• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEIDEOLOGI POLITIK ISLAM

A. Pengertian Deideologi Politik Islam

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideologi didefinisikan sebagai sekumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pandangan yang memberikan arah dan tujuan hidup seseorang atau satu kelompok masyarakat.12

Sedangkan deideologi berarti peniadaan/penghapusan terhadap asas yang menjadi identitas dan simbol ideologi organisasi politik dan organisasi massa, seperti kebijakan pemerintahan Orde Baru dalam hal politik melemahkan ideologi komunal sehingga ideologi negara tidak akan terganggu lagi oleh ideologi komunal tersebut. Target lain adalah ideologi komunal surut dan lemah sehingga masa depan Indonesia akan berjalan dengan baik tanpa pertentangan ideologi lagi.13

Kebijakan ini diambil berdasarkan asumsi bahwa pluralisme ideologi merupakan sumber konflik yang berkepanjangan.14 Demikian pula kebijakan Orde Baru terhadap Islam, yaitu melemahkan Islam sebagai ideologi yang menentang Pancasila sebagai falsafah negara atau Islam sebagai alternatif terhadap negara Pancasila. Dengan demikian program ini tidak efektif untuk menggalang massa.15

12

Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka ,1988), h. 319.

13

Taufiq Nugroho, Pasang Surut Hubungan Islam Dan Negara Pancasila, (Yogyakarta: Padma, 2003), h. 89.

14

Al-Chaidar, Reformasi Prematur Jawaban Islam terhadap Reformasi Total, (Jakarta: Darul Falah, 1999), h. 37.

15

Sebagai akhir dari penyelesaian konflik ideologi, di samping juga untuk melemahkan keberadaan politik Islam, pemerintah berusaha mencari landasan yang kuat secara hukum. Hukum merupakan pelembagaan pandangan dan konsep serta kebijaksanaan politik pemerintah. DPR dan MPR yang dikuasai pemerintah sepenuhnya bersama ABRI dan Golkar, kemudian menyusun dan menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi sosial-politik melalui Ketetapan MPR No. II/1983. Lebih lanjut secara operasional ketetapan MPR tersebut kemudian diundangkan dalam UU No. 3 dan 8 Tahun 1985 yang mengatur penempatan asas Pancasila bagi organisasi sosial-politik tersebut.16

Dengan diundangkannya UU No. 3 dan 8 Tahun 1985 tersebut, berarti barakhir sudah kelangsungan politik Islam melalui jalur politik praktis (struktural). Orde Baru menganggap bahwa pergerakan Islam struktural ini sebagai gerakan Islam yang menakutkan orang banyak dan berbahaya bagi negara. Orde Baru menilai Islam struktural ini berbahaya karena perjuangan struktural ini tujuan akhirnya adalah menguasai parlemen dan ingin menjadikan Islam sebagai ideologi negara.17

Indikator-indikator tersebut di atas tampak jelas sejak awal Orde Baru mulai memegang kendali kekuasaan Indonesia. Ketika umat Islam mengadakan kongres umat Islam di Malang tahun 1968, dimana salah satu keputusannya adalah mendirikan Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI). Namun demikian

16

Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam

1965-1987, (Jakarta: Rajawali, Cet. ke-1, 1989), h. 127.

17

Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 246-249.

Orde Baru menolak Muhammad Roem sebagai pimpinan partai tersebut dengan alasan bahwa dia adalah bekas pengurus Partai Masyumi.18

Akhirnya, setelah melalui perjalanan panjang, maka ditunjuklah HMS Mintareja sebagai pimpinan PARMUSI.19 Pemerintah Orde Baru juga menolak untuk merehab Partai Masyumi. Soeharto dalam suratnya mengatakan bahwa alasan-alasan yuridis, ketatanegaraan, dan psikologis telah membawa ABRI pada suatu pendirian bahwa ABRI tidak mau merehabilitasi bekas partai politik Masyumi.20

Melalui UU No. 3 tahun 1985, PPP sebagai satu-satunya wadah aspirasi politik umat Islam diwajibkan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas. Dengan diterimanya asas tunggal tersebut, maka PPP harus mengganti dengan asas Pancasila dan lambang Ka’bah diganti dengan lambang bintang. Pada tahun 1985, Orde Baru mengesahkan Undang-undang Organisasi Politik dan Organisasi massa. Undang-undang tersebut secara ringkas mewajibkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya asas, maka hilang sudah kekhawatiran lahirnya ideologi Islam sebagai ideologi tandingan.

