• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

C. Demografi Masyarakat Kabupaten Barru

Dari hasil pemerolehan data sekunder, dapat ditemukan data demografi pulau Bawean sebagai berikut:

1. Jumlah Penduduk

Penduduk Kabupaten Barru berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2017 sebanyak 172.767 jiwa yang terdiri atas 83.082 jiwa penduduk laki-laki dan 89.685 jiwa penduduk perempuan. Dibandingkan dengan proyeksi jumlah penduduk tahun 2016, penduduk Barru mengalami pertumbuhan sebesar 0,5 persen dengan masing-masing persentase pertumbuhan penduduk laki-laki sebesar 0,56 persen dan penduduk perempuan sebesar 0,45 persen. Sementara itu besarnya angka rasio jenis kelamin tahun 2017 penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan sebesar 92,64.

Kepadatan penduduk di Kabupaten Barru tahun 2017 mencapai 147 jiwa/km2 dengan rata-rata jumlah penduduk per rumah tangga 4 orang. Kepadatan Penduduk di 7 kecamatan cukup beragam dengan kepadatan penduduk tertinggi terletak di kecamatan Tanete Rilau dengan kepadatan sebesar 427 jiwa/km2 dan terendah di Kecamatan Pujananting sebesar 42 jiwa/Km2. Sementara itu jumlah rumah tangga mengalami pertumbuhan sebesar 0,5 persen dari tahun 2016.

Berdasarkan hasil laporan kependudukan di Kecamatan Barru dan Kecamatan Tanete Riaja tahun 2017 bahwa jumlah penduduk adalah menunjukkan Kecamatan Tanete Riaja saat ini di huni penduduk kurang lebih 22.739 jiwa dan Kecamatan Barru 41.078 jiwa. Angka tersebut memberikan indikator pesatnya kegiatan pembangunan yang perlu di siapkan di masa yang akan datang. Secara umum kondisi kependudukan di Kecamatan Barru dan Kecamatan Tanete Riaja dapat di lihat pada penjelasan tabel berikut.

Tabel 4.1 Jumlah Dan Luas Wilayah Kecamatan Barru dan Kecamatan Tanete Riaja

No Kecamatan

Luas (km2)

Jumlah penduduk

1 Kecamatan Barru 199,32 41.078

2 Kecamatan Tanete Riaja 174,29 22.739

Jumlah 373,61 63.817

Sumber: Kantor Kecamatan Barru dan Kecamatan Tanete Riaja Kabupaten Barru 2018

Berdasarkan dari tabel 4.1, menunjukkan bahwa pada perkembangan penduduk keseluruhan yang ada di Kecamatan Barru dan Kecamatan Tanete Riaja

yaitu 63.817 dan luas wilayahnya yaitu 373,61 km2.

2. Pendidikan

Masyarakat Kabupaten Barru mempunyai semangat yang tinggi dalam persoalan pendidikan. Hal tersebut dapat ditunjukkan denga maraknya lembaga pendidikan, dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi. Selain sekolah formal, juga terdapat pesantren di hampir semua Kecamatan di Kabupaten

Barru, serta terdapat juga perguruan tinggi untuk melanjutkan pendidikan setelah SMA (Sekolah Menengah Atas).

Menurut Dinas Pendidikan Kabupaten Barru pada tahun 2017 terdapat 244 TK, 224 SD Sederajat, 52 SMP Sederajat, 29 SMA Sederajat, dan 6 Perguruan Tinggi

3. Perekonomian Masyarakat Kabupaten Barru

Wilayahnya yang subur, menjadikan Kabupaten Barru memiliki potensi serta kekayaan alam yang melimpah, diantaranya adalah sektor Industri, pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan, kerajinan, dan pariwisata. Salah satu sektor yang paling menonjol adalah sektor kelautan dan perikanan.

Garis pantainya yang membentang di wilayah barat menghadap ke Selat Makassar menjadikan Kabupaten Barru memiliki potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar. Seperti, budidaya keramba jaring apung yang menghasilkan banding dan nila merah di Kecamatan Mallusetasi, Kerang Mutiara di Pulau Panikiang. Sementara itu di Kecamatan Tanete Rilau, Barru, Soppeng Riaja dan Mallusetasi dapat dikembangkan budidaya rumput laut, kepiting dan teripang. Sedangkan budidaya kerang-kerangan juga dikembangkan di Kecamatan Balusu, Barru dan Mallusetasi.

