• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEIDEOLOGI POLITIK ISLAM (Kebijakan Pemerintah Orde Baru dalam Pemberlakuan Asas Tunggal)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DEIDEOLOGI POLITIK ISLAM (Kebijakan Pemerintah Orde Baru dalam Pemberlakuan Asas Tunggal)"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

DEIDEOLOGI POLITIK ISLAM

(Kebijakan Pemerintah Orde Baru dalam Pemberlakuan Asas Tunggal)

Oleh:

DEDEK SULAIMAN NIM. 102033224759

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

DEIDEOLOGI POLITIK ISLAM

(Kebijakan Pemerintah Orde Baru dalam Pemberlakuan Asas Tunggal)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh Dedek Sulaiman NIM. 102033224759 Di Bawah Bimbingan Pembimbing Nawiruddin, M.A NIP. 150 317 965

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Skipsi ini berjudul DEIDEOLOGI POLITIK ISLAM (Kebijakan

Pemerintah Orde Baru dalam Perberlakuan Asas Tunggal) telah diujikan

dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Jakarta pada tanggal 31 Maret 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada program studi Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 31 Maret 2008

Sidang Munaqasyah,

Ketua Sidang merangkap anggota, Sekretaris merangkap anggota,

Drs. Bustamin, M.A. Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A. NIP. 150 298 320 NIP. 150 270 808

Anggota:

Dra. Haniah Hanafie, M. Si. Drs. Agus Darmaji, M.Fils.

NIP. 150 299 932 NIP. 150 262 447

Nawiruddin, M.A.

(4)

KATA PENGANTAR

Al-hamdulillah, segala puji Allah SWT atas segala rahmat, inayah dan hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan tulisan ini, sebagai persyaratan untuk meraih gelar sarjana. Shalawat dan salam, semoga tetap dicurahkan kepada junjungan kita, nabi tercinta, Muhammad SAW.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak sedikit mengalami hambatan dan rintangan terutama karena keterbatasan kemampuan penulis, waktu dan juga buku-buku referensi yang tersedia. Namun berkat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak, al-hamdulillah skripsi ini dapat diselesaikan.

Sehubungan dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA., sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat beserta segenap pembantu Dekan. Bapak Drs. Agus Darmadji, M. Fils., selaku Ketua Jurusan Pemikiran Politik Islam, Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag, selaku Sekretaris Jurusan, serta segenap dosen yang telah memberikan bekal pengetahuan kepada penulis, baik secara teoritis, maupun praktis selama berada dalam perkuliahan.

2. Bapak Nawiruddin, MA, selaku dosen pembimbing, dengan penuh kesabaran, ketelitian dan perhatian, selama memberikan bimbingan kepada penulis.

3. Ayahanda dan Ibunda yang tercinta, yang sangat berjasa dalam mengasuh, mendidik dan membimbing penulis dengan sabar dan penuh kasih sayang semenjak dari kecil hingga sekarang ini, serta selalu mendo’akan penulis baik

(5)

di siang hari maupun pada malam hari, demikian juga tidak ketinggalan Abang-abang dan adik-adikku tercinta yang kesemuanya telah memberikan dukungan bagi penulis.

4. Teman-teman mahasiswa Pemikiran Politik Islam angkatan tahun 2002 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, serta teman-teman HIMLAB dan juga rekan-rekan kostan Antala’lai.

5. Dan semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skirpsi ini. Karena berbagai keterbatasan penulis, skripsi ini disadari masih banyak kekurangannya, namun tidak berlebihan jika penulis berharap bahwa skripsi ini ada manfaatnya, khususnya bagi penulis sendiri.

Jakarta, 12 Maret 2008 Penulis

(6)

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... ... i DAFTAR ISI... ... iii BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah... ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... ... 7 D. Tinjauan Pustaka ... ... 8 E. Metode Penelitian ... ... 9 F. Sistematika Penulisan ... ... 11

BAB II : DEIDEOLOGI POLITIK ISLAM

A. Pengertian Deideologi Politik Islam ... ... 12

B. Politik Islam Pada Masa Orde Baru ... ... 14

BAB III : KEBIJAKAN PEMERINTAH ORDE BARU TERHADAP

(7)

A. Orientasi Umum Kebijakan Pemerintah Orde Baru... ... 21

B. Penyederhanaan Partai Politik Islam ... ... 30

C. Peminggiran Politik Islam ... ... 32

BAB IV : PEMBERLAKUAN ASAS TUNGGAL TERHADAP

POLITIK ISLAM

A. Pemberlakuan Asas Tunggal... ... 38

B. Implikasi Kebijakan Pemerintah Orde Baru dalam

Pemberlakuan Asas Tunggal bagi Politik Islam... ... 42

C. Akomodasi Pemerintah Orde Baru Terhadap Politik Islam ... ... 51 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... ... 57 B. Saran-saran ... ... 58 DAFTAR PUSTAKA ... ... 59

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ditinjau dari konteks manapun, runtuhnya Orde Lama dan bangkitnya Orde Baru tetap merupakan persoalan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Perpindahan era ini bukan sekedar perpindahan waktu dan kekuasaan, akan tetapi lebih dari itu mempunyai makna dan implikasi yang sangat banyak. Salah satu hal relevan untuk ditinjau adalah dampak perubahan pemikiran ekonomi dan sosial politik masyarakat sebagai akibat lahirnya Orde Baru. Demikian pula dampaknya terhadap respon pemikiran masyarakat Islam Indonesia. Sebab, bagaimanapun perubahan-perubahan pada pemikiran umum itu sangat mempengaruhi perkembangan pola pemikiran Islam.1 Arbi Sanit melihat lahirnya Orde Baru ditujukan untuk mengoreksi berbagai kelemahan sebelumnya, terutama mandeknya perekonomian dan ambruknya demokrasi.2

Orde Baru yang tampil ke panggung politik dan kekuasaan mengganti Orde Lama, pada awalnya mendapat dukungan dari kelompok-kelompok organisasi Islam yang bangkit setelah Soekarno lengser dari kursi kepresidenan, kelompok mahasiswa dan pelajar yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia)

1

Fachry Ali, Islam, Pancasila dan Pergulatan Politik, (Jakarta: Pustaka Antara, 1984), h. 93.

2

Arbi Sanit, “Organisasi Politik, Organisasi Massa dan Politik Demokratisasi Masyarakat”, dalam Prisma, Tahun 1988, (Jakarta: LP3ES), h. 3.

(9)

–yang nota bene para anggotanya mayoritas Islam– menjadi ujung tombak perjuangan menentang rezim Orde Lama dengan dukungan militer. Mereka ini menentang pemerintahan Orde Lama di bawah Soekarno yang dianggap otoriter.

Belajar dari pengalaman Orde Lama yang lebih menekankan kepada politik sebagai kegiatan kenegaraan, Orde Baru lebih menekankan kepada bidang ekonomi pembangunan yang pragmatis, nonsektarian, dan memberikan komitmen pada ideologi resmi negara “Pancasila”.3

Pada awalnya, Orde Baru memang tampak mengadakan perubahan terhadap kecenderungan birokrasi yang tidak bertanggung jawab warisan rezim Orde Lama. Akan tetapi birokrasi Orde Baru yang berporos pada eratnya hubungan militer dan teknokrat, sosialis dan Kristen,4 dalam rangka melaksanakan pembangunan dan mewujudkan pemerintahan yang stabil dan kuat, melebarkan fungsinya dengan menjadi mesin politik. Di samping sebagai alat administrasi pemerintahan, birokrasi Orde Baru berkembang menjadi sebuah kekuatan politik dan perpanjangan tangan pemerintahan dalam menjalankan roda kekuasaan maupun melakukan rekayasa politik demi tercapainya strategi atau kebijakan politik yang sudah ditetapkan.

Adapun salah satu kebijakan politik penting Pemerintahan Orde Baru ketika mulai memegang tampuk kekuasaan adalah dipilihnya modernisasi sebagai titik tolak dan kerangka landasan pembangunan bangsa.5 Pilihan terhadap

3

Taufiq Nugroho, Pasang Surut Hubungan Islam Dan Negara Pancasila, (Yogyakarta: Padma, 2003), h. 39.

4

M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 118.

5

M. Syafi'i Anwar, Pemikiran Dan Aksi Islam Politik "Sebuah kajian Politik Tentang

(10)

modernisasi, agaknya dianggap sebagai satu-satunya alternatif dalam memajukan bangsa Indonesia setelah pemerintahan rezim sebelumnya (Orde Lama) dianggap gagal memenuhi tuntutan dan harapan rakyat.

