commit to user
EFEK KETOROLAK 30 MG INTRAVENA SEBAGAI
PREEMPTIVE ANALGESIA PADA OPERASI
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Ali Ma’ruf
G0008050
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
commit to user
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, 2011
commit to user
iv ABSTRAK
Ali Ma’ruf. G0008050. Efek Ketorolak 30 mg Intravena sebagai Preemptive
Analgesia pada Operasi. Program Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Tujuan Penelitian : penelitian ini untuk mengetahui apakah pemberian ketorolak 30 mg intravena mempunyai efek sebagai preemptive analgesia pada operasi.
Metode Penelitian : Penelitian ini bersifat eksperimental dengan desain
penelitian “randomized control two group design”. Besar sampel sebanyak 30 pasien, status fisik ASA I-II, usia 18 - 60 tahun, BMI kurang dari 30, menjalani prosedur operasi elektif dengan anestesi umum. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara randomisasi sederhana untuk 2 kelompok, Kelompok A(n = 15) mendapatkan ketorolak 30 mg IV 15 menit sebelum insisi pertama dan kelompok B(n = 15) mendapatkan ketorolak 30 mg IV 10 menit sebelum menutup kulit. Dilakukan pengamatan skor nyeri pada jam ke 1 dan jam ke 6 pasca operasi. Pengukuran dengan Visual Analog Scales (VAS) dan penambahan rescue
analgetik sesuai kebutuhan pasien. Data didapatkan dengan cara pengisian kuesioner dan pemeriksaan fisik. Kemudian data dianalisis menggunakan program SPSS 16,0.
Hasil Penelitian : Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan bermakna secara statistik rerata skor VAS kelompok A(preemptive analgesia) dan kelompok B(menutup kulit) pada jam ke 1 pasca operasi(p = 0,033).
Simpulan Penelitian : Pemberian ketorolak 30 mg IV sebelum operasi
mempunyai efek sebagai preemptive analgesia yaitu dengan menurunkan nilai VAS pada jam ke 1 pasca operasi.
commit to user
v ABSTRACT
Ali Ma’ruf. G0008050. The Effects of Intravenous Ketorolac 30 mg as Preemptive Analgesia on Surgery. Medical Faculty of Sebelas Maret University.
Objective: This study aims to know the effects of intravenous Ketorolac 30 mg as preemptive analgesia on surgery.
Method: This study was an analytical experimental using “randomized control two group design” approach. Subject were 30 patients between 18 to 60 years old with ASA I-II physical status and IMT score less than 30 who were going to schedule for elective surgery using general anesthesia. These samples were taken by using simple randomisation for 2 groups. Group A (n = 15) received intravenous ketorolac 30 mg 15 minutes before first skin incision, group B (n = 15) received intravenous ketorolac 30 mg 10 minutes before skin closing. Pain scales were observed at the 1st and 6th hours post-surgery. Measurement was by using Visual Analog Scales (VAS) and the addition of appropriate rescue analgesic as patients’ need. Data was obtained by filling a questionnaire and physical examination. Then it was analyzed by using SPSS 16,0.
Results: This study shows there was a significant mean difference of VAS score between group A(preemptive analgesia) and group B(skinclosing) at the first hour post-surgery (p = 0,033).
Conclusion: From this study it can be concluded that the giving of intravenous Ketorolac 30 mg pre-surgery has preemptive analgesia effect which is to reduce the value of VAS score on the first hour post-surgery.
commit to user
vi PRAKATA
Segala puji bagi Alloh subhanahu wata’ala Tuhan seluruh alam atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Efek Ketorolak 30 mg Intravena sebagai Preemptive Analgesia pada Operasi”. Penulis memuji, memohon pertolongan, dan meminta ampun kepada-Nya.
Atas bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sehingga dapat terselesaikan penulisan skripsi ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Muthmainah, dr., M.Kes selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Purwoko, dr., Sp. An.KAKV selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan waktu, pengarahan, bimbingan, saran, dan motivasi bagi penulis. 4. Heri Dwi Purnomo, dr., M. Kes. Sp. An selaku Pembimbing Pendamping yang
telah memberikan waktu, pengarahan, bimbingan, saran, dan motivasi bagi penulis.
5. H. Marthunus Judin, dr.,Sp. An selaku Penguji Utama yang telah memberikan waktu, saran, nasehat, dan melengkapi kekurangan dalam penulisan skripsi ini. 6. Soemartanto, dr., Sp. An.KIC selaku Penguji Pendamping yang telah memberikan waktu, saran, nasehat, dan melengkapi kekurangan dalam penulisan skripsi ini.
7. Seluruh staf bagian anestesi dan terapi intensif yang telah banyak membantu dalam pengambilan data.
8. Bagian Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, Bu Eny dan Mas Nardi yang telah berkenan memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.
9. Bapak ibu dan keluargaku tercinta yang telah memberikan begitu banyak dukungan dari semua sisi.
10. Teman-teman fakultas kedokteran 08, khususnya yang sudah membantu banyak dalam penyusunan skripsi ini serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran di masa mendatang untuk peningkatan karya ini. Semoga karya sederhana ini bermanfaat.
Surakarta, 2011
commit to user A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Perumusan Masalah... 4
C. Tujuan Penelitian... 4
D. Manfaat Penelitian... 4
commit to user
viii
H. Alat dan Bahan Penelitian... 24
I. Cara Kerja... 25
J. Analisis Data... 26
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik Subjek Penelitian... 28
B. Efek Ketorolak sebagai Preemptive Analgesia... 30
BAB V PEMBAHASAN ... 32
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan... ... 37
B. Saran ... 37
DAFTAR PUSTAKA ... 38
commit to user
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian ... 28
Tabel 2. Tekanan Darah Sistolik, Diastolik dan Nadi ... 29
Tabel 3. Status Fisik dan Jenis Kelamin ... 29
Tabel 4. Distribusi Tingkat Pendidikan ... 30
Tabel 5. Jenis Operasi ... 31
commit to user
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Empat Langkah Jalur Sensorik Nyeri ... 8
Gambar 2. Sensitasi Nyeri ... 10
Gambar 3. Skema Preemptive Analgesia ... 14
Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran ... 19
Gambar 5. Visual Analog Scale ... 23
commit to user
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Responden Penelitian
Lampiran 2. Hasil Pengolahan Data SPSS
Lampiran 3. Lembar Informed Consent
Lampiran 4. Lembar Penelitian
Lampiran 5. Surat Bukti Penelitian dan Pengambilan Sampel
commit to user BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah :
Insiden nyeri pasca operasi terjadi masih cukup tinggi. Meskipun
pengetahuan tentang mekanisme nyeri pasca operasi sudah mengalami banyak
kemajuan, namun pengelolaan nyeri pasca operasi belum optimal dan masih
sering terabaikan. Penderita yang telah menjalani operasi masih mengalami
nyeri pasca operasi mulai dari nyeri ringan sampai nyeri berat (Tanra, 2005).
International Association for the Study of Pain (IASP), mendefinisikan nyeri
sebagai pengalaman sensorik dan emosional tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan (Kelly et al., 2001a). Nyeri
ditimbulkan oleh karena adanya kerusakan jaringan yang merangsang
sensitisasi perifer dan sentral (Dahl and Mainiche, 2004). Pengelolaan nyeri
yang tidak efektif akan berlanjut menjadi nyeri kronik serta dapat
menimbulkan dampak perubahan fisiologis yang membahayakan karena
adanya respon dari endokrin, metabolik, dan inflamasi. Respon stres ini
mengaktifkan sistem otonom yang dapat mengakibatkan berbagai kegagalan
fungsi organ. Secara psikologis akan berdampak pada kecemasan, depresi,
perasaan tidak puas, serta memberikan pengalaman yang mengerikan bagi
pasien. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan nyeri pasca operasi yang efektif
commit to user
pemulihan yang cepat sehingga bisa kembali beraktivitas sehari-hari (Joshi and
Ogunnaike, 2005).
