• Tidak ada hasil yang ditemukan

VARIASI DIALEK BAHASA BUGIS DI KABUPATEN BARRU : KAJIAN DIALEKTOLOGI (STUDI KASUS 2 KECAMATAN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VARIASI DIALEK BAHASA BUGIS DI KABUPATEN BARRU : KAJIAN DIALEKTOLOGI (STUDI KASUS 2 KECAMATAN)"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

1

VARIASI DIALEK BAHASA BUGIS DI KABUPATEN BARRU : KAJIAN DIALEKTOLOGI (STUDI KASUS 2 KECAMATAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar

OLEH MUH. ARWAN M.

10533 8050 15

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA 2019

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

viii MOTTO

“Lele bulu tallele abiasa’ang”

Artinya : Kalau bukan kita yang berubah sendiri kita takkan berubah.

(9)

ix

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini buat:

Kedua orang tuaku, saudaraku, dan teman seperjuanganku,

atas keikhlasan dan doanya dalam mendukung penulis

(10)

x ABSTRAK

Muh. Arwan M. 2019. “Variasi Dialek Bahasa Bugis di Kabupaten Barru : Kajian Dialektologi (Studi Kasus 2 Kecamatan).” Skripsi. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Dibimbing oleh Rosmini Madeamin dan Syekh Adiwijaya Latief.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan perbedaan fonologis, perbedaan leksikal, pemetaan bahasa. Variasi dialek bahasa bugis di kabupaten barru dan Menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode cakap dengan menggunakan teknik bertemu muka dan metode simak dengan teknik simak bebas libat cakap, teknik catat, serta menggunakan teknik cross check data. Di dalam penelitian ini ditemukan bahwa kata-kata yang digunakan oleh masyarakat Kabupaten Barru kebanyakan tidak jauh berbeda dengan kata-kata dalam bahasa Bugis lainnya. Meskipun diantara dua daerah pengamatan itu memiliki beberapa kata yang berbeda tapi dalam hal berkomunikasi semua kata hampir sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) perbedaan fonologis yaitu Variasi dialek bahasa Bugis yang muncul di dua daerah pengamatan mengalami perbedaan fonologis yang terdiri dari proses perubahan fonem vokal, perubahan vonem konsonan, dan perubahan fonem vokal dan konsonan. (2) perbedaan leksikal yaitu Perbedaan yang muncul dalam pengamatan termasuk dalam beberapa kategori, yaitu penyebutan rumah dan bagian-bagiannya, peralatan, binatang, arah, pakaian, dan perihasan, gerak dan kerja, kata bilangan, dan sebagainya karena dipengaruhi faktor geografis dan lata belakang budaya. Kabupaten Barru yang mana masyarakatnya adalah Suku Bugis asli yang ada di Wilayah Sulawesi Selatan yang memiliki dialek serta logat berbeda di setiap Kecamatan bahkan Desa sekalipun yang ada di Kabupaten Barru itu sendiri. Hal tersebut yang mempengaruhi adanya berbagai variasi dialek yang muncul di wilayah Kabupaten Barru. (3) pemetaan bahasa yaitu Berian yang dipetakan berjumlah 17 berian yang terdiri atas berian yang memiliki perbedaan fonologis dan perbedaan leksikal. Oleh karena itu, 70 berian dipetakan tersebut dapat mendeskripsikan situasi kebahasaan di wilayah Kabupaten Barru. Setiap peta memuat satu berian saja, sehingga jumlah peta seluruhnya adalah 17 peta. Oleh karena itu, sangat jelas bahwa keadaan geografis dan latar belakang budaya menjadi faktor utama yang mempengaruhi dialek yang berkembang di setiap daerah.

(11)

xi

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW yang mengantarkan manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini.

Setiap orang dalam berkarya selalu mencari kesempurnaan, tetapi terkadang kesempurnaan itu terasa jauh dari kehidupan seseorang. Kesempurnaan bagaikan fatamorgana yang semakin dikejar semakin menghilang dari pandangan, bagai pelangi yang terlihat indah dari kejauhan, tetapi menghilang jika didekati. Demikian juga tulisan ini, kehendak hati ingin mencapai kesempurnaan, tetapi kapasitas dalam keterbatasan. Segala daya dan upaya telah penulis kerahkan untuk membuat tulisan ini dengan baik dan bermanfaat dalam dunia pendidikan, khususnya dalam ruang lingkup Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar.

