• Tidak ada hasil yang ditemukan

MUHAMMAD ERWIN P0902213518

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MUHAMMAD ERWIN P0902213518"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN KRIMINOLOGIS

TERHADAP EKSISTENSI SENJATA AIRSOFT GUN

DALAM KAITANNYA DENGAN UU DARURAT NO.12 TAHUN 1951 ( CRIMINOLOGICAL REVIEW TO AIRSOFT GUN

IN RELATION TO EMERGENCY LAW NO.12 / 1951 )

T E S I S

MUHAMMAD ERWIN P0902213518

KONSENTRASI HUKUM PIDANA

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR – TAHUN 2017

(2)
(3)

TINJAUAN KRIMINOLOGIS

TERHADAP EKSISTENSI SENJATA AIRSOFT GUN

DALAM KAITANNYA DENGAN UU DARURAT NO.12 TAHUN 1951 (CRIMINOLOGICAL REVIEW TO AIRSOFT GUN

IN RELATION TO EMERGENCY LAW NO.12 / 1951) Oleh : Muhammad Erwin

Direktorat Reserse Narkoba Polda Sulawesi Selatan

Jalan Perintis Kemerdekaan Km.16, Makassar, Sulawesi Selatan E-Mail : [email protected]

Abstrack

This study aims to understand and review the point of views of law enforcers (Police, Prosecutors, and Judges) on the need for criminalization of the act of stash, carry and possession of Airsoft Gun without license is a crime. The research show that in the last 3 years there has never been a single or pure case of Airsoft Gun misused and then subject to the provisional rule, its usually used with other form of weapon i.e. sharp objects, badik (tradisional knife) or machetes to conduct acts of crimes such as beatings, threats or murders. Law enforcement affirmative that those acts and used those lethal weapon to harm other people are crime should be stated on the clear rule. Airsoft gund it is not appropriate is under charged provisional rule. The mechanism is way much different from the firearms in general. The rule of airsoft gun has to be made alone or the provisional rule has to be revised by put airsoft gun as one of firearms. Because those included in the Emergency Law are only firearms, ammunition, explosives, and sharp tools.

Keywords : Airsoft Gun, Emergency Law 12 / 1951

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji pandangan-pandangan para penegak hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim) tentang perlu tidaknya kriminalisasi terhadap perbuatan menyimpan dan membawa serta memiliki Airsoft Gun tanpa izin sebagai suatu tindak pidana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 3 tahun terakhir tidak pernah ada kasus tunggal atau murni tentang penyalahgunaan Airsoft Gun lalu dikenakan UU Darurat, kecuali diikuti dengan tindak pidana lain berupa misalnya pengeroyokan, pengancaman, atau pembunuhan namun menggunakan benda tajam seperti badik atau parang. Para penegak hukum setuju dengan kriminalisasi tersebut dengan catatan bahwa perangkat hukumnya harus jelas dan tepat, tidak abu-abu atau sumir. Karena tidak tepat apabila Airsoft Gun dikenakan dengan UU Darurat. Secara mekanisme sungguh jauh berbeda dengan senjata api pada umumnya. Kalau pun mau dikriminalisasi Airsoft Gun tersebut maka harus dibuatkan aturan atau regulasi tersendiri, atau UU Darurat tersebut direvisi dengan memasukkan Airsoft Gun sebagai salah satu golongan senjata api. Karena yang termasuk dalam UU Darurat hanyalah senjata api, amunisi, bahan peledak, dan alat penusuk.

Kata Kunci : Airsoft Gun, UU Darurat No.12 Tahun 1951

(4)

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Rumusan Masalah ……….. 5

C. Tujuan Penelitian ……… . 6

D. Kegunaan Penelitian ……….. 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kriminologi ………. 7

B. Teori Kriminologi ………. 13

C. Teori Sistem Hukum (Lawrance M. Friedman) ………. 16

D. Beberapa Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-Unsurnya …….. 18

E. Asas Legalitas ……….. 22

1. Sejarah Azas Legalitas ………. 22

2. Pengertian Azas Legalitas ……….. 26

3. Pengecualian Azas Legalitas ………. 35

4. Azas Legalitas Dalam Rancangan KUHP ………. 39

F. Penafsiran Analogi ………. 43

- Analogi Dilarang Dalam Hukum Pidana ………... 49

G. Pengertian Senjata Api dan Mekanismenya ………. 53

1. Senjata Api Genggam ……….. 54

a) Senjata Api Jenis Pistol ………. 55

b) Senjata Api Revolver ……….. 56

2. Pengenalan Struktur Tekhnis dan Mekanik Senjata Api Genggam ……… 58

a) Komponen-Komponen Mekanik Pistol ………. 59

b) Komponen-Komponen Mekanik Revolver ……….. 59

H. Pengertian Senjata Airsoft Gun dan Mekanismenya ……….. 61

I. Kerangka Pikir ………... 65

(5)

J. Definisi Operasional ………. 67

BAB 3 METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ……….. 69

B. Jenis Penelitian ……… 69

C. Populasi dan Sampel ……….. 70

D. Jenis dan Sumber Data ………. 71

E. Analisis Data ……… 72

BAB 4 HASIL PENELITIAN A. Pandangan-pandangan penegak hukum tentang perlu / tidak- nya kriminalisasi terhadap perbuatan menyimpan dan memba- wa serta memiliki senjata Airsoft Gun tanpa izin sebagai suatu Tindak Pidana ……… 69

B. Upaya penanggulangan dari penyalahgunaan senjata Airsoft Gun secara Preemtif, Preventif maupun Represif ……….. 79

BAB 5 PENUTUP A. Kesimpulan ………. 82

B. Saran ………. 82

DAFTAR PUSTAKA

(6)

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.

Tindak pidana pada era globalisasi sekarang perkembangannya berbanding lurus dengan perkembangan jaman. Semakin tinggi perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi (Iptek) semakin tinggi pula intensitas tindak pidana di lingkungan masyarakat. Contoh kasus berkembang saat ini adalah pencurian dengan kekerasan (Curas) menggunakan replika senjata Airsoft Gun yang sungguh mirip dengan senjata aslinya, yang terjadi di tempat-tempat tertentu, seperti toko emas, mini market, bank-bank dan lain sebagainya. Modus operandinya adalah korban ditodong dengan senjata mainan atau sekarang yang dinamakan dengan senjata Airsoft Gun. Senjata Airsoft Gun begitu mirip dengan senjata aslinya yang sering digunakan oleh Militer atau Kepolisian.

Perkembangan media komunikasi mempengaruhi penyebaran senjata Airsoft Gun, sehingga masyarakat dengan mudah mendapatkan senjata tersebut. Awalnya senjata Airsoft Gun digunakan hanya untuk mainan anak-anak dan berkembang menjadi senjata untuk olah raga. Hal tersebut pada dasarnya dilakukan oleh orang-orang yang bertanggung jawab, tetapi apabila senjata tersebut jatuh ke tangan yang tidak bertanggung jawab maka berpotensi menimbulkan tindakan atau perbuatan yang

(7)

melawan hukum alias tindakan kriminal. Jaringan komunikasi dalam internet sangat membantu masyarakat dalam penggunaanya, selain untuk keperluan komunikasi, internet juga bermanfaat bagi pelaku usaha dalam memperluas jaringan pemasaran tanpa memperdulikan keberadaan barang tersebut, baik itu legal maupun ilegal. Dahulu orang dapat menjual barang dagangannya hanya sebatas wilayah tertentu, negara atau pulau tanpa diketahui oleh banyak orang. Dengan adanya internet, Jepang sebagai Negara yang memproduksi Airsoft Gun terbesar di dunia telah banyak menjual senjata replika ini hingga ke sejumlah negara termasuk Indonesia.

Airsoft Gun dijual di Indonesia telah ada sejak akhir tahun 1990- an, tetapi dahulu penjualannya belum dapat menjangkau ke pelosok daerah, karena keterbatasan internet dan informasi di dalam masyarakat.

Penjualan senjata Airsoft Gun ini hanya berada di kota-kota besar tertentu saja seperti, Jakarta, Bandung dan Surabaya. Saat ini, Airsoft Gun telah banyak beredar dalam lingkungan masyarakat, dari anak muda hingga orang dewasa dapat memiliki senjata ini. Orang tersebut dapat memiliki Airsoft Gun, bukan hanya dari komunitas dan penggemar Airsoft Gun saja, keberadan internet juga sangatlah mendukung bagi peminat senjata ini untuk membeli. Penjualan Airsoft Gun lebih banyak dilakukan melalui media internet, baik itu dari luar negeri maupun dalam negeri. Disamping tidak memakan waktu dan biaya banyak, para penjualnya juga

(8)

menghindari razia dari aparat penegak hukum yang berwenang.

