• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANGAN TRANSIEN

5.5 DEFORESTASI HUTAN

Indonesia merupakan salah satu negara mega biodiversiti yang terletak dalam lintasan distribusi keanekaragaman hayati benua Asia dan Australia serta daratan wallacea (misalnya, pembagian daerah bio-geografi untuk kelompok kepulauan Indonesia yang dipisahkan oleh samudera mulai dari benua Asia sampai dengan Australia). Kepulauan Wallacea terletak antara Sundaland (Peninsula Malaya, Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali) ke barat, dan dekat Oseania termasuk Australia dan Papua Nugini ke selatan dan timur. Total wilayah Wallacea adalah 347.000 km².

Indonesia memiliki hutan tropis ketiga terluas di dunia sehingga sangat penting peranannya sebagai bagian dari paru-paru bumi serta menstabilisasi iklim global. Pengelolaan hutan di Indonesia dilaksanakan melalui penetapan hutan untuk kepentingan fungsi konservasi, hutan lindung, hutan budidaya dan kawasan hutan. Luas kawasan hutan Indonesia termasuk perairan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan serta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) adalah sebesar 137,09 juta ha. Kawasan hutan dan perairan terdiri atas 3,39 juta ha kawasan konservasi perairan, 20,14 juta ha kawasan hutan konservasi, 81,95 ha hutan produksi dan 31,6 juta ha hutan lindung.

Ketergantungan masyarakat terhadap hutan masih cukup tinggi terutama masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan untuk memenuhi kebutuhan akan lahan pertanian dan sumber penghidupan lainnya. Berdasarkan data PODES 2006 dan peta kawasan hutan untuk provinsi NTB, terdapat 34 desa (4,15%) dari total 820 desa yang berada di dalam kawasan hutan dan 222 desa (27,07%) berada di tepi kawasan hutan. Pada kelompok desa yang berada di dalam kawasan hutan, terdapat 33 desa (97,06%) yang mempunyai matapencaharian utama dari sektor pertanian. Sedangkan pada kelompok desa lainnya, sumber matapencaharian ini terdapat pada 219 desa (98,65%).

Sejalan dengan perkembangan pembangunan, berbagai aktifitas pembangunan telah menyebabkan perubahan penggunaan lahan. Perubahan penutupan lahan pada kawasan hutan berjalan dengan cepat yang dapat menyebabkan menurunnya kondisi hutan dan berkurangnya luas penutupan hutan.

Laju deforestasi seluruh daratan Indonesia selama periode 2003-2006 adalah sebesar 1,17 juta ha/tahun. Pada periode yang sama laju deforestasi di provinsi NTB adalah sebesar 58.840 ha/tahun, di mana menempatkan NTB sebagai provinsi ke-enam yang memiliki laju deforestasi tertinggi diantara 33 provinsi di Indonesia, setelah provinsi Kalimantan Timur, Riau, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Tengah. Laju deforestasi di NTB ini meliputi deforestasi di dalam kawasan hutan sebesar 22,24 ribu ha/tahun dan 36,60 ribu ha/tahun di luar kawasan hutan (Peta 5.5). Penyebab berkurangnya hutan adalah kebakaran hutan, pembukaan hutan untuk permukiman/transmigrasi, pertambangan dll.

Data deforestasi hutan yang digunakan di dalam Atlas ini diperoleh berdasarkan analisis citra satelit Landsat pada tahun 2002/2003 dan 2005/2006. Dengan tingginya angka laju deforestasi, maka ancaman terhadap hutan-hutan di provinsi NTB masih mengkhawatirkan. Deforestasi hutan akan memberi dampak terhadap ketahanan pangan penduduk miskin pedesaan yang hidup di dalam atau di dekat kawasan hutan dan yang bergantung pada keanekaragaman hayati dan habitat alam untuk penghidupannya karena hutan merupakan sumber utama dari buah-buahan, tumbuhan obat, dan tumbuhan yang dapat dimakan. Masyarakat pedesaan yang paling miskinlah yang pertama dan paling menderita bila mana habitat-habitat tersebut dirusak atau dimusnahkan.