Dilihat dari perkembangan jaman saat ini, potensi yang patut dikembangkan di Kabupaten Barru, Yaitu wisata. Di Kabupaten Barru banyak terdapat tempat-tempat wisata yang unik dan tidak kalah dengan yang ada di Kabupaten dan Provinsi lainnya. Baik berupa wisata bahari, wisata alam, dan wisata religi.

4. Agama

Hampir seluruh penduduk Kabupaten Barru memeluk agama Islam. Hal ini disebabkan oleh pengaruh kuat agama Islam sejak awal terbentuknya Kabupaten Barru.

Jumlah sarana peribadatan mengalami peningkatan yaitu 205 unit masjid tahun 1995 menjadi 223 unit tahun 2000, 237 unit tahun 2005, dan 256 unit tahun 2008. Demikian pula jumlah mushalla dan sejenisnya yang meningkat dari 49 unit tahun 1995 menjadi 52 unit tahun 2005, dan menjadi 63 unit tahun 2008. Jumlah gereja meningkat dari 2 unit tahun 1995 menjadi 3 unit tahun 2008. Pemeluk agama Islam mencapai 99 persen pada tahun 2008 dan hampir tidak mengalami perubahan dari tahun-tahun sebelumnya, selebihnya adalah pemeluk agama Kristen dan Budha. Jumlah kelompok pengajian dan majelis taklim juga mengalami peningkatan yakni dari 53 kelompok tahun 1995 menjadi 85 kelompok tahun 2008.

5. Adat-istiadat, Nilai dan Norma Sosial-budaya

Berbagai tradisi budaya telah berjalan dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Barru, namun dalam dekade terakhir jenis dan intensitasnya cenderung berkurang. Jumlah jenis tradisi dan adat istiadat dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Barru sebelum tahun 2000 sekitar 22 jenis dan pada tahun 2008 hanya 18 jenis yang bertahan. Selain itu, dari 18 jenis tersebut terdapat delapan jenis tradisi budaya dan adat istiadat yang cenderung mengalami kepunahan antara lain mallemmang, mabbette, seruling lontarak dan maggenrang riwakkang. Tradisi budaya dan adat istiadat yang masih bertahan dalam

kehidupan masyarakat antara lain budaya yang terkait dengan aktivitas pertanian dan kelautan-perikanan seperti mappalili, mappadendang, maddojabine, massure, macceratasi, dan budaya yang terkait dengan keagamaan seperti aqiqah, mabbarasanji dan massikkiri pacci. Jumlah kelompok pelestari budaya mengalami peningkatan dari 10 kelompok pada tahun 2005 menjadi 17 kelompok pada tahun 2008.

Desa Bulo-Bulo terletak di wilayah Kecamatan Pujananting Kabupaten Barru, sekitar 70 km arah tenggara dari pusat kota Barru. Desa ini berpenduduk ± 440 KK atau sekitar 1720 jiwa. Desa ini terdiri dari 6 dusun, masing-masing Dusun Kambotti, Dusun Panggalungan, Dusun Maroangin, Dusun Labaka, Dusun Taipabalirae, dan Dusun Palampang. Dulu sebelum sarana transfortasi jalan sampai ke desa itu, Desa Bulo-Bulo merupakan Desa yang sangat terpencil di Kabupaten Barru. Untuk sampai ke Desa-Bulo-Bulo sudah bisa dicapai dengan kendaraan roda empat melalui Kecamatan Tanete Riaja kemudian menuju ke Kecamatan Pujananting. Reruntuhan tebing dan bebatuan dan jurang-jurang yang menganga di tepi jalan masih sering jadi ancaman, terutama pada musin-musim penghujan.

