• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis

2.2. Definisi Variabel

2.2.1 Loan to Deposit Ratio (LDR)

“Loan to Deposit Ratio (LDR) adalah rasio yang mengukur perbandingan jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank yang menggambakan kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya (Rivai, et al., 2007:394)”. Menurut Dendawijaya (2003), “Loan to Deposit Ratio adalah rasio antara seluruh jumlah kredit yang disalurkan oleh bank dengan dana yang diterima oleh bank”.

Kasmir (2004), juga mendefinisikan “LDR adalah rasio untuk mengukur komposisi jumlah kredit yang diberikan dibandingkan dengan jumlah dana dari masyarakat dan modal sendiri yang digunakan”.

Tujuan perhitungan LDR adalah untuk mengetahui serta menilai sampai seberapa jauh suatu bank memiliki kondisi sehat dalam menjalankan kegiatan operasinya. Seberapa jauh pemberian kredit kepada nasabah kredit dapat mengimbangi kewajiban bank untuk segera memenuhi permintaan deposan yang ingin menarik kembali uangnya yang telah digunakan oleh bank untuk

memberikan kredit (Dendawijaya, 2009:116). Dengan kata lain, LDR digunakan sebagai suatu indikator untuk mengetahui tingkat kerawanan suatu bank.

Besarnya Loan to Deposit Ratio (LDR) yang telah ditetapkan oleh pemerintah maksimum adalah 110%. Jumlah kredit yang diberikan biasanya relatif naik namun tak berarti jumlah kredit tidak akan turun. Untuk menghitung nilai dari LDR, dapat menggunakan suatu persamaan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, yaitu:

LDR = Jumlah Kredit yang Diberikan

Jumlah Dana Pihak Ketiga × 100%

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa, Loan to Deposit Ratio (LDR) merupakan rasio yang membandingkan antara penyaluran kredit dengan dana yang masuk ke bank, dimana LDR harus diperhatikan agar bank tidak melewati nilai standar yang telah ditetapkan. Semakin tinggi Loan to Deposit Ratio (LDR) maka laba perusahaan semakin meningkat (dengan asumsi bank tersebut mampu menyalurkan kredit dengan efektif, sehingga jumlah kredit macetnya akan kecil). Sebaliknya, jika angka Loan to Deposit Ratio yang rendah menunjukkan bahwa tingkat tingginya kemampuan likuiditas bank yang besangkutan karena bank tidak perlu mengeluarkan dana yang diperlukan untuk membiayai kredit yang semakin kecil.

Ketentuan Loan to Deposit Ratio menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 265/BPPP tanggal 29 Mei 1993 perihal tata cara penilaian tingkat kesehatan bank umum, menyatakan bahwa “tingkat kesehatan bank untuk semua pihak yang terkait, maka Bank Indonesia menetapkan: Untuk Loan to Deposit

Ratio sebesar 110% atau lebih diberi nilai kredit nol (0) artinya likuiditas bank tersebut tidak sehat. Sedangkan Unuk Loan to Deposit Ratio dibawah 110% diberi nilai 100, artinya likuiditas bank tersebut sehat”.

2.2.2 Capital Adequecy Ratio (CAR)

Permodalan (Capital Adequacy) menunjukkan kemampuan bank dalam mempertahankan modal yang mencukupi dan kemampuan manajemen bank dalam mengidentifikasi, mengawasi dan mengontrol resiko-resiko yang timbul yang dapat berpengaruh terhadap besarnya modal bank.

“Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio yang memperlihatkan seberapa jauh seluruh aktiva bank yang mengandung resiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari dana modal sendiri bank, disamping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber di luar bank, seperti dana masyarakat, pinjaman (utang), dan lain-lain (Dendawijaya 2009:121)”. Rasio CAR digunakan untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan resiko, misalnya kredit yang diberikan.

Menurut Taswan (2006), Fungsi modal bagi bank adalah :

1. Melindungi deposan dengan menangkal semua kerugian usaha perbankan sebagai akibat salah satu resiko usaha.

2. Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat berkenaan dengan kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo. 3. Membiayai kebutuhan aktiva tetap.

4. Mengusahakan kekurangan modal tersebut dari luar.

Rasio CAR digunakan untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan resiko,

misalnya kredit yang diberikan. Semakin tinggi CAR maka semakin kuat kemampuan bank tersebut untuk menanggung resiko dari setiap kredit atau aktiva produktif yang berisiko.