B. Politik Islam Pada Masa Orde Baru

Dengan naiknya pemerintahan Orde Baru banyak kalangan pemimpin dan aktivis politik Islam berharap besar. Harapan itu terutama tampak jelas di kalangan bekas pemimpin Masyumi dan pengikut-pengikutnya yang selama

18

Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara, h. 246-249.

19

Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara, h. 246-249.

20

periode Demokrasi Terpimpin merasa benar-benar disudutkan. Karena merasa menjadi bagian penting dari kekuatan-kekuatan koalisi (seperti militer, kelompok fungsional, kesatuan pelajar, organisasi sosial-keagamaan dan sebagainya) yang telah berhasil menghancurkan PKI dan menjatuhkan rezim Soekarno, mereka sudah memperkirakan kembalinya Islam dalam panggung diskursus politik nasional.21

Tindakan rezim Orde Baru untuk membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang dipenjarakan oleh Soekarno makin memperbesar harapan mereka bahwa rehabilitasi Masyumi berlangsung tidak lama lagi. Oleh karena itu, sebuah panitia yang diberi nama Badan Koordinasi Amal Muslimin didirikan untuk merealisasikan harapan itu.22

Rupanya harapan itu tinggal harapan, pemerintah Orde Baru keberatan atas kembalinya pemimpin-pemimpin Masyumi ke arena politik dan menolak rehabilitasi Masyumi dengan didasarkan ketakutan-ketakutan bahwa jika Masyumi direhabilitasi, maka sejarah politik Indonesia akan mengulang pengalaman masa lalu, dimana Masyumi merupakan oposisi abadi dan penentang ideologi Pancasila dan UUD 1945.

Hal ini tidaklah mengherankan karena ABRI (pendukung utama pemerintahan Orde baru) pada tanggal 21 Desember 1966 mengeluarkan pernyataan yang menyamakan Masyumi (ekstrim kanan) dengan PKI (ekstrim

kiri) karena telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 dan ABRI akan

21

Al-Chaidar, Reformasi Prematur, h. 32.

22

menindak tegas individu atau kelompok yang menyimpang dari dokumen-dokumen tersebut.23

Sebagai gantinya, pemerintah Orde Baru mengesahkan pendirian Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI), sebagai wadah aspirasi politik umat Islam yang belum tertampung dalam NU, PSII, Perti dan Golkar, tetapi dengan kontrol yang sangat ketat oleh pemerintah dan ABRI.24

Yang lebih menggelisahkan para pemimpin Islam adalah kenyataan bahwa gerak politik para bekas pemimpin Masyumi sangat dibatasi, bahkan dilarang sama sekali duduk dalam kepengurusan Parmusi. Untuk membatasi gerak politik bekas para pemimpin Masyumi, pemerintah melalui presiden Soeharto merekomendasikan Djarnawi H. dan Lukman Harun (dua aktivis Muhammadiyah) sebagai pemimpin Parmusi.25

Di dalam perkembangan selanjutnya ternyata campur tangan pemerintah menjadi satu ciri khas partai ini, ketika kongresnya yang pertama di Malang memilih Mohammad Roem sebagai ketua partai ini yang akhirnya tidak disetujui oleh rezim. Rezim bisa mengganti pimpinannya kapan saja, sesuai dengan keperluannya guna memperlemah partai ini. Sejak itu muncul banyak kelompok “oportunis”, bahkan “penjilat” di dalam tubuh Islam.26

Kelahiran Parmusi bukan sepenuhnya berdasarkan kelompok Islam, menurut Utrecht sebagaimana dikutip oleh Rusli Karim berpendapat bahwa untuk

23

Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 122.

24

Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik, h. 132.

25

Al-Chaidar, Reformasi Prematur, h. 32.