Motivasi dari berbagai pihak sangat membantu dalam perampungan tulisan ini. Segala rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua Abd. Muin B dan Nuhriah yang telah berjuang, berdoa, mengasuh, membesarkan, mendidik, dan membiayai penulis dalam proses pencarian ilmu. Demikian pula, penulis mengucapkan kepada para keluarga yang tak hentinya memberikan motivasi dan selalu menemaniku dengan candanya, kepada Dra. Hj. Rosmini Madeamin, M.Pd, dan Syekh Adiwijaya Latief, S. Pd., M.Pd., pembimbing I dan

(12)

xii

pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan, arahan serta motivasi sejak awal penyusun proposal hingga selesainya skripsi ini.

Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih kepada; Prof. Dr. H. Abdul Rahman Rahim, M.M., Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar, Erwin Akib, S.Pd., M.Pd., Ph.D., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar, dan Dra. Munirah, M.Pd., ketua Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia serta seluruh dosen dan para staf pegawai dalam lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah membekali penulis dengan serangkaian ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi penulis.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada narasumber atas nama ibu Marlina, bapak Amir R, dan para Pemerintah serta masyarakat Kabupaten Barru yang telah memberikan izin dan bantuan untuk melakukan penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman seperjuanganku Nurul Hidayah K., S.Pd. dan teman sahabatku yang selalu menemaniku dalam suka dan duka, serta seluruh rekan mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia atas segala kebersamaan, motivasi, saran, dan bantuannya kepada penulis yang telah memberi warna yang cerah dalam hidupku.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis senantiasa mengharapkan keritikan dan sara dari berbagai pihak, selama saran dan kritikan tersebut sifatnya membangun karena penulis yakin bahwa suatu persoalan tidak akan berarti sama

(13)

xiii

sekali tanpa adanya kritikan. Mudah-mudahan dapat memberi manfaat bagi para pembaca, terutama bagi diri pribadi penulis. Amin.

Makassar, Oktober 2019

(14)

xiv DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

SURAT PERNYATAAN ... iv

SURAT PERJANJIAN ... v

KARTU KONTROL I ... vi

KARTU KONTROL II ... vii

MOTTO ... viii

PERSEMBAHAN ... ix

ABSTRAK ... x

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

(15)

xv BAB II KAJIAN PUSTAKAN

A. Kajian Pustaka ... 11

1. Penelitian Yang Relevan ... 11

2. Landasan Teori ... 13

a. Bahasa dan Dialek ... 13

b. Dialektologi ... 19

c. Penelitian Dilektologi di Indonesia ... 23

d. Pemetaan Bahasa ... 24

B. Karangka Pikir ... 26

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 28

B. Definisi Istilah ... 29

C. Sumber Data ... 29

D. Teknik Pengumpulan Data ... 30

E. Teknik Analisis Data ... 33

F. Objek Penelitian ... 34

G. Instrumen Penelitian... 34

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Geografi Kabupaten Barru ... 38

B. Sejarah Kabupaten Barru ... 43

C. Demografi Masyarakat Kabupaten Barru ... 46

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 62

B. Pembahasan ... 79

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 86

(16)

