah merupakan obat dalam bentuk aktif yang segera menghambat
enzim COX dan mencegah pembentukan prostaglandin. Maka pada
pembedahan yang berlangsung cepat pencapaian masa puncak kerja obat
parecoxib lebih lambat dibanding ketorolak sehingga ada keunggulan sedikit
ketorolak dalam hal menghilangkan nyeri.
2. Waktu antara pemberian obat yang diteliti dan sayatan pertama sangat
singkat sehingga bagi obat yang belum aktif sinyal nyeri tadi sudah terkirim
tanpa diblok sebelumnya di level transduksi akibatnya nyeri yang dinilai paska
pembedahan akan lebih tinggi dibandingkan dengan pemakai obat yang sudah
dalam bentuk aktif.
Berbeda dengan penelitian Ng A dkk , Barton SF dkk memakai metode
yang hampir sama dengan penelitian ini yaitu sampel yang dipakai adalah yang
menjalani abdominal hysterektomy atau miomectomy yang durasi operasinya
relatif lebih lama dibanding dengan penelitian Ng A dkk akibatnya efek kedua
obat sudah mencapai masa puncaknya sehingga nyeri yang diblok hampir sama
pengurangannya.
Perbedaan score VAS dari waktu ke waktu pada tiap kelompok
disebabkan nyeri yang ditimbulkan reaksi inflamasi luka operasi. Sementara
paska pembedaan tidak ada penambahan analgetik untuk mengatasi nyeri
tersebut sehingga setelah masa puncak kedua obat, konsentrasi obat dalam
darah akan menurun dari waktu ke waktu dan akhirnya VAS yang diukur juga
meningkat dari waktu ke waktu.
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 KESIMPULAN
1. Dari penilaian VAS paska pembedahan pada berbagai jenis operasi yang
diberikan ketorolak dan parecoxib sebagai preemptif analgesia didapatkan
hasil tidak ada perbedaan bermakna diantara kedua kelompok.
2. Perbedaan lamanya pembedahan tidak mempengaruhi VAS paska
pembedahan dengan tehnik preemptif analgesia.
3. Tehnik preemptif analgesia sangat berguna bagi pasien dalam hal
menghilangkan rasa nyeri paska pembedahan.
6.2 SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada jenis pembedahan dan
lamanya pembedahan yang sama.
2. Tehnik preemptif analgesia dapat dijadikan protokol pada pembedahan
elektif.
DAFTAR PUSTAKA
1. As’at. Tanda-tanda anestesia. In: Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S,
Dahlan R,editors. Anestesilogi. Jakarta:bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta; p.1989,45.
2. Basuki G. Anestesia obstetri. In: Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S,
Dahlan R,editors. Anestesilogi. Jakarta:bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta; 1989, p.129.
3. Provenzano DA, Grass JA. Is epidural Analgesia superior to iv PCA?. In:
Fleisher LA,editors. Evidence-Based Practice of Anesthesiology.
Philadelphia: Saunders;2004, p.442-5.
4. Gottschalk A. New concepts in acute pain therapy: preemptive analgesia.
American family physician. 2001;63(10):
5. Stoelting RK, Cyclooxygenase-2 Inhibitors and Nonspecific Nonsteroidal
Antiinflammatory Drugs. In: Stoelting RK, Hiller SC,editors. Pharmacology
& physiology in anesthetic practice. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006,p.276-88.
6. Francesca F, Bader P, Echtle D, Giunta F, Williams J. Guidelines on pain
management. European Association of Urology. 2006;14.
7. Wilmana PF, Analgetik-antipiretik analgetik anti-inflamasi non steroid dan
obat pirai. In: Gan S,editors. Farmakologi dan Terapi Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Gaya Baru;1987,p.183-6.
8. Kissin I. Pain Medicine Preemptive Analgesia at the crossroad. Anesth
Analg 2005;100:754-6
9. Ng A, Temple A, Smith G, Emembolu J. Early analgesic effects of
parecoxib versus ketorolak following laparoscopic sterillization a
randomized controlled trial. Cat. Inist. 2004;92(6):846-9.