Penduduk Desa Bulo-Bulo Kecamatan Pujananting ini tidak didominasi oleh suku Tobalo saja. Karena di sana ada juga suku lain, yaitu suku Bugis sebagai penduduk asli yang menghuni dusun-dusun yang ada di Desa Bulo-Bulo dan Suku Makassar serbagai warga pendatang. Komunitas Suku Tobalo, yang juga merupakan penduduk asli hanya berada di salah satu dusun yaitu Dusun Labakka

yang dihuni sekitar 50 KK. Di dusun Labakka ini pun tidak semua penduduknya adalah Suku Tobalo.

Menurut kepercayaan suku Tobalo bukit-bukit dan hutan serta padang sabana yang mengitari dusun ini merupakan lingkungan tempat tumbuhnya aju welenrengnge (pohon raksasa yang dalam mitologi La Galigo ditebang oleh Sawerigading untuk membuat perahunya yang digunakan berlayar ke Tanah Cina). Karena itulah, hutan pebukitan yang mengitari dusun mereka dipandang sangat keramat dan terus dijaga baik oleh pendduduk maupun oleh roh-roh nenek moyang.

Keterasingan Desa Bulo-Bulo, tempat tinggal suku Tobalo ini sejak dahulu telah tercatat dalam Lontaraq yang ditulis oleh Dulung Lamuru(1920) sebagai berikut :

I anaro kampongnge Gattareng sibawa Bulo-Bulo, tennatuoi api, tenna engkalinga sadda palungeng, tenna sabbi oni manu, tenna bokkai asu. Tau taummu, tana tanamu, mana mana’mu, nasaba Lamuru mabelai, Tanete Makawei, narekko maddarai tauwe, marakkoi darana nappa lettu ri Lamuru, narekko ri Tanete engkamuatu salo lawai, naiya kiya salo ri luppe-lupekuammatu.

Artinya :

Adapun kampung Gattareng dan Bulo-Bulo, (disana) tak hidup api, tak kedengaran bunyi lesung, tak disaksikan kokok ayam, tak digongngogi anjing. Rakyat adalah rakyatmu, negeri adalah negerimu, warisan adalah warisanmu sebab Lamuru sangatlah jauh (dari Bulo-Bulo) dan Tanete dekat. Kalau ada yang berdarah nanti

kering darahnya barulah sampai di Lamuru, sedang di tanete ada sungai yang membatastasi dapat dilompati.

Menurut sebuah cerita, populasi Suku “Tobalo” ini sangat terbatas karena jumlahnya tidak pernah lebih dari 11 orang. Manakala ada anak bayi suku Tobalo yang lahir sehingga populasinya bertambah menjadi dua belas, maka akan ada seorang kerabatnya yang meninggal sehingga jumlahnya kembali menjadi sebelas. Tak jelas apakah cerita itu benar. Yang pasti bahwa cerita ini tercatat juga pada buku informasi wisata Kabupaten Barru berjudul “Barru dalam Visualisasi” yang diterbitkan Pemda Barru tahun 1997. Selain keunikan tersebut Suku Tobalo juga dikatakan tidak mempan senjata tajam dan tidak mempan dibakar api.

Suku Tobalo memiliki ciri khas warna kulit tersendiri yang tidak sama dengan suku lain, yaitu belang-belang (Balo), sangat mirip dengan bekas luka bakar atau tersiram air panas pada sekucur tubuhnya atau seperti orang yang menderita penykit kulit. Hal ini sangat kentara terlihat pada bagian tangan, kepala/dahi dan kaki serta badan (kalau buka baju). Tapi ini bukan akibat penyakit kelainan kulit, kata Prof.Dr.H.Abu Hamid salah seorang budayawan Sulsel yang meneliti suku Tobalo. Ia menyebut bahwa gejala itu disebabkan oleh bawaan genetik (gen) dan menampik anggapan masyarakat bahwa hal itu disebabkan oleh adanya “kutukan’ dari dewata yang ditimpakan pada nenek moyang mereka di masa lalu dan menurun hingga ke generasinya saat ini. Ceritanya konon ada satu keluarga yang menyaksikan sepasang kuda belang jantan dan betina yang hendak kawin. Bukan hanya menonton, keluarga itu juga menegur dan mengusik kelakuan kedua kuda

itu. Maka marahlah dewa lantas mengutuk keluarga ini berkulit seperti kuda belang atau balo. Ada pula kisah lain yang mengatakan bahwa Suku Tobalo turun bersama kuda belang dari langit saat pertama bumi diciptakan. Karena itulah mereka juga berkulit belang.