xvi DAFTAR PUSTAKA

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

4.1 Jumlah Dan Luas Wilayah Kecamatan Barru dan Kecamatan Tanete

Riaja ...47

4.2 Konsonan lontara indo’ surə’ ...57

4.3 Konsonan lontara ana’ surə’ ...58

5.1 Perbedaan Fonologis dengan Perubahan Fonem Vokal ...62

5.2 Perbedaan Fonologis dengan Perubahan Fonem Konsonan ...63

5.3 Perbedaan Fonologis dengan Perubahan Fonem Vokal dan Konsonan ...64

5.4 Perbedaan Leksikal ...67

(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR / BAGAN

Nomor Halaman

1.1 Peta Persebaran Dialek Indonesia ...15

2.1 Kerangka Berpikir ...27

4.1 Luas Wilayah Menurut Kecamatan Di Kabupaten Barru ...40

(19)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya. Oleh karena itu, masyarakatnya bukan hanya mempergunakan satu bahasa, melainkan paling sedikit dua bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah yang dipergunakan baik dalam lingkungan masyarakat maupun dalam lingkungan berkeluarga. Bahasa indonesia sesuai fungsinya menjadi bahasa nasional bagi bangsa Indonesia, Sementara bahasa daerah digunakan penutur dalam lingkungan keluarga. Fungsi bahasa daerah dalam hal ini di samping digunakan sebagai alat komunikasi, terdapat juga fungsi urgen yang menyertai yaitu sebagai alat untuk mengenalkan/menyampaikan, dan memahami nilai-nilai kearifan lokal budaya suatu daerah. Seperti diketahui bahwa setiap daerah memiliki kearifan lokal budaya yang hanya dapat dipahami dan disampaikan dengan tepat apabila menggunakan bahasa daerah setempat. Hal ini sejalan dengan pendapat Madeamin (2015: 2-3) bahwa bahasa daerah berfungsi sebagai wadah pelestarian nilai-nilai budaya yang mengandung kearifan lokal.

Indonesia memiliki banyak sekali bahasa daerah. Pada Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia, Summer Institute of Linguistic (SIL) tahun 2006 menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki bahasa terbanyak kedua di dunia dengan 743 bahasa. Hal tersebut diketahui dari adanya publikasi Bahasa-bahasa di Indonesia (Languages of Indonesia) yang dijadikan rujukan awal dalam Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia (2008: 1). Jumlah tersebut

(20)

membuat Indonesia menjadi negara yang mempunyai bahasa daerah terbanyak nomor dua setelah negara Papua Nugini yang mempunyai bahasa daerah sejumlah 820 bahasa. Sementara itu, Badan Bahasa mencatat bahasa daerah di Indonesia sebanyak 442 bahasa. Jumlah tersebut meliputi 26 bahasa di Sumatra, 10 bahasa di Jawa dan Bali, 55 bahasa di Kalimantan, 58 bahasa di Sulawesi, 11 bahasa di Nusa Tenggara Barat, 49 bahasa di Nusa Tenggara Timur, 51 bahasa di Maluku, dan 207 bahasa di Papua (2008: 19). Tidak hanya itu, Grimes (1988) menyebutkan bahwa bahasa di Indonesia tidak kurang dari 672 bahasa (dalam Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia, 2008: 1).

Bahasa mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Salah satu peran bahasa bagi manusia yaitu digunakan untuk berkomunikasi antar sesama dan menjalin hubungan sosial. Bahasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Dengan bahasa, seseorang dapat menyampaikan maksud dan keinginan kepada orang lain. Dengan kata lain, bahasa membuat seseorang dapat berkomunikasi dan beradaptasi dengan manusia lain, seperti yang diungkapkan oleh Kridalaksana (1983: 4) bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi arbitrer, yang digunakan oleh para kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri. Bahasa bersifat manusiawi, artinya bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang hanya dimiliki oleh manusia. Bahasa sendiri memiliki keragaman karena digunakan oleh masyarakat atau penutur yang heterogen serta latar belakang sosial budaya yang berbeda.

(21)

Bahasa, masyarakat, dan budaya merupakan tiga hal yang tidak dapat dipisahkan dan saling berkaitan. Jika membahas mengenai bahasa, maka secara tidak langsung bahasa yang akan dikaji tersebut berhubungan langsung dengan masyarakat, sebagai penutur bahasa tersebut. Budaya suatu daerah mempengaruhi keadaan sosial masyarakatnya, tidak terkecuali bahasa yang digunakan ketika berkomunikasi.

Pada dasarnya bahasa tersebut mempunyai dua aspek mendasar, yaitu aspek bentuk dan makna. Aspek bentuk berkaitan dengan bunyi, tulisan, dan struktur bahasa, sedangkan aspek makna berkaitan dengan leksikal, fungsional maupun gramatikal (Nababan, 1984: 13). Apabila diperhatikan dengan teliti dalam bahasa, bentuk dan maknanya menunjukkan perbedaan antar pengungkapnya, antara penutur satu dengan penutur yang lain. Perbedaan tersebut akan menghasilkan ragam-ragam bahasa atau variasi bahasa. Variasi tersebut muncul karena kebutuhan penutur akan adanya alat komunikasi dan kondisi sosial, serta faktor-faktor tertentu yang mempengaruhinya, seperti letak geografis, kelompok sosial, situasi berbahasa atau tingkat formalitas dan perubahan waktu.