26

M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 111.

mengekang pengaruh politik NU, Angkatan Darat membantu bekas pendukung, orang yang bersimpati atau anggota Masyumi untuk membentuk partai baru, Parmusi.27

Dalam perjalanannya, pemerintah bagaimanapun membaca bahwa dukungan besar diberikan ummat Islam terutama yang tergabung dalam keluarga Bulan Bintang terhadap Parmusi. Didorong oleh kekhawatiran Parmusi dapat berkembang menjadi kekuatan alternatif yang ditandai dengan munculnya cabang-cabang Parmusi di seluruh Indonesia secara serempak, pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri mendukung manuver politik J. Naro S.H. bersama Imran Kadir untuk melakukan pembajakan partai yaitu dengan menuduh Parmusi bersikap menentang ABRI. Akibatnya timbul kemelut, dan pemerintah menunjuk HM. Mintareja sebagai Ketua Umum baru. Tindakan Naro selanjutnya berusaha menyingkirkan orang-orang Bulan Bintang sekaligus menarik massa umat pendukungnya.28

Dalam pemilu 1971, partai-partai Islam mengalami tekanan berat dari rezim Orde Baru, rezim dengan kendaraan politik Golkar dan di back-up oleh ABRI menerapkan empat metode: 1) memberi peran dan posisi khusus pada ABRI tidak hanya sebagai kekuatan keamanan tetapi juga kekuatan sosio-politik; 2) memperlakukan Golkar sebagai anak emas; 3) meluncurkan kebijakan sistematis depolitisasi semua kekuatan sosial-politik; dan 4) mengisi Badan

27

M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 112.

28

Perwakilan negara dalam dua cara, dengan penunjukan wakil-wakilnya dari atas dan dengan memilih mereka melalui pemilihan umum.29

Usaha-usaha pemerintah Orde Baru untuk memenangkan Golkar dalam Pemilu 1971 antara lain dengan mengharuskan semua pegawai negeri sipil untuk memilih Golkar, kebijaksanaannya umumnya ditentukan oleh militer dan pemerintah. Semua pegawai negeri sipil tanpa kecuali diharuskan menjadi anggota Sekber Golkar.30 Usaha lainnya adalah melalui militer dengan menggunakan langkah-langkah koersif dan kooptatif untuk mempengaruhi hasil pemilihan umum.31

Hasilnya adalah Golkar menang mutlak dalam Pemilu ini dengan mengantongi 62,80 % suara, karena relatif tidak terkena intervensi luar NU berada diperingkat kedua dengan 18,67 % suara, Parmusi 5,36 % suara, PSII 2,39 % suara dan Perti 0,70 % suara.32

Kemenangan luar biasa Golkar dalam pemilu pertama memang telah membuka peluang kepada partai ini untuk melakukan perancangan politik sesuai dengan yang diinginkannya33 karena Golkar bersama Golkar ABRI dan Golkar non ABRI menguasai mayoritas kursi di DPR dengan mencapai angka 73,04 %.34

Didorong oleh kemenangan besar Golkar, pemerintah melalui Operasi Khusus (Opsus) mempercepat program penyederhanaan partai politik, yaitu

29

Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 112.

30

Albert Widjaja, Budaya Politik Dan Pembangunan Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 96.

31

Al-Chaidar, Reformasi Prematur, h. 23.

32

Al-Chaidar, Reformasi Prematur, h. 35.

33

M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran., h. 100.

34

Akhmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. ke-1, 1998), h. 127.

dengan mendesak sembilan partai politik pada Pemilu 1971 untuk menjadi tiga organisasi kekuatan politik, masing-masing: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), fusi dari empat partai Islam; Partai Demokrasi Indonesia (PDI), fusi dari empat partai nasionalis dan Kristen/Katolik; dan Golkar sendiri sebagai transformasi dari Sekber Golkar. Sejak saat itu J. Naro S.H. yang cacat bagi Ummat Islam, tampil sebagai salah seorang ketua PPP bersama Mintareja dan Idham Cholid35

Dengan adanya penggabungan partai ini, semakin mempermudah pemerintah Orde baru untuk mengontrol dan menekan aktifitas politik PPP, apalagi dalam perjalanannya PPP tidak terlepas dari konflik internal yang “mengundang” campur tangan pemerintah sebagai “penengah”, antara NU dengan Muslimin Indonesia (MI) dua pendukung utama PPP yang berujung dengan keluarnya NU dari PPP (1984)36

Dengan berbagai usaha keras, pada pemilu 1977, PPP memperoleh 29,9 % suara, perkembangan PPP yang demikian tampaknya dipandang tidak menguntungkan pihak pemerintah. J. Naro37 dengan berbagai usaha kemudian dapat menduduki jabatan ketua partai. Usahanya itu berhasil, dengan resiko yang

35

Fusi partai-partai ini dilakukan pada tahun 1973 yaitu PPP (5 Januari 1973) dan PDI (10 Januari 1973) lihat Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 126., yang kemudian diterbitkan UU No. 3 1973 sebagai landasan hukum penyederhanaan partai, lihat Abdul Munir Mulkhan,

Perubahan Perilaku Politik, h. 134.