Dari segi kelangsungan lingkungan hidup, maka degradasi hutan akan memberi dampak terhadap sumber air. Erosi tanah sebagai akibat dari pembersihan lapisan penutup tanah, akan menyebabkan sedimentasi/endapan pada jalan air, yang dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap kegiatan di hilir atau dataran rendah. Kekurangan air juga akan mempengaruhi sistem pertanian, perikanan dan pengoperasian bendungan. Rehabilitasi hutan dan lahan mutlak perlu dilakukan untuk mengurangi laju degradasi hutan sehingga dapat mempertahankan daya dukung hutan terhadap kehidupan.

Strategi untuk Ketahanan Pangan Berkelanjutan

Daerah yang sekarang ini dalam kondisi tahan pangan mungkin tidak selamanya berada dalam kondisi tahan pangan apabila tidak ada strategi dan upaya yang dilakukan oleh petani dan pengambil kebijakan secara lingkungan berkelanjutan. Selain itu, dampak bencana juga dapat menyebabkan suatu daerah mengalami kemunduran beberapa tingkat, apabila daerah tersebut tidak memiliki kesiapsiagaan terhadap bencana yang memadai. Strategi berikut direkomendasikan untuk seluruh kecamatan yang rentan di NTB berkaitan untuk mencapai ketahanan pangan berkelanjutan.

a. Penghijauan kembali (reboisasi) dan pengurangan kerusakan hutan: Seluruh kabupaten diharapkan memiliki rencana untuk memperlambat deforestasi dan meregenerasi hutan yang terdegradasi secara komprehensif. Regenerasi hutan bakau dikonsentrasikan pada daerah pesisir. Sebagai dampak dari perubahan iklim, NTB akan mengalami curah hujan yang rendah, namung kadang-kadang dengan intensitas yang tinggi. Kabupaten yang memiliki tutupan vegetasi kecil akan menghadapi bahaya peningkatan banjir dan tanah longsor.

b. Pembangunan Daerah Aliran Sungai (DAS): Seluruh kabupaten diharapkan memiliki rencana pembangunan DAS yang terintegrasi untuk meningkatkan kualitas tanah dan manajemen perairan. Pada satu sisi, hal ini akan meningkatkan produktivitas tanah dengan naiknya hasil panen sedangkan di sisi yang lain, penggunaan teknik lokal yang tepat akan menciptakan pertanian yang berkelanjutan bagi penghidupan masyarakat;

c Kesiapsiagaan bencana dan rencana kontinjensi: Kabupaten-kabupaten yang sering mengalami kejadian bencana harus menyusun rencana kontinjensi tingkat masyarakat dan membentuk kelembagaan dan struktur badan penanggulangan bencana untuk pengurangan resiko bencana;

d. Sistem kesiapsiagaan dini dan kewaspadaan: Sistem kesiapsiagaan dan kewaspadaan yang inovatif untuk pangan dan gizi perlu dibentuk di seluruh kabupaten yang rawan bencana untuk mengidentifikasi resiko secara cepat dan mengambil langkah-langkah perbaikan untuk mitigasi dampak bencana yang terjadi di masa mendatang; dan

e. Mengintegrasi masalah perubahan iklim ke semua kebijakan dan program: Pemerintah pada semua tingkatan, lembaga PBB dan LSM lainnya harus menjamin bahwa semua kebijakan dan program yang dibangun mereka untuk Indonesia harus menitikberatkan kepada tantangan perubahan iklim. Lembaga-lembaga tersebut juga harus menjamin bahwa kebijakan dan program mengenai perubahan iklim harus pro-rakyat miskin agar mereka dapat lepas dari kemiskinan.

