• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Data

Dalam dokumen MUHAMMAD ERWIN P0902213518 (Halaman 73-91)

BAB 3 METODE PENELITIAN

E. Analisis Data

Setelah semua data terkumpul, baik data primer maupun data sekunder, selanjutnya akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif untuk lebih mendapatkan gambaran nyata yang selanjutnya akan disajikan secara deskriptif.

---

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Pandangan-pandangan penegak hukum tentang perlu / tidaknya kriminalisasi terhadap perbuatan menyimpan dan membawa serta memiliki Airsoft Gun tanpa izin sebagai suatu tindak pidana.

Perkembangan peradaban manusia menyebabkan perkembangan pola pikir manusia. Dengan perkembangan pola pikir manusia menyebabkan pola tindak pidana atau kejahatan ikut berkembang pula, dimana dahulu penjahat menggunakan senjata tajam (pisau, golok, clurit dan lain-lain) sekarang penjahat atau pelaku tindak pidana lebih pintar untuk mengelabui para korbannya dengan menggunakan senjata replika, karena lebih efisien dari senjata tajam. Penjualan Airsoft Gun secara bebas, maka dapat dilihat dari penyalahgunaannya dan akibat-akibat yang telah di timbulkan. Hampir semua kelompok orang ataupun secara individu yang belum memiliki cukup umur telah banyak memiliki senjata replika ini dengan berbagai macam alasan tertentu, sehingga bisa menimbulkan adanya sebuah tindakan kejahatan besar maupun kecil seperti perampokan, pemerasan, pengancaman, dan bahkan untuk menakut-nakuti seseorang sekalipun.

Menyadari akibat yang ditimbulkan dengan lemahnya administrasi dan pengawasan terhadap peredaran duplikat senjata api ini menyebabkan perdagangan Airsoft Gun semakin marak, baik itu di ibu kota Jakarta maupun di daerah lainnya di Indonesia, maka aparat

penegak hukum harus pro-aktif diatas keyakinan dan bertindak lebih tegas dengan adanya penjualan Airsoft Gun secara bebas ini, demi untuk kemajuan hukum di Indonesia. Polisi dalam hal ini yang berwenang mengawasi peredaran senjata jenis ini di Indonesia kurang maksimal melakukan tugasnya sehingga peredaran Airsoft Gun semakin luas dan tidak terkontrol, dan masyarakat yang tidak berhak untuk memiliki senjata non organik dapat memilikinya dengan mudah. Pada awalnya Airsoft Gun adalah sebuah senjata yang dibuat untuk sebuah sarana dan prasarana permainan atau olahraga. Disisi lain, dengan pesatnya perkembangan zaman dan banyaknya peminat, maka Airsoft Gun banyak disalahgunakan untuk suatu perbuatan yang menimbulkan akibat hukum.

Seiring majunya dunia teknologi, khususnya media internet, dimana semakin mudahnya orang untuk mendapatkan Airsoft Gun, seseorang yang belum cukup umurpun bisa untuk menggunakan jasa internet tersebut, dari sinilah muncul gejala sosial berupa kejahatan-kejahatan yang meresahkan masyarakat, ketika senjata Airsoft Gun tersebut di beli oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak diketahui peruntukkannya. Penyalahgunaan senjata Airsoft Gun oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi semata erat kaitannya dengan beberapa hal yang menyangkut sebab, motivasi dan akibat yang ingin dicapai.

Penyalahgunaan Airsoft Gun suatu perbuatan yang didasari sebuah kesadaran oleh para pelakunya itu sendiri. Penyalahgunaan Airsoft Gun

dengan secara universal bisa memberikan kerugian bagi korbannya dan sanksi pidana bagi para pelakunya, juga sangat meresahkan masyarakat disekelilingnya. Sebab secara sosiologis pelaku disini mengganggu ketentraman masyarakat, seperti tindak kekerasan, pengancaman (teror), perampokan, dan tindak kejahatan lainnya. Akibat hukum dari penyalahgunaan Airsoft Gun, sudah pasti akibat dari perbuatan yang dilakukan seseorang tersebut yang melanggar ketentuan hukum yang berlaku, dan menimbulkan kerugian bagi para korbannya.