Penjualan Airsoft Gun melalui media internet tidak hanya dilakukan oleh produsen saja. Penjualan juga dapat melalui orang-perorangan. Yang pasti, penjualan secara individu ini jauh dari adanya ijin resmi dari pihak yang berwenang.

Penjualan Airsoft Gun melaui media internet ini masih dianggap

“abu-abu” atau bahkan biasa oleh pemerintah. Padahal, dampaknya sangat besar bagi masyarakat di sekeliling, walaupun hanya sebatas senjata replika saja. Oleh sebab itu, para produsen dari negara yang menciptakan Airsoft Gun semakin leluasa untuk menjual lebih banyak lagi, walaupun dalam paket penjualannya, Airsoft Gun ini sudah jelas harus ada ijin dan dipergunakan oleh orang dengan umur 18 (Delapan Belas) tahun ke atas dan sudah terdapat larangan untuk menggunakannya secara tidak benar, misal untuk menembak binatang dengan cara iseng apalagi manusia. Pada hakekatnya Airsoft Gun adalah senjata mainan atau replika, namun karena rawan disalahgunakan maka peredarannya tak dapat dibiarkan begitu saja tanpa memperhatikan perlindungan kepentingan masyarakat, karena itu pemerintah mengatur perizinan yang ketat tentang kepemilikan Airsoft Gun tersebut.

Akibat yang ditimbulkan dengan lemahnya pengendalian peredaran duplikat senjata api ini menyebabkan perdagangan Airsoft Gun semakin marak, baik itu di ibukota Jakarta maupun di daerah lainnya di

(9)

Indonesia, maka aparat penegak hukum harus pro-aktif melakukan upaya penanggulangan terhadap penjualan Airsoft Gun secara bebas ini, demi untuk ketertiban dan keamanan masyarakat. Polisi dalam hal ini yang berwenang mengawasi peredaran senjata jenis ini di Indonesia nampaknya kurang maksimal melakukan tugasnya sehingga peredaran Airsoft Gun semakin luas dan tidak terkontrol, dan masyarakat yang tidak berhak memiliki senjata non organik dapat memilikinya dengan mudah.

Pada awalnya Airsoft Gun adalah sebuah senjata yang dibuat untuk sebuah sarana dan prasarana permainan atau olahraga. Di sisi lain, dengan pesatnya perkembangan zaman dan banyaknya peminat, maka Airsoft Gun banyak disalahgunakan untuk suatu tujuan tertentu yang pada akhirnya menimbulkan akibat hukum. Seiring majunya dunia tekhnologi, khususnya media internet, dimana semakin mudahnya orang untuk mendapatkan Airsoft Gun, seseorang yang belum cukup umurpun bisa untuk menggunakan jasa internet tersebut, dari sinilah muncul gejala sosial berupa kejahatan-kejahatan yang meresahkan masyarakat, ketika senjata Airsoft Gun tersebut dibeli oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak diketahui peruntukkannya. Penyalahgunaan senjata Airsoft Gun oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi semata erat kaitannya dengan beberapa hal yang menyangkut sebab, motivasi dan akibat yang ingin dicapai.

(10)

Penyalahgunaan Airsoft Gun suatu perbuatan yang didasari sebuah kesadaran oleh para pelakunya itu sendiri. Dampak penyalahgunaan Airsoft Gun jelas menimbulkan kerugian bagi korbannya dan terancam sanksi pidana bagi para pelakunya, karena itu perbuatan tersebut sudah barang tentu meresahkan masyarakat. Selain itu, dampak sosial perbuatan tersebut sangat mengganggu ketentraman masyarakat, seperti tindak kekerasan, pengancaman (teror), perampokan, dan tindak kejahatan lainnya.

Penyalahgunaan Airsoft Gun, dilakukan dalam wujud tindak pidana atau Delik, karena itu pelakunya akan dituntut pertanggungjawaban pidana di depan otoritas (aparat yang berwenang) berdasarkan sistem peradilan pidana (Criminal Justice System).

B. Rumusan Masalah.

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka pada bagian ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pandangan-pandangan penegak hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim) tentang perlu / tidaknya kriminalisasi terhadap perbuatan menyimpan dan membawa serta memiliki Airsoft Gun tanpa izin sebagai suatu tindak pidana.

2. Bagaimana upaya penanggulangan dari penyalahgunaan Airsoft Gun tersebut (baik secara Pre-emtif, Preventif, maupun Respresif) ?

(11)

3. Tujuan Penelitian.

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan mengkaji pandangan-pandangan penegak hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim) tentang perlu / tidaknya kriminalisasi terhadap perbuatan menyimpan dan membawa serta memiliki Airsoft Gun tanpa izin sebagai suatu tindak pidana.

2. Bagaimana upaya penanggulangan dari penyalahgunaan Airsoft Gun tersebut (baik secara Pre-emtif, Preventif, maupun Respresif) ?

4. Kegunaan Penelitian.

1. Dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat dan para aparat penegak hukum bahwa senjata jenis Airsoft Gun bukanlah jenis senjata yang dapat membunuh atau mematikan, namun hanyalah sebuah Toys (mainan).

2. Sebagai bahan masukan yang berguna bagi Legislator untuk mengambil kebijakan pidana (Penal Policy) berupa kriminalisasi suatu perbuatan seseorang yang menyimpan, membawa, dan memiliki Airsoft Gun tanpa izin sebagai perbuatan pidana (Delik).

---

(12)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kriminologi.

Dalam beberapa literatur kepustakaan, Kriminologi pertama kalinya diberi nama oleh Paul Topinard (1830 – 1911). Ia adalah seorang Antropolog Perancis. Menurutnya, Kriminologi berasal dari kata “Crimen”

(kejahatan / penjahat) dan “Logos” (ilmu pengetahuan). Apabila dilihat dari istilah tersebut, maka Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Berikut adalah pengertian dari Kriminologi menurut pendapat beberapa ahli, antara lain sebagai berikut (Indah Sri Utami, 2012 : 2-5) :

1. W.E. Noach.

Beliau membagi pengertian Kriminologi dalam 2 (dua) katagori, yaitu Kriminologi dalam arti luas dan Kriminologi dalam arti sempit.

Kriminologi dalam arti luas mencakup Kriminologi dalam arti sempit dan Kriminalistik. Kriminologi dalam arti sempit, bahwa Kriminologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuk-bentuk penjelmaan, sebab- sebab dan akibat-akibat dari Kriminalitas (kejahatan dan perbuatan- perbuatan buruk). Sedangkan Kriminalistik merupakan ilmu yang mempelajari kejahatan sebagai masalah tekhnik, sebagai alat untuk mengadakan pengejaran atau penyidikan perkara kejahatan secara tekhnis dengan menggunakan ilmu-ilmu alam kimia dan lain-lain seperti ilmu kedokteran kehakiman (ilmu kedokteran forensik), ilmu

(13)

alam kehakiman antara lain ilmu sidik jari (daktiloskopi) dan ilmu kimia kehakiman antara lain ilmu tentang keracunan (ilmu toksikologi). Masih menurut Noach, Kriminologi dalam arti sempit tidak mencakup Kriminalistik, sehingga hanya menunjuk pada ilmu yang mempelajari bentuk-bentuk, sebab-sebab, dan akibat-akibat dari kejahatan.

2. M.P. Vrij.

Beliau mendefinisikan Kriminologi sebagai ilmu yang mempelajari kejahatan, mula-mula mempelajari kejahatan itu sendiri, kemudian sebab-sebab serta akibat dari kejahatan tersebut.

3. W.A. Bonger.

Beliau mendefinisikan Kriminologi sebagai ilmu yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya (Kriminologi teoritis atau Kriminologi murni). Kriminologi teoritis adalah ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengalaman, seperti ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis, memperhatikan gejala-gejala dan mencoba menyelidiki sebab- sebab dari gejala tersebut dengan cara-cara yang ada padanya.

