• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.9 Kerangka Teori

2.9.3 Deiksis Waktu

Ketentuan menjadikan penutur sebagai pusat deiksis, sebagaimana yang berlaku pada dua jenis deiksis sebelumnya (deiksis personal dan deiksis tempat), berlaku juga pada deiksis waktu. Artinya, terkait dengan ihwal penginformasian lokasi waktu suatu peristiwa, yang menjadi pusat (central time) adalah lokasi waktu bagi penutur dalam menghasilkan tuturannya. Lokasi waktu semacam itu lazim juga disebut saat tuturan. Tentang saat tuturan sebagai pusat orientanasi waktu, pada bagian penjelasannya, Levinson (1983:63-64) menyebutkan:

“ [ ... ] That is, if (for the purposes of semantic or pragmatic interpretation) we think of deictic expression as anchored to specific points in the communicative event, then the unmarked anchorage point, constituiting the deictic centre, are typically assumed to be as follows: (i) the central person is the speaker, (ii) the central time is the time at which the speaker produces the utterance, (iii) the central place is the speaker’s location at utterance time or CT, ....].”

Dari penjelasan Levinson di atas, menjadikan saat tuturan sebagai pusat deiksis waktu mengimplikasikan bahwa saat tuturan juga merupakan titik taut dalam menginformasikan waktu suatu peristiwa atau kejadian. Setiap ekspresi lingual yang mengungkapkan konsep waktu deiktis sifatnya apabila waktu peristiwa yang diacu oleh ekspresi tersebut ditautkan dengan lokasi waktu saat dituturkannya ekspresi tersebut. Ekspresi lingual, seperti: tadi, sekarang, nanti, kemarin, besok, hari ini, adalah ekspresi waktu yang tidak menginformasikan lokasinya dalam garis waktu sebelum ditautkan dengan lokasi waktu saat masing-masing ekspresi tersebut dituturkan. Hal demikian menguatkan pengertian bahwa ekspresi lingual yang digunakan untuk menyatakan waktu, baru memiliki makna temporal yang jelas apabila ditautkan kepada satu titik pengacuan. Titik pengacuan yang dimaksud adalah saat tuturan itu sendiri, yang posisi temporalnya setiap saat dapat berpindah. Apabila saat tuturan itu berpindah, muatan semantis ekspresi waktu akan ikut berubah. Ekspresi waktu yang lokasi acuannya dalam garis waktu dapat berubah disebabkan berpindahnya saat tuturan, oleh Lyons (1977:682-683), disebut ekspresi yang bersifat deiktis atau dinamis.

Menjadikan saat tuturan sebagai pusat deiksis waktu mengimplikasikan bahwa lokasi waktu suatu peristiwa berada sesudah, bersamaan, atau sebelum saat tuturan. Kejelasan di mana lokasi saat tuturan akan memberi kejelasan lokasi waktu setiap peristiwa dalam garis waktu. Lokasi waktu dengan muatan peristiwa yang terjadi sesudah, bersamaan, dan yang menyusul setelah saat tuturan membuat kita mengenal adanya pembagian waktu yang digramatikalkan dalam sistem kala, yang pada

pokoknya terdiri dari pengacuan waktu lampau (past), waktu kini (present), dan waktu mendatang (future). Dengan demikian, bentuk-bentuk gramatikal yang mencirikan pembedaan lokasi waktu acuan dalam sistem kala juga bersifat deiktis (lihat juga Hoed, 1992:38-39). Kebalikannya, oleh Lyons, disebut bersifat non-deiktis atau statis apabila saat tuturan tidak berperan dalam menentukan lokasi acuan ekspresi waktu tersebut dalam garis waktu. Hal seperti itu terjadi apabila pengungkapan waktu dilakukan berdasarkan penggunaan jam, siklus waktu karena planet bumi yang berotasi, seperti: pukul sembilan pagi, tahun 2005, 14 Desember 2009, Senin, November, 17 Ramadan 2009 (cf. Levinson, 1983: 73).

Waktu, sebagaimana Fillmore (Huang, 2007:144) nyatakan, memiliki dimensi tunggal (one-dimensional) dan bersifat searah (unidirectional). Antara peristiwa dengan waktu, jika dikaitkan dengan gerak, secara metaforis dapat dijelaskan sebagai berikut: (i) waktu dipandang sebagai sesuatu yang diam, dan “dunia” (penutur (Yule, 1996:14)) bergerak melaluinya dari waktu yang lalu ke waktu yang akan datang, (ii) “dunia” dipandang sebagai sesuatu yang diam, dan waktu bergerak melalui “dunia”. Penggambaran “dunia” yang bergerak pada (i) menempatkan waktu berada di depan, sehingga memungkinkan terbentuknya frasa-frasa adverbia temporal yang menggunakan ‘depan’ sebagai komponennya, seperti: hari depan, minggu depan, bulan depan, tahun depan. Penggambaran pada (ii) menempatkan “dunia” sebagai yang didatangi oleh waktu yang bergerak ke arahnya. Dari gambaran itu dibentuk frasa-frasa adverbial yang menggunakan ‘mendatang’ atau ‘yang akan datang’, seperti tahun mendatang, abad mendatang, periode yang akan datang, masa mendatang.