Konsep terapi nyeri sebelum terjadi yang disebut preemptive analgesia
diperkenalkan pertama kali oleh Crile pada tahun 1913 (Dahl and Mainiche,
2004). Awalnya teknik ini digunakan untuk mencegah syok pasca operasi
namun kemudian diketahui juga menurunkan intensitas dan durasi nyeri pasca
operasi (Kelly et al., 2001a). Menurut Kissin (1994), preemptive analgesia
didefinisikan sebagai terapi antinosiseptif yang mulai diberikan sebelum
operasi untuk mencegah sensitasi sentral sebagai respon terhadap rangsangan
dari trauma (Kelly et al., 2001b). Karena adanya efek ‘pelindung’ pada sistem
nosiseptif, preemptive analgesia memiliki potensi yang lebih efektif daripada
terapi analgesik serupa yang diberikan pasca operasi. Sehingga secara teoritis,
nyeri pasca operasi dapat dikurangi dan timbulnya nyeri kronis bisa dicegah
(Dahl and Mainiche, 2004).
Penggunaan opioid masih merupakan gold standard pada pengelolaan
nyeri berat. Namun penggunaannya dihubungkan dengan efek samping mual
muntah, terlambatnya asupan (intake) oral karena motilitas lambung yang
terganggu, pruritus, depresi respirasi, retensi urine, konstipasi dan sedasi
(Walder et al., 2001; White, 2005). Karena itu penggunaan analgesik NSAID,
mulai banyak dipakai untuk pengelolaan nyeri. NSAID merupakan obat-obatan
yang sering dipakai dalam teknik preemptive analgesia (Venkateswaran and
commit to user
menurunkan skor nyeri pasca operasi, kebutuhan opioid, dan mual muntah
pasca operasi (Shahraki et al., 2009; Ghandi and Viscusi, 2009).
Ketorolak merupakan salah satu obat preemptive analgesia golongan
NSAID dari group pyrrole (Gillis, 1997; Forrest, 1997). Seperti NSAID lain,
ketorolak mempunyai efek analgesik/antinosiseptif, antipiretik, dan
antiinflamasi. Efek antinosiseptif ketorolak terjadi melalui hambatan
cyclooxygenase yang merupakan enzim penting pada metabolisme asam
arakidonat untuk sintesis prostaglandin. Terhambatnya sintesa prostaglandin di
sekitar jaringan luka mengakibatkan turunnya rangsangan nosiseptif di ujung
saraf perifer sensoris atau nosiseptor (Abajo, 1998).
Hasil penelitian mengenai efek preemptive analgesia berbeda-beda. Aida
et al. (1999) melakukan penelitian efek preemptive analgesia pada berbagai
operasi menyimpulkan bahwa preemptive analgesia sangat efektif untuk jenis
operasi tertentu. Norman et al. (2001) menyatakan ketorolak 30 mg intravena
sebelum tourniquet pada fraktur pergelangan kaki berefek menurunkan nyeri
pasca bedah. Ong et al. (2005) melakukan metaanalisis efikasi preemptive
analgesia atas dasar nyeri pasca operasi, total konsumsi analgesik, dan waktu
penambahan analgesik menyatakan bahwa preemptive analgesia mempunyai
efikasi sebagai managemen nyeri akut pasca bedah untuk regimen analgesik
tertentu. Penelitian Yantoro (2009) menunjukkan bahwa pemberian ketorolak
30 mg intravena mempunyai efek sebagai preemptive analgesia pada operasi
bedah ortopedi dengan tindakan removal implant. Cabell (2000) meneliti
commit to user
efek preemptive analgesia. Lee (2009) menyatakan bahwa pemberian
ketorolak 1 mg/kg tidak mempunyai efek preemptive analgesia selama 1 jam
setelah tonsilektomi.
Berdasarkan pertimbangan di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk
mengetahui efek pemberian ketorolak 30 mg intravena sebagai preemptive
analgesia pada operasi.
B. Perumusan Masalah
Apakah pemberian ketorolak 30 mg intravena mempunyai efek sebagai
preemptive analgesia pada operasi?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui apakah pemberian ketorolak 30 mg intravena
mempunyai efek sebagai preemptive analgesia pada operasi.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti-bukti secara
empiris mengenai pemberian ketorolak 30 mg intravena sebagai
preemptive analgesia pada operasi.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini bila terbukti diharapkan dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan bagi para ahli anestesi dalam mengurangi rasa nyeri
commit to user BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Nyeri
a. Definisi dan klasifkasi
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan (Kelly
et al., 2001a). Nyeri bersifat subjektif, derajat dan kualitas nyeri yang
ditimbulkan oleh rangsang yang sama akan berbeda antara satu
penderita dengan penderita lain. Nyeri juga berbeda antara satu
periode waktu dengan periode lainnya. Nyeri bervariasi dalam
intensitas (ringan, sedang, berat), kualitas (tajam, terbakar, tumpul),
durasi (mendadak, hilang-timbul, menetap), dan referral (superfisial
atau dalam, lokal atau difus) (Woolf, 2004).
Secara umum ada dua jenis nyeri yang berbeda secara
signifikan, yaitu nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut disebabkan
karena kerusakan jaringan dan derajatnya akan berkurang sejalan
dengan penyembuhan. Nyeri dapat berlangsung beberapa jam hingga
beberapa hari serta dapat disertai tanda-tanda fisik seperti takikardi,
berkeringat, pucat, dan tidak dapat tidur. Salah satu contoh nyeri akut
adalah nyeri karena tindakan operasi. Nyeri kronis akan berlangsung
commit to user
tidak berkurang dengan sendirinya setelah beberapa minggu atau
bulan dan tidak disertai tanda-tanda fisik seperti halnya nyeri akut
(Suza, 2007). Tipe nyeri juga dapat dikategorikan menjadi nyeri
nosiseptif, inflamasi, neuropatik, dan fungsional (Woolf, 2004).
b. Proses fisiologi nyeri
Kerusakan jaringan merupakan sumber rangsang nyeri
(stimulus noksious). Rangsang nyeri akan diterima oleh reseptor
nyeri (nosiseptor) yang ditemukan hampir diseluruh bagian tubuh,
kemudian melalui serabut saraf delta-A (myelinated and fast
conduction) dan serabut saraf C (unmyelinated and slow condustion)
akan diteruskan melalui traktus spinotalamikus ke thalamus dan
korteks cerebri sehingga akan disadari sebagai suatu nyeri. Proses
dari sumber rangsang nyeri sampai dirasakan sebagai persepsi nyeri
terdapat suatu rangkaian elektrofisiologi yang disebut nosiseptif
sensoris (Dahl and Mainiche, 2004; Kelly et al., 2001a; Gottschalk
and Smith, 2001). Proses fisiologis tersebut meliputi:
1) Transduksi
Yaitu proses di mana suatu rangsang nyeri (stimulus
noksious) dapat berupa kerusakan jaringan, rangsang fisik
(tekanan), suhu yang ekstrim, atau substansi kimia yang iritatif
diubah menjadi impuls listrik yang akan diterima ujung-ujung
commit to user 2) Transmisi
Merupakan transmisi impuls melalui serabut saraf sensoris
delta-A dan C dari perifer ke medula spinalis sebagai kelanjutan
dari proses transduksi. Serabut saraf A-delta menghantar “nyeri
pertama” sebagai respon terhadap stimulus noksious yang
biasanya muncul sebagai sensasi yang jelas dan terlokalisasi.