Menyelidiki sebab-sebab dari gejala-gejala kejahatan itu dinamakan Etiologi. Di luar Kriminologi murni atau Kriminologi teoritis tersebut, terdapat Kriminologi praktis atau terapan.

4. Edwin H. Sutherland.

Menurut beliau, Kriminologi merupakan keseluruhan pengetahuan yang membahas kejahatan sebagai suatu gejala sosial. Dalam ruang lingkup pembahasan ini termasuk proses-proses pembuatan undang-

(14)

undang, pelanggaran undang-undang dan reaksi terhadap pelanggaran undang-undang. Proses-proses dimaksud meliputi 3 (tiga) aspek yang merupakan suatu kesatuan hubungan sebab akibat yang saling mempengaruhi.

5. Mr. Paul Moedigdo Moeliono.

Beliau merumuskan Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang ditunjang oleh berbagai ilmu, yang membahas kejahatan sebagai masalah manusia.

6. Soedjono Dirdjosisworo.

Beliau mengartikan Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab, akibat, perbaikan dan pencegahan kejahatan sebagai gejala manusia dengan menghimpun sumbangan-sumbangan berbagai ilmu pengetahuan. Tegasnya, Kriminologi merupakan sarana untuk mengetahui sebab-sebab kejahatan dan akibatnya, mempelajari cara-cara mencegah kemungkinan timbulnya kejahatan.

7. A.E. Wood.

Beliau mengatakan bahwa istilah Kriminologi meliputi keseluruhan pengetahuan yang diperoleh dari teori atau pengalaman yang berhubungan dengan kejahatan dan penjahat, di dalamnya termasuk reaksi-reaksi dari kehidupan bersama atas kejahatan dan penjahat.

8. J. Constant.

Beliau melihat Kriminologi sebagai suatu pengetahuan pengalaman yang bertujuan menentukan faktor yang menyebabkan terjadinya

(15)

kejahatan dan penjahat. Dalam hal ini, diperhatikan baik faktor-faktor sosiologis dan ekonomis, maupun faktor-faktor psikologis individu.

Dalam pandangan Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey (Yesmil Anwar dan Adang, 2010 : 6), Kriminologi dibagi menjadi 3 (tiga) cabang utama, yaitu :

1. Sosiologi Hukum.

Cabang Kriminologi ini merupakan analisis ilmiah atas kondisi-kondisi berkembangnya Hukum Pidana. Dalam pandangan sosiologi hukum bahwa kejahatan itu dilarang dan diancam dengan suatu sanksi. Jadi yang menentukan suatu perbuatan itu merupakan kejahatan adalah Hukum.

2. Etiologi Kejahatan.

Merupakan cabang Kriminologi yang mencari sebab musabab dari kejahatan.

3. Penologi.

Merupakan ilmu tentang hukuman, akan tetapi Edwin H. Sutherland memasukkan hak-hak yang berhubungan dengan usaha pengendalian kejahatan, baik preventif maupun represif.

Sedangkan menurut W.A. Bonger (Yesmil Anwar dan Adang, 2010 : 7-8), Kriminologi dibagi menjadi Kriminologi murni dan Kriminologi terapan, dengan pembagian sebagai berikut :

1. Kriminologi murni yang terdiri dari :

(16)

a. Criminal Antropology : merupakan ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat (Somatios). Ilmu ini memberikan suatu jawaban atas pertanyaan tentang orang jahat dalam tubuhnya, mempunyai tanda-tanda seperti apa, misalnya : apakah ada hubungan antara suku bangsa dengan kejahatan.

b. Criminal Sociology : merupakan ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. Pokok utama dalam ilmu ini adalah sampai dimana letak sebab-sebab kejahatan dalam masyarakat.

c. Criminal Psychology : merupakan ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut jiwanya.

d. Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminal : merupakan ilmu pengetahuan tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf.

e. Penologi : merupakan ilmu pengetahuan tentang berkembangnya hukuman dalam Hukum Pidana.

2. Kriminologi terapan yang terdiri dari :

a. Higiene Kriminal : usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Misalnya : usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk menerapkan undang-undang, sistem jaminan hidup dan kesejahteraan yang dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kejahatan.

(17)

b. Politik Kriminal : usaha penanggulangan kejahatan dimana suatu kejahatan telah terjadi. Dalam hal ini dilihat bagaimana seseorang melakukan kejahatan, jadi tidak semata-mata penjatuhan sanksi.

c. Kriminalistik : merupakan ilmu tentang pelaksanaan penyelidikan tekhnik kejahatan dan pengusutan kejahatan.

B. Teori Kriminologi.

Menurut Frank P. William dan Marilyn McShane (Yesmil Anwar dan Adang, 2010 : 73-74), teori Kriminologi diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu :

1. Teori Abstrak atau Teori Makro (Macro Theories). Pada dasarnya, teori-teori dalam klasifikasi ini mendeskripsikan korelasi antara kejahatan dengan struktur masyarakat. Termasuk ke dalam Macro Theories ini adalah Teori Anomie dan Teori Konflik.

2. Teori Mikro (Micro Theories) yang bersifat lebih konkrit. Teori ini ingin menjawab mengapa seorang / kelompok orang dalam masyarakat melakukan kejahatan atau menjadi Kriminal (Etiology Criminal).

Konkritnya, teori-teori ini lebih bertendensi pada pendekatan psikologis atau biologis. Termasuk dalam teori ini adalah Social Control Theory dan Social Learning Theory.

3. Beidging Theories, yang tidak termasuk ke dalam katagori teori makro / mikro dan mendeskripsikan tentang struktur sosial dan bagaimana seseorang menjadi jahat. Namun kenyataannya, klasifikasi teori-teori

(18)

ini kerap membahas epidemiologi yang menjelaskan rates of crime dan Etiologi pelaku kejahatan. Termasuk kelompok ini adalah Subculture Theory dan Differential Opportunity Theory.

Selain klasifikasi di atas, Frank P. William dan Marilyn McShane juga mengklasifikasi berbagai Teori Kriminologi menjadi 3 (tiga) bagian lagi, yaitu :

1. Teori Klasik dan Teori Positivis. Asasnya, teori klasik membahas Legal Statutes, struktur pemerintahan dan hak asasi manusia (HAM). Teori positivis terfokus pada Patologi Kriminal, penanggulangan dan perbaikan perilaku Kriminal individu.

2. Teori Struktural dan Teori Proses. Teori Struktural terfokus pada cara masyarakat diorganisasikan dan dampak dari tingkah laku. Tegasnya, asumsi dasarnya adalah masyarakat yang menciptakan ketegangan dan dapat mengarah pada tingkah laku yang menyimpang. Sementara Teori Proses membahas, menjelaskan dan menganalisa bagaimana orang menjadi penjahat.

3. Teori Konsensus dan Teori Konflik. Teori Konsensus menggunakan asumsi dasar bahwa dalam masyarakat terjadi konsensus (persetujuan / kesepakatan) sehingga terdapat nilai-nilai bersifat umum yang kemudian disepakati secara bersama. Sedangkan Teori Konflik mempunyai asumsi dasar yang berbeda yaitu dalam masyarakat hanya terdapat sedikit kesepakatan dan orang-orang berpegang pada nilai pertentangan.

(19)

Sebagai perbandingan, John Hagan (Yesmil Anwar dan Adang, 2010 : 74) mengklasifikasikan Teori Kriminologi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :

1. Teori Under Control atau teori untuk mengatasi perilaku jahat seperti teori Disorganisasi Sosial, teori Netralisasi, dan teori Kontrol Sosial.

Pada dasarnya, teori-teori ini membahas mengapa ada orang melanggar hukum sedangkan kebanyakan orang tidak demikian.

2. Teori Culture, Status, dan Opportunity seperti teori Status Frustasi, teori Kultur Kelas, dan teori Opportunity yang menekankan mengapa adanya sebagian kecil orang menentang aturan yang telah ditetapkan masyarakat dimana mereka tinggal / hidup.

3. Teori Over Control yang terdiri dari teori Labeling, teori Konflik Kelompok, dan teori Marxis. Teori-teori ini lebih menekankan pada masalah mengapa orang bereaksi terhadap kejahatan.

C. Teori Sistem Hukum (Lawrance M. Friedman).

Berdasarkan pada pendekatan sistematik, maka teori sistem hukum dapat dijadikan sebagai landasan dalam menganalisa sebuah pokok permasalahan sebagaimana diajukan dalam tesis ini adalah teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman.

Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa : Tiga unsur hukum (Three Elements Of Legal System), yaitu struktur hukum (Structure

(20)

Of Law), substansi hukum (Substance Of The Law), dan budaya hukum (Legal Culture).1

Selanjutnya dijelaskan oleh Lawrence M. Friedman bahwa unsur sistem hukum terdiri dari :

1) Unsur Substansi, meliputi :

Aturan, norma, dan perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem hukum. Produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu adalah keputusan yang mereka keluarkan dan aturan baru yang mereka susun.

2) Unsur Struktur, terdiri dari :

Jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinya (yaitu jenis kasus yang mereka periksa dan bagaimana serta mengapa), cara naik banding dari satu pengadilan ke pengadilan lainnya, dan bagaimana badan legislatif ditata, berapa banyak orang yang duduk di Komisi Dagang Federal, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan prosedur mana yang harus diikuti.

3) Unsur Budaya Hukum, meliputi :

Sikap-sikap dan nilai-nilai yang ada hubungan dengan hukum dan sistem hukum, berikut sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum. Budaya hukum dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu : Kultur Hukum Eksternal = kultur hukum yang ada pada populasi umum

1 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008), hlm.9

(21)

; Kultur Hukum Internal = kultur hukum para masyarakat yang menjalankan tugas-tugas hukum yang terspesialisasi.

Sistem hukum mempunyai sistem yang digambarkan sebagai kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan bentuk batasan terhadap keseluruhan.2

Jika kita berbicara tentang struktur sistem hukum di Indonesia, maka yang termasuk di dalamnya adalah struktur institusi-institusi penegakan hukum antara lain : Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.

Misalnya kita berbicara tentang Kepolisian maka mulai dari yang terendah adalah Polsek yang berada di setiap Kecamatan hingga yang terpuncak yaitu Kapolri.

D. Beberapa Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-Unsurnya.

Dalam dunia hukum, betapa kaya dan kompleksnya istilah Perbuatan Pidana atau Tindak Pidana. Begitu banyak ahli dan pakar hukum memberikan pengertian Perbuatan Pidana atau Tindak Pidana agar dapat dimengerti oleh masyarakat umum, praktisi, maupun para mahasiswa yang menjadi muridnya.

Apabila kita mau mengutip satu persatu istilah Perbuatan Pidana atau Tindak Pidana dari setiap ahli dan pakar hukum maka kemungkinan besar tidak akan termuatkan dalam forum atau halaman ini. Sehingga bijak barangkali apabila kita cukup mengutip hanya beberapa dari ahli dan

2 Lawrence M. Friedman, American Law And Introduction, 2nd Edition, Terjemahan Wishnu Basuki (Jakarta : PT Tata Nusa, 2001), hlm.7

(22)

pakar hukum mengenai pengertian Perbuatan Pidana atau Tindak Pidana itu sendiri, yang selama ini sudah cukup familiar di tengah masyarakat kita, dan telah mewakili dari beberapa ahli dan pakar hukum lainnya.

Istilah Perbuatan Pidana yang digunakan dalam hukum pidana adalah mengenai suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yaitu dalam istilah bahasa Belanda “Strafbaar Feit“, yang artinya adalah

“Kelakuan (Handeling)“ yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

Dalam hukum pidana, pengertian abstrak suatu Perbuatan Pidana atau Tindak Pidana, yang dikenal adalah Pertama : adanya kejadian tertentu ; Kedua : adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan

kejadian itu yang merupakan suatu tindakan yang melanggar aturan- aturan hukum yang berlaku, dimana disertai sanksi (ancaman) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.

Ada juga hukum pidana mengartikan Perbuatan Pidana adalah sebagai Tindak Pidana. Istilah ini timbul dari pihak Kementerian Kehakiman yang sering digunakan dalam perundang-undangan.

Beberapa pengertian Perbuatan Pidana atau Tindak Pidana dari beberapa para ahli dan pakar serta tokoh hukum, antara lain :

a. Wirjono Projodikoro : suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

(23)

b. Moeljatno : perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pemidanaan (sanksi).

c. Simmons : suatu perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.

d. Van Hammel : suatu perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab dan perbuatan atau tindakan itu harus rela dipidana.

e. Vos : suatu peristiwa yang dinyatakan dapat dipidana oleh Undang- Undang dan dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan dan dipersalahkan terhadap perbuatannya.

f. Pompe : suatu pelanggaran terhadap norma yang oleh si pelanggar itu mempunyai masalah dan dimana penghukuman adalah berguna untuk melindungi kepentingan hukum.

g. Zainal Abidin Farid : pada hakekatnya, istilah yang paling tepat untuk digunakan ialah “Delik” yang berasal dari bahasa Latin “Delictum” atau

“Delicta”, karena : a) Bersifat Universal (Umum), semua orang di dunia mengenalnya ; b) Bersifat Ekonomis, karena singkat ; c) Tidak menimbulkan kejanggalan seperti pada peristiwa pidana (bukan peristiwa dan perbuatan yang dipidana, akan tetapi pembuatnya) ; d) Luas pengertiannya, sehingga meliputi juga delik-delik yang diwujudkan oleh korporasi, orang mati, orang yang tidak dikenal menurut hukum pidana ekonomi Indonesia.3

3 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta : Rangkang Education, 2012), hlm.23

(24)

Bedasarkan berbagai rumusan tentang Tindak Pidana sebagaimana teruraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Tindak Pidana adalah : Suatu perbuatan yang melawan hukum yang mengakibatkan pembuatnya dapat dipidana.

Adapun unsur-unsur Tindak Pidana itu sendiri menurut beberapa ahli hukum antara lain sebagai berikut :

h. Menurut Moeljatno 4, unsur-unsur Tindak Pidana yakni : 1) Perbuatan itu harus merupakan perbuatan manusia.

2) Perbuatan itu harus dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

3) Perbuatan itu bertentangan dengan hukum (melawan hukum).

4) Harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.

5) Perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada si pembuat.

i. Sementara menurut Loebby Luqman 5, unsur-unsur Tindak Pidana meliputi :

1) Perbuatan manusia, baik aktif maupun pasif.

2) Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang- undang.

3) Perbuatan itu dianggap melawan hukum.

4) Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan.

5) Pelakunya dapat dipertanggungjawabkan.

j. Sedangkan menurut EY. Kanter dan SR. Sianturi 6, unsur-unsur Tindak Pidana adalah :

1) Subyek.

2) Kesalahan.

3) Bersifat melawan hukum dari suatu tindakan.

4 Erdianto Efendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Refika Aditama, 2011), hlm.98

5 Erdianto Efendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Refika Aditama, 2011), hlm.99

6 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta : Rangkang Education, 2012), hlm.26

(25)

4) Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang / perundang-undangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana.

5) Waktu, tempat, dan keadaan (unsur Obyektif lainnya).

Sungguh pun diketahui adanya unsur-unsur Tindak Pidana di atas, penentuan suatu perbuatan sebagai Tindak Pidana atau tidak, itu sepenuhnya tergantung kepada perumusan di dalam perundang- undangan, sebagai konsekuensi Asas Legalitas yang dianut oleh hukum pidana Indonesia, bahwa tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum kecuali ditentukan di dalam undang-undang.

E. Asas Legalitas.

1. Sejarah Asas Legalitas.

Asas Legalitas diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP, yang menurut rumusannya dalam Bahasa Belanda berbunyi : “Geen Feit I Strafbaar Dan Uit Kracht Van Een Daaran Voorafgegane Wettelijke Strafbepaling”.

Zainal Abidin Farid menerjemahkannya sebagai : “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya” .7

Tapi dalam bukunya “Hukum Pidana Indonesia” yang ditulis bersama-sama dengan Andi Hamzah, rumusan Pasal 1 Ayat (1) tersebut diterjemahkan sebagai : “Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang

7 H.A.Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hlm.130

(26)

mendahuluinya”.8 Kata “feit” diterjemahkan sebagai “perbuatan” , berbeda dengan terjemahan awal yang mengartikan “feit” sebagai “peristiwa”.