BAB 6

KERENTANAN TERHADAP KERAWANAN

PANGAN KRONIS BERDASARKAN ANALISIS

KETAHANAN PANGAN KOMPOSIT

Sebagaimana disebutkan di dalam Bab 1, bahwa kondisi kerentanan terhadap kerawanan pangan kronis secara komposit di tentukan berdasarkan 9 indikator yang berhubungan dengan ketersediaan pangan, akses pangan dan penghidupan, serta pemanfaatan pangan dan gizi, yang dijelaskan secara rinci pada Bab Dua, Tiga dan Empat. Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan komposit (Peta 6.1) dibuat melalui Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis-PCA) dan Analisis Kelompok (Cluster

Analysis) (Lampiran 6.1).

Peta komposit menjelaskan kepada kita bahwa kondisi kerentanan terhadap kerawanan pangan suatu kecamatan di sebabkan oleh kombinasi dari berbagai dimensi kerawanan pangan. Kemudian, dengan melihat seluruh peta individu maka kita dapat mengidentifikasi penyebab utama kondisi kerawanan dan kerentanan pangan di suatu kecamatan. Harus disebutkan bahwa karakteristik kerawanan dan kerentanan pangan antar satu wilayah dengan wilayah lainnya bervariasi, dengan demikian cara penyelesaiannya juga berbeda. Peta dan laporan ini membantu kita untuk memahami perbedaan dan kesamaan dasar di antara kecamatan-kecamatan, dan dengan demikian akan membantu para pembuat kebijakan untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dalam menangani isu-isu paling kritis yang relevan untuk daerah mereka. Berdasarkan hasil analisis PCA dan analisis Kelompok, maka 64 kecamatan masuk dalam kelompok prioritas 1-3 dan 41 kecamatan lainnya masuk dalam kelompok prioritas 4-6. Oleh karena itu, peta komposit menggambarkan 64 kecamatan prioritas 1-3 dalam kelompok gradasi warna merah yaitu merah tua (Prioritas 1), merah (Prioritas 2) dan merah muda (Prioritas 3). Kelompok warna merah tua menunjukkan kecamatan-kecamatan yang harus mendapat prioritas khusus dalam peningkatan ketahanan pangan dan penanganan masalah kerawanan pangan.

Kabupaten

Tabel 6.1: 64 Kecamatan yang paling rentan berdasarkan Analisis Ketahanan Pangan Komposit

Kecamatan Prioritas Kabupaten Kecamatan Prioritas

Lombok Tengah Lombok Tengah Lombok Tengah Lombok Tengah Lombok Tengah Lombok Tengah Lombok Tengah Lombok Tengah Lombok Tengah Lombok Tengah Lombok Tengah Lombok Timur Lombok Timur Lombok Timur Lombok Timur Praya Barat Pujut Praya Timur Janapria Kopang Praya Praya Tengah Jonggat Pringgarata Batukliang Batukliang Utara Keruak Jerowaru Sakra Sakra Utara 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Lombok Timur Lombok Timur Lombok Timur Lombok Timur Lombok Timur Lombok Timur Lombok Timur Lombok Timur Lombok Timur Lombok Timur Lombok Utara Lombok Barat Lombok Barat Lombok Barat Lombok Barat Sakra Timur Terara Sikur Masbagik Pringgasela Sukamulia Labuhan Haji Pringgabaya Suela Wanasaba Pemenang Sekotong Tengah Lembar Gerung Labu Api 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2

Kabupaten Kecamatan Prioritas Kabupaten Kecamatan Prioritas Dompu Dompu Dompu Dompu Bima Bima Sumbawa Barat Sumbawa Barat Lombok Utara Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Bima Sumbawa Barat Lombok Utara Lombok Utara Kilo Kempo Manggalewa Pekat Woha Belo Maluk Brang Rea Tanjung Bayan

Praya Barat Daya Sembalun Lenangguar Wawo Jereweh Gangga Kayangan 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 Lombok Barat Lombok Barat Lombok Barat Lombok Barat Lombok Barat Lombok Barat Lombok Timur Lombok Timur Lombok Timur Lombok Timur Lombok Timur Sumbawa Sumbawa Dompu Dompu Dompu Dompu Kediri Kuripan Narmada Lingsar Gunung Sari Batu Layar Montong Gading Suralaga Selong Aikmel Sambelia Sumbawa Lantung Hu’u Pajo Dompu Woja 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2