Strategi pemerintah Orde Lama yang terlalu kuat berorientasi pada ideologi dan politik, dinilai rezim Orde Baru sebagai telah membawakan ketidakstabilan politik dan kehancuran ekonomi yang menyengsarakan rakyat. Oleh karena itu, pemerintah Orde Baru merasa perlu melakukan stabilitasi politik dan keamanan sebagai kebijakan penting yang dianggap bisa mendukung suksesnya pembangunan ekonomi. Guna mengatasi hal tersebut Orde Baru mengambil kebijakan dalam bidang ekonomi, dan dalam politik diupayakan menciptakan format politik yang mendukung pembangunan ekonomi.6

Sebaliknya di kalangan umat Islam Indonesia, modernisasi merupakan persoalan yang relatif baru. Apalagi mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa modernisasi yang sudah menjadi pilihan Orde Baru, menempatkan ideologi yang nyata-nyata berkiblat ke Barat. Kalangan Islam dihadapkan pada dilema, mereka dihadapkan pada dua pilihan yakni ikut berpartisipasi dan mendukung kebijakan rezim Orde Baru yang berarti mendukung modernisasi yang nyata-nyata berkiblat ke Barat, atau menolak dengan konsekuensi kehilangan kesempatan berpartisipasi aktif dalam program pembangunan. Dilema tersebut menimbulkan perbedaan di kalangan Islam dalam menghadapi modernisasi.7

Pilihan Orde Baru yang melangsungkan modernisasi, merupakan pilihan strategi yang memiliki paling tidak dua implikasi. Pertama, pemerintah Orde Baru

6

Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 186.

7

(11)

dengan demikian mempunyai ideologi kuat yang langsung menyentuh hajat hidup orang banyak, karena itu akan menarik dukungan dan partisipasi politik, selain itu juga akan menggeser ideologi politik yang bersifat primordial. Kedua, dukungan dan partisipasi politik masyarakat pada giliran berikutnya, akan mendukung kelangsungan proses pembangunan dan mengukuhkan posisi pemerintah Orde Baru itu sendiri.

Interaksi dinamis antara partisipasi politik dengan pelembagaan politik kemudian diharapkan terjadi dalam proses rekayasa politik sebagai agenda pembangunan politik Orde Baru.8

Kebijakan politik Orde Baru antara lain dilakukan lewat depolitisasi partai politik, penggabungan (fusi) partai-partai politik, penerapan kebijakan masa mengambang (floatingmass), penerapan asas tunggal terhadap partai-partai politik dan organisasi massa, dan pemantapan stabilitas nasional lewat berbagai restriksi dan kontrol konsesi, dimana dari semua kebijakan di atas yang banyak dirugikan adalah umat Islam.

Namun puncak kekecewaan umat Islam adalah ketika pemerintah Orde Baru menetapkan keharusan pencantuman asas tunggal bagi seluruh kekuatan politik dan organisasi massa. Keharusan penetapan asas tunggal itu, berarti peniadaan (deideologi) terhadap asas yang menjadi identitas dan simbol ideologi organisasi politik dan organisasi massa, tidak terkecuali dari kalangan Islam. Perdebatan yang terakhir ini telah mengundang reaksi keras juga perdebatan yang luas dan tajam di kalangan partai politik dan organisasi massa Islam. Namun setelah ada penjelasan dari Presiden Soeharto yang menjamin bahwa Pancasila tidak akan dan tidak boleh dianggap sebagai pengganti agama-agama yang ada,

8

(12)

kalangan Islam melihat tidak ada alasan yang lebih kuat untuk tidak menerima asas tunggal.

Pemerintahan Orde Baru yang semakin kuat kekuasaannya, ternyata digambarkan secara beragam oleh para ilmuan politik, hal ini terungkap dari kajian model dan nama yang tidak sama mengenai karakter pemerintahan Orde Baru. Sementara dalam pengamatan yang dilakukan oleh Mochtar Pabottinggi sebagaimana dikutip oleh Faisal Ismail, dalam menanggapi persoalan struktur politik di Indonesia pada masa Orde Baru, menurutnya ada empat tindakan yang dilakukan rezim Orde Baru untuk memperkokoh dan menstabilkan kekuasaan politik serta mencapai sasaran-sasaran politiknya: (1) memberi peran dan posisi khusus pada ABRI tidak hanya sebagai kekuatan keamanan tetapi juga kekuatan sosio-politik (yang terkenal dengan Dwifungsi ABRI); (2) memperlakukan GOLKAR sebagai anak emas; (3) meluncurkan kebijakan sistematis “depolitisasi” semua kekuatan sosio-politik; dan (4) mengisi Badan Perwakilan negara dengan dua cara, dengan penunjukan wakil-wakilnya dari atas dan dengan memilih mereka melalui pemilihan umum.9

Proses “depolitisasi” semua kekuatan sosio-politik ini sesuai dengan budaya politik jawa yang dianut oleh Soeharto yang memandang kekuasaan adalah bersifat “total”. Dalam hal ini terjadinya sentralisasi kekuasaan tidak dapat dihindarkan, yakni presiden mempunyai peran ganda dalam institusi negara. Dalam hal ini presiden mempunyai otoritas dalam segala kebijakan, baik itu legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Upaya-upaya tersebut dilakukan dalam

9

Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), Cet. ke-1, h. 111.

(13)

rangka melanggengkan kekuasaannya. Namun yang jelas proses politik yang terjadi di bawah negara Orde Baru berlangsung di luar aturan demokrasi.10

Dalam konteks politik demikian dapat dimaklumi bila pemimpin umat Islam berkeinginan untuk mengangkat Islam di arena politik menemui jalan kesulitan, ironisnya politik Islam disejajarkan dengan komunis, dengan penamaan ekstrim kanan untuk politik Islam dan ekstrim kiri untuk komunis.

Ekstrim kanan merupakan stigma sosial politik yang dilontarkan negara kepada segala sesuatu yang berkaitan dengan politik Islam sebagai upaya untuk mendirikan negara Islam.11

Perpolitikan di Indonesia khususnya Orde Baru memang tidak terlepas dari konflik antara Islam dan politik (agama dan negara) terutama permasalahan ideologi. Dengan corak hubungan seperti itu, kajian ini menekankan perhatian kepada kebijakan-kebijakan politik yang mempunyai implikasi baik langsung maupun tidak langsung bagi peminggiran “Ideologi politik Islam”.

Ini tidak berarti menafikan segala pencapaian kebijakan pembangunan di bidang-bidang lainnya, Seperti disahkannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam bentuk Inpres No. 1 Tahun 1991, Undang-undang Pendidikan No. 2 Tahun 1998, pendirian Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Bahkan ikut mendorong perkembangan “non-Islam politik” yang pada gilirannya mampu memperbaiki citra Islam di Indonesia.

10

Zaenal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2003), h. 12-13.

11

(14)

Sejarah perpolitikan di Indonesia memang tidak dapat lepas dari konflik antara politik Islam dan negara. Sebab ketika berbicara tentang politik di Indonesia berarti juga berbicara tentang Islam, karena Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia. Secara sosiologis, potensi umat Islam sebagai sumber legitimasi sistem politik dalam rangka mensukseskan pembanggunan nasional sangat besar.

Bersamaan dengan itu Orde Baru melakukan peminggiran terhadap aktivitas politik Islam. Yang pada akhirnya menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi Organisasi Politik (Undang-undang No. 3 Tahun 1985). Atas dasar itu mendorong peneliti mengangkat tema ini dengan judul: DEIDEOLOGI

POLITIK ISLAM (Kebijakan Pemerintah Orde Baru Dalam Pemberlakuan Asas Tunggal).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis dalam bahasan skripsi ini perlu membatasi agar lebih terfokus dan terarah. Batasan dalam skripsi ini hanya berkisar tentang penetapan pemerintah Orde Baru dalam pemberlakuan asas tunggal bagi organisasi politik (Undang-undang No 3 Tahun 1985).

Dari uraian latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Mengapa pemerintah Orde Baru menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi organisasi politik?

2. Bagaimana implikasi kebijakan politik pemerintah Orde Baru dalam pemberlakuan asas tunggal bagi politik Islam?

(15)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam kajian ini adalah:

1. Untuk mengetahui motivasi pemerintah Orde Baru dalam menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal.

2. Untuk mengetahui implikasi kebijakan politik Orde Baru dalam penetapan asas tunggal bagi politik Islam.

3. Untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.

Adapun manfaat penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Supaya mengetahui kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap umat Islam. 2. Supaya mengetahui respon umat Islam terhadap pemerintah dalam

pemberlakuan asas tunggal.

3. Pengembangan ilmu politik khususnya asas tunggal pancasila yang diterapkan pemerintah Orde Baru.

D. Tinjauan Pustaka

Beberapa kajian dan penelitian mengenai pemerintahan Orde Baru kaitannya dengan politik banyak ditemui, seperti buku yang diangkat dari disertasi Faisal Ismail (Islam In Indonesian Politics: a Study of Muslim Response and

Acceptance of the Pancasila) yang berjudul Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama. Dalam buku tersebut dibahas tentang respon umat Islam terhadap

ketegangan yang terjadi antara ideologi Islam dan ideologi Pancasila sejak awal kemerdekaan sampai dengan penetapan asas tunggal.

Buku Islam Dan Negara Dalam Politik Orde Baru karya Abdul Aziz Thaba, mengulas hubungan Islam dan Negara pada masa Orde Baru, dimana

(16)

menurutnya dalam tahun-tahun awal konsolidasinya mengalami masa pasang akan tetapi kembali surut sejak tahun 1967, hubungan melalui tiga sifat: antagonistik (1967-1982), resiprokal kritis (1982-1985) dan akomodatif (1985-1994) Sesuai dengan hasil analisis dalam buku tersebut, hubungan Islam dan negara terhadap Islam, dan persepsi Islam terhadap negara, hubungan akomodatif yang terjadi satu dekade belakangan ini tercipta karena persepsi negara terhadap Islam bersifat positif begitu pula Islam terhadap Negara.