Nyeri ini sering dideskripsikan sebagai nyeri yang tajam,
menyengat atau menusuk, dan berlangsung hanya ketika stimulus
mengakibatkan kerusakan jaringan. sedangkan serabut saraf C
bertanggung jawab pada “nyeri kedua” yang sifatnya tumpul,
sensasi menyebar, dan perlahan (Kelly et al., 2001a; Dahl and
Mainiche, 2004; Rospond, 2008).
3) Modulasi
Merupakan proses interaksi antara sistem analgesik
endogen yang dihasilkan oleh tubuh dengan input nyeri yang
masuk ke kornu posterior medula spinalis (Tanra, 2005).
Substansi yang dapat bekerja sebagai modulator nyeri di medula
spinalis yaitu dinorfin, serotonin, enkefalin, norepinefrin,
dopamin, dan Gama Amino Buteric Acid (GABA) akan
mengurangi nyeri, sedangkan substansi P, Adenosine Tri
Phosphate (ATP), exitatory amino acid meningkatkan nyeri
(Kelly et al., 2001a). Kornu posterior ini dapat diibaratkan
commit to user
menyalurkan asupan nyeri. Peristiwa terbuka dan tertutupnya
pintu gerbang tersebut diperankan oleh sistem analgesik endogen
di atas. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri
menjadi sangat pribadi dan subjektif pada setiap orang. Hal ini
sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pendidikan,
kepribadian, status emosional, dan jenis kelamin (Tanra, 2005).
4) Persepsi
Merupakan hasil akhir proses interaksi yang kompleks
dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang
diterjemahkan oleh daerah somatosensorik korteks serebri
menghasilkan suatu perasaan subjektif sebagai persepsi nyeri
commit to user
Gambar 1. Empat langkah jalur sensorik nyeri : transduksi, transmisi, persepsi dan modulasi. Tampak agen-agen yang dapat memodifikasi input sensori pada masing-masing proses (Kehlet and Dahl, 1993; Kelly et al., 2001a).
c. Sensitasi perifer
Kerusakan jaringan dan inflamasi menyebabkan perubahan
lingkungan kimiawi pada reseptor nyeri (nosiseptor). Sel yang rusak
akan melepaskan komponen intraseluler seperti: ATP, ion K+, H+,
serta beberapa substansi kimia dan mediator inflamasi (sitokin,
cimokin, faktor pertumbuhan) (woolf, C.J. 2004). Prostanoid
(prostaglandin, leukotrien dan hydroxyacids) merupakan produk
utama jalur asam arakidonat dan mediator utama terjadinya
commit to user
hiperalgesia yang menyertai inflamasi. kinin (Bradikinin dan kalidin)
akan meningkatkan inflamasi dengan memicu dilepaskannya
prostaglandin (PG), sitokin, histamin, serotonin, degranulasi sel
mast, dan peningkatan permeabilitas vaskuler. Komponen-komponen
tersebut akan mengaktifkan nosiseptor (nociceptor activators)
sehingga akan menjadi lebih sensitif (hipersensitif) terhadap
rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizer). Sensitisasi perifer
menurunkan ambang rangsang, dan berperan besar dalam
meningkatkan sensitivitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi
(Kelly et al., 2001a; Woolf, 2004). Neuron nosiseptif yang
tersensitasi akan melepaskan beberapa neurotransmiter seperti
substansi P dan neurokinin. Substansi P kemudian menginduksi
pelepasan Excitatory Amino Acids (EAAs) seperti aspartat dan
glutamat yang beraksi pada reseptor
2-Amino-3-hydroxy-5-Methyl-4-isoxazole-Propionic Acid) (AMPA) dan N-Methyl-D-aspartate
commit to user
Gambar 2. Sensitisasi yang menyebabkan hiperalgesia dan allodinia. Stimulus noksious dapat menyebabkan sensitisasi respon sistem saraf terhadap stimulus berikutnya. Respon nyeri yang normal ditunjukkan oleh kurva sebelah kanan. Pada cedera jaringan, kurva tersebut akan bergeser ke kiri, sehingga stimulus noksious dirasakan lebih nyeri (hiperalgesia), dan stimulus non noksious juga dirasakan sebagai nyeri (allodinia) (Gottschalk and Smith, 2001).
d. Sensitasi sentral
Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer
sinaptik dari nosiseptor ke neuron kornu posterior medula spinalis.
Input sensoris yang masif akibat kerusakan jaringan hebat
menyebabkan neuron di medulla spinalis menjadi hipersensitif
(hiperalgesia primer). Reaksi ini juga menyebabkan nyeri akibat
stimulus non noksius dan terjadinya hiperalgesia sekunder.
Sensitisasi sentral merupakan kejadian di kornu dorsalis yang
commit to user
densitas reseptor sinaptik, perubahan ambang (menurun), yang
akhirnya meningkatkan transmisi nyeri. Salah satu reseptor yang
berperan dalam perubahan ini adalah reseptor N-Methyl-Daspartate
(NMDA), selama proses sensitisasi sentral reseptor mengalami
fosforilasi dan lebih peka terhadap glutamat. Eksitabilitas membran
dapat diaktifkan baik oleh rangsang di bawah ambang (subthreshold)
dan respon berlebih pada rangsang di atas ambang (suprathreshold).
Fenomena ini menyebabkan munculnya nyeri pada rangsang yang di
bawah ambang (allodinia), dan respon nyeri berlebih akibat rangsang
nyeri (hiperalgesia), serta perluasan sensitivitas area yang tidak
cedera (hiperalgesia sekunder) (Woolf, 2004).
e. Dampak nyeri pasca operasi
Penatalaksanaan nyeri pasca operasi yang tidak efektif akan
berlanjut menjadi nyeri kronik serta dapat menimbulkan dampak
perubahan fisiologis dan psikologis yang membahayakan karena
adanya respon dari endokrin, metabolik, dan inflamsi. Respon stres
ini mengaktifkan sistem otonom yang dapat mengakibatkan berbagai
kegagalan fungsi organ:
1) Kardiovaskuler: meningkatkan denyut jantung, tahanan perifer,
tekanan darah, iskemia miokardial, infark dan komplikasi lain
2) Pulmonal: spasme otot pernafasan, kegagalan diafragma,
commit to user
3) Gastrointestinal: peningkatan sekresi gastrointestinal, penurunan
motilitas gastrointestinal,
4) Renal: oligouria, retensi urin
5) Koagulasi: peningkatan koagulasi trombosit, tromboemboli
6) Imunologi: sistem imunitas terganggu, mudah infeksi
7) Muskular: kelemahan otot, keterbatasan gerak, atrofi otot
Secara psikologis akan berdampak pada kecemasan, depresi,
perasaan tidak puas, serta memberikan pengalaman yang mengerikan
bagi pasien. Semua dampak yang terjadi akan memperpanjang masa
pemulihan, meningkatkan kebutuhan perawatan rumah sakit
maupun biaya perawatan (Joshi and Ogunna, 2005).