36

M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 152-158.

37

Munculnya J. Naro, baik selama memimpin Parmusi maupun PPP bukanlah karena kehebatan, pengalaman dan dukungan massa, melainkan karena didukung oleh pemerintah terutama melaui Ali Murtopo, May B., The Indonesian Tragedy, dalam M. Rusli Karim, Negara

harus ditanggung PPP. Dua kali Pemilu 1982 dan 1987, pendukung PPP menyusut tajam khususnya pada tahun 1987.38

Menurut Liddle, sebagaimana dikutip oleh Rusli Karim, bahwa kebijakan Pemerintah dengan penggabungan partai ini dikarenakan :

a. Partai-partai lebih berorientasi ideologi daripada program

b. Partai-partai memperuncing perselisihan ideologi di kalangan rakyat baik pada tingkat elit ataupun massa

c. Partai-partai menciptakan berbagai ketegangan organisasi di dalam masyarakat

d. Para pemimpin partai pada dasarnya adalah orang-orang yang mencari kesempatan untuk dirinya sendiri

e. Pemimpin-pemimpin partai terasing dari para pemilih yang seharusnya mereka wakili

f. Kerusakan yang timbul karena sistem partai tidak terjadi pada organisasi partai saja tetapi juga pada institusi-institusi lainnya

g. Sistem banyak partai dianggap sebagai sebab utama ketidakstabilan pemerintah berparlemen.

Dapat dipahami bahwa langkah-langkah pemerintah Orde Baru dalam melaksanakan deparpolisasi antara lain: dengan melaksanakan kebijakan

floatingmass, restrukturisasi partai-partai politik, memecah belah para pimpinan

partai melalui operasi-operasi inteligen, melemahkan peran partai di tingkat bawah dengan membatasi aktivitas politik hanya sampai tingkat kabupaten.

38

BAB III

KEBIJAKAN PEMERINTAH ORDE BARU TERHADAP POLITIK ISLAM

A. Orientasi Kebijakan Pemerintah Orde Baru

Pada tahun 1966, di Indonesia lahir pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Kemunculan Orde Baru ini terjadi sebagai reaksi terhadap rezim Orde Lama yang dipimpin Soekarno dengan Demokrasi Terpimpin dan proyek Nasakomnya yang telah digoyang oleh antagonisme politik, kekacauan sosial dan krisis ekonomi dalam kehidupan masyarakat Indonesia secara menyeluruh.39

Orde Baru, rezim yang lahir sebagai reaksi terhadap rezim sebelumnya, maka kebijakannya tentu bertolak belakang dengan kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintahan sebelumnya. Kalau pada masa Orde Lama wacana dan gerakan politik begitu dominan dalam percaturan nasional, maka sebaliknya, Orde Baru tampil dengan slogannya politik no, ekonomi yes.40 Oleh karenanya, pemerintahan Orde Baru menciptakan counters ideas (pemikiran-pemikiran tandingan) yang lebih menekankan pada ide-ide pragmatik, deideologisasi, deparpolisasi, program oriented, pembangunan oriented dan sebagainya.41

39

Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 102.

40

Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 188.

41

Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran

Namun demikian, Orde Baru dihadapkan oleh tugas berat memperbaiki kembali institusi-institusi politik untuk menegakkan lagi kewibawaan pemerintahan negara setelah negara berada di bawah rezim “kuku besi”, yang dipimpin oleh Soekarno yang biasa disebut “Demokrasi Terpimpin” atau Orde Lama (1957-1965) terlibat dalam situasi kacau-balau.