Rasio ini dirumuskan sebagai berikut:

CAR = Modal Bank

Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR ) × 100%

Sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia No. 10/15/PBI/2008 pasal 2 ayat 1, besarnya CAR yang harus dicapai oleh suatu bank minimal 8% dari asset tertimbang menurut resiko (ATMR). Angka tersebut merupakan penyesuaian dari ketentuan yang berlaku secara internasional berdasarkan Standar Bank for International Settlement (BIS).

2.2.3 Non Performing Loan (NPL)

Kredit macet (Non Performing Loan) adalah bagian dari kredit bermasalah namun tidak semua kredit bermasalah adalah kredit macet karena kredit bermasalah dapat diartikan sebagai kredit yang pembayaran kembali utang pokok dan kewajiban bunganya tidak sesuai dengan persyaratan atau ketentuan yang ditetapkan oleh bank, serta mempunyai resiko penerimaan pendapatan dan bahkan berpotensi untuk rugi.

Menurut Dendawijaya (2004), kemacetan fasilitas kredit disebabkan oleh 2 faktor yaitu :

1. Dari Pihak Perbankan

Pihak perbankan yang kurang teliti baik dalam mengecek kebenaran dan keaslian dokumen maupun salah dalam menghitung rasio-rasio yang ada.

2. Dari Pihak Nasabah

Kemacetan kredit yang disebabkan oleh nasabah ada 2 yaitu adanya unsur kesengajaan dan unsur tidak sengaja.

Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut (Sesuai SE BI No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004) :

NPL = Jumlah Kredit Bermasalah

Total Kredit × 100%

Kriteria penilaian tingkat kesehatan rasio NPL dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 2.1

Kriteria Penilaian Tingkat Kesehatan Rasio NPL

Rasio Predikat

NPL ≤ 5%

NPL ≥ 5% Tidak Sehat Sehat

Sumber : SE BI No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004

Berdasarkan Tabel 2.1 diatas menunjukkan bahwa Bank Indonesia menetapkan nilai NPL maksimum adalah sebesar 5%, apabila bank melebihi batas yang diberikan maka bank tersebut dikatakan tidak sehat.

2.2.4 Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional atau Operating Expenses/Operating Income (BOPO)

Biaya operasional merupakan biaya yang dikeluarkan oleh bank dalam rangka menjalankan aktivitas usaha pokoknya (seperti biaya bunga, biaya tenaga kerja, biaya pemasaran). Pendapatan operasional merupakan pendapatan utama bank yaitu pendapatan bunga yang diperoleh dari penempatan dana dalam bentuk kredit dan penempatan operasi lainnya. “Biaya Operasional terhadap Pendapatan

Operasional (BOPO) perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan operasional dalam mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya (Rivai, et al., 2007:722)”. Semakin rendah BOPO berarti semakin efisien bank tersebut dalam mengendalikan biaya operasionalnya, dengan adanya efisiensi biaya maka keuntungan yang diperoleh bank akan semakin besar.

Secara matematis, BOPO dapat dirumuskan sebagai berikut:

BOPO = Beban Operasional

Pendapatan Operasional × 100%

Nilai resiko BOPO yang ideal berada antar 50%-70% sesuai dengan ketentuan BI. Berdasarkan Surat Edaran BI No. 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, kategori peringkat yang akan diperoleh bank dari besaran nilai BOPO yang dimiliki adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2

Peringkat Bank Berdasakan Rasio BOPO

Peringkat Predikat Besaran Nilai BOPO

1 Sangat Sehat 50-70%

2 Sehat 76-93%

3 Cukup Sehat 94-96%

4 Kurang Sehat 96-100%

5 Tidak Sehat >100%

Sumber:SE BI No. 6/23/DPNP tanggal 31 mei 2004

Berdasarkan Tabel 2.2 Bank Indonesia menetapkan peringkat BOPO dari yang sangat sehat sampai yang tidak sehat.

Laba merupakan tujuan utama yang ingin dicapai dalam sebuah usaha, termasuk juga bagi usaha perbankan. Alasan dari pencapaian laba perbankan tersebut dapat berupa kecukupan dalam pemenuhan dalam memenuhi kewajiban terhadap pemegang saham, penilaian atas kinerja pimpinan, dan meningkatkan daya tarik investor untuk menanamkan modalnya. “Laba yang tinggi membuat bank mendapat kepercayaan dari masyarakat yang memungkinkan bank untuk menghimpun modal yang lebih banyak sehingga bank memperoleh kesempatan meminjamkan dengan lebih luas (Simorangkir, 2004)”.