2. Preemptive analgesia
Preemptive analgesia merupakan teknik penatalaksanaan nyeri
yang sudah umum dilakukan. Pemberian obat dimulai sebelum operasi
kemudian dilanjutkan sampai periode pasca operasi, yang dapat
menurunkan nyeri insisi dan inflamasi dengan jalan menurunkan
sensitisasi perifer dan sentral (Dahl and Mainiche, 2004). Operasi
merupakan target yang ideal untuk preemptive analgesia karena sumber
stimulus nyeri diketahui (gambar 2). Efektivitas preemptive analgesia
ditentukan oleh dua aspek. Pertama, antinosiseptif adekuat yang
diberikan sebelum operasi. Kedua, mediator inflamasi dihambat atau
input nosiseptif diblok sampai periode pasca bedah (periode inflamasi
commit to user
pasca operasi, sensitisasi sentral tidak dapat dicegah (Kelly et al., 2001b).
Karena adanya efek ‘pelindung’ pada sistem nosiseptif, preemptive
analgesia memiliki potensi yang lebih efektif daripada terapi analgesik
serupa yang diberikan pasca operasi. Sehingga secara teoritis, nyeri pasca
operasi dapat dikurangi dan timbulnya nyeri kronis bisa dicegah (Dahl
and Mainiche, 2004).
Opioid, NSAID, anestesi lokal, alpha-2 agonis, dan antagonis
reseptor NMDA merupakan analgesik yang bisa dipakai sebagai
preemptive analgesia (Kelly et al., 2001b). Pemberian analgesik dapat
tunggal atau dikombinasikan berdasarkan modalitas nyeri, seperti:
1) Transduksi: NSAID, opioid
2) Transmisi: infiltrasi lokal anestesi perifer,
3) Modulasi: ketamin, α2 antagonis, NSAID,
4) Persepsi: opioid premedikasi (oral, IM, IV), opioid pasca bedah, α2
commit to user
Gambar 3. Skema preemptive analgesia yang ditekankan pada
pencegahan sensitisasi sistem saraf selama periode perioperatif. Gambar A: pengalaman tanpa intervensi yang menggambarkan nyeri dari awal operasi dan yang kemudian berkembang menjadi hipersensitivitas. Gambar B: analgesia (A) diberikan sebelum sensitisasi mungkin sedikit menurunkan nyeri tetapi mempunyai keuntungan jangka panjang yang sedikit. Gambar C: analgesi diberikan sebelum operasi yang membatasi nyeri dari stimulus tersebut dan menurunkan hipersensitivitas sesudahnya. Gambar D: regimen preemptive analgesia yang paling efektif adalah inisiasi sebelum operasi dan dilanjutkan sepanjang periode operasi. Waktu intervensi sangat penting, dapat mencegah sensitisasi sistem saraf (Woolf and Chong, 1993).
3. Ketorolak
Mekanisme nyeri akut diawali oleh transduksi yang mengubah
sinyal-sinyal noksious kimiawi menjadi potensial aksi. Obat-obat anti
commit to user
transduksi dengan menghambat berbagai mediator inflamasi. Selain itu
pengaruh stabilisasi membran oleh NSAIDdapat mengurangi pelepasan
PG. Jaringan neuronal sentral juga mensintesa PG, sehingga NSAID
juga dapat mengurangi hiperalgesia sentral (Kelly et al., 2001a; Kelly et
al., 2001b; Gottschalk and Smith, 2001).
Ketorolak merupakan salah satu obat preemptive analgesia
golongan NSAID dari group pyrrole, dengan nama kimia
(±)-5-benzoyl-2,3-dihidro-lH-pyrrolizine-lcarboxylic acid, yang tersusun oleh
2-amino-2-(hydroxymethiyl)-l,3-propanediol (Gillis, 1997; Forrest, 1997).
a. Farmakodinamik
Seperti NSAID lain, Ketorolak mempunyai efek analgetik/
antinosiseptif, antipiretik dan antiinflamasi. Mempunyai 3 aksi:
menghambat cyclooxygenase (COX) (enzim penting pada
metabolisme asam arakidonat untuk sintesis prostagalandin)
prostasiklin, dan tromboksan. Efek antinosiseptif ketorolak terjadi
melalui hambatan biosintesis prostaglandin di sekitar jaringan luka.
Turunnya kadar prostaglandin lokal ini mengakibatkan turunnya
rangsangan nosiseptif di ujung saraf perifer sensoris (nosiseptor)
(Abajo, 1998). Selain mempengaruhi sensitisasi perifer, ketorolak
juga mempunyai efek pada mekanisme sentral. Efek sentral
ketorolak secara klinis sangat penting karena mengurangi plastisitas
sentral dan dapat mengurangi nyeri berat akibat operasi. Aktivitas
commit to user
sentral (Gillis, 1997). Efek analgesik ketorolak hampir setara dengan
opioid, ketorolak 10 – 30 mg IM mempunyai efikasi sama dengan
morfin 6 – 12 mg dan pethidine 50 – 100 mg IM. Tidak seperti
opioid, ketorolak tidak mempunyai efek depresan pada susunan saraf
pusat dan tidak menghambat kontrol ventilasi, tidak mempengaruhi
variabel hemodinamik, motilitas saluran cerna, tidak berefek pada
dinamika saluran bilier, juga tidak menyebabkan efek
ketergantungan (Gillis, 1997; Shyun et al., 2005; Stoelting, 1999).
Sama halnya NSAID yang mempunyai sifat antiplatelet, ketorolak
secara signifikan meningkatkan waktu pendarahan, menghambat
agregasi trombosit, dan produksi tromboksan. Lamanya waktu
pendarahan masih dalam kisaran normal dan tidak memberikan efek
klinis secara nyata. Namun, karena sifat antiplateletnya, ketorolak
harus digunakan dengan hati-hati pada pasien yang mempunyai
gangguan hemostatis (Greer, 1990). Efek samping lain penggunaan
ketorolak yang perlu diperhatikan adalah pengaruhnya pada sistem
pencernaan dan ginjal, tetapi efek samping tersebut biasanya
berhubungan dengan penggunaan pada pasien tua, dosis yang tinggi,
dan penggunaan lebih dari lima hari (Gillis, 1997; Stoelting, 1999).
b. Farmakokinetik
Absorbsi ketorolak dapat diberikan secara oral,
intramuskuler, dan intravena. Diabsorbsi cepat dengan konsentrasi
commit to user
10 - 15 menit pada pemberian intramuskuler maupun secara
intravena (Gillis, 1997). Pada orang dewasa sehat dosis lazim
pemberian parenteral adalah 10 - 30 mg setiap 4 sampai 6 jam, total
dosis harian hendaknya jangan melebihi 120 mg dan lama
penggunaanya tidak melebihi 5 hari. Ketorolak ditemukan dalam air
susu ibu menyusui dan sirkulasi fetus dalam jumlah kecil (Gillis,
1997). Metabolisme ketorolak terutama terjadi di hati dalam bentuk
terkonjugasi dan terhidroksilasi, sedangkan ekskresinya melalui
ginjal. Sekitar 92 % dari dosis yang diberikan, dapat ditemukan di
dalam urin, dalam bentuk metabolitnya sebesar 40 % dan dalam
bentuk utuh sebesar 60 %. Pada pasien dengan gangguan fungsi hati
akibat sirosis secara klinis tidak mengalami perubahan penting pada
bersihan ketorolak atau waktu paruh terminal. Waktu paruh eliminasi
ketorolak pada orang sehat rata-rata 5 sampai 6 jam (Gillis, 1997).
Pada usia tua dan pasien dengan gangguan ginjal terjadi penurunan
bersihan ketorolak, sehingga dosis seharusnya lebih rendah
(Stoelting, 1999).