Dijelaskan dalam buku tersebut, bahwa perbedaan terjemahan tersebut karena istilah “feit” itu sering juga diartikan sebagai “peristiwa”, karena pengertian “feit” itu meliputi baik perbuatan yang melanggar sesuatu yang dilarang oleh hukum pidana maupun mengabaikan sesuatu yang diharuskan.9

Sementara Roeslan Saleh mengartikan sebagai : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan, sebelum perbuatan dilakukan”.10

P.A.F. Lamintang mengartikan rumusan Pasal 1 Ayat (1) tersebut sebagai berikut : “Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada lebih dahulu daripada perbuatan itu sendiri”.11

Asas Legalitas menentukan dilarang dan diancamnya suatu perbuatan dengan pidana, yang artinya bahwa asas ini menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana jika tidak ada ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Asas ini biasa pula dikenal dalam bahasa Latin sebagai : “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali” (Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa

8 H.A.Zainal Abidin Farid & Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : PT Yarsif Watampone, 2010), hlm.53

9 Ibid, hlm.53

10 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana & Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), hlm.40

11 P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997), hlm.123

(27)

peraturan lebih dulu). Ucapan “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali” ini berasal dari Von Feuerbach, Sarjana Hukum Pidana Jerman (tahun 1775 – 1833). Dialah yang merumuskannya dalam pepatah Latin tadi dalam bukunya : “Lehrbuch Des Peinlichen Recht” (tahun 1801).12

Perumusan itu dikemukakan berhubung dengan teorinya yang terkenal dengan nama teori “Vom Psychologische Zwang” , yaitu menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang diancamkan. Dengan cara demikian, maka oleh orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih dulu telah mengetahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian, dalam batinnya, dalam psychi nya, lalu diadakan rem atau tekanan untuk tidak berbuat. Dan kalau toh dia melakukan perbuatan tadi, maka hal dijatuhi pidana kepadanya itu bisa dipandang sebagai sudah disetujuinya sendiri. Jadi pendirian Von Feuerbach mengenai pidana ialah pendirian yang tergolong absolut (mutlak). Sama halnya dengan teori pembalasan (retribution).

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa asas dan rumusan ini berasal dari Montesquieu (tahun 1688 – 1755), seorang Perancis yang terkemuka sebagai ahli fikir dalam hal negara dan hukum, juga seorang

12 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Cetakan Tahun 1978, Tanpa Nama Percetakan), hlm.16

(28)

ahli hukum dan pernah menjadi Hakim di Bordeaux . Hal ini bisa saja karena ajaran Montesquieu ada hubungannya dengan apa yang terkandung di dalam asas itu. Sekian lama mengembara ke beberapa negara, akhirnya kembali ke negaranya, lalu menulis beberapa buku.

Salah satu yang terkenal adalah “Esprit De Lois” tahun 1748.13

Zainal Abidin Farid menyebutkan bahwa teranglah yang menciptakan Asas Legalitas yang berbahasa Latin itu ialah Von Feuerbach, sedangkan pengarang lain adalah pelopor-pelopor, dan Montesquieu lebih baik disebut pencipta asas De La Legalite, sesuai dengan bahasa Perancis yang digunakannya. Antara asas ciptaan Von Feuerbach dan apa yang ditulis oleh Montesquieu sebagai asas De La Legalite, di samping ada persamaan maka memiliki pula perbedaan sebagai berikut :

1. Montesquieu lebih menitikberatkan perlindungan kebebasan pribadi orang dengan jalan membatasi tugas Hakim sampai pada penerapan kaidah undang-undang, karena dengan demikian kepastian hukum bagi seseorang dapat terjamin. Sedangkan Von Feuerbach lebih menitikberatkan pada Psychologische Zwang ancaman pidananya, namun ia memperhatikan perlindungan pribadi seseorang dari kesewenang-wenangan Hakim.

13 Roeslan Saleh, Op.Cit, hlm.38

(29)

2. Montesquieu menentang kesewenang-wenangan penguasa di segala lapangan. Sedangkan Von Feuerbach khusus menentang peradilan arbitrair / arbitrase di lapangan hukum pidana.

3. Pasal 8 Declaration Du Droit De I’homme Et Du Citoyen tertanggal 26 Agustus 1789 adalah tercipta berkat pengaruh ajaran Montesquieu, di kala mana ajaran Von Feuerbach belum dikembangkan.14

Asas Legalitas dewasa ini telah diterima oleh sebagian besar negara-negara di Eropa dan dicantumkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mereka. Asas tersebut juga telah mendapat suatu pengakuan secara internasional, yakni dengan dicantumkannya asas tersebut dalam Pasal 7 dari Perjanjian Roma tahun 1950, yang rumusannya dalam bahasa Inggeris, yang berbunyi sebagai berikut : 1. No one shall be held guilty of any criminal offence on account of any

act or ammision which did not constitute a criminal offence under national or international law at the time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time the criminal affence was committed.

2. This article shall not prejudice the trial and punishment of any person for any act or omission which, at the time when it was committed, was criminal according to the general principle of law recognized by civilized nations.

2 . Pengertian Asas Legalitas.

Secara umum, Asas Legalitas mengandung 3 (tiga) pengertian, yaitu sebagai berikut :

14 H.A.Zainal Abidin Farid, Op.Cit, hlm.135-136

(30)

1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang- undang.

2. Untuk menentukan adanya Perbuatan Pidana tidak boleh digunakan Analogi (Qiyas / menyamakan).

3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Pada pengertian pertama, bahwa harus ada aturan undang- undang yang menjadi aturan hukum yang tertulis lebih dahulu. Dengan adanya ketentuan ini, konsekuensinya adalah bahwa perbuatan- perbuatan pidana menurut hukum adat lalu tidak dapat dipidana, sebab di situ tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis. Asas Legalitas berarti tidak ada kejahatan tanpa undang-undang, tidak ada pidana tanpa undang-undang. Hanya undang-undang yang menentukan apa yang dapat dipidana, hanya undang-undang yang menentukan pidana yang mana dan dalam keadaan apa pidana dapat diterapkan. Asas Legalitas pada dasarnya untuk melindungi hak-hak warga negara dari kesewenang- wenangan penguasa di samping wewenang pemerintah untuk menjatuhkan pidana.

Pada pengertian kedua, untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan Analogi. Di Indonesia dan juga negeri Belanda, pada umumnya masih diakui prinsip ini, meskipun ada juga beberapa Serjana atau beberapa negara tidak menyetujuinya. Mengenai Analogi ini sudah banyak dibicarakan orang, baik yang pro maupun yang

(31)

kontra. Dalam membicarakan apakah hakim pidana dapat menggunakan Analogi, maka pada umumnya orang berpangkal pada perbedaan pendapat mengenai batas antara Tafsiran Ekstensif dan Analogi.

Meskipun Tafsiran Ekstensif dan Analogi itu adalah sama sifatnya, dan tidak mempunyai perbedaan yang prinsipil, namun ada juga suatu batas yang jelas antara kedua hal tersebut, sehingga melakukan penafsiran secara luas itu adalah dibenarkan, sedangkan menggunakan Analogi tidaklah dibenarkan. Dalam Tafsiran Ekstensif kita masih berpegang pada aturan hukum yang sudah ada. Hanya perkataan yang ada di dalam suatu aturan hukum yang sudah ada itulah yang kita tafsirkan menurut pengertian dalam masyarakat yang hidup dan tidak menurut maknanya pada waktu aturan tersebut dibentuk. Dalam menggunakan Analogi, pangkal pendirian kita adalah bahwa perbuatan yang menjadi soal itu tidaklah bisa dimasukkan dalam suatu aturan hukum yang sudah ada.

Pandangan hakim lah yang menghendaki agar perbuatan tersebut dijadikan Perbuatan Pidana pula. Ini adalah karena termasuk dalam inti dari suatu aturan yang telah ada, maka perbuatan tadi lalu dapat dikenal oleh aturan yang sudah ada tersebut, yaitu dengan menggunakan Analogi. Yang dijadikan dasar untuk menjadikan perbuatan suatu Perbuatan Pidana bukanlah suatu aturan pidana yang sudah ada, melainkan ratio atau inti aturan tersebut. Dapatlah dikatakan bahwa dalam Tafsiran yang Ekstensif itu kita masih tetap berpegang kepada aturan yang ada, sedangkan pada Analogi tidak berpegang lagi pada aturan yang

(32)

ada, sehingga karenanya adalah bertentangan dengan Asas Legalitas.