Berdasarkan Pasal 1 angka 25 Perkap Kapolri No.8 Tahun 2012, Airsoft Gun adalah benda yang bentuk, sistem kerja dan/atau fungsinya menyerupai

senjata api yang terbuat dari bahan plastik dan/atau campuran yang dapat melontarkan ball bullet (BB). Namun, jika kita merujuk dalam Pasal 1 ayat (2) dan (3) UU Darurat 12 Tahun 1951, sangat sulit memasukkan seseorang yang memiliki Airsoft Gun dikaitkan dengan tindak pidana senjata api. Hal ini karena Airsoft Gun bukanlah senjata api dan bukan juga merupakan alat pemukul, penikam, apalagi penusuk.

Di dalam Perkap Kapolri No.8 Tahun 2012 ada ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan soal senjata Airsoft Gun yaitu:

1. Airsoft Gun hanya digunakan untuk kepentingan olahraga / sport menembak reaksi (Pasal 4 ayat (4) );

2. Airsoft Gun hanya digunakan di lokasi pertandingan dan latihan (Pasal 5 ayat (3) 012);

3. Persyaratan untuk dapat memiliki dan/atau menggunakan Airsoft Gun untuk kepentingan olahraga sebagai berikut:

(Pasal 13 ayat (1))

a. memiliki kartu tanda anggota klub menembak yang bernaung di bawah Perbakin;

b. berusia paling rendah 15 (lima belas) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;

c. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan Surat Keterangan dari Dokter serta Psikolog; dan

d. memiliki keterampilan menembak yang dibuktikan dengan surat keterangan yang dikeluarkan oleh Pengprov Perbakin.

4. Harus memiliki izin pemilikan dan penggunaannya dari Kapolda u.p. Dir Intelkam dengan tembusan Kapolres setempat, dengan dilengkapi persyaratan (Pasal 20 ayat (2) Perkap Kapolri 8/2012).

Pada wilayah hukum Sulawesi Barat, tepatnya pada Polres Mamuju dan wilayah hukum Kota Makassar, Polrestabes Makassar yang menjadi lokasi penelitian, Peneliti menemukan bahwa pada Polres Mamuju pada tahun 2015 terdapat 1 kasus penyalahgunaan penggunaan senjata Airsoft Gun, dimana pasal yang diterapkan adalah pelanggaran UU Darurat, namun pada hasilnya Hakim Pengadilan Negeri Mamuju telah memutus bebas perkara tersebut dengan pertimbangan bahwa senjata Airsoft Gun

tidak termasuk dalam golongan senjata api dan Kejaksaan Negeri setempat telah melakukan banding terhadap keputusan PN Mamuju dan sampai saat ini masih menunggu hasil banding tersebut.

Sedangkan pada perkara yang ditangani oleh Polrestabes Makassar terhadap penyalahgunaan penggunaan senjata Airsoft Gun di Kota Makassar, tidak ditangani secara berlanjut proses hukumnya dengan pertimbangan bahwa belum ada aturan pelarangan penggunaan senjata Airsoft Gun dan tidak tepat jika diterapkan UU Darurat.

Dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun, Polrestabes Makassar hanya menangani 1 (satu) kasus penyalahgunaan penggunaan senjata Airsoft Gun yaitu pada tahun 2014, namun pasal yang diterapkan bukanlah UU Darurat dan dalam putusan Hakim, Airsoft Gun tersebut tetap dijadikan sebagai barang bukti dan kemudian dimusnahkan.

Dalam wawancara penelitian pada tanggal 10 Mei 2017, Kasat Reskrim Polrestabes Makassar, Kompol Musbagh Ni’am Sag, S.H menyatakan bahwa :

“ Sebenarnya cukup banyak laporan yang masuk tentang penyalahgunaan Airsoft Gun di wilayah hukum Polrestabes Makassar, namun hampir semuanya tidak diproses hukum karena setelah dilakukan gelar perkara baik secara eksternal Kepolisian seperti bersama Kejaksaan maupun dari laboratorium forensic Polri tidak dapat digolongkan sebagai senjata api sehingga secara otomatis penerapan UU Darurat tidak dapat dikenakan terhadap senjata jenis Airsoft Gun. ”