4. Pengukuran Nyeri
Nyeri merupakan persepsi pengalaman yang kompleks, ada
beberapa cara pengukuran nyeri antara lain:
1) Self report (deskripsi subyektif/personal)
Merupakan baku emas pengukuran nyeri. Dianggap merupakan
commit to user
Pain Scale (NPS), dan Pain Faces Scale (PFS) merupakan jenis yang
sering digunakan.
2) Behavioral
Meliputi pengukuran menangis, ekspresi wajah, postur tubuh dan
gerakan, rutinitas harian, dan kombinasi item tersebut.
3) Fisiologi
Meliputi: denyut jantung, tonus vagal, tekanan darah, angka respirasi
(frekuensi napas), saturasi oksigen, dan respon neuroendokrin (kadar
catecholamine, corticosteroid, growth hormone, glucagon, cortisol).
4) Kombinasi fisiologi, behavioral, atau self-report (O’Rourke, 2004;
Jaywant and Pai, 2003).
Visual Analog Scale (VAS) adalah cara yang paling banyak
digunakan untuk menilai nyeri. Skala linier ini menggambarkan secara
visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin dialami seorang pasien.
Rentang nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10 cm, dengan atau tanpa
tanda pada tiap centimeter. Tanda pada kedua ujung garis ini dapat
berupa angka atau peryataan deskriptif. Ujung yang satu mewakili tidak
ada nyeri, sedangkan ujung yang lain mewakili rasa nyeri terparah yang
mungkin terjadi. Skala dapat dibuat vertikal atau horizontal. Manfaat
utama VAS adalah penggunaannya yang sangat mudah dan sederhana
commit to user
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran
C. Hipotesis
Ketorolak 30 mg intravena mempunyai efek sebagai preemptive
analgesia pada operasi.
Stimulus nyeri Tindakan operasi
Kerusakan jaringan Suhu ekstrim Kimia iritatif
commit to user BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk studi eksperimental dengan desain penelitian
“The randomizedcontrol two group design”.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Sentral dan Ruang Rawat Inap
RSUD Dr. Moewardi.
C. Subjek Penelitian
Populasi penelitian mencakup seluruh pasien yang menjalani operasi
elektif menggunakan teknik anestesi umum di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta. Sampel penelitian diambil dari populasi yang memenuhi kriteria
penelitian.
1. Kriteria inklusi
1) Pasien dewasa laki-laki atau perempuan usia 18 - 60 tahun
2) Status fisik ASA I-II
3) Dilakukan anestesi umum
4) Body Mass Index (BMI) <30
5) Bersedia mengikuti prosedur penelitian
2. Kriteria eksklusi
commit to user
2) Kontraindikasi terhadap pemberian ketorolak (disfungsi ginjal,
gangguan koagulopati, ulkus peptikum)
3) Wanita hamil
4) Nilai VAS >3 sebelum operasi
3. Kriteria drop out
1) Pasien alergi selama menjalani operasi
2) Syok selama menjalani operasi dan pasca operasi
3) Operasi > 2 jam
D. Teknik Sampling
Mengingat keterbatasan waktu dan jumlah populasi serta tidak
memungkinkan populasi tersebut tersedia dalam waktu yang bersamaan,
maka sampel diambil secara consecutive sampling. Dengan cara ini, setiap
pasien yang datang dan memenuhi kriteria akan dimasukkan dalam sampel
penelitian sampai jumlah yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 2002).
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara randomisasi sederhana
untuk 2 kelompok perlakuan. Kelompok A (preemptive analgesia) adalah
kelompok perlakuan yang mendapatkan ketorolak 30 mg intravena 15 menit
sebelum insisi pertama dan kelompok B (menutup kulit) adalah kelompok
yang mendapatkan ketorolak 30 mg intravena 10 menit sebelum menutup
kulit. Randomisasi dilakukan dengan tujuan setiap subjek mempunyai
kesempatan yang sama dalam menerima salah satu jenis intervensi
commit to user
yang terdiri dari 15 pasien masuk kelompok A dan 15 pasien masuk
kelompok B (Bhisma, 2006).
E. Identifikasi Variabel
1. Variabel bebas
Ketorolak 30 mg intravena
2. Variabel terikat
Nyeri pasca operasi dan rescue analgetik
3. Variabel luar terkendali
Umur, berat badan, BMI, jenis operasi, status fisik ASA, lama operasi
4. Variable luar tidak terkendali
Jenis kelamin, emosi, status hemodinamika (tekanan darah dan laju nadi),
psikologi pasien
F. Definisi operasional variabel
1. Variabel bebas
Preemptive analgesia adalah pemberian ketorolak 30 mg intravena 15
menit sebelum insisi kulit.
2. Variabel terikat
Efek preemptive analgesia pada penelitian ini berdasarkan penilaian nyeri
dan tambahan rescue analgetik.
a. Nyeri diukur menggunakan Visual Analog Scale (VAS). VAS adalah
sebuah garis lurus dari angka 0 sampai 10 cm (100 mm) yang
menerangkan nyeri yang dirasakan oleh pasien. Angka 0
commit to user
paling berat (Jaywant and Pai, 2003). Pengukuran derajat nyeri
dilakukan pada waktu sebelum operasi, dan setelah operasi pada jam
ke 1 dan ke 6. Pengukuran menggunakan skala variabel numerik.
Gambar 5. Visual Analog Scale (Jaywant and Pai, 2003).
b. Rescue analgetik adalah pemberian analgetik fentanil 1 μg/kg BB jika
pasien merasakan nyeri pasca operasi dengan VAS ≥3. Pengukuran
menggunakan skala variabel kategorikal.
3. Variabel luar terkendali adalah variabel yang dikendalikan pengaruhnya:
umur, berat badan, BMI, jenis operasi, status fisik ASA, dan lama
operasi.
4. Variabel luar tidak terkendali: jenis kelamin, emosi, status hemodinamika
(tekanan darah dan laju nadi), dan psikologi pasien.
commit to user
G. Rancangan penelitian
Gambar 6. Skema Rancangan Penelitian
H. Alat dan bahan penelitian
1. Alat penelitian
Prosedur anestesi umum yang sama dan tindakan operasi
Pasca operasi kelompok A:
ketorolak 30 mg IV jam ke 6 setelah operasi VAS pada jam ke 1 dan 6 10 menit sebelum menutup kulit
Pasca operasi kelompok B:
ketorolak 30 mg IV jam ke 6 setelah operasi VAS pada jam ke 1 dan 6
commit to user b. Monitor elektrik
c. Kateter IV 18G dan set infus
d. VAS
e. Disposible syringe 3 cc
2. Bahan penelitian
a. Ketorolak 30 mg intravena
b. midazolam 0,05 mg/kg BB
c. propofol 2 mg /kg BB
d. Atracurium 0,5 mg/kg BB
e. Sevofluran, O2 : N2O = 2 : 2
f. Ondansetron 4 mg
g. Fentanil 1 μg/kg BB
I. Cara kerja
1) Setelah mendapat persetujuan penelitian, pasien terpilih diberikan
penjelasan tentang maksud dan prosedur penelitian. Bila setuju pasien
menandatangani lembar persetujuan tindakan (informed consent).
2) Sebelum menjalani operasi pasien dipersiapkan sesuai prosedur rutin.
Semua pasien dipuasakan 6 jam sebelum operasi.
3) Di ruang persiapan dipasang infus dengan kateter IV 18G. Kemudian
dilakukan penilaian VASsebagai data dasar.