Dalam berkomunikasi sehari-hari Suku Tobalo tidak menggunakan bahasa Bugis ataupun Bahasa Makassar. Mereka memiliki bahasa sendiri yang disebut bahasa Tobentong yang merupakan campur kodeantara bahasa Bugis, Bahasa Makassar dan Bahasa Konjo (Bahasa yang digunakan oleh komunitas Kajang). Hal ini merupakan fenomena lingualyang langka, karena dengan populasi yang boleh dihitung jari, SukuTobalo ternyata memiliki dan memelihara bahasa sendiri sebagai simbol identitas kesukuan yang mereka hormati. Meski demikian mereka juga mengenal dan mampu menggunakan bahasa Bugis, Bahasa Makassar, dan Bahasa Konjo untuk berkomunikasi dengan suku lain. Karena memiliki bahasa sendiri yang disebut bahasa Tobentong ini sebagian peneliti Suku Tobalo juga menyebut suku ini sebagai Suku Tobentong.

Sebagaimana suku-suku lain yang ada di Indonesia, Suku Tobalo juga menghormati budaya mereka dan memiliki identitas kesenian sebagai penanda kesukuan. Suku Tobalo di Kabupaten Barru sangat dikenal dengan tari Sere Api ( menari di atas api) yang pernah membawa nama Kabupaten Barru ke tingkat nasional pada even Pesona Budaya Indonesia tahun 1993 di TMII Jakarta. Tari Sere Api ini kemudian menjadi salah satu ikon Pesona Budaya kebanggaan Kabupaten Barru versi Pariwisata. Dalam Festival Internasional La Galigo yang dilaksanakan Tahun 2002 di Pancana Kabupaten Barru, tari Sere Api banyak diapresiasi kalangan

pemerhati seni budaya dari luar negeri, di samping kegiatan budaya lain seperti Mattojang dari Soppeng, Mabbissu dari Pangkep, dan Massaung.

Tari Sere Api sebenarnya adalah sebuah ritual budaya Suku Tobalo yang mengungkapkan rasa gembira kepada sang dewata atas kelahiran putra atau putri Penghulu Suku Tobalo (versi Pariwisata). Lain versi menyebutkan sebagai rasa gembira atas berhasilnya panen mereka dan merasa perlu mengungkapkannya dalam salah satu pesta panen. Karena itu tari “sere api” sering dikolaborasikan dengan ritual lain yang disebut Mappadendang (Pesta Panen).

Tari Sere Api dilaksanakan dengan terlebih dahulu membuat api unggung yang besar. Berbarengan dengan irama “Padendang” (lesung yang dipukul alu secara bertalu-talu oleh beberapa penari laki-laki dan perempuan), api yang menyala semakin menyala dan akhirnya akan meredup menjadi bara. Pada saat api sudah menjadi bara maka mulailah para penari Sere Api beraksi. Dengan gerakan ritmis mengikuti irama Padendang mereka bergantian atau bersama-sama melompat ke dalam bara api, menari-nari di atas bara. Saat mereka mulai intrancegerakan-gerakan tari mereka tak teratur lagi. Merekapun akan beraksi lebih hebat seperti memasukkan bara api dalam baju, memasukkan bara api ke dalam mulut atau menyiram tubuhnya dengan bara api. Anehnya, pada penari tak cedera apa-apa atau tak terbakar sedikitpun juga. Mereka terus menari dan menari kemudian melompat lagi masuk ke dalam bara api bergantian atau bersama-sama.