Sementara Din Syamsuddin yang menulis buku Islam Dan Politik Era

Orde Baru, memberikan sebuah pandangan bahwa hubungan antara politik Islam

dan negara Orde Baru berlangsung dalam dua ronde. Ronde pertama (1965-1985) telah menampilkan persaingan walaupun sifatnya kurang ideologis. Namun strategi rezim Orde Baru untuk depolitisasi politik Islam dalam periode ini telah membawa kekalahan Islam politik. Ronde kedua (1985-1990-an) telah berkembang berbalik menjadi resiprokal yang menghasilkan hubungan umat Islam dan rezim Orde Baru yang pada gilirannya mendorong kepada kebangkitan kultur Islam.

Dari uraian di atas, kesimpulan yang dapat diambil, bahwa beberapa tulisan yang ada di atas meskipun banyak mengkaji tentang dinamika yang terjadi di dalam perpolitikan di Indonesia khususnya pada era Orde Baru kaitannya dengan ideologi politik Islam, namun belum ada yang spesifik dan utuh mengkaji rentang implikasi kebijakan pemerintah Orde Baru dalam penetapan asas tunggal bagi politik Islam di Indonesia.

Untuk itu, penulisan skripsi ini selain berusaha menjelaskan lebih jauh kebijakan penetapan asas tunggal oleh pemerintah Orde Baru, juga menganalisis implikasi, keuntungan dan kerugian bagi politik Islam.

(17)

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yakni, menggambarkan hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti, dalam hal ini kebijakan pemerintah Orde Baru menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi politik Islam. Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan cara membaca, memahami dan menginterpretasikan informasi dari buku-buku dan media cetak lainnya yang ada hubungannya dengan materi skripsi.

1. Sumber Data

Untuk memudahkan dalam penelitian ini, penulis mengklasifikasikan sumber data menjadi dua jenis, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

a. Data primer adalah penelitian langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang diteliti. Adapun data primernya adalah seperangkat Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia diperoleh melalui dokumen-dokumen resmi, maupun tulisan langsung yang berkaitan langsung dengan topik penelitian.

b. Data Sekunder merupakan data yang tidak langsung dan diperoleh peneliti dari subyek penelitian. Untuk data-data sekunder diperoleh dari buku-buku dan tulisan-tulisan yang berisi pemikiran dan analisis yang berkaitan dengan topik yang dibahas dalam penelitian.

(18)

Setelah dikumpulkan data-data yang diperoleh untuk kepentingan kajian ini, maka akan dianalisis dengan metode deskriptif-analisis. Yaitu menggambarkan kebijakan pemerintah Orde Baru menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi politik Islam di Indonesia sesuai dengan adanya, kemudian diambil kesimpulan-kesimpulan yang dianggap penting. Dalam hal ini cara yang digunakan untuk memperoleh kesimpulan dengan cara membandingkan antara data yang satu dengan yang lain sehingga diketahui mana yang lebih valid. Sedangkan teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada ”Buku Pedoman Akademik 2005-2006 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi penulis membaginya dalam lima bab dan diuraikan dalam sub-sub bab, sebagai berikut:

Bab pertama berisi Pendahuluan. Dalam bab ini akan dipaparkan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Berikutnya pada bab kedua berisi tentang Landasan teori. Yakni membahas tentang pengertian deideologi politik Islam serta keberadaan politik Islam pada masa Orde Baru secara umum.

Kemudian pada bab ketiga, akan dibahas mengenai kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap politik Islam, di dalamnya akan diuraikan mengenai orientasi umum kebijakan Orde Baru, penyederhanaan partai politik Islam, serta pembatasan peran politik Islam.

Selanjutnya bab keempat, yaitu menganalisis kebijakan pemerintah Orde Baru dalam pemberlakuan asas tunggal, yang di dalamnya akan diuraikan

(19)

mengenai pemberlakuan asas tunggal, implikasi kebijakan pemerintah Orde Baru memberlakukan asas tunggal bagi politik Islam, dan akomodasi pemerintah Orde Baru terhadap politik Islam. Serta yang terakhir bab kelima, merupakan bab penutup dari keseluruhan rangkaian pembahasan skripsi ini yang terdiri atas kesimpulan dan saran-saran.

(20)

BAB II

DEIDEOLOGI POLITIK ISLAM

A. Pengertian Deideologi Politik Islam

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideologi didefinisikan sebagai sekumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pandangan yang memberikan arah dan tujuan hidup seseorang atau satu kelompok masyarakat.12

Sedangkan deideologi berarti peniadaan/penghapusan terhadap asas yang menjadi identitas dan simbol ideologi organisasi politik dan organisasi massa, seperti kebijakan pemerintahan Orde Baru dalam hal politik melemahkan ideologi komunal sehingga ideologi negara tidak akan terganggu lagi oleh ideologi komunal tersebut. Target lain adalah ideologi komunal surut dan lemah sehingga masa depan Indonesia akan berjalan dengan baik tanpa pertentangan ideologi lagi.13

Kebijakan ini diambil berdasarkan asumsi bahwa pluralisme ideologi merupakan sumber konflik yang berkepanjangan.14 Demikian pula kebijakan Orde Baru terhadap Islam, yaitu melemahkan Islam sebagai ideologi yang menentang Pancasila sebagai falsafah negara atau Islam sebagai alternatif terhadap negara Pancasila. Dengan demikian program ini tidak efektif untuk menggalang massa.15

12

Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka ,1988), h. 319.

13

Taufiq Nugroho, Pasang Surut Hubungan Islam Dan Negara Pancasila, (Yogyakarta: Padma, 2003), h. 89.

14

Al-Chaidar, Reformasi Prematur Jawaban Islam terhadap Reformasi Total, (Jakarta: Darul Falah, 1999), h. 37.

15

(21)

Sebagai akhir dari penyelesaian konflik ideologi, di samping juga untuk melemahkan keberadaan politik Islam, pemerintah berusaha mencari landasan yang kuat secara hukum. Hukum merupakan pelembagaan pandangan dan konsep serta kebijaksanaan politik pemerintah. DPR dan MPR yang dikuasai pemerintah sepenuhnya bersama ABRI dan Golkar, kemudian menyusun dan menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi sosial-politik melalui Ketetapan MPR No. II/1983. Lebih lanjut secara operasional ketetapan MPR tersebut kemudian diundangkan dalam UU No. 3 dan 8 Tahun 1985 yang mengatur penempatan asas Pancasila bagi organisasi sosial-politik tersebut.16

Dengan diundangkannya UU No. 3 dan 8 Tahun 1985 tersebut, berarti barakhir sudah kelangsungan politik Islam melalui jalur politik praktis (struktural). Orde Baru menganggap bahwa pergerakan Islam struktural ini sebagai gerakan Islam yang menakutkan orang banyak dan berbahaya bagi negara. Orde Baru menilai Islam struktural ini berbahaya karena perjuangan struktural ini tujuan akhirnya adalah menguasai parlemen dan ingin menjadikan Islam sebagai ideologi negara.17

Indikator-indikator tersebut di atas tampak jelas sejak awal Orde Baru mulai memegang kendali kekuasaan Indonesia. Ketika umat Islam mengadakan kongres umat Islam di Malang tahun 1968, dimana salah satu keputusannya adalah mendirikan Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI). Namun demikian

16

Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam

1965-1987, (Jakarta: Rajawali, Cet. ke-1, 1989), h. 127.

17

Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 246-249.

(22)

Orde Baru menolak Muhammad Roem sebagai pimpinan partai tersebut dengan alasan bahwa dia adalah bekas pengurus Partai Masyumi.18

Akhirnya, setelah melalui perjalanan panjang, maka ditunjuklah HMS Mintareja sebagai pimpinan PARMUSI.19 Pemerintah Orde Baru juga menolak untuk merehab Partai Masyumi. Soeharto dalam suratnya mengatakan bahwa alasan-alasan yuridis, ketatanegaraan, dan psikologis telah membawa ABRI pada suatu pendirian bahwa ABRI tidak mau merehabilitasi bekas partai politik Masyumi.20

Melalui UU No. 3 tahun 1985, PPP sebagai satu-satunya wadah aspirasi politik umat Islam diwajibkan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas. Dengan diterimanya asas tunggal tersebut, maka PPP harus mengganti dengan asas Pancasila dan lambang Ka’bah diganti dengan lambang bintang. Pada tahun 1985, Orde Baru mengesahkan Undang-undang Organisasi Politik dan Organisasi massa. Undang-undang tersebut secara ringkas mewajibkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya asas, maka hilang sudah kekhawatiran lahirnya ideologi Islam sebagai ideologi tandingan.

B. Politik Islam Pada Masa Orde Baru

Dengan naiknya pemerintahan Orde Baru banyak kalangan pemimpin dan aktivis politik Islam berharap besar. Harapan itu terutama tampak jelas di kalangan bekas pemimpin Masyumi dan pengikut-pengikutnya yang selama

18

Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara, h. 246-249.

19

Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara, h. 246-249.