4) Pasien dipersiapkan di ruang operasi kemudian dilakukan pengukuran
tekanan darah dan laju nadi dengan menggunakan monitor elektrik sebagai
commit to user
5) Pasien yang terpilih dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing
kelompok 15 pasien. Kelompok A diberikan ketorolak 30 mg intravena 15
menit sebelum insisi pertama sedangkan kelompok B diberikan ketorolak
30 mg intravena kira - kira 10 menit sebelum menutup kulit. Volume obat
antara kelompok A dan B sama menggunakan disposible syringe 3 cc.
6) Pasien menjalani prosedur anestesi umum yang sama dan tindakan operasi.
Premedikasi diberikan midazolam 0,05 mg/kg BB dan fentanil 1 μg/kg
BB. Pasien diinduksi dengan propofol 2 mg /kg BB. Fasilitas intubasi
dengan atracurium 0,5 mg/kg BB. Pemeliharaan anestesi dilakukan dengan
sevofluran, O2 : N2O = 2 : 2.
7) Kelompok A dan kelompok B diberikan ondansetron 4 mg kira - kira 10
menit sebelum menutup kulit. Catat waktu yang dibutuhkan untuk
menjalani operasi hingga selesai.
8) Setelah pasien dipindah ke bangsal, kelompok A dan kelompok B
diberikan lagi ketorolak 30 mg intravena pada jam ke 6 pasca operasi.
9) Kemudian diamati nyeri dengan penilaian skor nyeri VAS, tekanan darah,
nadi, pada jam ke 1 dan ke 6.
10) Jika pasien merasakan nyeri pasca operasi dengan VAS ≥ 3 setelah
pengukuran tersebut, diberikan rescue analgetik fentanil 1 μg/kg BB.
J. Analisis data
Hasil pengamatan dicatat pada formulir yang sudah disediakan. Data
yang diperoleh dari penelitian dianalisis dengan bantuan program komputer
commit to user
dua kelopok seperti data VAS, umur, berat badan, BMI, tekanan darah
sistolik dan diastolik, denyut nadi, dan lama operasi dilakukan uji statistik
t-test atau mann-whitney. Untuk mengetahui proporsi atau frekuensi skala
variabel kategorikal antara dua kelompok seperti jenis kelamin, status fisik,
jenis operasi, dan tambahan analagesik yang diperlukan dilakukan dengan uji
statistik Chi-Square test. Semua uji di atas dianggap memiliki kemaknaan
commit to user BAB IV
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan penelitian yang dilalukan di Instalasi Bedah Sentral dan
Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta selama bulan Juli 2011-
Oktober 2011, didapatkan subjek sejumlah 30 pasien yang dibagi dalam dua
kelompok, yaitu 15 pasien masuk kelompok yang mendapat preemptive analgesia
dan 15 pasien masuk kelompok yang mendapat ketorolak di akhir operasi. Semua
subjek penelitian memenuhi kriteria inklusi, eksklusi dan tidak ada yang
mengalami drop out.
A. Karakteristik subjek penelitian
Hasil uji statistik karakteristik subjek penelitian dengan Mann-Whitney
terhadap kedua kelompok menurut umur, BMI, dan lama operasi tidak ada
perbedaan bermakna (p > 0,05) (Tabel 1).
Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian
Variabel Kelompok Rerata Standar Deviasi p
Umur (tahun) preemptive analgesia 43,67 10,79 0,868
menutup kulit 42,67 14,59
BMI (kg/m²) preemptive analgesia 19,71 1,72 0,220
menutup kulit 20,96 2,46
Lama operasi (menit) preemptive analgesia 66,67 29,68 0,560
commit to user
Berdasarkan tekanan darah sitolik, diastolik, dan pengukuran nadi tidak
didapatkan perbedaan bermakna pada uji statistik mann-whitney antara kedua
kelompok baik sebelum operasi maupun pasca operasi (p > 0,05) (Tabel 2).
Tabel 2. Tekanan Darah Sistolik, Diastolik dan Nadi
Waktu
Uji statistik Chi-Square terhadap kedua kelompok menurut status fisik
(ASA) dan jenis kelamin tidak ada perbedaan bermakna (p > 0,05) (Tabel 3).
Tabel 3. Status Fisik dan Jenis Kelamin
commit to user
Tingkat pendidikan pada kelompok preemptive analgesia sebagai berikut:
SD (6), SMP (4), SMA (4), dan S1 (1). Tingkat pendidikan pada kelompok
menutup kulit, SD (5), SMP (3), SMA (5), dan S1 (2). Hasil uji statistik dengan
Chi-Square terhadap kedua kelompok menurut tingkat pendidikan tidak ada
perbedaan bermakna (p > 0,05) (Tabel 4).
Tabel 4. Distribusi Tingkat Pendidikan
Kelompok
Pendidikan preemptive analgesia menutup kulit total p
n % n % n %
- SD 6 40% 5 33,33% 11 36,67% 0,878
- SMP 4 26,67% 3 20% 7 23,33%
- SMA 4 26,67% 5 33,33% 9 30%
- S1 1 6,66% 2 14,27% 3 10%
Jenis operasi pada kelompok preemptive analgesia adalah sebagai berikut :
Eksisi limfadenopati colli (2), Tiroidektomi (2), Eksisi tumor mamae (2), Eksisi
soft tissue tumor (4), Mastektomi (3), dan isthmolobektomi (2). Pada kelompok
menutup kulit didapatkan jenis operasi sebagai berikut : Eksisi limfadenopati colli
(2), Tiroidektomi (2), Eksisi tumor mamae (4), Eksisi soft tissue tumor (5),
Mastektomi (1), dan isthmolobektomi (1). Hasil uji statistik dengan Chi-Square
terhadap kedua kelompok menurut jenis operasi tidak ada perbedaan bermakna (p
commit to user
A. Efek ketorolak sebagai preemptive analgesia
Efek ketorolak sebagai preemptive analgesia diukur berdasarkan skor
VAS dan rescue analgetika pada jam ke 1 dan jam ke 6 pasca operasi. Hasil uji
statistik Mann-Whitney terhadap kedua kelompok menurut skor VAS didapatkan
perbedaan bermakna pada jam ke 1 pasca operasi (p = 0,033). Nilai VAS sebelum
operasi dan pada jam ke 6 antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna.
Kebutuhan tambahan fentanil 1 μg/kg BB selama periode 1 jam atau 6 jam pasca
operasi pada kedua kelompok tidak ditemukan dan secara statistik tidak terdapat
commit to user BAB V
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini terdapat keterbatasan waktu dan tempat sehingga
jumlah total subjek penelitian yang didapat sejumlah 30 pasien. Subjek dibagi
dalam dua kelompok, 15 pasien kelompok yang mendapat preemptive analgesia
dan 15 pasien kelompok yang mendapat ketorolak ketika menutup kulit. Semua
subjek penelitian memenuhi kriteria inklusi, eksklusi, dan tidak ada yang
mengalami drop out. Hasil uji statistik mengenai karakteristik subjek penelitian
kedua kelompok tidak ada perbedaan yang bermakna (p > 0,05). Hal ini
menunjukan subjek kedua kelompok homogen dan layak untuk dibandingkan.
Subjek penelitian dibatasi antara umur 18 - 60 tahun. Setelah umur 60
tahun pasien mengalami penurunan sensitivitas terhadap nyeri dan terjadi
peningkatan respon terhadap obat analgesia. Selain itu pada usia tua terjadi
penurunan bersihan ketorolak (Stoelting, 1999). Pada penelitian ini didapatkan
umur rerata pada kelompok Preemptive analgesia 43,67 tahun sedangkan pada
kelompok menutup kulit 42,67 tahun. Hasil uji statistik menunjukkan keduanya
tidak ada perbedaan bermakna (p = 0,833).