Selain “Sere Api” yang merupakan ritual kegembiraan Suku Tobalo ini sudah dipatenkan menjadi salah satu jenis tari di Sulawesi Selatan. Selain Sere Api Suku Tobalo juga memiliki kesenian Suling Lontaraq danGambusuq. Suling lontara adalah suling khas Suku Tobalo yang memiliki keunikan karena kedekatannya dengan tradisi lisan “Massureq”. Suling Lontaraq digunakan oleh masyarakat suku Tobalo untuk mengiringi teks-teks La Galigo yang dituturkan oleh penembang. Seorang seniman memainkan seruling mengiringi nyanyian dari syair-syair yang berisi cerita La Galigo dan jenis cerita Lontaraq lainnya. Sementara seni “Gambusuq” (Gambus) adalah semacam permainan seni dengan menggunakan alat musik petik Gambusuq yang dibuat sendiri. Kedua alat musik ini telah dikenal oleh Suku Tobalo sejak ratusan tahun lalu oleh para tetua adat, sehingga keduanya dikenal sebagai identitas Suku Tobalo.

Menurut seorang peneliti dari PSLG Unhas yang melakukan revitalisasi budaya di daerah itu, Suling Lontaraq dan Gambusuq saat ini sudah mulai ditinggalkan oleh generasi muda Tobalo disebabkan oleh banyak diantara mereka sudah mengenal musik-musik modern yang lebih dinamis dan profan.

6. Kondisi kebahasaan

Bahasa masyarakat Kabupaten Barru sangat mirip dengan bahasa Bugis pada umumnya yang ada di Sulawesi Selatan. Bahasa Bugis adalah salah satu dari rumpun bahasa Austronesia yang digunakan oleh etnik Bugis di Sulawesi Selatan, yang tersebar di sebagian Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Parepare, Kabupaten Pinrang, sebahagian

kabupaten Enrekang, sebahagian kabupaten Majene, Kabupaten Luwu, Kabupaten Sidenreng Rappang, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone, Kabupatent Sinjai, sebagian Kabupaten Bulukumba, dan sebagian Kabupaten Bantaeng.

Bahasa Bugis terdiri dari beberapa dialek. Seperti dialek Pinrang yang mirip dengan dialek Sidrap. Dialek Bone (yang berbeda antara Bone utara dan Selatan). Dialek Soppeng. Dialek Wajo (juga berbeda antara Wajo bagian utara dan selatan, serta timur dan barat). Dialek Barru, Dialek Sinjai dan sebagainya..

Ada beberapa kosakata yang berbeda selain dialek. Misalnya, dialek Pinrang dan Sidrap menyebut kata Loka untuk pisang. Sementara dialek Bugis yang lain menyebut Otti atau Utti, adapun dialek yang agak berbeda yakni kabupaten sinjai setiap Bahasa bugis yang mengunakan Huruf "W" di ganti dengan Huruf "H" contoh; diawa di ganti menjadi diaha.

Karya sastra terbesar dunia yaitu I Lagaligo menggunakan Bahasa Bugis tinggi yang disebut bahasa Torilangi. Bahasa Bugis umum menyebut kata Menre' atau Manai untuk kata yang berarti "ke atas/naik". Sedang bahasa Torilangi menggunakan kata "Manerru". Untuk kalangan istana, Bahasa Bugis juga mempunyai aturan khusus. Jika orang biasa yang meninggal digunakan kata "Lele ri Pammasena" atau "mate". Sedangkan jika Raja atau kerabatnya yang meninggal digunakan kata "Mallinrung".

Masyarakat Bugis memiliki penulisan tradisional memakai aksara Lontara.

Konsonan Lontara (indo’ surə’ or ina’ surə’ ) terdiri dari 23 huruf sebagai berikut:

ka ga nga ngka pa Ba ma Mpa ta Da na nra

ca ja Nya nca ya Ra la Wa sa A ha

Tabel 4.2 konsonan lontara indo’ surə’

Seperti yang sebelumnya dijelaskan, Lontara tidak memiliki tanda pemati vokal seperti halant atau virama yang umum dalam aksara-aksara Brahmi. Bunyi nasal /ŋ/, glotal /ʔ/, dan gemitasi konsonan dalam bahasa Bugis tidak ditulis (dengan pengecualian glotal awal yang menggunakan konsonan kosong "a").

Empat klaster konsonant yang sering terjadi ditulis dengan huruf spesifik, yaitu ngka , mpa , nra dan nca . "Nca" sebenarnya merepresentasikan bunyi "nyca" (/ɲca/), tetapi ditransliterasikan hanya sebagai "nca". Namun huruf-huruf tersebut tidak digunakan dalam bahasa Makassar. Huruf ha adalah tambahan baru karena pengaruh bahasa Arab.