20

(23)

periode Demokrasi Terpimpin merasa benar-benar disudutkan. Karena merasa menjadi bagian penting dari kekuatan-kekuatan koalisi (seperti militer, kelompok fungsional, kesatuan pelajar, organisasi sosial-keagamaan dan sebagainya) yang telah berhasil menghancurkan PKI dan menjatuhkan rezim Soekarno, mereka sudah memperkirakan kembalinya Islam dalam panggung diskursus politik nasional.21

Tindakan rezim Orde Baru untuk membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang dipenjarakan oleh Soekarno makin memperbesar harapan mereka bahwa rehabilitasi Masyumi berlangsung tidak lama lagi. Oleh karena itu, sebuah panitia yang diberi nama Badan Koordinasi Amal Muslimin didirikan untuk merealisasikan harapan itu.22

Rupanya harapan itu tinggal harapan, pemerintah Orde Baru keberatan atas kembalinya pemimpin-pemimpin Masyumi ke arena politik dan menolak rehabilitasi Masyumi dengan didasarkan ketakutan-ketakutan bahwa jika Masyumi direhabilitasi, maka sejarah politik Indonesia akan mengulang pengalaman masa lalu, dimana Masyumi merupakan oposisi abadi dan penentang ideologi Pancasila dan UUD 1945.

Hal ini tidaklah mengherankan karena ABRI (pendukung utama pemerintahan Orde baru) pada tanggal 21 Desember 1966 mengeluarkan pernyataan yang menyamakan Masyumi (ekstrim kanan) dengan PKI (ekstrim

kiri) karena telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 dan ABRI akan

21

Al-Chaidar, Reformasi Prematur, h. 32.

22

(24)

menindak tegas individu atau kelompok yang menyimpang dari dokumen-dokumen tersebut.23

Sebagai gantinya, pemerintah Orde Baru mengesahkan pendirian Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI), sebagai wadah aspirasi politik umat Islam yang belum tertampung dalam NU, PSII, Perti dan Golkar, tetapi dengan kontrol yang sangat ketat oleh pemerintah dan ABRI.24

Yang lebih menggelisahkan para pemimpin Islam adalah kenyataan bahwa gerak politik para bekas pemimpin Masyumi sangat dibatasi, bahkan dilarang sama sekali duduk dalam kepengurusan Parmusi. Untuk membatasi gerak politik bekas para pemimpin Masyumi, pemerintah melalui presiden Soeharto merekomendasikan Djarnawi H. dan Lukman Harun (dua aktivis Muhammadiyah) sebagai pemimpin Parmusi.25

Di dalam perkembangan selanjutnya ternyata campur tangan pemerintah menjadi satu ciri khas partai ini, ketika kongresnya yang pertama di Malang memilih Mohammad Roem sebagai ketua partai ini yang akhirnya tidak disetujui oleh rezim. Rezim bisa mengganti pimpinannya kapan saja, sesuai dengan keperluannya guna memperlemah partai ini. Sejak itu muncul banyak kelompok “oportunis”, bahkan “penjilat” di dalam tubuh Islam.26

Kelahiran Parmusi bukan sepenuhnya berdasarkan kelompok Islam, menurut Utrecht sebagaimana dikutip oleh Rusli Karim berpendapat bahwa untuk

23

Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 122.

24

Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik, h. 132.

25

Al-Chaidar, Reformasi Prematur, h. 32.

26

M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 111.

(25)

mengekang pengaruh politik NU, Angkatan Darat membantu bekas pendukung, orang yang bersimpati atau anggota Masyumi untuk membentuk partai baru, Parmusi.27

Dalam perjalanannya, pemerintah bagaimanapun membaca bahwa dukungan besar diberikan ummat Islam terutama yang tergabung dalam keluarga Bulan Bintang terhadap Parmusi. Didorong oleh kekhawatiran Parmusi dapat berkembang menjadi kekuatan alternatif yang ditandai dengan munculnya cabang-cabang Parmusi di seluruh Indonesia secara serempak, pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri mendukung manuver politik J. Naro S.H. bersama Imran Kadir untuk melakukan pembajakan partai yaitu dengan menuduh Parmusi bersikap menentang ABRI. Akibatnya timbul kemelut, dan pemerintah menunjuk HM. Mintareja sebagai Ketua Umum baru. Tindakan Naro selanjutnya berusaha menyingkirkan orang-orang Bulan Bintang sekaligus menarik massa umat pendukungnya.28

Dalam pemilu 1971, partai-partai Islam mengalami tekanan berat dari rezim Orde Baru, rezim dengan kendaraan politik Golkar dan di back-up oleh ABRI menerapkan empat metode: 1) memberi peran dan posisi khusus pada ABRI tidak hanya sebagai kekuatan keamanan tetapi juga kekuatan sosio-politik; 2) memperlakukan Golkar sebagai anak emas; 3) meluncurkan kebijakan sistematis depolitisasi semua kekuatan sosial-politik; dan 4) mengisi Badan

27

M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 112.

28

(26)

Perwakilan negara dalam dua cara, dengan penunjukan wakil-wakilnya dari atas dan dengan memilih mereka melalui pemilihan umum.29

Usaha-usaha pemerintah Orde Baru untuk memenangkan Golkar dalam Pemilu 1971 antara lain dengan mengharuskan semua pegawai negeri sipil untuk memilih Golkar, kebijaksanaannya umumnya ditentukan oleh militer dan pemerintah. Semua pegawai negeri sipil tanpa kecuali diharuskan menjadi anggota Sekber Golkar.30 Usaha lainnya adalah melalui militer dengan menggunakan langkah-langkah koersif dan kooptatif untuk mempengaruhi hasil pemilihan umum.31

Hasilnya adalah Golkar menang mutlak dalam Pemilu ini dengan mengantongi 62,80 % suara, karena relatif tidak terkena intervensi luar NU berada diperingkat kedua dengan 18,67 % suara, Parmusi 5,36 % suara, PSII 2,39 % suara dan Perti 0,70 % suara.32

Kemenangan luar biasa Golkar dalam pemilu pertama memang telah membuka peluang kepada partai ini untuk melakukan perancangan politik sesuai dengan yang diinginkannya33 karena Golkar bersama Golkar ABRI dan Golkar non ABRI menguasai mayoritas kursi di DPR dengan mencapai angka 73,04 %.34

Didorong oleh kemenangan besar Golkar, pemerintah melalui Operasi Khusus (Opsus) mempercepat program penyederhanaan partai politik, yaitu

29

Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 112.

30

Albert Widjaja, Budaya Politik Dan Pembangunan Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 96.

31

Al-Chaidar, Reformasi Prematur, h. 23.

32

Al-Chaidar, Reformasi Prematur, h. 35.

33

M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran., h. 100.

34

Akhmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. ke-1, 1998), h. 127.

(27)

dengan mendesak sembilan partai politik pada Pemilu 1971 untuk menjadi tiga organisasi kekuatan politik, masing-masing: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), fusi dari empat partai Islam; Partai Demokrasi Indonesia (PDI), fusi dari empat partai nasionalis dan Kristen/Katolik; dan Golkar sendiri sebagai transformasi dari Sekber Golkar. Sejak saat itu J. Naro S.H. yang cacat bagi Ummat Islam, tampil sebagai salah seorang ketua PPP bersama Mintareja dan Idham Cholid35

Dengan adanya penggabungan partai ini, semakin mempermudah pemerintah Orde baru untuk mengontrol dan menekan aktifitas politik PPP, apalagi dalam perjalanannya PPP tidak terlepas dari konflik internal yang “mengundang” campur tangan pemerintah sebagai “penengah”, antara NU dengan Muslimin Indonesia (MI) dua pendukung utama PPP yang berujung dengan keluarnya NU dari PPP (1984)36

Dengan berbagai usaha keras, pada pemilu 1977, PPP memperoleh 29,9 % suara, perkembangan PPP yang demikian tampaknya dipandang tidak menguntungkan pihak pemerintah. J. Naro37 dengan berbagai usaha kemudian dapat menduduki jabatan ketua partai. Usahanya itu berhasil, dengan resiko yang

35

Fusi partai-partai ini dilakukan pada tahun 1973 yaitu PPP (5 Januari 1973) dan PDI (10 Januari 1973) lihat Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 126., yang kemudian diterbitkan UU No. 3 1973 sebagai landasan hukum penyederhanaan partai, lihat Abdul Munir Mulkhan,

Perubahan Perilaku Politik, h. 134.

36

M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 152-158.

37

Munculnya J. Naro, baik selama memimpin Parmusi maupun PPP bukanlah karena kehebatan, pengalaman dan dukungan massa, melainkan karena didukung oleh pemerintah terutama melaui Ali Murtopo, May B., The Indonesian Tragedy, dalam M. Rusli Karim, Negara

(28)

harus ditanggung PPP. Dua kali Pemilu 1982 dan 1987, pendukung PPP menyusut tajam khususnya pada tahun 1987.38

Menurut Liddle, sebagaimana dikutip oleh Rusli Karim, bahwa kebijakan Pemerintah dengan penggabungan partai ini dikarenakan :

a. Partai-partai lebih berorientasi ideologi daripada program

b. Partai-partai memperuncing perselisihan ideologi di kalangan rakyat baik pada tingkat elit ataupun massa

c. Partai-partai menciptakan berbagai ketegangan organisasi di dalam masyarakat

d. Para pemimpin partai pada dasarnya adalah orang-orang yang mencari kesempatan untuk dirinya sendiri

e. Pemimpin-pemimpin partai terasing dari para pemilih yang seharusnya mereka wakili

f. Kerusakan yang timbul karena sistem partai tidak terjadi pada organisasi partai saja tetapi juga pada institusi-institusi lainnya

g. Sistem banyak partai dianggap sebagai sebab utama ketidakstabilan pemerintah berparlemen.