Selain itu, Kompol Musbagh Ni’am Sag, S.H juga menyampaikan bahwa :

“ Penanganan penyalahgunaan Airsoft Gun tidak diproses lanjut karena diketahui bahwa perkara tersebut hanya akan diputus bebas oleh pengadilan, maka kasus-kasus tersebut rata-rata kami hentikan pada proses di Kepolisian. Kecuali misalnya terdapat kasus lain yang mengikuti usai melakukan pengancaman atau melukai korban dengan senjata jenis tersebut lalu dibarengi dengan dengan tindak pidana pembunuhan menggunakan benda tajam seperti badik atau parang. Kasus yang murni atau tunggal penggunaan senjata Airsoft Gun belum pernah diproses hokum berlanjut. ”

Dalam wawancara penelitian pada tanggal 31 Mei 2017 dengan Aspidum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Muhammad Yusuf, S.H., M.H menyatakan bahwa :

“ Memang sebenarnya UU Darurat tersebut sudah harus dirombak atau diganti mengingat adanya jenis senjata baru tersebut berupa senjata Airsoft Gun, dimana tata cara bekerjanya sangat jauh berbeda dengan senjata api sungguhan. ”

Sedangkan dalam wawancara dengan Hakim Adhar, S.H., M.H menyatakan bahwa :

“ Memang UU Darurat tersebut selayaknya dilakukan revisi, peruahan, atau penggantian dengan regalusi yang baru terkait “ kehadiran” jenis senjata yang dianggap baru dan tidak di “jangkau” oleh UU Darurat tersebut berupa senjata jenis Airsoft Gun. Bukankah ada pameo hokum yang mengatakan bahwa het recht hink achter de feiten ann?

Bahwa hokum terkadang tertatih-tatih mengejar ketertinggalan dengan keadaan zaman. Nah, seperti inilah mungkin keadaan yang dialami oleh UU Darurat dalam hendak menjerat senjata jenis baru yaitu Airsoft Gun. Itulah mungkin sehingga penyidik-penyidik di Kepolisian atau bahkan Kejaksaan sangat enggan atau bahkan ragu untuk menyeret para pelaku pengguna Airsoft Gun ini ke persidagan mengingat regulasinya yang meragukan untuk dijerat atau dikenakan. Dan memang sampai saat ini,

dalam kurung waktu 3 tahun terakhir belum pernah ada kasus yang diputuskan secara tunggal bagi para pengguna Airsoft Gun dengan UU Darurat. “

Selain itu, Hakim Adhar juga menyampaikan bahwa :

“ Memang pernah ada diputuskan pada bulan Juli 2015, disitu dalam salah satu amar putusan menyatakan bahwa 1 pucuk senjata Airsoft Gun beserta 6 buah amunisi dirampas Negara untuk dimusnahkan namun kami tidak menyoroti/mempersoalkan/mengenakan UU Darurat tapi kami cukup mengenakan kepada unsur pasal pengeroyokan atau pengancamannya semata. Mengapa?

Karena memang kami sadar dan tidak mau membuat sebuh putusan yang kelak dianggap keliru karena kami yakin bahwa suatu senjata Airsoft Gun mau diterapkan dengan UU Darurat adalah bukanlah tempatnya karena apa yang menjadi substansi utama atau objek kajian UU Darurat tersebut yaitu : senjata api, bahan peledak, amunisi, alat penusuk, senjata Airsoft Gun tidaklah termasuk didalamnya, mengingat secara tata kerja dan mekanisme sungguh jauh berbeda antara senjata api dengan senjata Airsoft Gun. Apabila memang hendak memaksakan” guna menjerat senjata Airsoft Gun tersebut, maka mau tidak mau, suka tidak suka, regulasi tentang UU Darurat tersebut harus dirombak/direvisi paling tidak dengan memasukkan kata/kalimat “ yang sama, menyerupai, seakan-akan mirip atau berbentuk replica layaknya senjata api” atau sekalian khusus senjata Airsoft Gun tersebut dibuatkan regulasi tersendiri, namun yang memiliki pula ketentuan hukum atau ketentuan pidana agar regulasi tersebut tidaklah terkesan “ompong” atau mental kembali membebaskan para pelakunya yang membawa atau menyalahgunakan senjata Airsoft Gun secara tidak sesuai prosedur. ”

Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan di wilayah hukum Sulawesi Barat pada tanggal 6 Juni 2016, Hakim Ketua Pengadilan Negeri Mamuju, H.Lukman Bachmid, S.H., M.H menyatakan bahwa :

“ Telah memutus bebas, tidak terbukti secara sah dan menyakinkan pelaku/terdakwa Sulaeman, S.Pd yang dianggap oleh Kepolisian dan Kejaksaan sebagai subyek hukum yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia,

membuat, menerima, mencoba, memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, mengusai, membawa, mempunyai persedian padanya atau mempunyai dalam milikya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak. ”

Pada umumnya, para penegak hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim setuju dengan kriminalisasi tersebut dengan catatan bahwa perangkat hukumnya harus lebih jelas, tidak abu-abu/sumir seperti yang ada pada saat ini. Karena tidak tepat apabila sebuah senjata macam Airsoft Gun dikenakan dengan UU Darurat sementara Airsoft Gun itu mekanisme sangat jauh berbeda dengan senjata api dimana Airsoft Gun menggunakan mekanisme gas dan tidak mematikan. Kalaupun misalnya mau dikriminalisasi Airsoft Gun tersebut harus dibuatkan aturan/regulasi tersendiri atau UU Darurat tersebut direvisi dengan memasukkan Airsoft Gun sebagai golongan senjata api. Karena didalam UU Darurat sama sekali tidak disebutkan/digolongkan, tetapi yang digolongkan adalah senjata api, bahan peledak, alat penusuk.

Dalam wawancara peneliti terhadap ahli dan pakar yaitu sebagai berikut :

1. AKBP I Gede Suarthawan, Kabag biokimia, biofisika dan metalurgi pada kantor Laboratorium Forensik Polda Sulsel, menyatakan bahwa senjata Airsoft Gun tidak dapat disamakan atau digolongkan sebagai senjata api karena bahan, tata kerja atau mekanisme sungguh jauh berbeda.

Dari segi bahan Airsoft Gun itu hanya terbuat dari bahan aluminium yang dicampur bahan karbon sehingga disebut sebagai alloy agar supaya ringan ketika dibawa penggunanya, sedangkan bahan senjata api itu benar-benar murni dari bahan baja patent yang sangat kokoh, kuat, tidak mudah patah atau pecah, kebalikan dari senjata Airsoft Gun yang sangat mudah patah atau retak.

Dari sisi tata kerja/mekanisme :

Senjata Airsoft Gun itu murni menggunakan gas sebagai bahan kerja atau pemantiknya untuk melesatkan peluru, sementara senjata api itu menggunakan bahan bubuk

mesiu yang bisa menimbulkan

ledakan/pembakaran/percikan api guna melesatkan proyektil peluru.

2. Zaenal Arif, Staf ahli pembuatan senjata di PT. Pindad, beliau seorang wasit international tembak reaksi dunia (sebagai Master Range Officer of International Practical Shooting Confederation), menyatakan bahwa sebuah senjata Airsoft Gun itu tidak masuk dan disamakan dengan senjata api pada umumnya karna akibat adanya beberapa perbedaan kriteria keduanya (antara senjata Airsoft Gun dengan senjata api pada umumnya). Itulah sehingga regulasi keduanya ketika di pertandingkan itu di buat berbeda.

Seluruh senjata api kita masukkan dalam regulasi IPSC (International Practical Shooting Confederation), sedangkan senjata Airsoft Gun kita masukkan dalam regulasi AA-IPSC (Action Air – International Practical Shooting Confederation). Jenis dan model caliber keduanya juga berbeda. Senjata api itu pada umumnya memiliki kaliber-kaliber yang cukup besar (mulai dari kaliber 22mm, 32mm, 38mm, 9mm, 40mm, 45mm, dan seterusnya), sedangkan kaliber-kaliber yang digunakan oleh senjata Airsoft Gun hanya dua yaitu kaliber 4,5mm dan 6mm.