Salah satu fonomena variasi bahasa adalah dialek, yaitu variasi bahasa yang kemunculannya dilatarbelakangi oleh tempat tertentu (dialek regional), kelompok bahasa dari golongan tertentu (dialek sosial), serta kelompok bahasa yang hidup pada waktu tertentu (dialek temporal) (Kridalaksana, 1993: 42). (Weijnen dkk dalam Ayatrohaedi, 1983: 1, 2002: 1 – 2) berpendapat bahwa dialek adalah sistem kebahasaan yang dipergunakan oleh satu masyarakat

(22)

untuk membedakannya dari masyarakat lain yang bertetangga dan mempergunakan sistem yang berlainan walaupun erat hubungannya. Tidak ada seorang pun penutur sebuah bahasa yang lepas sama sekali dari dialek atau variasi bahasanya ketika orang itu berbicara, saat itu pula yang bersangkutan berbicara dalam dialeknya atau variasi bahasanya. Kemunculan dialek-dialek inilah yang melahirkan suatu khasanah ilmu yang disebut dialektologi. Dialektologi merupakan ilmu tentang dialek; atau cabang dari linguistik yang mengkaji perbedaan-perbedaan isolek dengan memperlakukan perbedaan tersebut secara utuh (Mahsun, 1995: 11).

Wilayah kajian dialektologi tidak lepas dari aspek geografis atau penentuan wilayah kajian. Berkenaan dengan hal tersebut, banyak wilayah di Indonesia yang masih belum dilakukan pengkajian terhadap aspek dialeknya. Tidak diragukan lagi, Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari berbagai etnis, ras, atau suku bangsa. Setiap etnis mempunyai bahasa yang berbeda. Koentjaraningrat (2005: 195) menyatakan bahwa perbedaan ras pada berbagai suku bangsa tidak menghindari kemungkinan penggunaan bahasa walaupun mungkin berbeda-beda tetapi berasal dari keluarga bahasa yang sama. Di antara beberapa etnis yang ada di Indonesia, salah satu yang memiliki keragaam bahasa adalah wilayah Sulawesi Selatan. Wilayah Sulawesi Selatan tidak hanya dihuni oleh beberapa etnis diantaranya yaitu, Toraja, Mandar, Bima, Dompu, Makassar, Kan tetapi ada suku lain antara lain yaitu Bugis dan Barru.

(23)

Kabupaten Barru adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Kota Barru. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.174,72 km² dan berpenduduk sebanyak 159.235 jiwa (2006).

Dilihat dari segi bahasa, bahasa Bugis Barru sangat mirip dengan bahasa Bugis Sidrap, Pinrang, Parepare, Soppeng, Bone, Wajo, dan Palopo. Hal tersebut karena Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. diidentifikasikan menjadi salah satu suku resmi dalam lingkup negara Republik Indonesia. Maka muncul dan terkenallah Suku Bugis di Indonesia; bahkan di seluruh dunia.

Dengan adanya hal tersebut, Bahasa Suku Bugis memiliki bahasa sendiri, dan dilengkapi dengan huruf sendiri yang disebut huruf lontara’. Bahkan uniknya, logat bahasa Bugis berbeda di setiap wilayahnya; ada yang kasar dan ada yang halus yang mengakibatkan dialek bahasa Bugis bervariasi.

Bahkan setiap desa ataupun kelurahan mempunyai dialek ataupun intonasi yang berbeda dalam penyampaiannya. Letaknya di Desa Bulo-Bulo Kec. Pujananting, Kab. Barru, Terdapat suku To Balo mempunyai keunikan tersendiri, mempunyai tampilan kulit yg tidak seperti masyarakat lain pada umumnya. Mereka mempunyai kulit yang unik. Orang dari keturunan kelompok ini mempunyai rupa kulit tidak lazim sekujur tubuh khususnya kaki,

(24)

badan, serta tangannya, dipenuhi dengan bercak putih. Sementara pas ditengah dahi mereka, bercak itu juga terpampang hampir membentuk segitiga. Oleh karena itu nama kelompok mereka di kenal juga sebagai To Balo, TO bermakna orang, dan Balo bermakna belang, jadi bila di artikan to balo bermakna Manusia belang. Suku Tobalo menggunakan bahasa yang disebut bahasa bentong yang mereka gunakan dalam berinteraksi di kehidupan sehari-hari. Bahasa ini merupakan bahasa gabungan antara bahasa Makassar, Bugis dan Konjo.