Tabel 6.1 (lanjutan): 64 Kecamatan yang paling rentan berdasarkan Analisis Ketahanan Pangan Komposit

Pemetaan ini menggambarkan tingkat kemungkinan terjadinya kerawanan pangan suatu kecamatan secara relatif dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Dengan perkataan lain, kecamatan-kecamatan yang berwarna merah memiliki tingkat resiko kerawanan pangan yang lebih besar dibandingkan kecamatan-kecamatan yang berwarna hijau sehingga memerlukan perhatian segera. Meskipun demikian, Prioritas 1 (warna merah tua) tidak berarti semua penduduknya berada dalam kondisi rawan pangan. Sebaliknya juga pada kecamatan di Prioritas 6 (warna hijau tua) tidak berarti bahwa semua penduduknya tahan pangan.

Tabel 6.1 menunjukkan 64 kecamatan yang paling rentan berdasarkan analisis ketahanan pangan komposit. Dari 64 kecamatan tersebut, sebagian besar berada di Pulau Lombok dan termasuk dalam prioritas utama masalah rawan pangan.

Gambar 6.1. memperlihatkan bahwa sebagian besar kecamatan rentan terhadap kerawanan pangan Prioritas 1 terdapat di Pulau Lombok. Dari 26 kecamatan yang termasuk dalam Prioritas 1, 14 kecamatan diantaranya berada di Lombok Timur, 11 kecamatan berada di Lombok Tengah, dan 1 berada di Lombok Utara. 11 14 1 Lombok Tengah 14 Lombok Timur Lombok Utara

Gambar 6.1: Jumlah kecamatan yang rentan pada Prioritas 1 berdasarkan Analisis Ketahanan Pangan Komposit

6.2. Jumlah kecamatan yang rentan pada Prioritas 2 berdasarkan

6.2. Number of vulnerable sub districts of Priority 2 based on Co

en/District Total 2 8 Barat 10 Ti 5 2 8 10 5 2 2 2 Bima Dompu Lombok Barat Lombok Timur Lombok Utara Sumbawa Timur 5

Utara 2 Sumbawa Barat

Gambar 6.2: Jumlah kecamatan yang rentan pada Prioritas 2 berdasarkan Analisis Ketahanan Pangan Komposit

Lampiran 6.2 menunjukkan faktor penentu utama kecamatan yang rentan terhadap kerawanan pangan dan termasuk kategori Prioritas 1 adalah: (1) rendahnya akses terhadap listrik (2) tingginya angka perempuan buta huruf (3) tanpa akses terhadap air bersih (4) tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda 4 (5) tingginya angka kemiskinan.

Dari 17 kecamatan yang rentan terhadap rawan pangan yang merupakan Prioritas 2 seperti yang terlihat pada Gambar 6.2, kebanyakan berada di Lombok Barat (10 kecamatan), Dompu (8 kecamatan) dan Lombok Timur (5 kecamatan).

Lampiran 6.2 menunjukkan faktor penentu utama kecamatan yang termasuk pada Prioritas 2 yaitu: (1) rendahnya angka harapan hidup (2) tingginya penduduk hidup di bawah garis kemiskinan (3) tingginya angka perempuan buta huruf (4) rendahnya akses terhadap listrik (5) tanpa akses terhadap air bersih. Gambar 6.3. menunjukkan bahwa kecamatan yang berada pada Prioritas 3 terdapat di Lombok Utara (2 kecamatan), diikuti oleh Lombok Timur, Lombok Tengah, Sumbawa, Bima, dan Sumbawa Barat masing-masing 1 kecamatan. 1 1 1 2 1 1 Bima Lombok Tengah Lombok Timur Lombok Utara Sumbawa Sumbawa Barat

Gambar 6.3: Jumlah kecamatan yang rentan pada Prioritas 3 berdasarkan Analisis Ketahanan Pangan Komposit

Faktor penentu utama kecamatan yang berada pada Prioritas 3 adalah: (1) tingginya penduduk hidup di bawah garis kemiskinan (2) tingginya prevalensi underweight pada balita (3) rendahnya angka harapan hidup (4) rendahnya akses terhadap listrik (5) tingginya angka perempuan buta huruf.