Dari jenis kecepatan / lesatan peluru ketika di tembakkan itu juga sunnguh jauh berbeda (setelah

menggunakan alat yang dinamakan

Chronograph/Chronometri), senjata Airsoft Gun itu paling tertinggi lesatan pelurunya adalah hanya sampai pada angka 700 FPS (Feet Per Second), sementara kalau senjata api itu sudah di atas 30.000 FPS (Feet Per Second). Jadi dapat di bayangkan jika senjata Airsoft Gun paling tinggi hanyalah melukai dan tidak membunuh, sedangkan senjata api sudah jelas dengan kecepatan demikian sudah pasti membunuh.

B. Upaya penanggulangan dari penyalahgunaan Airsoft Gun secara Preemtif, Preventif, maupun Represif.

Akibat yang ditimbulkan dengan lemahnya pengendalian peredaran “replika” senjata api ini menyebabkan perdagangan Airsoft Gun semakin marak. Olehnya itu pihak penegak hukum harus melakukan tindakan baik secara preemtif, preventif sampai pada tindakan represif.

1) Preemtif.

Segala regulasi atau aturan tentang tentang dunia senjata api maupun senjata Airsoft Gun itu seyogianya massive disosialisasikan secara edukatif di tengah masyarakat agar kepemilikan kedua jenis senjata tersebut tidak disalahgunakan, artinya penggunaan senjata tersebut dilakukan untuk tujuan yang dapat dibenarkan berdasarkan hukum.

Jika telah di sosialisasikan mana aturan atau regulasi yang resmi berlaku berikut dengan ketentuan pidana atau ancaman hukumannya maka sebagai petugas / aparat penegak hukum tidak perlu lagi ragu menindak para pelaku-pelaku tersebut.

2) Preventif.

Kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum tentang sifat, bentuk dan fungsi daripada Airsoft Gun, dimana Airsoft Gun hanyalah berupa mainan atau alat olahraga. Respon dan opini masyarakat yang

sudah cenderung terbentuk memberikan penilaian bahwa Airsoft Gun merupakan senjata berbahaya sehingga paradigma ini sulit untuk dirobah. Selain itu, sulit untuk mengetahui jumlah kepemilikan Airsoft Gun yang beredar di kalangan masyarakat, serta masyarakat kurang berperan aktif dalam memberikan aduan kepada aparat penegak hukum terhadap lingkungan sekitar dimana sudah ada kegiatan yang mencurigakan dan cenderung ke arah kriminal yang menggunakan mainan Airsoft Gun.

Olehnya itu, seharusnya aparat penegak hukum harus intens melakukan pemantauan atau pengawasan terhadap peredaran senjata Airsoft Gun tersebut guna mencegah dari penggunaan yang illegal, misalnya untuk premanisme atau pengancaman. Berbeda misalnya bila motifnya membawa semata untuk olahraga / sport.

3) Represif.

Pameo Hukum yang mengatakan bahwa Het Recht Hink Achter De Feiten Ann maka inilah yang terjadi dan di alami oleh UU Darurat kita yang sudah cukup lama dan usang, tidak menyangka bakal ada obyek hukum yang baru berupa senjata Airsoft Gun, bisakah di jerat atau tidak.

Terbukti dengan tidak beraninya para aparat penegak hukum mengajukan kasus-kasus yang menggunakan jenis senjata Airsoft Gun tersebut untuk benar-benar diterapkan dengan menggunakan UU Darurat. Salah satu bukti konkrit Pengadilan Negeri Mamuju Sulawesi Barat dengan berani dan meyakinkan membebaskan pelaku, walau jaksa penuntutnya mengajukan banding.

Aparat penegak hukum akan memiliki “gigi” dalam rangka Law Enforcement atau upaya Represif terkait peredaran senjata Airsoft Gun sepanjang regulasinya sudah sangat jelas, memiliki kepastian hukum.

Jangan pernah berharap terjadi sebuah tindakan Represif terkait sebuah pelanggaran ketika regulasi atau aturan hukumnya masih bersifat Sumir atau tidak jelas, penuh keragu-raguan.

---

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pada umumnya, para penegak hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim setuju dengan kriminalisasi penyalahgunaan penggunaan senjata Airsoft Gun dengan catatan bahwa perangkat hukumnya harus lebih jelas dan tegas mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan sanksi pidana yang diancamkan untuk perbuatan tersebut.