Selain itu masih banyak yang variasi bahasa yang lainnya. Usaha untuk membina dan memelihara bahasa daerah, yaitu dengan membuat peta bahasa, sehingga lokasi bahasa itu jelas. Keberadaan peta dalam dialektologi sangat penting, karena berkaitan dengan upaya memvisualisasikan data lapangan ke dalam bentuk peta agar data itu tergambar dalam peta prespektif yang bersifat geografis serta memvisualisasikan pertanyaan-pertanyaan umum yang dihasilkan berdasarkan distribusi geografis, perbedaan-perbedaan (unsur kebahasaan) yang lebih dominan dari wilayah yang dipetakan (Mansun, 1995: 58).

Penelitian dengan judul Variasi Dialek Bahasa Bugis di Kabupaten Barru:Kajian Dialektologi (studi kasus 2 kecamatan) ini menarik untuk dikaji karena di Kabupaten Barru memiliki variasi dialek yang berbeda-beda di tiap desa. Keberagaman tersebut tampak disebabkan adanya faktor geografis dan budaya, selain itu akan dibahas mengenai variasi dialek yang muncul di Kabupaten Barru, serta akan dibuat pemetaan variasi dialek. Relevansi

(25)

penelitian ini dengan pendidikan dan pengajaran erat sekali, karena peta bahasa dapat memudahkan guru dan peserta didik mengetahui lokasi bahasa daerah serta variasi-variasi dialek bahasa di suatu daerah. Demikian juga relevansi pemetaan bahasa dengan teori linguistik erat sekali, karena pemetaan bahasa tidak terlepas dari unsur bahasa, seperti unsur leksikal, fonemis, dan semantik.

Kabupaten Barru terdiri atas tujuh kecamatan, dua diantaranya menjadi objek penelitian. Di dalam penelitian ini akan dibagi menjadi dua kecamatan, yakni kecamatan Tanete Riaja dan kecamatan Barru. Masing-masing kecamatan terdiri atas satu kelurahan/desa yang akan dijadikan sebagai daerah penelitian, antara lain yaitu kelurahan Lompo Riaja dan, desa Siawung. Penggunaan bahasa bugis setiap kecamatan bahkan desa sekalipun itu memilki perbedaan fonologi baik dari segi penambahan fonem, pelepasan fonem dan pergantian fonem. Hal itu disebabkan karena adanya gejala geografis dan budaya yang mempengaruhi tindak tutur seseorang. Hal lain yang sering menyebabkan juga yakni adanya campur kode dan alih kode bahasa Indonesia serta bahasa daerah lainnya yang dbawa oleh pendatang baru.

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam perkembangan sebuah bahasa selalu dilatarbelakangi oleh budaya penuturnya (Hymes, 1983: 67). Oleh karena itu, deskripsi kebudayaan suatu masyarakat dapat diketahui melalui pengetahuan bahasa, karena penutur suatu bahasa memiliki kemampuan untuk menyajikan suatu uraian tentang cara kerja bahasa, sebagai suatu system komunikasi yang simbolis dalam masyarakat yang bersangkutan (Robins,1992: 489). Fenomena di atas sangat menarik untuk dilakukan pengkajian lebih lanjut

(26)

mengenai Dialek bahasa Bugis di Kabupaten Barru, dengan melihat pada aspek fonologis dan leksikal serta memetakan dialek yang muncul di sana, karena masih jarang ada penelitian mengenai dialek bahasa Bugis di Kabupaten Barru dengan melihat aspek fonologis dan leksikal.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah perbedaan fonologis variasi dialek bahasa Bugis di Kabupaten Barru?

2. Bagaimanakah perbedaan leksikal variasi dialek bahasa Bugis di Kabupaten Barru?

3. Bagaimanakah pemetaan penggunaan variasi dialek bahasa Bugis di Kabupaten Barru?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk:

1. Mendeskripsikan perbedaan fonologis variasi dialek bahasa Bugis di Kabupaten Barru.

2. Mendeskripsikan perbedaan leksikal variasi dialek bahasa Bugis di Kabupaten Barru.

(27)

3. Mendeskripsikan dan menggambarkan pemetaan penggunaan variasi dialek bahasa Bugis di Kabupaten Barru.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Manfaat teoritis dari Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dalam pengembangan bahasa, khususnya bahasa pada masyarakat Kabupaten Barru. Serta dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang perbedaan fonologis dan leksikal di Kabupaten Barru. Penelitian ini diharapkan dapat memberi wawasan pengetahuan terutama dalam bidang kebahasaan bagi pihak yang berkicimpung dalam dunia linguistik khususnya di bidang dialektologi.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan data atau informasi baru tentang :

a. Perkembangan bahasa bugis di Kabupaten Barru.

b. Masyarakat dapat mengetahui berbagai variasi dialek bahasa Bugis umumnya dan khususnya di dua kecamatan di Kabupaten Barru.

c. Menjadi acuan bagi semua pihak yang ingin mengkaji penelitian ini lebih lanjut.