Moeljarto Tjokrowinoto, pakar sains politik terkemuka di Universitas Gajah Mada, mengemukakan keadaan politik di Indonesia menjelang lahirnya Orde Baru yang ditandai oleh enam ciri: kegagalan sistem multi-partai; percaturan politik yang bertumpu pada dasar partai ideologi dalam suasana masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan politik yang ada; perpecahan birokrasi karena campur tangan partai ke dalam birokrasi dan menjadikan birokrasi sebagai asasnya; partai politik mempergunakan corak partai “totali-tarian”; penyusupan partai Komunis ke dalam ABRI sehingga menimbulkan “disharmoni” hubungan di antara Angkatan dan Kesatuan; dan interaksi politik di desa ditandai oleh nilai-nilai primordial, orientasi “parokhial” dan hubungan “patron-klien” sehingga mengurangi persatuan pedesaan dan menimbulkan konflik “interpersonal”.42

Di dalam konteks yang luas, terutama dalam hubungannya dengan ekonomi, gambaran keadaan bangsa Indonesia ketika itu tercermin dalam sembilan masalah seperti yang dikemukakan oleh Donald W. Wilson sebagaimana dikutip oleh Rusli Karim berikut ini: pembentukan suasana stabilitas politik dan sosial (keamanan bangsa) yang memungkinkan terjadinya perubahan; menciptakan satu bangsa yang terhindar dari perpecahan umat dan banyaknya

42

Tjokrowinoto, Pembangunan Dilema dan Tantangannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 104.

bahasa dan dialek yang bisa menggoncangkan (staggering); membawa rakyat untuk berada bersama-sama di dalam pemerintahan, yaitu mereka yang bukan menjadi orang penurut atau “asal bapak senang”, mempunyai kemampuan dan kepakaran khusus guna menangani masalah bangsa secara cerdik dan arif; menghapuskan kelembapan dan “buck passing” yang melumpuhkan pemerintahan sampai begitu lama; membentuk satu semangat kerjasama di dalam pemerintahan yang bisa membangkitkan kecemburuan kecil di atas dan perbedaan-perbedaan yang bersifat kedaerahan; menjauhkan kepentingan pribadi dan sakit hati mereka yang sangat menginginkan untuk kembali kepada era Soekarno; menangani masalah-masalah ekonomi dan pembangunan ekonomi serta menghindari keruntuhan atau bencana ekonomi dan keuangan; membangun keberdikarian pertanian untuk memenuhi keperluan makanan; meraih lebih banyak lagi pengadilan yang adil.43

Luasnya aktivitas pembangunan di atas seiring dengan kemunduran dalam bidang ekonomi, lemahnya institusi politik, korupsi yang bersifat “endemik”, bahaya militerisme yang merayap, kelebihan penduduk di Jawa, meluasnya pengangguran, dan hancurnya infrastruktur yang dialami oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan bantuan dari masyarakat penderma/penyumbang.44

Untuk menghadapi tantangan tersebut, maka sasaran pembangunan Orde Baru bertumpu pada aspek ekonomi dan mewujudkan kestabilan politik yang bisa

43

M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 118.

44

Selo Soemardjan, Akibat-Akibat Sosiologis Dari Inflasi Moneter, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), h. 84.

mendukung pembangunan ekonomi. Salah satu kebijakan Orde Baru dalam hal politik adalah melemahkan ideologi komunal sehingga ideologi negara tidak akan terganggu lagi oleh ideologi komunal tersebut. Target lain adalah ideologi komunal surut dan lemah sehingga masa depan Indonesia akan berjalan dengan baik tanpa pertentangan ideologi lagi.45

Bahkan ada pula pakar yang berpendapat bahwa cita-cita utama Orde Baru adalah menegakkan negara Pancasila, mengamankan/menyelamatkan kehidupan politik agar tidak mengganggu pembangunan ekonomi, serta menjamin peran tentara dalam mengarahkan kehidupan masyarakat.46

Dari sini Orde Baru pernah berjanji atau memberikan jaminan untuk menyelamatkan stabilitas politik dan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, melaksanakan pemilihan umum, melaksanakan landasan luar negeri yang bebas dan aktif, dan meneruskan perjuangan melawan imperialisme.

Janji seperti disebutkan di atas sesuai dengan keadaan mendesak masyarakat ketika itu, seperti terlihat dalam program yang dibuat Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) sebagai satu teras kekuatan inti yang menumbangkan rezim Orde Lama tentang konsolidasi dan pembangunan Orde Baru, yaitu memajukan struktur politik baru, pembangunan masyarakat desa, program pendidikan dan kebudayaan, dan program hubungan antar bangsa.

Sasaran pembangunan ekonomi yang sangat berhubungan dengan stabilitas politik bisa dipahami asalkan disejajarkan pula dengan pemberian

45

Taufiq Nugroho, Pasang Surut Hubungan Islam dan Negara Pancasila, (Yogyakarta: Padma, 2003), h. 89.