10. Lopez B, Labastida V, Castillo A, Ibarra M, Serranto S, Zarco G.
Preemptive analgesia for postoperative pain with preoperative IM
ketorolac tromethamine vs. parecoxib sodium and postoperative oral
ketorolac tromethamine vs. valdecoxib. Rev Mex Anest 2005; 28 (1):
27-31.
11. Barton S, Langeland FF. Efficacy and safety of intravenous parecoxib
sodium in relieving acute postoparetive pain following gynecologic
laparotomy surgery. Anesthesiology 2002; 97(2): 306-14.
12. Sandkuhler J, Ruscheweyh R. Opioid and central sensitisation: I.
Pre-emptive analgesia. European Journal of Pain 2005; 9: 145-8.
13. Perfusi RM, Selective Cyclooxygenase Inhibition in Pain Management.
JAOA 2004; 104(11): 19-24.
14. Kelly DJ, Ahmad M, Sorin J, Brull MD. Preemptive analgesia II: recent
advances and current trends. Can J Anest 2001;48(11): 1091-1101.
15. Cousins M, Power I. Acute and postoperative pain. In: Melzack R, Wall
PD,editors. Handbook of pain management a clinical companion to wall
and melzack’s textbook of pain. London: churchill Livingstone;
2003,p.13-30.
16. Anonymous. New Medicines on the market Parecoxib (Editorial). UK
Medicines Information 2002;
17. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH.
Perkiraan besar sampel. In: sastroasmoro S, Ismael S,editors.
Dasar-dasar metodologi penelitian klinis.edisi ke-2. Jakarta: CV Seagung
Seto;2002,p. 280-1.
18. Dahlan MS . Statistika untuk kedokteran dan kesehatan: uji hipotesis
dengan menggunakan SPSS. Jakarta: Arkans, 2004.p. 1-28.
19. Dahlan MS. Besar sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan.
Jakarta: Arkans, 2006.p. 54.
20. Foegh ML, Ramwell PW. The eicosanoids: Prostaglandins, thromboxanes,
leukotriens, & related compuonds. In: Katzung BG. Basic & clinical
pharmacology.ninth edition. Singapura. Mc Graw Hill. 2004;p.298-301.
21. Myles PS, Troedel S, Boquest M, Reeves M. The pain visual scale: is it
linier or linier? Anest Analg 1999;89:1517-20.
22. Tanra AH. Nyeri paska bedah dan pengobatannya. Anestesia & Critical
Care 2005;23(2):152-8.
23. Daniels SE, Grossman EH. A double-blind, randomized comparison of
intramuscularly and antravenously administered parecoxib sodium versus
ketorolak and placebo in post-oral surgery pain model. Clin Ther
2001;23(7): 1018-31.
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1
Riwayat hidup
Nama : dr. Rahmatsyah
N I P : 140355309
Tempat/ tgl. Lahir : Medan/ 17 Desember 1968.
Pekerjaan : PNS- Peserta Pendidikan Dokter Spesialis
Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara,
Periode 2003- sekarang.
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat rumah : Jl. Durung No. 139 Medan
No. Telepon : 061-6614162/ HP 081330059093
Alamat kantor : RSUD Rantau Prapat Jl. KI Hajar Dewantara
Anak ke : 9 dari 9 bersaudara
Orang tua : (Alm) Sabarudin
(Alm) Radiah
Status : Kawin
Istri : Yuhelmi
Anak : M. Rasyid Ghufron Bin Rahmatsyah
Khalisha Fadila Binti Rahmatsyah
Nurul Ummi Binti Rahmatsyah
Hobby : Sepak bola.
Riwayat pendidikan:
1976-1982 : SD Negeri NO.060857 Medan.
1982-1985 : SMP Perguruan Pahlawan Nasional Medan
1985-1988 : SMA Negeri 10 Medan
1989-1996 : dokter umum FK USU Medan
2003- : Program pendidikan dokter spesialis anestesiologi dan
Reanimasi Fakultas Kedokteran USU Medan.
Riwayat pekerjaan:
1997-2000: Dokter PTT sebagai Kepala Puskesmas Sirukam Kecamatan
Payung Sekaki.
2000-2003: PNS sebagai Dokter Umum Rumah Sakit Umum Daerah
Rantau Prapat.