(28)

d. Masukan kepada pemerintah, khususnya Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap pembinaan bahasa-bahasa daerah di Indonesia.

(29)

11 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

Keberhasilan sebuah penelitian bergantung pada teori yang mendasarinya. Teori merupakan landasan dari sebuah penelitian. Suatu penelitian yang berkaitan dengan kajian pustaka yang mempunyai koherensi dengan masalah yang dibahas.

1. Penelitian yang relevan

Penelitian ini merujuk pada beberapa penelitian sebelumnya, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Yossi Rosa Adha pada tahun 2011 dari Departemen Sastra Indonesia Fakultas ilmu Budaya Universitas Airlangga. Penelitian tersebut berjudul “Bahasa Jawa Dialek Gresik: Kajian Morfofonemik”. Dalam penelitiannya menemukan variasi dialek masyarakat Gresik dalam berbahasa Jawa dengan melihat aspek morfofonemik. Selain itu, penelitian ini juga menemukan gejala perubahan fonem serta penghilangan fonem.

Penelitian selanjutnya yang dilakukan Rizka Widayani pada tahun 2015 dengan judul“Variasi Dialek Bahasa Jawa di Wilayah Kabupaten Lamongan: Kajian Dialek Geografis”. Penelitian tesebut dijelaskan bahwa terdapat keberagaman leksikal yang muncul dari perbedaan fonologis dan

(30)

leksikal dialek yang terdapat di Kabupaten Lamongan. Penelitian ini juga menyajikan sebuah peta dari berbegai Wilayah di Kabupaten Lamongan.

Dan Penelitian yang terakhir dilakukan oleh Ika Mamik Rahayu pada tahun 2012 dalam skripsinya yang berjudul “Variasi Dialek Bahasa Jawa di Wilayah Kabupaten Ngawi: Kajian Dialektologi”. Di dalam peneltian ini dijelaskan bahwa di wilayah Ngawi terdapat variasi dialek bahasa Jawa yang ditunjukkan melalui pendeskripsian dalam bidang fonologis dan leksikalnya serta membuat peta variasi dialek bahasa Jawa di wilayah kajiannya. Penelitian ini menemukan bahwa di wilayah Ngawi, dialek yang digunakan mengacu pada dialek Jawa Tengah meskipun sebenarnya Ngawi termasuk dalam wilayah Jawa Timur.

Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan, penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya, karena mengambil wilayah penelitiaan yang berbeda serta kajian yang berbeda. Penelitian ini mengambil lokasi penelitian di 2 kecamatan di Kabupaten Barru. Penelitian ini akan mengkaji perbedaan fonologis dan leksikal bahasa Bugis. Akan tetapi, metode dan teori yang digunakan dalam penelitian ini sama dengan metode yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya yaitu Widayani Rizka yakni menggunakan penelitian kualitatif deskriptif.

Berdasarkan penelitian yang relevan di atas, maka peneliti beranggapan bahwa terdapat persamaan penelitian bahasa yang akan dilakukan yakni meneliti tentang Variasi bahasa.

(31)

2. Landasan Teori

a. Bahasa dan Dialek

Sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa bahasa dan dialek adalah sesuatu yang memiliki pengertian yang sama dan dapat dipertukarkan maknanya. Padahal, bahasa dan dialek memiliki perbedaan dari segi pengertian atau definisi. Tentu saja, untuk mengubah anggapan tersebut perlu adanya pemahaman bersama terkait bahasa dan dialek. Menurut J.K Chambers dan Peter Trudgill (2004: 3), dialek adalah sub bagian dari bahasa yang dapat membedakan satu bahasa dengan bahasa lain, sedangkan bahasa adalah kumpulan pemahaman bersama dari beberapa dialek. Dalam hal ini, bahasa dan dialek mempunyai beda tingkatan. Dapat dikatakan, dialek adalah bagian dari bahasa dan bahasa adalah kumpulan dari dialek itu sendiri.