Dapat dipahami bahwa langkah-langkah pemerintah Orde Baru dalam melaksanakan deparpolisasi antara lain: dengan melaksanakan kebijakan

floatingmass, restrukturisasi partai-partai politik, memecah belah para pimpinan

partai melalui operasi-operasi inteligen, melemahkan peran partai di tingkat bawah dengan membatasi aktivitas politik hanya sampai tingkat kabupaten.

38

(29)

BAB III

KEBIJAKAN PEMERINTAH ORDE BARU TERHADAP POLITIK ISLAM

A. Orientasi Kebijakan Pemerintah Orde Baru

Pada tahun 1966, di Indonesia lahir pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Kemunculan Orde Baru ini terjadi sebagai reaksi terhadap rezim Orde Lama yang dipimpin Soekarno dengan Demokrasi Terpimpin dan proyek Nasakomnya yang telah digoyang oleh antagonisme politik, kekacauan sosial dan krisis ekonomi dalam kehidupan masyarakat Indonesia secara menyeluruh.39

Orde Baru, rezim yang lahir sebagai reaksi terhadap rezim sebelumnya, maka kebijakannya tentu bertolak belakang dengan kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintahan sebelumnya. Kalau pada masa Orde Lama wacana dan gerakan politik begitu dominan dalam percaturan nasional, maka sebaliknya, Orde Baru tampil dengan slogannya politik no, ekonomi yes.40 Oleh karenanya, pemerintahan Orde Baru menciptakan counters ideas (pemikiran-pemikiran tandingan) yang lebih menekankan pada ide-ide pragmatik, deideologisasi, deparpolisasi, program oriented, pembangunan oriented dan sebagainya.41

39

Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 102.

40

Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 188.

41

Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran

(30)

Namun demikian, Orde Baru dihadapkan oleh tugas berat memperbaiki kembali institusi-institusi politik untuk menegakkan lagi kewibawaan pemerintahan negara setelah negara berada di bawah rezim “kuku besi”, yang dipimpin oleh Soekarno yang biasa disebut “Demokrasi Terpimpin” atau Orde Lama (1957-1965) terlibat dalam situasi kacau-balau.

Moeljarto Tjokrowinoto, pakar sains politik terkemuka di Universitas Gajah Mada, mengemukakan keadaan politik di Indonesia menjelang lahirnya Orde Baru yang ditandai oleh enam ciri: kegagalan sistem multi-partai; percaturan politik yang bertumpu pada dasar partai ideologi dalam suasana masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan politik yang ada; perpecahan birokrasi karena campur tangan partai ke dalam birokrasi dan menjadikan birokrasi sebagai asasnya; partai politik mempergunakan corak partai “totali-tarian”; penyusupan partai Komunis ke dalam ABRI sehingga menimbulkan “disharmoni” hubungan di antara Angkatan dan Kesatuan; dan interaksi politik di desa ditandai oleh nilai-nilai primordial, orientasi “parokhial” dan hubungan “patron-klien” sehingga mengurangi persatuan pedesaan dan menimbulkan konflik “interpersonal”.42

Di dalam konteks yang luas, terutama dalam hubungannya dengan ekonomi, gambaran keadaan bangsa Indonesia ketika itu tercermin dalam sembilan masalah seperti yang dikemukakan oleh Donald W. Wilson sebagaimana dikutip oleh Rusli Karim berikut ini: pembentukan suasana stabilitas politik dan sosial (keamanan bangsa) yang memungkinkan terjadinya perubahan; menciptakan satu bangsa yang terhindar dari perpecahan umat dan banyaknya

42

Tjokrowinoto, Pembangunan Dilema dan Tantangannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 104.

(31)

bahasa dan dialek yang bisa menggoncangkan (staggering); membawa rakyat untuk berada bersama-sama di dalam pemerintahan, yaitu mereka yang bukan menjadi orang penurut atau “asal bapak senang”, mempunyai kemampuan dan kepakaran khusus guna menangani masalah bangsa secara cerdik dan arif; menghapuskan kelembapan dan “buck passing” yang melumpuhkan pemerintahan sampai begitu lama; membentuk satu semangat kerjasama di dalam pemerintahan yang bisa membangkitkan kecemburuan kecil di atas dan perbedaan-perbedaan yang bersifat kedaerahan; menjauhkan kepentingan pribadi dan sakit hati mereka yang sangat menginginkan untuk kembali kepada era Soekarno; menangani masalah-masalah ekonomi dan pembangunan ekonomi serta menghindari keruntuhan atau bencana ekonomi dan keuangan; membangun keberdikarian pertanian untuk memenuhi keperluan makanan; meraih lebih banyak lagi pengadilan yang adil.43

Luasnya aktivitas pembangunan di atas seiring dengan kemunduran dalam bidang ekonomi, lemahnya institusi politik, korupsi yang bersifat “endemik”, bahaya militerisme yang merayap, kelebihan penduduk di Jawa, meluasnya pengangguran, dan hancurnya infrastruktur yang dialami oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan bantuan dari masyarakat penderma/penyumbang.44

Untuk menghadapi tantangan tersebut, maka sasaran pembangunan Orde Baru bertumpu pada aspek ekonomi dan mewujudkan kestabilan politik yang bisa

43

M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 118.

44

Selo Soemardjan, Akibat-Akibat Sosiologis Dari Inflasi Moneter, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), h. 84.

(32)

mendukung pembangunan ekonomi. Salah satu kebijakan Orde Baru dalam hal politik adalah melemahkan ideologi komunal sehingga ideologi negara tidak akan terganggu lagi oleh ideologi komunal tersebut. Target lain adalah ideologi komunal surut dan lemah sehingga masa depan Indonesia akan berjalan dengan baik tanpa pertentangan ideologi lagi.45

Bahkan ada pula pakar yang berpendapat bahwa cita-cita utama Orde Baru adalah menegakkan negara Pancasila, mengamankan/menyelamatkan kehidupan politik agar tidak mengganggu pembangunan ekonomi, serta menjamin peran tentara dalam mengarahkan kehidupan masyarakat.46

Dari sini Orde Baru pernah berjanji atau memberikan jaminan untuk menyelamatkan stabilitas politik dan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, melaksanakan pemilihan umum, melaksanakan landasan luar negeri yang bebas dan aktif, dan meneruskan perjuangan melawan imperialisme.

Janji seperti disebutkan di atas sesuai dengan keadaan mendesak masyarakat ketika itu, seperti terlihat dalam program yang dibuat Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) sebagai satu teras kekuatan inti yang menumbangkan rezim Orde Lama tentang konsolidasi dan pembangunan Orde Baru, yaitu memajukan struktur politik baru, pembangunan masyarakat desa, program pendidikan dan kebudayaan, dan program hubungan antar bangsa.

Sasaran pembangunan ekonomi yang sangat berhubungan dengan stabilitas politik bisa dipahami asalkan disejajarkan pula dengan pemberian

45

Taufiq Nugroho, Pasang Surut Hubungan Islam dan Negara Pancasila, (Yogyakarta: Padma, 2003), h. 89.

46

Albert Widjaja, Budaya Politik Dan Pembangunan Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 98.

(33)

kebebasan politik, karena pertumbuhan ekonomi hanya mungkin dicapai jika ada stabilitas politik. Pengalaman negara-negara di Asia dan Afrika telah membuktikannya. Hanya di kawasan Amerika Latin saja pertumbuhan ekonomi bisa terjadi pada saat adanya ketidakstabilan politik.47

Rezim ini mengambil sikap pragmatik, dan ekonominya sangat bergantung pada bantuan Barat,48 dan Jepang sehingga corak pembangunan yang dipilih oleh Soeharto adalah pembangunan kapitalis,49 terjadilah “westernisasi”, terutama di kota-kota besar.

Adanya unsur “westernisasi” merupakan satu aspek yang tidak mungkin dihindarkan di dalam modernisasi, sebagai langkah untuk menjauhkan Indonesia dari pengaruh Komunisme. Di samping itu, seiring pula dengan tujuan pembangunan Indonesia pada fase awal Orde Baru. Meminjam pendapat M. Dawam Rahardjo, Indonesia melakukan pemodernan melalui lima aspek: pendidikan di negara-negara Barat, bantuan pemberian saham dan teknik, penanaman modal asing dan pemberian saham, pengaruh media massa, dan pemindahan struktur lembaga dan ekonomi.50

Dengan demikian, tugas yang dibebankan kepada Orde Baru adalah berat sekali. Oleh karena itu memerlukan perencanaan yang matang dengan akurat, hati-hati, konsepsi yang tepat, strategi yang cocok, institusi yang kokoh dan kepemimpinan yang didukung oleh “semua” pihak agar tidak mengulangi

47

Adeng Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h.55.

48

Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 76.

49

Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 76.

50

M. Dawam Rahardjo, Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah

(34)

kegagalan yang telah dialami oleh Orde Lama, serta memperoleh bantuan keuangan dari negara-negara Barat. Ini juga berarti bahwa munculnya Orde Baru merupakan satu peristiwa penting dalam perjalanan bangsa Indonesia yang akan menentukan corak dan keberadaannya di masa mendatang.