Penggunaan UU Darurat tidak dapat dijadikan landasan hukum untuk melaksanakan tugas justisial berupa penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, serta melakukan pemeriksaan di sidang pengadilan.

2. Segala regulasi atau aturan tentang tentang dunia senjata api maupun senjata Airsoft Gun itu seyogyanya massive di sosialisasikan secara edukatif di tengah masyarakat. Misalnya, dimana letak perbedaan kedua jenis senjata tersebut.

3. Bahwa pada awalnya senjata Airsoft Gun diciptakan untuk mainan anak-anak lalu kemudian berkembang menjadi sebuah sarana dan prasarana permainan orang dewasa atau olahraga / sport (baik berupa War Game atau Tembak Reaksi / Practical Shooting).

B. Saran

1. Bahwa sudah saatnya UU Darurat tersebut direvisi atau di tinjau ulang kembali karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan

zaman jika memang hendak menjerat senjata Airsoft Gun tersebut, atau bahkan dibuatkan regulasi atau perundang-undangan pidana yang mengatur secara tegas tentang perbuatan yang dilarang serta sanksi pidananya yang dapat di kenakan bagi siapa saja yang melanggar aturan tersebut.

2. Senjata Airsoft Gun tidak perlu menjadi sebuah “momok”di tengah–

tengah masyarakat dengan langsung memberikan sebuah justifikasi bahwa senjata jenis tersebut dapat membunuh atau mematikan.

Masyarakat harus diberikan pengetahuan atau edukasi tentang apa itu senjata Airsoft Gun agar tidak menjadi sebuah “fitnah”. Jika memang regulasi yang mengatur hal itu masih bersifat sumir,abu-abu, penuh keraguan untuk menerapkan UU Darurat yang ada saat ini terhadap seseorang yang menyimpan,membawah,atau memiliki sekalipun itu misalnya tanpa izin maka belum pantas rasanya kita berikan cap berupa kriminalisasi. Apabila pemerintah memang hendak memberikan warna tersendiri terhadap senjata Airsoft Gun maka mau tidak mau pemerintah harus segera membuatkan aturannya yang terang dan jelas yang di barengi dengan ketentuan pidana yang ketat maka barulah dapat dilakukan atau diambil langkah yang tegas terhadap para penyalahguna senjata Airsoft Gun tersebut.

3. Bahwa harus segera dibuatkan aturan yang baru guna melengkapi kekurangan dari eksistensi UU Darurat tersebut. Atau minimal melakukan revisi terhadap substansi atau klausul yang sangat

berkaitan erat dengan senjata Airsoft Gun. Intinya bahwa payung hukum terkait persoalan ini haruslah jelas sehingga tidak sumir / abu-abu dan dapat menuju kepada sebuah kepastian hukum.

---

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mun’im Idries, Indonesia X-Files, PT Mizan Publika, Jakarta, 2013.

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Rampai Kolom dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008.

Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education, Yogyakarta, 2012.

Amir Ilyas dan Muhammad Nursal, Kumpulan Asas-Asas Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2016.

Amri Kamil, Analisa Kasus Penembakan (Ditinjau Dari Ilmu Pembuktian Dan Forensik), PT Margi Wahyu, Jakarta, 2009.

A.Josias Simon Runturambi dan Atin Sri Pujiastuti, Senjata Api Dan Penanganan Tindak Kriminal, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2015.

A.S. Alam, Pengantar Kriminologi, Refleksi, Makassar, 2010.

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2010.

Erdianto Efendi, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2011.

Frank E. Hagan, Pengantar Kriminologi (Teori, Metode, Dan Perilaku Kriminal), 7thEdition, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013.

Indah Sri Utari, Aliran Dan Teori Dalam Kriminologi, Thafa Media, Yogyakarta, 2012.

Lawrence M. Friedman, American Law And Introduction, 2nd Edition, Terjemahan Wishnu Basuki, PT Tata Nusa, Jakarta, 2001.

Leden Marpaung, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Tanpa Nama Percetakan, 1978.

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana (Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana), Aksara Baru, Jakarta, 1983.

Dalam dokumen MUHAMMAD ERWIN P0902213518 (Halaman 73-91)

Dokumen terkait