Selain itu, istilah variasi bahasa digunakan untuk menjelaskan hubungan yang murni dalam memakai berbagai bentuk bahasa dan dapat dianggap sebagai satu identitas tersendiri. Contoh dari variasi ini dapat terlihat dalam bahasa daerah di Indonesia. Misalnya, bahasa Jawa yang mempunyai variasi bahasa Jawa ngapak. Bahasa Jawa ngapak ini adalah variasi dari bahasa Jawa, tetapi keberadaan bahasa Jawa ngapak ini membentuk identitas tersendiri yang berbeda dengan bahasa Jawa standar.

(32)

Tidak hanya itu, pemahaman masyarakat mengenai aksen dan dialek juga masih tumpang tindih. Memang, pemahaman terkait aksen dan dialek ini juga masih belum diketahui secara jelas oleh masyarakat. Bahkan, antara bahasa, aksen, dan dialek masih banyak yang belum mengetahui apakah ketiganya adalah bentuk yang sama atau bentuk yang berbeda. Meskipun ada yang telah mengetahui ketiganya adalah bentuk yang berbeda, tetapi perbedaan di antara ketiganya masih sering keliru atau malah tidak tahu. Menurut J.K Chambers dan Peter Trudgill (2004: 4—5), aksen dapat dikaitkan dengan cara penutur mengungkapkan atau melafalkan bahasa tersebut. Oleh karena itu, aksen juga dapat merujuk kepada perbedaan variasi secara fonologis dari variasi yang lainnya. Sebaliknya, dialek lebih mengarah kepada perbedaan variasi dalam bentuk gramatikal, terutama unsur leksikal sama seperti perbedaan variasi fonologis dari variasi yang lain.

Sementara itu, Ayatrohaedi (2002: 2) mengungkapkan ciri utama dialek adalah perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan. Selain itu, Ayatrohaedi juga mengungkapkan ciri lain dialek adalah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, memiliki ciri umum, dan lebih mirip dengan sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dalam bahasa yang sama. Ciri terakhir dari dialek adalah dialek tidak harus mengambil bentuk ujaran dari sebuah bahasa. Ciri dialek tersebut dapat dirangkum menjadi sebuah bentuk

(33)

ujaran yang dipakai masyarakat tertentu yang memiliki perbedaan dengan daerah lain, tetapi masyarakat dengan bahasa yang sama masih bisa mengetahui bahasa tersebut.

Kemudian, adanya perbedaan dialek dapat dilihat berdasarkan letak geografi, sosial, dan politik persebaran bahasa tersebut. Dari sisi letak geografi, bisa saja dialek terbagi menjadi beberapa kelompok tergantung dari posisi wilayah persebarannya. Misalnya, Penelitian untuk pemetaan bahasa di Indonesia yang dilaksanakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dilakukan sejak 1991 hingga 2017. Bahasa daerah (tidak termasuk dialek dan subdialek) di Indonesia yang telah diidentifikasi dan divalidasi sebanyak 668 bahasa dari 2.468 daerah pengamatan. Jika berdasarkan akumulasi persebaran bahasa daerah per provinsi, bahasa di Indonesia berjumlah 750. Bahasa di wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat belum semua teridentifikasi.

(34)

Sementara itu, sifat lokal (unik) bahasa dapat ditemui pada setiap daerah dan waktu serta individu. Lingua franca Indonesia adalah bahasa Indonesia, tetapi cara setiap orang Indonesia menggunakan bahasa Indonesia dapat kita tentukan asal-usul daerah. Cara orang Ambon berbeda dengan orang Betawi dalam mengungkapkan sesuatu dalam Bahasa Indonesia. Begitu juga halnya dengan orang Minahasa, Madura, Batak, Jawa, dan sebagainya. Keunikan itu pada akhirnya membentuk aksen, logat atau dialek yang disebut juga dengan idiolek-idiolek.

Bahasa Indonesia dengan dialek Betawi dapat kita temui pada Mandra yang terkenal dengan sinetronnya Si Doel Anak Sekolahan. Bahasa Indonesia dengan dialek Madura diwakili oleh Kadir dalam sinetron Kanan Kiri Oke. Bahasa Indonesia dengan dialek Batak diwakili oleh Si Raja Minyak yang diperankan oleh Ruhut Sitompul dalam sinetron Gerhana, dan sebagainya. Pada hierarki ini, bahasa Melayu salah satu bahasa daerah berkedudukan unggul, karena penjelmaannya di tingkat nasional sebagai bahasa Indonesia, bahasa nasional. (Indonesiam Heritage, Jilid 10, 2002). Bahasa Melayu adalah salah satu bahasa daerah yang memiliki wilayah persebaran yang cukup luas. Ada bahasa Melayu Riau, bahasa Melayu Jambi, dan bahasa Melayu Langkat.