Apalagi, sebagai bangsa yang lama mengalami penjajahan dan berpenduduk banyak dengan susunan masyarakat yang terdiri dari beragam etnis, maka pemilihan corak sistem politik dan kebijakan yang tepat merupakan satu hal yang penting. Jenis sistem politik juga ditentukan oleh faktor historis, dan primordialistik. Faktor tersebut mempunyai dua implikasi, pertama, rakyat dari waktu ke waktu akan mengurangi ketergantungannya atau hubungannya dengan pertalian kekeluargaan yang bersifat tradisional. Kedua, seiring dengan asas kedaulatan rakyat maka rakyat mempunyai kekuatan untuk menuntut hak-hak mereka agar diikut-sertakan dalam segala proses politik dan dalam pembuatan keputusan politik. Di sini bisa timbul masalah, yaitu konflik kepentingan di antara pemegang kekuasaan tradisional sebagai pemimpin informal yang selama ini memainkan peran penting di dalam masyarakat dengan kelompok baru sebagai elite yang memegang kepemimpinan formal.

Elite baru ini dibagi pada tiga kelompok: yaitu pakar ekonomi yang membuat kebijakan; ABRI yang menstabilkan, dan “birokrat” sebagai pelaksananya. Yang tergolong ke dalam pakar ekonomi bisa juga disebut kelompok intelektual/inteligensia atau “teknokrat” yang bertanggungjawab terhadap pertumbuhan ekonomi.51

51

(35)

Pada masa awal Orde Baru ketiga kelompok ini memainkan peran yang sangat penting. Ini merupakan sesuatu yang wajar. ABRI dan birokrasi merupakan kekuatan yang selalu wujud (inherent) di dalam sejarah politik Indonesia setelah Perang Dunia Kedua. Begitu pula kelompok intelektual telah berperan sejak zaman pergerakan awal abad ke-20. Meminjam pendapat M. Rusli Karim bahwa di dalam pergerakan nasionalis masyarakat kelompok intelektual selalu berfungsi sebagai penggeraknya, sehingga pergerakan nasional pun tiada lain adalah pergerakan kelompok intelektual itu sendiri.52

Menurutnya, yang menjadi persoalan adalah kecenderungan ketiga kelompok di atas untuk “meminggirkan” (marginalized) elite tradisional. Modernisasi dan pembangunan ekonomi tampaknya tidak terlalu memerlukan khidmat dari kelompok elit tradisional. Dengan perkataan lain, salah satu kesan negatif dari modernisasi dan pembangunan ekonomi adalah peminggiran elite tradisional.53

Masalah seperti ini adalah wajar, bahwa kesan lain dari proses modernisasi bisa menimbulkan sentralisasi, birokratisasi dan meningkatnya kekuasaan negara. Negara menjadi begitu kuat, yang bermakna: pertama, memperlemah kekuatan-kekuatan lawan yang bisa menentang atau mempengaruhi arah kebijakan negara; kedua memperketatkan pengawasan terhadap pembuatan keputusan; dan ketiga membangun kemampuan manajerial negara. Kecenderungan politik dan ekonomi diarahkan untuk memperkukuhkan pemerintah pusat, dan kuatnya pemerintah pusat ini belum pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.54

52

M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 58.

53

M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 58.

54

Akhmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. ke-1, 1998), h. 108-110.

(36)

Kuatnya kedudukan negara ini diakui oleh mantan Sekretaris Jenderal Golongan Karya (Golkar) Sarwono Kusumaatmadja,55 bahwa selama era Orde Baru pemerintah merupakan satu-satunya institusi politik yang berpengaruh. Di dalam perkembangan berikutnya diharapkan secara perlahan-lahan akan muncul institusi-institusi lainnya seiring dengan peran, fungsi dan mutunya masing-masing. Dengan makin dominannya ABRI dan teknokrat maka kemungkinan makin terancamnya kedudukan politik umat Islam tidak bisa dielakkan, karena ABRI sendiri mempunyai persepsi yang sangat negatif terhadap Islam.

Menurut Yahya Muhaimin kelompok “inteligensia” dan “teknokrat” ini pulalah yang akan mengatasi kelemahan-kelemahan tentara yang cenderung melakukan tindakan-tindakan merugikan dalam melaksanakan pembangunan.56 Di antara mereka ini ada yang telah bekerja dalam merancang pembangunan ekonomi sejak era Orde Lama atau Demokrasi Terpimpin, dan ada pula yang baru diangkat pada era Orde Baru.57

Bahkan Sumitro Djojohadikusumo adalah bekas pemimpin kanan Partai Sosialis Indonesia yang selama era Orde Lama mengungsi ke Malaysia karena dimusuhi oleh Soekarno karena keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI juga diberi kedudukan penting sebagai Menteri Perdagangan. Pikiran mereka sesuai dengan garis Amerika. Kelompok “inteligensia” dan “teknokrat sekular” ini juga

55

Sarwono Kusumaatmadja, Sketsa Politik Orde Baru, (Bandung: Alumni, 1988), h. 38-39.

56

A. Yahya Muhaimin, Bisnis dan Politik Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980, (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 122.

57

(37)

biasa disebut “Mafia Berkeley”,58karena kebanyakannya adalah lulusan dari University of California Berkeley.

Yang perlu digaris bawahi di sini adalah bahwa kelompok intelektual bertanggungjawab atas terbentuknya sistem sosial dan politik yang autoritarian. Perencanaan (engineering) politik Orde Baru ditempuh dengan cara institusionalisasi (institutionalize) dengan pembentukan partai-partai politik, mengekalkan atau membiarkan rakyat mengambang (floatingmass),59dan mengawasi setiap jenis perwakilan politik, termasuk kelompok intelektual pemuda, mahasiswa dan media massa. Dalam konteks ini, langkah memasukkan Angkatan Darat (army, untuk selanjutnya disebut ABRI), kelompok-kelompok profesional, dan pelaku bukan partai adalah jelas dimaksudkan untuk menentang baik kelompok muslim ataupun kelompok nasionalis.

Soeharto sendiri, seperti halnya Soekarno tidak mempunyai “akar umbi” kepartaian. Ia menduduki tingkat ke-10 dalam barisan kepemimpinan ABRI. Meminjam pendapat Nishihara, tampaknya Orde Baru telah mempunyai strategi yang tepat untuk melemahkan partai politik dengan cara memojokkan, menjinakkan dan akhirnya ditinggalkan orang, yaitu dengan cara menekankan pembangunan ekonomi secara besar-besaran sambil “mendepolitisasikan” suasana politik yang tegang.60

Dengan begitu partai-partai politik tidak dapat melakukan perbincangan ideologis melainkan ditarik ke dalam kerangka yang diciptakan oleh pemerintah yang menekankan pada kebijakan (policy). Kalaupun ada ideologi, hanya

58

A. Yahya Muhaimin, Bisnis dan Politik, h. 122.

59

Taufiq Nugroho, Pasang Surut Hubungan Islam, h. 88.

60

(38)

berasaskan pada “developmentalisme”. Maka apa yang dialami oleh umat Islam di zaman Orde Baru ini adalah mengulang pengalaman pahit masa lalu. Yang berbeda barangkali adalah caranya.

Oleh karena itu, di samping berbagai langkah seperti telah diuraikan terdahulu, ada empat tindakan yang dilakukan Orde Baru untuk menciptakan keamanan internal: manipulasi-manipulasi politik, pengawasan penduduk, menyapu bersih lawan yang memberontak, dan ketakutan yang direkayasa (calculated terror).61

Dari uraian singkat di atas telah diperoleh gambaran umum tentang sasaran yang menjadi tujuan Orde Baru, terutama dalam hubungannya dengan usaha membangun ekonomi dan mewujudkan kestabilan politik. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pandangan para pakar dalam menggambarkan proses terbentuknya Orde Baru dan kebijakan yang digariskannya untuk mencapai tujuan politiknya.

B. Penyederhanaan Partai Politik Islam

Penyederhanaan partai adalah salah satu strategi pemerintah Orde Baru untuk semakin menjinakkan potensi politik umat Islam. Lahirnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai hasil fusi dari empat partai politik Islam, yaitu NU, PSII, Perti dan Parmusi yang disahkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 197362 adalah bagian dari strategi politik Orde Baru untuk memperlemah

61

M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 61.

62

Paksaan pemerintah terhadap fusi partai non-pemerintah ini atas persetujuan militer. Akibat dari fusi partai-partai non pemerintah, perolehan suara paratai hasil fusi mengalami

(39)

kekuatan politik umat Islam yang beraneka ragam. Fusi partai merupakan salah satu langkah yang diambil oleh pemerintah Orde Baru setelah memenangkan pemilu 1971 secara mutlak. Di samping banyaknya partai, para pemimpin Orde Baru juga menganggap berbagai ideologi dan tiadanya partai besar dengan mayoritas mutlak sebagai sebab ketidakstabilan politik. Oleh karena itu, langkah yang diambil adalah mengurangi jumlah partai dan membentuk partai baru dengan dukungan pemerintah. Inilah kebijakan yang dibuat untuk membentuk partai hegemonik ideologis.63

Banyak pengamat politik menilai bahwa penyederhanaan partai politik ini mempunyai tujuan depolitisasi masyarakat, yang berimplikasi pada berkurangnya independesi kegiatan politik masyarakat, baik melalui pengurangan peran organisasi otonom maupun dengan mengkooptasinya ke dalam suatu organisasi payung yang pro-pemerintah. Pengelompokan organisasi kekuatan sosial politik kepada tiga: PPP, PDI, dan Golkar membawa implikasi pada dikotonomi politik Islam dan non-politik Islam.