BMI berhubungan dengan volume distribusi obat (Stoelting, 1999),
sehingga BMI antara kedua kelompok sebaiknya tidak berbeda. Pada penelitian
ini rerata BMI kelompok Preemptive analgesia adalah 19,71 (kg/m²) dan menutup
kulit 20,96 (kg/m²). Secara statistik kedua kelompok tidak ada perbedaan
commit to user
Lama operasi berhubungan dengan trauma operasi, luasnya kerusakan
jaringan. Pada akhirnya hal ini berkaitan dengan tingkatan nyeri yang akan terjadi
pasca operasi (Ready, 2000). Lama operasi juga berpengaruh pada konsentrasi
obat dalam darah, konsentrasi plasma maksimal ketorolak pada pemberian secara
IV adalah 10 - 15 menit (Gillis, 1997). Rerata lama operasi pada kelompok
Preemptive analgesia adalah 66,67 menit dan kelompok menutup kulit 63,67
menit. Pada kedua kelompok secara statistik tidak ada perbedaan bermakna (p =
0,560).
Tingkat pendidikan berhubungan dengan persepsi nyeri seseorang. Makin
tinggi pendidikan makin tinggi harapannya terhadap penanganan nyeri yang
diberikan, sehingga ketika harapannya tidak dapat terpenuhi akan lebih mudah
timbul kekecewaan yang nantinya akan berpengaruh pada pain behaviours (Kidd
and Urban, 2001). Tingkat pendidikan pada penelitian ini hampir merata pada
tingkat SD (11 orang) SMP (7 orang), dan SMA (9 orang). Hasil uji statistik tidak
ada perbedaan bermakna antara kelompok Preemptive analgesia dan kelompok
menutup kulit (p = 0,878).
Jenis operasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkatan
nyeri pasca operasi (Stoelting, 1999; Millen and Sheikh, 2003; Rahman and
Beattie, 2005), karena jenis operasi akan menentukan luasnya manipulasi
pembedahan serta kerusakan jaringan yang akan terjadi. Lokasi dan ukuran insisi
merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada nyeri pasca operasi. Incisi
yang panjang lebih nyeri dibandingkan insisi yang pendek (Rahman and Beattie,
commit to user
bisa memberikan tingkatan nyeri pasca operasi yang relatif hampir sama. Pada
penelitian ini jenis operasinya meliputi: Eksisi limfadenopati colli, tiroidektomi,
eksisi tumor mamae, eksisi soft tissue tumor, mastektomi, dan isthmolobektomi.
Dari analisis statistik jenis operasi pada kedua kelompok tidak didapatkan adanya
perbedaan bermakna (p = 0,834). Jenis operasi yang berbeda memberikan
pengaruh pada hasil akhir, namun pada penelitian ini dilakukan randomisasi
sehingga terjadi penyebaran yang merata pada kedua kelompok.
Efek preemptive analgesia pada penelitian ini berdasarkan penilaian VAS
dan penambahan rescue analgetik fentanil 1 μg/kg BB pada jam ke 1 dan ke 6
jam pasca operasi. VAS adalah teknik pengukuran nyeri yang reliabel, valid, dan
sensitif untuk anak-anak ataupun dewasa. Pengukuran VAS cepat, mudah, dan
umum digunakan dalam penelititan maupun studi klinis. Skor VAS merupakan
perasaan subjektifpasien dengan menganalogkan ke dalam angka-angka dari 0-10
(cm). Pada penelitian ini faktor-faktor yang berpengaruh dalam penilaian VAS
diusahakan untuk dikendalikan seperti faktor pendidikan, jenis kelamin, dan rasa
nyeri sebelum operasi. Secara statistik faktor-faktor tersebut tidak berbeda
bermakna(p > 0,05) sehingga diharapkan tidak mempengaruhi hasil akhir.
Pengukuran persentase pasien yang memerlukan rescue analgetika merupakan
endpoint untuk penelitian klinik analgesia (Jaywant & Pai, 2003; Sheffield et al.,
2000; Sunshine, 1998).
Hasil penelitian nilai VAS antara kedua kelompok terdapat perbedaan
bermakna secara statistik pada jam ke 1 pasca operasi (p = 0,033). Nilai rerata
commit to user
dibanding kelompok menutup kulit. Pada jam ke 6 pasca operasi, skor nilai VAS
antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna secara statistik dan nilai
keduanya cenderung menurun dibandingkan pada jam ke 1 pasca operasi. Untuk
kebutuhan akan penambahan rescue analgetik pada kedua kelompok baik pada
jam ke 1 maupun pada jam ke 6 pasca operasi tidak ditemukan.
Penelitian ini sesuai dengan penelitian lain tentang preemptive analgesia
(Norman et al., 2001; Fletcher et al., 1995; Ong et al., 2005; Yantoro 2009). Efek
preemptive analgesia terjadi karena adanya efek ‘pelindung’ pada sistem
nosiseptif (Dahl and Mainiche, 2004). Efek antinosiseptif (antinociceptive action)
ketorolak terjadi melalui hambatan biosintesis prostaglandin di sekitar jaringan
luka. Turunnya kadar prostaglandin lokal ini mengakibatkan turunnya rangsangan
nosiseptif di ujung saraf perifer sensoris (aferen primer) atau nosiseptor (Abajo,
1998). Turunnya rangsangan nosiseptif di ujung saraf perifer tersebut
menyebabkan sensitisasi perifer atau bahkan hipersensitisasi serat sensoris ini
dapat dihindari (Forrest, 1997). Selain mempengaruhi sensitisasi perifer, ketorolak
juga mempunyai efek pada mekanisme sentral. Efek sentral ketorolak secara klinis
sangat penting karena mengurangi plastisitas sentral dan dapat mengurangi nyeri
berat akibat operasi. Aktivitas analgesik ketorolak melalui kombinasi antara efek
perifer dan sentral inilah yang dapat menurunkan atau mencegah rasa nyeri pasca
operasi (Gillis, 1997). Nilai VAS pasca operasi baik kelompok preemptive
analgesia maupun kelompok menutup kulit mempunyai kecenderungan menurun.
Rerata skor VAS pada jam ke 1 pasca operasi lebih tinggi dibanding 6 jam pasca
commit to user
lebih besar dibanding pada jam ke 6 pasca operasi. Pada penelitian ini, tekanan
darah sistolik, diastolik, dan frekuensi nadi pasca operasi yang diukur pada jam ke
6 antara kedua kelompok secara statistik tidak berbeda (p > 0,05) sehingga
kondisi hemodinamik kedua kelompok tidak mempengaruhi hasil penelitian.