Lampiran 6.2 secara jelas menyoroti indikator-indikator yang menggambarkan karakteristik pada setiap kecamatan. Warna sel menunjukkan penggolongan relatif pentingnya suatu indikator yang signifikan pada suatu kecamatan tertentu.

Misalnya, faktor penentu utama kerentanan terhadap kerawanan pangan di kecamatan Pemenang di Lombok Utara yang berada pada kelompok Prioritas 1 adalah rendahnya akses terhadap pangan dan

penghidupan (tingginya jumlah penduduk miskin, rendahnya akses terhadap jalan) dan tingginya angka perempuan buta huruf, serta rendahnya angka harapan hidup.

Sedangkan untuk kecamatan Keruak di Lombok Timur faktor penentu utama kerawanan pangan adalah tingginya jumlah penduduk miskin, rendahnya angka harapan hidup, tingginya prevalensi underweight pada balita, dan akses terhadap listrik yang masih terbatas.

Demikian juga, meskipun kecamatan Mada Pangga di Bima berada pada kelompok ‘Kecamatan Prioritas 4’, yang berwarna hijau yang menunjukkan situasi ketahanan pangan yang lebih baik, namun beberapa indikator masih harus diperhatikan antara lain tingginya prevalensi underweight pada balita, rendahnya angka harapan hidup, dan perempuan buta huruf.

Tabel 6.2: Faktor penentu utama Kerawanan Pangan per Prioritas

Faktor Penyebab 1. Tanpa akses terhadap listrik

2. Perempuan buta huruf 3. Tanpa akses terhadap air bersih 4. Tidak bisa dilalui kendaraan roda 4 5. Kemiskinan

1. Angka harapan hidup 2. Kemiskinan

3. Tanpa akses terhadap listrik 4. Perempuan buta huruf 5. Tanpa akses terhadap air bersih

1. Kemiskinan

2. Underweight pada balita 3. Angka harapan hidup 4. Tanpa akses terhadap listrik 5. Perempuan buta huruf

1. Underweight pada balita 2. Angka harapan hidup 3. Kemiskinan

4. Tidak bisa dilalui kendaraan roda 4 5. Tanpa akses terhadap listrik

1. Angka harapan hidup 2. Kemiskinan

3. Tidak bisa dilalui kendaraan roda 4 4. Underweight pada balita

1. Tidak bisa dilalui kendaraan roda 4 2. Underweight pada balita 3. Kemiskinan

4. Angka harapan hidup

Prioritas 1 Prioritas 2

Prioritas 3 Prioritas 4

Prioritas 5 Prioritas 6

Dengan overlaying peta kerentananan terhadap kerawanan pangan kronis dan peta kerentanan terhadap kerawanan pangan sementara, kita dapat melihat daerah-daerah yang saling tumpang tindih (overlap). Hal ini akan menjadi dasar pengembangan rencana kontijensi (contingency plan) yang lebih baik dengan melibatkan masyarakat yang terkena bencana dalam kegiatan kesiagaan menghadapi bencana.

Karena faktor penentu utama terjadinya kerawanan pangan adalah berbeda-beda, maka cara penanggulangannya juga akan berbeda-beda pada setiap kabupaten dan kecamatan. Secara umum, kerangka penyebab dan upaya-upaya intervensi untuk meningkatkan ketahanan pangan dijelaskan di Gambar 6.4. Faktor penentu utama kerawanan pangan di setiap kabupaten dan strategi intervensi tertera pada Tabel 6.3.

Strategi peningkatan ketahanan pangan perlu dilakukan melalui pendekatan jalur ganda (twin-track

approaches) yaitu:

1. Pendekatan jangka pendek: Membangun ekonomi berbasis pertanian dan pedesaaan untuk menyediakan lapangan kerja dan pendapatan;

2. Pendekatan jangka menengah dan panjang: Memenuhi pangan bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan melalui pendekatan pemberdayaan dengan melibatkan partisipasi dan peran aktif seluruh pemangku kepentingan.