46

Albert Widjaja, Budaya Politik Dan Pembangunan Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 98.

kebebasan politik, karena pertumbuhan ekonomi hanya mungkin dicapai jika ada stabilitas politik. Pengalaman negara-negara di Asia dan Afrika telah membuktikannya. Hanya di kawasan Amerika Latin saja pertumbuhan ekonomi bisa terjadi pada saat adanya ketidakstabilan politik.47

Rezim ini mengambil sikap pragmatik, dan ekonominya sangat bergantung pada bantuan Barat,48 dan Jepang sehingga corak pembangunan yang dipilih oleh Soeharto adalah pembangunan kapitalis,49 terjadilah “westernisasi”, terutama di kota-kota besar.

Adanya unsur “westernisasi” merupakan satu aspek yang tidak mungkin dihindarkan di dalam modernisasi, sebagai langkah untuk menjauhkan Indonesia dari pengaruh Komunisme. Di samping itu, seiring pula dengan tujuan pembangunan Indonesia pada fase awal Orde Baru. Meminjam pendapat M. Dawam Rahardjo, Indonesia melakukan pemodernan melalui lima aspek: pendidikan di negara-negara Barat, bantuan pemberian saham dan teknik, penanaman modal asing dan pemberian saham, pengaruh media massa, dan pemindahan struktur lembaga dan ekonomi.50

Dengan demikian, tugas yang dibebankan kepada Orde Baru adalah berat sekali. Oleh karena itu memerlukan perencanaan yang matang dengan akurat, hati-hati, konsepsi yang tepat, strategi yang cocok, institusi yang kokoh dan kepemimpinan yang didukung oleh “semua” pihak agar tidak mengulangi

47

Adeng Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h.55.

48

Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 76.

49

Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 76.

50

M. Dawam Rahardjo, Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah

kegagalan yang telah dialami oleh Orde Lama, serta memperoleh bantuan keuangan dari negara-negara Barat. Ini juga berarti bahwa munculnya Orde Baru merupakan satu peristiwa penting dalam perjalanan bangsa Indonesia yang akan menentukan corak dan keberadaannya di masa mendatang.

Apalagi, sebagai bangsa yang lama mengalami penjajahan dan berpenduduk banyak dengan susunan masyarakat yang terdiri dari beragam etnis, maka pemilihan corak sistem politik dan kebijakan yang tepat merupakan satu hal yang penting. Jenis sistem politik juga ditentukan oleh faktor historis, dan primordialistik. Faktor tersebut mempunyai dua implikasi, pertama, rakyat dari waktu ke waktu akan mengurangi ketergantungannya atau hubungannya dengan pertalian kekeluargaan yang bersifat tradisional. Kedua, seiring dengan asas kedaulatan rakyat maka rakyat mempunyai kekuatan untuk menuntut hak-hak mereka agar diikut-sertakan dalam segala proses politik dan dalam pembuatan keputusan politik. Di sini bisa timbul masalah, yaitu konflik kepentingan di antara pemegang kekuasaan tradisional sebagai pemimpin informal yang selama ini memainkan peran penting di dalam masyarakat dengan kelompok baru sebagai elite yang memegang kepemimpinan formal.

Elite baru ini dibagi pada tiga kelompok: yaitu pakar ekonomi yang membuat kebijakan; ABRI yang menstabilkan, dan “birokrat” sebagai pelaksananya. Yang tergolong ke dalam pakar ekonomi bisa juga disebut kelompok intelektual/inteligensia atau “teknokrat” yang bertanggungjawab terhadap pertumbuhan ekonomi.51

51

Pada masa awal Orde Baru ketiga kelompok ini memainkan peran yang sangat penting. Ini merupakan sesuatu yang wajar. ABRI dan birokrasi merupakan kekuatan yang selalu wujud (inherent) di dalam sejarah politik Indonesia setelah Perang Dunia Kedua. Begitu pula kelompok intelektual telah berperan sejak zaman pergerakan awal abad ke-20. Meminjam pendapat M. Rusli Karim bahwa di dalam pergerakan nasionalis masyarakat kelompok intelektual selalu berfungsi sebagai penggeraknya, sehingga pergerakan nasional pun tiada lain adalah pergerakan kelompok intelektual itu sendiri.52

Menurutnya, yang menjadi persoalan adalah kecenderungan ketiga kelompok di atas untuk “meminggirkan” (marginalized) elite tradisional.

Dokumen terkait