Berbeda halnya apabila menggunakan Analogi tersebut untuk mengecualikan pidana. Hal tersebut tidaklah dilarang. Tidaklah dihalangi untuk menggunakan Analogi dalam menentukan alasan-alasan yang menghapuskan pidana, baik dalam hal alasan yang membenarkan maupun sebagai alasan yang menghapuskan kesalahan.

Pada pengertian ketiga, aturan hukum tidak berlaku mundur atau surut. Dahulu orang mengira bahwa Asas Legalitas itu adalah sedemikian pentingnya bagi hukum pidana, sehingga tidak mungkin ada undang- undang yang akan menyimpang daripadanya. Ketentuan pada pengertian ini dikenal juga sebagai Asas Non Retroaktif.

Menurut Cleiren dan Nijboer, Asas Legalitas berarti tidak ada kejahatan tanpa undang-undang, tidak ada pidana tanpa undang. Hanya undang-undang yang menentukan apa yang dapat dipidana, hanya undang-undang yang menentukan pidana yang mana dan dalam keadaan apa pidana dapat diterapkan. Asas Legalitas untuk melindungi hak-hak warga negara dari kesewenang-wenangan penguasa di samping wewenang pemerintah untuk menjatuhkan pidana. Menurut pendapat L.Dupon (Beginselen Van Behoorlijke Strafrechtbedeling), peran Asas Legalitas berkaitan dengan seluruh perundang-undangan sebagai aspek instrumental perlindungan.

Lebih lanjut Cleiren dan Nijboer mengatakan bahwa Hukum Pidana itu adalah hukum yang tertulis. Tidak seorang pun dapat dipidana

(33)

berdasarkan Hukum Kebiasaan. Hukum Kebiasaan tidak menciptakan hal yang dapat dipidana (Strafbaarheid). Asas legalitas menurutnya berarti : a. Tidak ada ketentuan yang samar-samar (maksudnya bersifat karet).

b. Tidak ada Hukum Kebiasaan (Lex Scripta).

c. Tidak ada Analogi (penafsiran Ekstensif, dia hanya menerima penafsiran Teleologis).15

Nijboer menguraikan Asas Legalitas lebih jelas dengan mengatakan Asas Legalitas merupakan jaminan kepada warga. Dengan kata yang mendahuluinya yaitu “voorafgaande”, “perundang-undangan (wettelijke)”, dan ketentuan pidana (strafbepaling), muncul secara langsung 3 (Tiga) norma :

a. Larangan berlaku surut (untuk Legislatif dan Hakim) dengan mengancam dan memberikan pidana (kepastian hukum).

b. Perintah (kepada Hakim), selalu penjatuhan pidana berdasarkan undang-undang dan tidak dengan kebiasaan. Berlakunya perundang- undangan mempositifkan Asas Legalitas. Akan tetapi pada pilihan jenis pidana dan atau ukuran pidana maka kebiasaan memegang peranan penting.

c. Larangan (kepada Hakim) menjatuhkan pidana lain dari yang disebut undang-undang karena ketentuan pidana pada pasal dalam KUHP memuat juga ketentuan berupa sanksi.16

15 C.P.M. Cleiren-Nijboer, Strafrecht, Teks & Commentaar, hlm.3, dikutip dari H.A.Zainal Abidin Farid dan Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : PT Yarsif Watampone, 2010), hlm.55

(34)

Di Indonesia dan juga di negeri Belanda, pada umumnya masih diakui prinsip ini, meskipun ada juga beberapa Sarjana yang tidak menyetujuinya, misalnya seperti Taverne, Pompe, dan Jonkers.

Taverne adalah Sarjana Hukum yang pertama kali di Netherland yang menganjurkan diterimanya Analogi dalam peradilan pidana. Dalam pidato penerimaan jabatan pada tahun 1918 di Amsterdam, beliau menyangkal kegunaan praktis larangan Analogi dan menunjuk negara- negara Inggeris dan Denmark yang memperkenankan Analogi. Negeri Belanda sendiri, dimana lebih kurang 100 (Seratus) tahun lamanya berlaku Pasal 17 Crimineel Wetboek Voor Het Krijgsvolk Te Lande, secara eksplisit memperkenankan Analogi. Beliau mengkonstatir bahwa Asas Nullum Delictum ciptaan Von Feuerbach mulai goyah. Di dalam anotasi arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921 tentang persoalan pencurian listrik, Taverne berpendapat bahwa Hoge Raad yang mempersamakan Inschakelen dengan wegnemen (mengambil) yang menjadi salah satu unsur delik pencurian (Pasal 362 KUHP), bukan lagi memberikan penafsiran, bahkan bukan lagi penafsiran ekstensif, tetapi secara diam- diam menerapkan Analogi. Setelah memberikan contoh-contoh keputusan pengadilan, beliau berkesimpulan, bahwa Asas Nullum Delictum yang oleh Von Liszt disebut Magna Charta para penjahat, in diens hand vaak een vrijbrief voor on sociale daden kan worden (di dalam tangannya sering merupakan surat bebas untuk perbuatan-perbuatan sosial) yang

16 W.Nijboer, Schets Materieel Strafrecht, 1990, hlm.34-35, dikutip dari H.A.Zainal Abidin Farid dan Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : PT Yarsif Watampone, 2010), hlm.55-56

(35)

seharusnya diakhiri dengan jalan memperkenankan Hakim menerapkan Analogi.17

Mengenai Analogi ini sudah banyak dibicarakan orang, baik yang pro maupun yang kontra. Dalam membicarakan apakah Hakim pidana dapat menggunakan Analogi, pada umumnya orang berpangkal pada perbedaan pendapat mengenai batas antara penafsiran Ekstensif dan Analogi.18

Dan memang sejak Hoge Raad pada tanggal 23 Mei 1921 memutuskan suatu perkara seorang dokter gigi yang menyadap listrik dan kemudian oleh pengadilan dipidana karena pencurian tenaga listrik, masalah Analogi ini semakin banyak diperbincangkan. Taverne berhubung dengan putusan tersebut menulis bahwa Hoge Raad secara diam-diam telah menerima Analogi dalam peradilan pidana, walaupun tidak mau menyatakan menerima Analogi secara tegas. Sikap Hoge Raad yang demikian dicela oleh Taverne, yang dikatakannya telah bersikap

“schijnheiling”. Dan sejak itu banyak orang membicarakan pokok persoalan ini.

Menurut Roeslan Saleh, bahwa meskipun penafsiran Ekstensif Dan Analogi itu adalah sama sifatnya, dan tidak mempunyai perbedaan yang prinsipil, namun ada juga suatu batas yang jelas antara kedua hal tersebut, sehingga melakukan penafsiran secara luas itu adalah dibenarkan, sedangkan menggunakan Analogi tidaklah dibenarkan. Dalam

17 H.A.Zainal Abidin Farid, Op.Cit, hlm.141

18 Roeslan Saleh, Op.Cit, hlm.41

(36)

penafsiran Ekstensif kita masih berpegang pada aturan hukum yang sudah ada. Hanya perkataan yang ada di dalam suatu aturan hukum yang sudah ada itulah yang kita tafsirkan menurut pengertian dalam masyarakat yang hidup dan tidak menurut maknanya pada waktu aturan tersebut dibentuk atau dibuat.

Lebih lanjut Roeslan Saleh menerangkan bahwa dalam menggunakan Analogi, pangkal pendirian kita adalah bahwa perbuatan yang menjadi soal itu tidaklah bisa dimasukkan dalam suatu aturan Hukum yang sudah ada. Pandangan Hakimlah yang menghendaki agar perbuatan tersebut dijadikan perbuatan pidana pula. Ini adalah karena termasuk dalam inti dari suatu aturan yang telah ada, maka perbuatan tadi lalu dapat dikenal oleh aturan yang sudah ada itu, yaitu dengan menggunakan Analogi. Yang dijadikan dasar untuk menjadikan perbuatan suatu perbuatan pidana bukanlah suatu aturan pidana yang sudah ada, melainkan rasio atau inti aturan tersebut. Dapatlah dikatakan bahwa dalam penafsiran Ekstensif itu kita masih tetap berpegang kepada aturan yang ada, sedangkan pada Analogi tidak berpegang lagi pada aturan yang ada. Sehingga karenanya adalah bertentangan dengan Asas Legalitas.

Lain halnya apabila menggunakan Analogi tersebut untuk mengecualikan Pidana. Untuk demikian itu tidaklah terlarang. Tidaklah dihalangi untuk menggunakan Analogi dalam menentukan alasan-alasan yang menghapuskan pidana, baik dalam hal alasan yang membenarkan maupun sebagai alasan yang menghapuskan kesalahan.