Berdasarkan laporan-laporan keuangan dari bank dan juga literatur-literatur, bunga merupakan unsur atau komponen pendapatan yang paling besar. Hasil yang diperoleh yaitu 75% dari bunga, sedangkan yang 25% berasal dari pendapatan jasa lainnya (Simorangkir, 2004). Besar kecilnya laba yang dihasilkan bank sangat dipengaruhi oleh kinerja bank dalam mengelola dana yang dihimpun dari masyarakat. Bank yang mampu menghasilkan pendapatan tinggi berarti bank tersebut dapat menjalankan usahanya secara efisien.

Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, ROA dapat dirumuskan sebagai berikut :

ROA = Laba Sebelum Pajak

Total Aset × 100%

Menurut Dendawijaya (2003), “alasan penggunaan ROA ini dikarenakan Bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas perbankan lebih mengutamakan nilai profitabilitas suatu bank yang diukur dengan aset yang mana sebagian besar dananya berasal dari masyarakat dan nantinya oleh bank juga harus disalurkan kembali kepada masyarakat”. Semakin tinggi ROA suatu bank semakin besar

pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan aset.

2.2.6 Net Interest Margin (NIM)

“Rasio Net Interet Margin (NIM) dapat diukur dengan selisih antara suku bunga pendanaan dengan suku bunga pinjaman yang diberikan, yang merupakan selisih antara total biaya bunga pendanaan dengan total biaya bunga pinjaman. Rasio ini menunjukkan kemampuan earning assets dalam menghasilkan bunga bersih (Rivai, et al., 2007:721)”.

Semakin besar rasio ini maka semakin meningkatnya pendapatan bunga yang diperoleh dari aktiva produktif yang dikelola bank sehingga kemungkinan bank tersebut dalam kondisi bermasalah semakin kecil. Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

NIM = Pendapatan Bunga Bersih

Rata−Rata Aktiva Produktif × 100%

2.2.7 Dana Pihak Ketiga (DPK)

Salah satu kegiatan industri perbankan adalah pemberian kredit. Menurut Siamat (2004), “proporsi pendapatan terbesar bank berasal dari pendapatan bunga kredit yang disalurkan. Sedangkan jumlah kredit yang disalurkan tersebut didanai oleh beberapa sumber yaitu modal sendiri, pinjaman dari lembaga lain, dan pihak ketiga atau masyarakat”. Menurut Kasmir (2004), “dana pihak ketiga memiliki kontribusi terbesar dari beberapa sumber dana tersebut sehingga jumlah dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh suatu bank akan mempengaruhi

kemampuannya dalam menyalurkan kredit”. Kredit diberikan kepada para debitur yang telah memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam perjanjian yang dilakukan antara pihak debitur dengan pihak bank.

Dana yang dihimpun dari masyarakat ternyata merupakan sumber dana terbesar yang paling diandalkan oleh bank dan bisa mencapai 80%-90% dari seluruh dana yang dikelola bank (Dendawijaya 2005:35). Dana dari masyarakat yang sering disebut dengan dana pihak ketiga terdiri atas beberapa jenis yaitu Giro (Demand Deposit), Tabungan (Saving Deposit) dan Deposito (time deposit).

Pertumbuhan dana pihak ketiga diukur dari perbandingan selisih total Dana Pihak Ketiga pada satu bulan tertentu dengan total Dana hak Ketiga bulan sebelumnya yang dimiliki bank. Satuan ukurannya persen diukur dengan menggunakan rumus:

Pertumbuhan DPK = DPK (t) DPK (t1)

DPK (t−1) × 100%

Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti terdahulu dan jurnal yang menggunakan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebagai variabel independennya berpengaruh terhadap variabel dependen (LDR), maka saya menggunakan Dana Pihak Ketiga (DPK) untuk menjadi variabel moderating saya dengan alasan bahwa Dana Pihak Ketiga (DPK) dapat mempengaruhi variabel independen terhadap variabel dependen. Karena variabel moderating adalah variabel yang dapat memperkuat ataupun memperlemah hubungan variabel independen terhadap variabel dependen.

Dokumen terkait