A I U E ə o

- Tətti’ riasə’ Tətti’ riawa kəccə’ riolo kəccə’ riasə’ kəccə’ rimunri

Tabel 4.3 konsonan lontara ana’ surə’

Tanda baca vokal (ana’ surə’) digunakan untuk mengubah vokal inheren suatu konsonan. Terdapat 5 ana’ surə’, dengan /ə/ tidak digunakan dalam bahasa Makassar karena dianggap tidak memiliki perbedaan fonologis dengan vokal inheren. Tanda baca dapat dibagi menjadi dua berdasarkan bentuknya; titik (tətti’) dan aksen (kəccə’).

Dari penjabaran di atas, tidak diragukan bahwa setiap desa atau dusun di Kabupaten Barru akan mempuyai dialek yang berbeda-beda. Orang Barru dengan mudah menebak jika berkomunikasi dengan tetangga dusun atau desa, karena dialek terutama intonasi yang dibawakan berbeda-beda tiap desa bahkan tiap dusun.

Bahasa Bugis sendiri memiliki karakteristik yang berbeda. Hal ini tampak pada perbedaan dialek di Kabupaten Barru, baik berupa fonologi atau pun leksikal. Menanggapi terdapatnya perbedaan dialek tersebut, masyarakat Barru tidak menyadari adanya variasi dialek tersebut, karena selama proses komunikasi berlangsung, tidak terjadi kesalahpahaman dalam menangkap arti atau makna.

59

Kabupaten Barru memiliki tujuh kecamatan, yaitu Kecamatan Barru yang terdiri dari 10 desa, dan Kecamatan Tanete Riaja terdiri dari 7 desa. Dalam penelitian ini diambil 2 desa yang diasumsikan memiliki potensi dalam kemunculan variasi dialek baik dari segi fonologis atau pun leksikal. Dua desa tersebut adalah sebagai berikut:

a) Desa Siawung

Desa Siawung merupakan desa yang terletak di Kecamatan Barru, yang jarak dari kota ke desa ini sekitar 3 km. Desa Siawung berada pada jalur provinsi atau jalan poros Makassar - Toraja. Desa ini merupakan desa dekat dengan pinggir laut dengan jarak 4 km ke arah laut, terdapat banyak empang di sepanjang jalan poros. Di Desa Siawung lebih banyak sawahnya dari pantainya, oleh karena itu disebut agraris. Yang disayangkan jika berada di Desa ini yaitu, ada satu dusun tidak ada sinyal untuk internetan , sehingga susah untuk menjalin komunikasi melalui sosail media tapi untuk menelpon bisa. Situasi kebahasaan di Desa Siawung sama halnya dengan desa lainya. Akan tetapi ada yang sesuatu yang unik dalam segi bahasanya. Masyarakat Suwari menggunakan bahasa campuran, yaitu bahasa Makassar, Mandar, Bugis dan lainya. Untuk kebahasaan itu menggunakan Bahasa Bugis pada umunya di Kabupaten Barru.

b) Desa Lompo Riaja

Desa Lompo Riaja terletak kurang lebih 26 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Barru. Secara administratif Desa Lompo Riaja berbatasan dengan Kecamatan Pujananting dan merupakan jalan poros atau

jalan provinsi dari arah Kota Makassar ke Kabupaten Soppeng. Sebagian besar wilayah Desa Lompo Riaja adalah berupa daratan yang terdiri dari wilayah datar, dan daratan tinggi.

Mata pencaharian masyarakat Lompo Riaja adalah mayoritas bekerja sebagai Petani dan memiliki tanah yang subur sehingga bagus untuk di bidang pertanian dan perkebunan serta banyak memiliki tempat wisata yang memanjakan mata pengungjung.

Situasi kebahasaan masyarakat Lompo Riaja sama dengan Bahasa Bugis pada umumnya namun dalam intonasi cenderung panjang vokalnya, dan uniknya lagi setiap dialek yang dilakukan masyarakat Lompo Riaja itu selalu di akhiri dengan kata lanu.

61 BAB V

Dokumen terkait