(37)

Scholten berpandangan bahwa tidak ada perbedaan prinsipil antara penafsiran Ekstensif dan Analogi, tetapi hanya soal gradasi saja.

Hal ini disetujui oleh Van Hattum dalam bukunya “Hand En Leerboek Van Het Ned Strafrecht”, tahun 1953, page 71. Akan tetapi beliau menolak Analogi dalam menentukan perbuatan pidana, juga menolak penafsiran Ekstensif. Dan Arrest Hoge Raad 1921 dipandang oleh beliau tidaklah sebagai contoh yang menggunakan penafsiran Ekstensif dan Analogi, tetapi adalah suatu contoh dimana Hoge Raad melepaskan pandangan dunia yang materialistis (materialistische wereldbeschouwing). Disitu hanya didapat peralihan makna dari perkataan “goed” (benda, barang) verschuiving in betekenis.

Terhadap pendapat Scholten tersebut, Moeljatno 19 berpendapat bahwa apakah dalam pencurian listrik itu dianggap sebagai suatu “goed”

karena penafsiran Ekstensif, ataupun karena “verschuiving in betekenis van het word goed” (peralihan makna perkataan goed), itu hanyalah berlainan kata-kata saja. Yang terang ialah bahwa goed pada waktu W.v.S. 1880 dibentuk, hanya bermakna sebagai barang yang berwujud saja, sedangkan maknanya pada masa sekarang juga meliputi barang yang tidak berwujud.

19 Moeljatno, Op.Cit, hlm.18

(38)

3 . Pengecualian Asas Legalitas.

Asas dasar bahwa Hukum Pidana tidak berlaku surut sebagaimana tercantum di dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP dibatasi dengan pengecualian yang tercantum di dalam Ayat (2) pada pasal tersebut. Ayat (2) berbunyi : “apabila perundang-undangan dirobah setelah waktu perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya”.

Zainal Abidin Farid menyatakan bahwa ketentuan tersebut jelas merupakan pengecualian dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 yang menetapkan Undang-Undang hanya mengikat terhadap hal-hal yang akan datang dan tidak boleh diperlakukan surut . Khusus untuk negara berkembang seperti Indonesia yang sedang membangun, tak dapat dielakkan banyaknya perobahan-perobahan Hukum yang diperlukan guna menunjang pembangunan ekonomi nasional.

Dalam perobahan drastis demikian, sering terjadi adanya peraturan-peraturan Hukum yang saling bertentangan atau perobahan penilaian terhadap perbuatan yang dahulu dianggap kejahatan, tetapi kemudian dipandang sebagai sesuatu yang tidak melawan Hukum.

Ketentuan peralihan tersebut menimbulkan 4 (Empat) macam pertanyaan :

1. Apakah yang dimaksud perundang-undangan ? 2. Apakah arti perobahan ?

(39)

3. Apakah yang dipandang sebagai ketentuan yang paling menguntungkan tersangka ?

4. Peraturan undang-undang yang manakah yang harus diperhitungkan oleh Hakim banding atau Hakim kasasi, bilamana setelah peradilan dalam instansi pertama atau kedua terjadi perobahan perundang- undangan ? 20

Lebih lanjut Zainal Abidin Farid menyatakan bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka perlu diketahui 3 (Tiga) macam teori seperti akan diuraikan di bawah ini.

Menguntungkan tersangka di bidang apa sajakah ? Menguntungkan bukan saja tentang pidana, tetapi juga mengenai penuntutannya, pengurangan jangka waktu verjaring, dan keadaan bahwa peristiwa itu merupakan delik aduan, demikianlah pendapat Jonkers (1946 : 40). Misalnya, pada pihak yang satu, pidana-pidana terhadap delik itu bertambah berat, sedangkan pada pihak lain peristiwa yang sebelumnya merupakan delik biasa berobah menjadi delik aduan. Maka aturan yang menguntungkan terdakwa pada saat dimajukannya pengaduan oleh yang dirugikan. Bila tidak dimajukan pengaduan maka undang-undang yang baru itulah yang menguntungkan. Tetapi bila sebaliknya terjadi, maka undang-undang yang lamalah yang menguntungkan terdakwa terhadap segala hal.

20 H.A.Zainal Abidin Farid, Op.Cit, hlm.152

(40)

Apakah yang dimaksud dengan perobahan undang-undang dalam Pasal 1 Ayat (2) KUHP ? Apakah undang-undang pidana saja atau semua aturan Hukum ? Hal ini dapat dijawab oleh 3 (Tiga) macam teori sebagai berikut :

a. Teori Formil, yang dianut oleh Simon (1937 : 101).

Bahwa perobahan undang-undang yang dimaksud, baru terjadi bilamana redaksi undang-undang pidana yang dirobah. Perobahan undang-undang lain selain undang-undang pidana, walaupun berhubungan dengan undang-undang pidana, bukanlah perobahan undang-undang Pasal 1 Ayat (2) KUHP.

b. Teori Materil Terbatas yang dikemukakan oleh Van Geuns dalam disertasinya (1919), bahwa perobahan undang-undang yang dimaksud harus diartikan sebagai perobahan keyakinan hukum pembuat undang-undang. Perobahan karena zaman atau keadaan tidak dapat dianggap sebagai perobahan undang-undang. Keputusan Hoge Raad tanggal 3 Desember 1906 (koppelarij arrest – kasus mucikari) menganut teori tersebut. Seorang mucikari Do Venlo dituduh melanggar Pasal 250 (1) 2e W.v.S., yaitu memudahkan perbuatan cabul terhadap seorang wanita di bawah umur (minderjarige), dengan seorang lelaki. Pada tahun 1906, ketika perkara tersebut diadili oleh Hof di Arnhem, maka terjadi perobahan dalam Burgerlijke Wetboek mengenai batas umur orang yang belum cukup umur, yaitu di bawah 23 (Dua Puluh Tiga) tahun menjadi di bawah 21 (Dua Puluh Satu)

(41)

tahun. Walaupun perobahan terjadi di luar W.v.S. dan redaksi W.v.S.

tidak berobah, namun Hoge Raad menguatkan keputusan Hof (Pengadilan Tinggi) Arnhem yang melepaskan terdakwa dari tuntutan hukum.

c. Teori Materil Tidak Terbatas.

Hoge Raad dalam keputusannya tanggal 5 Desember 1921 (NJ. 1922 h. 239) yang disebut Huurcommissiewet Arret, berpendapat bahwa

“perundang-undangan meliputi semua undang-undang dalam arti luas dan perobahan undang-undang meliputi semua macam perobahan, baik perobahan perasaan hukum pembuat undang-undang menurut Teori Materil Terbatas, maupun perobahan keadaan karena waktu.21

Teori tentang waktu tersebut yang paling luas dan sesuai dengan Hukum Pidana dan peradilan modern. Roeslan Saleh 22 menerangkan bahwa menurut yurisprudensi, perobahan perundang-undangan dalam ayat-ayat ini tidak hanya menunjuk kepada perobahan perundang- undangan pidana saja. Dalam praktek ternyata bahwa memang banyak hal yang sepintas lalu tidak terduga ada di dalam perumusan ini. Begitu pula jika perobahan perundang-undangan itu tidak langsung mengenai ancaman pidana, penghapusan perbuatan pidana atau suatu unsur perbu-

21 H.A.Zainal Abidin Farid, Op.Cit, hlm.152-153

22 Roeslan Saleh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana & Penjelasan, (Jakarta : Aksara Baru, 1981), hlm.14

(42)

atan pidana, akan tetapi secara tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap hal tersebut. Pada umumnya, hal-hal tersebut pun dianggap sebagai perobahan perundang-undangan dalam arti ayat ke-2 ini.

Dari ketentuan ini, ada beberapa ahli yang menyarankan agar ketentuan ini dihapuskan saja. Alasannya, karena ketentuan ini bersifat teoritis, tidak memiliki dasar yang sehat dan dalam praktek pun banyak menimbulkan soal-soal yang sulit dan juga dapat menimbulkan perasaan tidak adil. Antara lain adalah karena jika ada beberapa orang yang telah diadili menurut peraturan yang lama, sedangkan yang lain berhubung karena belum terungkap misalnya harus diadili dikemudian hari. Dalam hal ini, jika ada perobahan dalam perundang-undangan yang menguntungkan bagi terdakwa, maka mereka yang diadili belakangan ini harus dikenakan aturan-aturan yang menguntungkan, sedangkan yang sudah diadili tidak.23

4 . Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP.