Pertama, dengan format kepartaian baru, PPP yang memiliki basis massa

Islam menghadapi dua lawan utama Golkar dan PDI. Kedua, pengelompokkan tersebut juga mengandung arti adnaya usaha sistematis untuk memecah-belah politik Islam yang diwakili PPP, karena fusi artifisial tidak akan membawa persatuan. Sejarah kemudian membuktikan bahwa PPP hampir tidak pernah luput dari konflik internal. PPP diwarnai oleh pertentangan yang sangat tajam dalam

penurunan perolehan suara pada pemilu 1970-an dan 1980-an. Pada pemilu 1977 dari 33 persen suara menjadi 27 persen pada pemilu 1987.

63

M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 142. lihat pula Abdul Munir Mulkan, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat

(40)

memperebutkan posisi-posisi kunci partai antara representasi NU dan Parmusi. Penggabungan partai dengan basis dukungan yang berbeda-beda ini menimbulkan konflik intern partai, terutama dilihat dari komposisi kepemimpinan bagi masing-masing unsur partai. Dalam hal ini terdapat dua kecenderungan. Bagi unsur yang massa kecil menuntut agar penentuan jumlah dan susunan pengurus partai dari tingkat pusat sampai pembantu komisaris serta pembagian kesempatan lainnya dibagi secara merata tanpa melihat massa pendukung tiap-tiap unsur. Sedangkan bagi unsur yang besar massa pendukungnya, terutama NU menghendaki adanya pembagian sesuai dengan massa pendukungnya. Ketiga, pengelempokkan dapat mengandung arti domestifikasi politik Islam, seperti terbuksi kemudian, PPP harus melakukan penyesuaian diri dengan kebijaksanaan pemerintah, umpamanya dalam melaksanakan ketentuan asas tunggal Pancasila.64

C. Peminggiringan Politik Islam

Posisi politik umat Islam setelah Orde Baru berkuasa tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. Seperti halnya dengan rezim Orde Lama (Soekarno), Orde Baru pun menerapkan strategi politik yang tidak aspiratif terhadap Islam, atau dengan kata lain menekan potensi politik umat Islam. Hal ini dilakukan untuk membonsai kekuatan politik Islam yang dianggap sebagai ancaman terhadap kelangsungan rezim Orde Baru. Akibatnya, kekuatan politik umat Islam yang dipresentasikan oleh partai-partai politik Islam, seperti Parmusi (reinkarnasi Masyumi), NU, Perti, dan PSII di pemilu pertama Orde Baru

64

M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001), h. 42. lihat pula Rusli Karim, Dinamika Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Hanindita, 1985), h. 195.

(41)

berkuasa (tahun 1971) tidak memiliki kekuatan politik yang kuat untuk menandingi kekuasaan Orde Baru.

Menurut Wertheim, seperi yang dikutip oleh Rusli Karim, peran sebagai “orang luar” (outsider) merupakan salah satu ciri keberadaan Islam di Indonesia yang selalu muncul dalam seluruh kurun sejarah masa lalu. Pada era Orde Baru mengharapkan terjadinya peningkatan kekuasaan politik komunitas Muslim merupakan kesalahan perkiraan (miscalculated) yang serius. Rezim militer yang dipimpin Soeharto lebih khawatir dengan aspirasi-aspirasi Islam dalam bidang politik daripada Soekarno.65 Proyek ini didasarkan pada asumsi bahwa Islam yang kuat secara politik akan menjadi hambatan bagi modernisasi. Pandangan ini sesungguhnya mengandung logika politiknya yakni, depolitisasi Islam adalah usaha mempertahankan kekuasaan dan melindungi kepentingan elite kekuasaan.66 Menurut Van Dijk, seperi yang dikutip oleh Rusli Karim, depolitisasi merupakan langkah untuk menghilangkan perbedaan ideologi dan perselisihan agama seperti yang dialami menjelang tahun 1965.67

Proses ini mengambil bentuk penyingkiran simbol-simbol Islam dari kegiatan-kegiatan politik, mengeliminasi partai-partai politik Islam, dan menghindarkan arena politik dari politisi-politisi Islam. Depolitasi Islam mencapai puncaknya, berkenaan dengan sarana politik dalam penggabungan semua partai politik Islam yang ada ke dalam PPP tahun 1973 dan berkenaan dengan ideologi politik dalam keharusan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas oleh semua orsospol dan ormas tahun 1985. Bahkan, sejatinya depolitisasi

65

M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 121.

66

M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2000), h. 63.

67

(42)

Islam adalah bagian dari proyek yang lebih besar, yakni massa mengambang, yang mengurangi kesadaran politik rakyat akar rumput (grassroot) dan mengasingkan pemimpin-pemimpin politik dari pendukung mereka.68

Depolitisasi Islam ini dijalankan dengan “domestifikasi” kekuatan-kekuatan politik Muslim melalui proses pelemahan partai-partai Islam. Tetapi proses tersebut dilakukan untuk mendorong pelembagaan kekuatan umat Islam lewat pembentukan banyak organisasi Islam “korporatis” atau kuasi-korporatis.69

Sebenarnya, rencana untuk melumpuhkan partai politik secara sistematik telah dimulai sejak 1969. Menurut Bryan May, setelah meloloskan rancangan undang-undang Pemilihan Umum di DPR pada 31 Desember 1969, Soeharto memerintahkan untuk membuat persiapan kampanye. Sementara jabatan kekuasaan pemilihan umum telah menggariskan enam tujuan pasca pemilihan umum, yaitu: (1) tidak ada ideologi politik kecuali Pancasila, (2) partai politik hendaknya berasaskan pada program pembangunan, bukan idea-idea politik, (3) jumlah partai politik akan dikurangi, (4) di antara pemilu-pemilu, orang-orang desa berpartisipasi dalam pembangunan, tetapi tidak dalam bidang politik, (5) organisasi-organisasi massa dipisahkan dari partai-partai politik, (6) pegawai pemerintah dikeluarkan dari partai politik dan harus taat hanya kepada pemerintah. Ini menunjukkan bahwa pembangunan telah diutamakan daripada politik.70

Kebijakan Orde Baru ini oleh R. William Liddle, disebabkan oleh empat hal; (1) partai-partai lebih berorientasi ideologi daripada program, (2) partai-partai

68

M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik, h. 66-67.

69

M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik, h. 79-80.

70

(43)

memperuncing perselisihan ideologi di kalangan rakyat pada tingkat elit maupun massa, (3) partai-partai menciptakan berbagai ketegangan organisasi di dalam masyarakat, (4) sistem banyak partai dianggap sebagai sebab utama ketidakstabilan pemerintah berparlemen.71

Dengan kondisi yang demikian ini, pantaslah kiranya jika pada tahun-tahun panjang di masa Orde Baru, paling tidak hingga pertengahan atau akhir dekade 1980-an, politik Islam merupakan sesuatu yang oleh negara harus diperlakukan bagaikan “kucing-kurap”. Para aktivitas politik Islam, dalam format dan langgam, yang dimunculkan oleh generasi lama, merupakan pihak-pihak yang kepada mereka negara menerapkan kebijkaan domestifikasi. Dengan mind-set seperti itu, dan sumber daya-sumber daya sosial-ekonomi dan politik yang dimilikinya, negara berhasil menundukkan politik Islam secara politik, ideologi dan intelektual. Yang pertama merujuk pada kenyataan bahwa negara memperlakukan komunitas politik Islam sedemikian rupa, sehingga mereka terpinggirkan dalam proses-proses politik. Ini terjadi, khususnya pada mereka yang mengembangkan aktivisme politik yang oleh negara dianggap di luar utama pembangunan politik Orde Baru.

Proses penyelesaian konstitusional yang tak kunjung selesai secara substansial, mengakibatkan persoalan Islam dalam kerangka ideologis tetap bergulir. Pergantian rezim dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto tak juga menyurutkan persoalan Islam secara ideolog. Bahkan, hal tersebut pernah digunakan sebagai salah satu instrumen untuk menyudutkan masyarakat Islam.

71

(44)

Selama dua dasawarsa pertama kukuasaan Orde Baru, umat Islam sering ditempatkan pada posisi “an ideological scapegoat” dikambingkan dalam pergumulan ideologi (politik) negara. Sebanding dengan itu, dengan menggunakan wacana Islam sebagai ideologi, umat Islam menjadi kelompok yang terus-terus dicurigai, dianggap sebagai pihak yang tidak mempercayai ideologi negara (Pancasila) seratus persen.72

Situasi “ideologis” yang tidak mengenakkan inilah yang kemudian melahirkan antagonisme politik pemerintah terhadap umat Islam. Ini berarti, kecurigaan politik negara terhadap umat Islam merupakan kelanjutan dari adanya gesekan-gesekan ideologis. Bahkan, kecurigaan itu berkembang menjadi antagosinme politik yang semakin menyudutkan posisi umat Islam. Lebih parah lagi, kecurigaan dan antagonisme itu tumbuh di kedua belah pihak; Islam dan negara. Kenyataan seperti itu merupakan sesuatu yang “aneh” –sesekali “membingungkan” (puzzling)- mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Tapi, telah menjadi sebuah kelaziman, bahwa persepsi ideologi maupun politik adalah potensial untuk menumbuhkan kategorisasi-kategorisasi untuk tidak mengatakan friksi-friksi.73

Kecurigaan dan antagonisme politik ini, yang antara lain, disebabkan oleh apa yang oleh sementara pihak dianggap sebagai “ideologisasi Islam”, pada umumnya telah menyebabkan Islam -khususnya Islam politik (political Islam)- pada posisi penggiran. Sampai pada pertengahan dasawarsa 1980-an, seperti disimpulkan oleh Donald K. Emmerson, dilihat dari perspektif manapun;

72

Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara dan

Demokrasi, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 144.