Masalah akses pangan:

Daya beli terbatas karena kemiskinan, terbatasnya kesempatan kerja, variabilitas harga pangan yang tinggi

Masalah sarana:

Ketiadaan atau terbatasnya akses terhadap air, listrik dan jalan

Masalah Ketersediaan Pangan:

Jumlah peduduk lebih besar dibandingkan dengan kemampuan produksi

Masalah Kesehatan dan Gizi:

Balita dengan Berat Badan di Bawah Standar

Menciptakan lapangan kerja, pembangunan infrastruktur, kesempatan berpenghasilan, membangun dan menguatkan jaringan pengaman sosial, padat karya pangan/tunai.

Membangun infrastruktur dasar (jalan, listrik, air bersih).

Meningkatkan kapasitas produksi pangan kabupaten.

- Meningkatkan status gizi dan kesehatan anak usia 0-23 bulan, ibu hamil, dan keluarga.

- Menguatkan pelayanan kesehatan dan gizi di puskesmas dan Posyandu. - Memperbaiki pola pengasuhan dan

pemberian makan anak.

- Meningkatkan pendidikan perempuan.

Meningkatkan akses pangan rumah tangga dan kemandirian menghadapi goncangan/shock

Pembangunan pertanian dan pedesaan

Meningkatkan status kesehatan dan gizi

Gambar 6.4: Kerangka kerja penyebab dan jenis intervensi untuk meningkatkan ketahanan pangan

Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek.

Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta masyarakat miskin itu sendiri.

Rendahnya tingkat pendidikan perempuan memerlukan perhatian khusus dari pemerintah daerah. Peningkatan program pendidikan baik formal (maupun non-formal perlu diperhatikan.

Akses terhadap listrik perlu ditingkatkan dengan mengupayakan penambahan daya listrik melalui PLN serta mendorong pengembangan dan pemanfaatan sumber daya listrik alternatif.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam : • Rendahnya angka harapan hidup • Underweight

• Kemiskinan • Perempuan buta huruf • Akses terhadap listrik

Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek.

Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta masyarakat miskin itu sendiri.

Lombok Timur

Sumbawa

Tabel 6.3: Faktor penentu utama Kerawanan Pangan dan strategi intervensi

Kabupaten Strategi Peningkatan Pangan dan Gizi

Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga), bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu saja tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek.

Hal lain yang perlu mendapat prioritas adalah rendahnya tingkat pendidikan perempuan. Program pendidikan baik formal maupun non-formal perlu diperhatikan.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam: • Underweight

• Rendahnya angka harapan hidup • Perempuan buta huruf

• Kemiskinan

Rendahnya tingkat pendidikan perempuan memerlukan perhatian khusus dari pemerintah daerah. Peningkatan program pendidikan baik formal (maupun non-formal perlu diperhatikan.

Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta masyarakat miskin itu sendiri.

Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga), bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu saja tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam: • Perempuan buta huruf

• Rendahnya angka harapan hidup • Kemiskinan

• Underweight

Lombok Barat

Kabupaten Strategi Peningkatan Pangan dan Gizi

Dompu

Intervensi utama perlu dilakukan dalam : • Rendahnya angka harapan hidup • Underweight

• Tanpa akses penghubung yang memadai • Kemiskinan

Sumbawa

Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta masyarakat miskin itu sendiri.

Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek.

Rendahnya tingkat pendidikan perempuan memerlukan perhatian khusus dari pemerintah daerah. Peningkatan program pendidikan baik formal (maupun non-formal perlu diperhatikan.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam: • Rendahnya angka harapan hidup • Underweight Kemiskinan • Underweight

• Perempuan buta huruf

Tabel 6.3 (lanjutan): Faktor penentu utama Kerawanan Pangan dan strategi intervensi

Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek.

Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta

Dokumen terkait