KUHP yang direncanakan bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan Monodualistik, dalam arti memperhatikan keseimbangan 2 (Dua) kepentingan yaitu antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Pandangan Monodualistik inilah yang biasanya dikenal dengan

23 Ibid, hlm.14-15

(43)

istilah “daad-dader strafrecht” yaitu Hukum Pidana yang memperhatikan segi obyektif dari “perbuatan” (daad) dan juga segi-segi subyektif dari orang / pembuat (dader).24

Bertolak dari prinsip keseimbangan Monodualistik itulah, maka konsep tetap mempertahankan 2 (Dua) Asas yang sangat fundamental dalam Hukum Pidana yaitu : Asas Legalitas dan Asas Kesalahan / Culpabilitas. Kedua asas inilah masing-masing dapat disebut sebagai

“Asas Kemasyarakatan” dan “Asas Kemanusiaan”. Berbeda dengan KUHP yang sekarang berlaku, yang hanya merumuskan Asas Legalitas, konsep tahun 1993 merumuskan kedua asas itu secara eksplisit di dalam Pasal 1 (untuk Asas Legalitas) dan Pasal 35 (untuk Asas Culpabilitas).25

Berbeda dengan perumusan Asas Legalitas di dalam KUHP yang sekarang berlaku, konsep (RUU KUHP) memperluas perumusannya dengan mengakui eksistensi berlakunya hukum yang hidup (hukum tidak tertulis / hukum adat) sebagai dasar patut dipidananya suatu perbuatan sepanjang perbuatan itu tidak ada persamaannya atau tidak diatur dalam Undang-Undang.26

Perluasan perumusan Asas Legalitas ini dalam RUU KUHP tahun 2012 dirumuskan dalam Pasal 2 Ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut :

24 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta : Kencana, 2008), hlm.97

25 Ibid, hlm.97

26 Ibid, hlm.98

(44)

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

(2) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Hak Asasi Manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

Alur pemikiran yang demikian dilanjutkan oleh pembuat konsep (RUU KUHP) dengan menegaskan dianutnya pandangan sifat melawan hukum yang materil. Konsep (RUU KUHP) berpendirian bahwa sifat melawan hukum merupakan unsur mutlak dari tindak pidana. Artinya, walaupun dalam perumusan delik tidak dirumuskan secara tegas adanya unsur melawan hukum, namun suatu perbuatan yang telah dirumuskan sebagai tindak pidana dalam undang-undang harus selalu dianggap melawan hukum. Jadi perumusan formal dalam undang-undang harus dilihat sebagai faktor atau ukuran obyektif untuk menyatakan suatu perbuatan bersifat melawan hukum. Ukuran formal atau obyektif itupun masih harus diuji secara materil, apakah ada alasan pembenar atau tidak, dan apakah perbuatan itu benar-benar bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat atau hukum yang hidup dalam masyarakat.27

27 Ibid, hlm.98

(45)

Perluasan perumusan Asas Legalitas dan sifat melawan hukum ini pun tidak dapat dilepaskan dari pokok pikiran Asas Keseimbangan (antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, antara kepastian hukum dan keadilan, antara kriteria / sumber hukum formal dan materil).

Pemikiran dan perumusan demikian juga merupakan hal baru apabila dibandingkan dengan perumusan KUHP yang saat ini berlaku.28

F. Penafsiran Analogi.

Perlu disadari bahwa Wetboek van Strafrecht (W.v.S.) merupakan peninggalan kolonial Belanda. Sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa penyesuaian dalam konteks Indonesia. Di antaranya terdapat pasal-pasal yang tidak diberlakukan dan diamandemen dengan menambah pasal-pasal yang dianggap masih kurang. Dalam perkembangannya, kebijakan mengamandemen pasal- pasal KUHP ini ditinggalkan dengan membentuk undang-undang baru.

Sehingga muncul apa yang disebut dengan Tindak Pidana di luar KUHP.

Tetapi ternyata pengaturan Tindak Pidana di luar KUHP ini membentuk sistem tersendiri yang menyimpang dari ketentuan umum Hukum Pidana sebagaimana diatur dalam Buku I KUHP. Baik itu mengenai Asas Hukumnya maupun ketentuan pemidanaannya.

Pasal 1 Ayat (1) KUHP berbunyi : “Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut

28 Ibid, hlm.98-99

(46)

Undang-Undang yang telah ada terlebih dahulu dari pada perbuatan itu sendiri”.

Perlu digarisbawahi bahwa ketidaktahuan tentang benar tidaknya suatu terjemahan undang-undang, dapat menjerumuskan kita ke dalam kekeliruan dalam menerapkan Hukum sebagaimana mestinya, dan kekeliruan semacam itu dapat berakibat timbulnya suatu keadaan tidak terdapatnya suatu kepastian hukum bagi masyarakat di Indonesia khususnya. Serta hal ini dapat berakibat timbulnya salah penafsiran terhadap Asas-Asas Hukum yang terdapat di dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP tersebut yang mempunyai 3 (Tiga) buah Asas penting, yaitu :

1. Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali, yang artinya bahwa “Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan”.

2. Asas Retroaktif atau “Bahwa undang-undang yang berlaku di negara kita itu tidak dapat berlaku surut”.

3. Bahwa penafsiran secara Analogi itu tidak diperbolehkan dalam menafsirkan undang-undang Pidana.

Apakah sebenarnya penafsiran Analogi itu ? Penafsiran Analogi yaitu memberikan penafsiran pada suatu peraturan hukum dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan

(47)

asas hukumnya sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak termasuk ke dalamnya dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.

Penafsiran Analogi telah menimbulkan perdebatan di antara para Yuris yang terbagi ke dalam 2 (Dua) kubu, yaitu yang menerima dan menentang penafsiran Analogi. Secara ringkas, penafsiran Analogi adalah apabila terhadap suatu perbuatan yang pada saat dilakukannya tidak merupakan Tindak Pidana, diterapkan ketentuan Hukum Pidana yang berlaku untuk Tindak Pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan tersebut sehingga kedua perbuatan tersebut dipandang Analog satu dengan lainnya. Menurut Andi Hamzah, ada 2 (Dua) macam Analogi, yaitu : Gesets Analogi dan Recht Analogi. Gesets Analogi adalah Analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak terdapat dalam ketentuan Pidana. Sementara Recht Analogi adalah Analogi terhadap perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan Hukum Pidana.

Beberapa alasan yang menyetujui digunakannya Analogi, diantaranya adalah karena perkembangan masyarakat yang sedemikian cepat sehingga Hukum Pidana harus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu. Sementara yang menentang mengatakan bahwa penerapan Analogi dianggap berbahaya karena dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Dalam perkembangannya, pembatasan dan penggunaan Analogi ini tergantung pada sistem hukum yang dianut suatu negara.

Referensi

Dokumen terkait

Menimbang, bahwa terlepas dari ketentuan-ketentuan formil sebagaimana terurai di atas, dalam perkara aquo, disamping ada kepentingan hukum Para Pemohon, juga

Dengan metode pengumpulan data wawancara dan observasi serta metode analisis data kualitatif dan kuantitatif diperoleh hasil: (a) terdapat perbedaan wujud perilaku

Output : Formulir Kosong Pendaftaran Pasang Baru, Surat Penangguhan, Kwitansi, Data Calon Pelanggan PLN, Surat Persetujuan Pemasangan Listrik Yang Blm Di ACC, Surat

Gambar 7 Pengambilan data dari database ke android Aplikasi jejaring sosial kampus pada smartphone android memiliki beberapa kebutuhan fungsional yang dimodelkan

Lembaga Pemasyarakatan sebagai sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang merupakan bagian akhir sistem peradilan pidana, dan

Salah satu bentuk tindak pidana terhadap harta kekayaan orang yang sangat sulit untuk dilakukan pengusutan dalam tindakannya adalah tindak pidana penadahan. Bentuk kejahatan ini

Pada bagian konsideran Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini

Profitability ratio merupakan rasio yang mengukur kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dengan menggunakan sumber-sumber yang dimiliki perusahaan, seperti aktiva, modal