73

(45)

konstitusional, politik, birokrasi, legalistik, dan bahkan simbolik-Islam telah “terkalahkan”. “Pengkalahan” Islam ini dimaksudkan untuk memotong “gigi politik” Islam, karena Islam lah yang selama ini dianggap sebagai pesaing politik utama pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Ditambah dengan faktor Islam sebagai ideologi dan dasar perjuangan politik umat, untuk waktu yang lama, Islam pernah dianggap sebagai sesuatu yang mengancam konstruksi (ideologi-politik) negara-bangsa.74

Tak berlebihan, jika Hartono Mardjono menuding, ada kekuatan sikap dan tindakannya sangat tidak menyenangkan Islam serta berusaha menyingkirkan umat Islam dari pemerintahan yang mengelilingi Soeharto. Kelompok itu berada di bawah pimpinan Ali Murtopo, asisten pribadi bidang politik pimpinan Operasi Khusus (OPSUS), sebuah badan ekstra-konstitusional yang melakukan operasi-operasi khusus dengan cara-cara intelijen. Dalam praktiknya, OPSUS merupakan

invisible government yang dapat melakukan segala macam tindakan, termasuk

merekayasa kehidupan sosio-politik sehingga peranannya sangat besar dan ditakuti rakyat.75

Dalam kaitan ini, Watson, menyebutkan tiga langkah yang diambil Orde Baru sebagai strategi mengurangi Islam dalam politik. Pertama, menghancurkan pengaruh anggota politik Masyumi. Kedua, penyederhanaan struktur partai dengan menggabungkan partai-partai Islam ke dalam satu partai. Ketiga, mendorong perkembangan institusi-institusi agama melalui Departemen Agama.76

74

Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan, h. 144-145.

75

Hartono Mardjono, Politik Indonesia 1996-2003, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 30.

76

(46)

BAB IV

PEMBERLAKUAN ASAS TUNGGAL TERHADAP POLITIK ISLAM

D. Pemberlakuan Asas Tunggal

Bersama dengan mantapnya stabilitas nasional dan pembangunan ekonomi, perlindungan dan pengamanan Pancasila menjadi asas dan ideologi nasional negara menjadi prioritas utama pemerintah Orde Baru. Kebijakan ini tampaknya didorong oleh banyak faktor. Faktor pertama adalah setelah pemberontakan PKI tahun 1965 dapat dipadamkan, pemerintah terus mewaspadai kebangkitan kembali partai tersebut meskipun telah resmi dilarang. Faktor kedua adalah munculnya gerakan fundamentalis Muslim di berbagai wilayah di dunia Islam pada tahun 1970-an, khususnya di Iran. Khawatir akan menyebarnya pengaruh revolusi Iran di Indonesia, pemerintah melakukan perlindungan terhadap Pancasila. Faktor ketiga yang mendorong pemerintah terus melindungi Pancasila agaknya karena munculnya gerakan saparatis dan fundamentalis di negeri ini.77

Sejalan dengan upaya terus-menerus untuk melestarikan Pancasila mulai tahun 1982 pemerintah membicarakan pentingnya. Motif utama pemerintah adalah untuk melindungi Pancasila sebagai ideologi nasional negara, dan untuk terus mensosialisasikannya dalam kehidupan berbangsa. Untuk itu, pemerintah

77

Gagasan pemerintah tentang penyatuan asas bagi seluruh partai politik, untuk pertama kali diajukan Presiden Soeharto pada pidato kenegaraan di depan sidang DPR 16 Agustus 1982. kemudian, gagasan Presiden ini dimasukkan dalam Ketetapan MPR No. II/1983 (pasal 3 bab IV), dengan alasan bahwa demi memelihara, memperkuat, dan memantapkan Pancasila dalam kehidupan sosial dan nasional bangsa, seluruh partai politik dan Golkar, harus menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal mereka. Lihat Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, h 191-192, dan 203.

(47)

merasa bahwa harus tidak ada ideologi lain yang menandingi Pancasila sebagai asas tunggal. Kesimpulan ini didorong oleh dua faktor. Faktor pertama adalah pemerintah tampaknya belajar dari pengalaman kampanye pemiliu sebelumnya di mana terjadi pertarungan fisik, khususnya antara pendukung Golkar dan PPP. Faktor kedua yang mendorong pemerintah menjadikan Pancasila tidak hanya sebagai asas tunggal atau ideologi negara, tetapi juga asas tunggal bagi semua partai politik dan ormas di negara ini adalah karena secara ideologis Pancasila akan menempati posisi yang lebih kuat dalam kehidupan sosial dan nasional bangsa Indonesia. Ide ini tampaknya diperkuat oleh fakta bahwa sepanjang menyangkut Islam politik, PPP masih mempertahankan Islam sebagai asasnya di samping Pancasila. Penggunaan dua asas oleh PPP dilihat pemerintah sebagai bukti, bahwa mereka tidak secara total menerima ideologi nasional Pancasila. Untuk menghilangkan dualisme asas ini, pemerintah kemudian menerapkan gagasan Pancasila sebagai asas tunggal.78 Bahkan Soeharto pernah menyerang kelompok-kelompok yang tidak secara total menerima ideologi negara, Pancasila, Konstitusi UUD 1945 dan akan menghukum kelompok-kelompok yang masih berorientasi ideologi, Marxisme, Leninisme, Komunisme, dan Nasakom. Tentu saja, serangan Soeharto ditujukan kepada PPP sebagai partai oposisi yang berasaskan agama (Islam).79

Menurut pemerintah dan para pendukungnya, penerapan Pancasila sebagai asas tunggal partai-partai politik akan mendorong setiap partai untuk menjadi lebih berorientasi program bukannya orientasi ideologi. Dengan cara ini daya tarik

78

Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 197-199.

79

Serangan Soeharto ini dilontarkan dalam pidato pertemuan ABRI di Pakanbaru, Sumatera Barat, 27 Maret 1980., Asian Survey, Volume XXI, No. 8 Agustus 1982, h. 817-818.

(48)

partai akan didasarkan khususnya pada program-programnya yang ditawarkan kepada masyarakat, bukan pada asas ideologi yang digunakan. Jadi, isu-isu utama selama kampanye pemilu akan terpusat terutama pada program, bukan pada ideologi. Sehubungan dengan ini, ideologi diyakini dapat menjadi sumber kekerasan politik antarpartai, sebagaimana terjadi pada kampanye-kampanye sebelumnya.80

Pancasila akhirnya dijadikan sebagai asas tunggal bagi semua partai politik. Pada tanggal 19 Februari 1985, Pemerintah dengan persetujuan DPR mengeluarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1985, menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Empat bulan kemudian, pada tanggal 17 Juni 1985, pemerintah lagi-lagi atas persetujuan DPR mengeluarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1985 tentang ormas, menetapkan bahwa seluruh organisasi sosial atau massa harus mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal. Dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 3 Tahun 1985, penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh partai politik dan organisasi massa menjadi syarat mutlak.81

Kebijakan politik Orde Baru ini bukan tanpa reaksi. Sejauh menyangkut umat Islam, paling tidak sejak tahun-tahun 1982, mereka telah menunjukkan reaksi terhadap usulan pemerintah mengenai Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua ormas. Sejumlah ormas Islam keberatan terhadap gagasan pemerintah

80

Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 205.

81

Referensi

Dokumen terkait

3 Membangun Peternakan Hijau (Green Livestock Development) Bebas Senyawa Polutan: Manfaat Hijauan Pakan sebagai Sumber Tannin dalam Penghambatan Methanogenesis pada Fermentasi

Sesuai dari hasil dari penelitian dan pembahasan peneliti menyimpulkan tingkat kecemasan atlet yang didapat hasil dari kuesioner atau angket milik Nyak Amir yang telah

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana model pembelajaraan kooperatif J-Trow terintegrasi penilaian peer assessment dapat meningkatkan hasil belajar dan

Produk utama dari perusahaan PT Charoen Pokphand adalah pakan ternak dan makanan olahan, yang mana diproduksi oleh 7 fasilitas produksi Perseroan dan anak

Alamat Kuasa : IPANEMA CONSULTANT JALAN GRIYA PRATAMA III BLOK IV NO.. 14 KELAPA GADING, JAKARTA UTARA DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

Tabel 1. Hasil Penelitian Tes Bahasa.. Jurnal Edukasi Gemilang, Volume 3 No. Hal ini terlihat ada beberapa siswa yang berani mengemukakan pendapat. Ini merupakan kemajuan

Analisis Ija>rah dan Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 2 Tahun 2012 Terhadap Pemilik Kartu Parkir Berlangganan Yang Masih Ditarik Biaya di Gateway Waru Sidoarjo

Penelitian tersebut sesuai dan didukung oleh penelitian ini karena telah terbukti bahwa bahwa ada pengaruh yang positif dan signifikan antara pengaruh kompetensi