Dibanding penelitian lain tentang ketorolak pada jenis operasi, metode,
dan dosis berbeda mendapatkan hasil yang berbeda. Hasil penelitian ini hampir
sama dengan penelitian sebelumnya. Norman et al. (2001) menyatakan ketorolak
30 mg intravena (IV) sebelum tourniquet pada fraktur pergelangan kaki berefek
menurunkan nyeri pasca operasi. Fletcher et al. (1995) menyatakan ketorolak 60
mg IV sebelum induksi pada operasi total hip replacement mempunyai skor VAS
lebih rendah dan menurunkan kebutuhan opioid pada 6 jam pasca operasi
dibanding pemberian ketika penutupan kulit. Penelitian Yantoro (2009)
menunjukkan bahwa pemberian ketorolak 30 mg intravena menurunkan nilai VAS
pasca operasi pada bedah ortopedi dengan tindakan removal implant. Hasil
berbeda dengan penelitian Lee (2009) yang menyatakan bahwa pemberian
ketorolak 1 mg/kg tidak mempunyai efek preemptive analgesia selama 1 jam
setelah tonsilektomi. Hasil ini bisa disebabkan karena dosis ketorolak yang
diberikan berbeda. Cabell (2000) meneliti bahwa ketorolak 30 mg intravena pada
operasi laparoskopi tidak mempunyai efek preemptive analgesia. Hasil ini bisa
menunjukkan bahwa efek preemptive analgesia hanya efektif untuk jenis operasi
commit to user BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Hasil penelitian pada 30 sampel yang menjalani operasi tertentu
menunjukkan bahwa pemberian ketorolak 30 mg IV 15 menit sebelum insisi
kulit mempunyai efek preemptive analgesia yaitu dengan menurunkan nilai
VAS pada jam ke 1 pasca operasi dibandingkan dengan pemberian ketika
menutup kulit.
B. Saran
1. Diperlukan jumlah sampel yang lebih banyak agar dapat memperlihatkan
hasil yang lebih nyata.
2. Untuk mengurangi bias pengukuran maka pengukuran nyeri hendaknya
dilakukan oleh orang yang benar-benar terlatih dan pengukuran dilakukan
commit to user DAFTAR PUSTAKA
Abajo F.J. 1998. Ketorolac and gastrointestinal toxicity: A perspective from 1998. www.hsph.harvard.edu.
Aida S, Baba H, Yamakura T, Taga K, Fukuda S, Shimoji K. 1999. The effectiveness of preemptive analgesia varies according to the type of surgery: a randomized, double-blind study. Anesth Analg, 89: 711–6.
Bhisma Murti. 2006. Desain dan Ukuran Sampel Untuk Penelitian Kuatitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, p:58.
Cabell C.A. 2000. Does ketorolac produce preemptive analgesic effects in laparoscopic ambulatory surgery patients?. AANA JOURNAL: vol. 68, No. 4.
Dahl J.B., Mainiche S. 2004. Pre-emptive analgesia. British Medical Bulletin, 71:13.
Fletcher D, Zetlaoui P, Monin S, Bombart M, Samii K. 1995. Influence of timing on the analgesic effect of intravenous ketorolac after orthopedic surgery.
Pain, 61; 291-7.
Forrest J. 1997. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs). Ann Anesth
Pharmacol, I: 179-204.
Gandhi K, Viscusi E. 2009. Multimodal pain management techniques in hip and knee arthroplasty. The Journal of NYSORA; 13: 1-8.
Gillis J.C., Brogden R.N. 1997. Ketorolac; a reappraisal of its pharmacodynamic and pharmakokinetic properties and therapeutic use in pain management.
Drug, 53:139-188.
Gottschalk A, Smith D.S. 2001. New concepts in acute pain therapy: preemptive
analgesia. American Family Physician, 63; 10: 1979-84.
Greer I.A. 1990. Effects of ketorolac tromethamine on hemostasis. Pharmacotherapy; 10(6 ( Pt 2)):71S-76S
commit to user
Joshi G.P., Ogunnnaike B.O. 2005.Consequences of inadequate postoperative pain relief and chronic persistent postoperative pain. Anesthesiology Clin N Am, 23: 21– 36.
Kelly D.J., Ahmad M, Brull S.J. 2001a. Preemptive analgesia I: physiological pathways and pharmacological modalities. Can J Anesth, 48:10; 1000– 1010.
Kelly D.J., Ahmad M, Brull S.J. 2001b. Preemptive analgesia II: recent advances and current trends. Can J Anesth, 48: 1091.
Kidd B.L., Urban L.A. 2001. Mechanism of inflamatory pain. Br.J.Anesth, 87: 3-11
Kissin I. 1994. Preemptive analgesia: Terminology and Clinical Relevance.
Anesth Analg, 79:808 -810.
Lee I.H., Sung C.H., et al. 2009. The preemptive analgesic effect of ketorolac and propacetamol for adenotonsilectomy in pediatric patients. Korean J
Anesthesiol; 57: 308-13.
Millen S., Sheikh C. 2003. Anesthesia and surgical pain relief managing postoperative pain. Hospital pharmacist vol 10.
Norman P.H., Daley M.D., Lindsey R.W. 2001. Preemptive analgesic effects of ketorolac in ankle fracture surgery. Anesthesiology, 94, 599–603.
O’Rourke D. 2004. The measurement of pain in infants, children, and adolescents: from policy to practice. Phys Ther, 84:560 –570.
Ong C.S., Lirk P, Seymour R.A., Jenkins B.J. 2005. The efficacy of preemptive analgesia for acute postoperative pain management: a meta-analysis.
Anesth Analg, 100:75–73.
Rahman M.H, Beattie J. 2005. Managing postoperative pain. The pharmaceutical
Journal. Vol 27. www.rpsgb.org/education
Ready L.B. 2000. Acuteperioperative pain, in anesthesia edited Miller RD. 5ed. Churchill Livingstone Philadelphia, p: 23-28.
Rospond, R.M. 2008. Penilaian Nyeri. http://lyrawati.files.wordpress.com /2008/07/pemeriksan-dan-penilaian-nyeri.pdf. (5 Maret 2011).
commit to user
Shahraki A.D., Akhtar J.H., Talakob R, Moazam E. 2009. The effect of premedication oral naproxen on post operative pain in diagnostic laparoscopy. J. Med. Sci., 9 (1): 55-58.
Sheffield D, Biles P.L, Orom H, Maixner W, Sheps D. 2000. Race and Sex Differences in Cutaneous Pain Perception. Psychosomatic Medicine, 62:517–523
Shyun Y.L., Ja-Ping S, Jann-Inn T, Hou C.H., Yen-Ling C, Kuo-Lun H, et al. 2005. Novel depots of ketorolac esters have long-acting antinociceptive and antiinflammatory effects. Anesth Analg. 101:785-792.
Stoelting R.K. 1999. Opioid agonis and antagonis in pharmacology and physiology in anesthetic practice. Lippincott Raven Publishers.
Sunshine A. 1998. Methodology of analgesic clinical trials. Am J Orthoped, 27; S12- S16.
Suza, D.E. 2004. Pain experiences and pain management in postoperative patients. Majalah Kedokteran Nusantara: vol 40. No .1.
Tanra H. 2005. Nyeri suatu rahmat sekaligus sebagai tantangan. Jurnal Medika
Nusantara, l26: 3; 75-83 Supplement. www.med.unhas.ac.id.
Walder B, Schafer M, Henzi I, Tramer M.R. 2001. Efficacy and safety of patientcontrolled opioid analgesia for acute postoperative pain. A quantitative systematic review. Acta Anaesthesiol Scand, 45: 795–804.
White P.F. 2005. The changing role of non-opioid analgesic techniques in the management of pain. The International Anesthesia Research Society; 101: S5-S22.
Woolf C.J. 2004. Pain: moving from symptom control toward mechanism specific pharmacologic management. Ann Intern Med, 140: 441-51.
Woolf C.J., Chong M.S. 1993. Preemptive analgesia: treating prospective pain by preventing the establishment of central sensitization. Anesth Analg, 77:362–79.
Yantoro A.T. 2009. Efek Ketorolak 30 Mg Intravena Sebagai Preemptive
Analgesia pada Operasi Removal Implant Bedah Ortopedi. Bagian