Pembedaan selanjutnya yang dapat dilakukan terhadap peristiwa dalam waktu, menurut Fillmore (Huang, 2007:144), adalah antara ekspresi waktu yang mengacu kepada titik waktu (time points), seperti pukul delapan; dan periode waktu (time periods), seperti besok sore. Peristiwa dalam periode waktu adalah peristiwa temporal berdurasi yang memiliki titik awal dan titik akhir waktu. Durasi dalam setiap periode dapat berbeda, sehingga memungkinkan untuk membandingkan lama suatu periode dengan periode yang lain. Di antaranya ada yang berdurasi singkat, dan ada pula yang berdurasi lama. Waktu periodik seperti itu, dalam banyak bahasa, tampil dengan mendasarkannya pada periode siang dan malam, minggu, bulan, tahun – yang berulang. Ada yang menggunakannya dengan cara berpedoman pada sistem kalenderis (calendrical), di samping yang non-kalenderis (non-calendrical).

Pada sistem kalenderis, lama periode setiap satuan waktu (seperti Ramadan, Juli) serta titik tautnya telah ditentukan dan tidak berubah (absolut); sedangkan pada yang non-kalenderis, lama periode setiap satuan waktu digunakan hanya sebagai satuan ukuran waktu relatif (seperti nanti malam) terhadap titik taut tertentu yang setiap saat dapat berpindah.

Dalam hal yang menyangkut adverbia temporal, menurut Levinson (1983:74-75), terdapat di antaranya yang “murni” sebagai ekspresi deiksis waktu, seperti kata bahasa Inggris now, then, soon, dan recently. Disebut “murni” karena dalam penggunaannya tidak terlihat adanya keterkaitan masing-masing dengan komponen lingual pengungkap waktu yang non-deiktis, seperti Monday, year, afternoon dalam konstruksi last Monday, next year, this afternoon. Tiga frasa adverbial terakhir,

menurut Levinson, adalah adverbia temporal kompleks karena masing-masing merupakan bentuk gabungan yang menunjukkan adanya interaksi (interaction) antara komponen deiktis (last, next, this) dengan komponen kalenderis yang tidak deiktis (Monday, year, afternoon).

Menurut Levinson, ada juga adverbia temporal deiktis, seperti today, tomorrow, yesterday, yang tidak bebas dari pengertian waktu absolut atau yang kalenderis. Pembuktiannya, bahwa ketiga kata bahasa Inggris tersebut masing-masing dapat dimaknai sebagai ‘periode 24 jam sejak pukul 12.00 tengah malam yang meliputi saat tuturan, ‘periode 24 jam setelah hari saat tuturan’, dan ‘periode 24 jam sebelum hari saat tuturan’.

Kedeiktisan ketiga adverbia tersebut terlihat pada fungsi penunjukan masing-masing terhadap waktu kini, waktu mendatang, dan waktu lampau; sedangkan kenondeiktisan atau corak kekalenderisannya terlihat pada periode absolut masing-masing, yang terdiri dari 24 jam sejak pukul 12.00 malam. Adverbia today, tomorrow, dan yesterday, dinyatakan dalam Levinson (1983:75), Cruse (2004:335), Huang (2007:146), mendapat prioritas penggunaan (pre-empt) untuk tidak digunakannya nama-nama hari absolut atau kalenderis terhadap hari acuan yang relevan. Penjelasan Cruse tentang hal itu, terlihat sebagai berikut.

“ If the proper name of a period of time is used, additional restrictions come into play. Take first the names of days. The lexical items today, yesterday, and tomorrow have priority, so that for instance this Wednesday can not be uttered on Tuesday, Wednesday, or Thursday. Last Wednesday can not be uttered on Thursday to refer to previous day, but may be used to refer to the Wednesday of the preceding week. “

Sebagai contoh dalam bahasa Indonesia, dari penjelasannya, adverbia Rabu ini (this Wednesday) tidak untuk digunakan pada hari dituturkannya adverbia tersebut karena hari yang sama masih dapat diacu dengan mendahulukan penggunaan hari ini (today).

Dokumen terkait