Demikian juga halnya dengan bahasa Jawa, ada bahasa Jawa Surakarta, bahasa Jawa Banyumas, dan bahasa Jawa Surabaya.

(35)

Kondisi yang sama kemungkinan besar akan ditemukan pada bahasa daerah lainnya. Apakah yang membedakan bahasa Melayu Langkat dengan Melayu Riau? Apakah yang membedakan bahasa Jawa Surakarta dengan bahasa Jawa Banyumas? Yang membedakan adalah variasi mereka dalam mengucapkannya yang pada akhirnya melahirkan logat, dialek atau aksen bahasa.

Satu bahasa daerah (bahasa suku bangsa) sangat mungkin memiliki beberapa dialek. Dengan demikian, jumlah dialek sudah pasti lebih banyak daripada jumlah bahasa yang ada di Indonesia. Keberadaan dialek memperjelas teori yang menyatakan bahwa bahasa amat erat hubungannya dengan keadaan alam, suku bangsa, dan keadaan politik di daerah-daerah yang bersangkutan. Variasi berbahasa, dialek, logat atau aksen dimiliki setiap orang, bahkan tanpa disadari melekat dalam diri setiap orang dan nampak ketika mengucapkan kata-kata dalam bahasa daerah ataupun bahasa nasional.

Bahasa nasional adalah bahasa Indonesia, tetapi cara-cara setiap suku bangsa Indonesia dibedakan oleh aksen, logat atau dialek. Dialek orang Ambon menggunakan bahasa Indonesia sangat berbeda dengan orang Jawa, Madura, Mingkabau, Batak, Melayu, dan sebagainya. Bahkan bagi orang-orang yang sudah mengenal berbagai suku bangsa Indonesia, dari dialeknya mengucapkan kata-kata dalam bahasa Indonesia, dapat mengetahui asal – usul daerah dan suku bangsanya.

(36)

Setiap orang sangat dipengaruhi oleh letak geografis, politik, ekonomi dan adat istiadat dalam berbahasa, sehingga muncullah dialek dalam berbahasa. Salah satu sarana untuk mengetahui dan mendengar dialek bahasa adalah tradisi lisan.

Secara sederhana dapat disimpulkan, bahasa melahirkan dialek yang dipelihara, dikembangkan dan diwariskan melalui tradisi lisan. Perkembangan suatu bahasa, dialek, dan tradisi lisan dapat menuju kepada dua arah, yaitu menjadi lebih luas daerah pakainya.

Bahkan mungkin dapat menjadi bahasa baku, ataupun sebaliknya, yakni malah dapat lenyap sama sekali. Baik perkembangannya yang membaik maupun yang memburuk, semuanya itu selalu kembali kepada faktor-faktor penunjangnya, yaitu apakah itu faktor kebahasaan ataukah faktor luar bahasa. Contoh perkembangan membaik, misalnya saja adalah diangkat dan diakuinya bahasa dan dialek Sunda kota Bandung sebagai bahasa Sunda baku dan bahasa sekolah di Jawa Barat, serta bahasa Jawa kota Surakarta sebagai bahasa baku Jawa dan bahasa sekolah di Jawa Tengah. Contoh perkembangan memburuk, misalnya adalah lenyapnya bahasa dan dialek Sunda di kampung Legok Indramayu, yang sekarang hanya dapat menggunakan bahasa Jawa Cirebonan.

Kelenyapan bahasa dan dialek ini sebenarnya merupakan keadaan yang paling buruk yang pernah dialami oleh sesuatu bahasa ataupun dialek. Perkembangan membaik mungkin terjadi pada

(37)

bahasa, dialek dan tradisi lisan dengan jumlah penutur di atas 1.000.000 (satu juta orang). Kekhawatiran perkembangan memburuk sangat mungkin terjadi pada bahasa, dialek, dan tradisi lisan dengan jumlah penutur yang sedikit (di bawah satu juta orang) dan diancam bahaya kepunahan.

Di dalam masyarakat Indonesia terdapat berbagai macam dan ragam bahasa, dialek, dan tradisi lisan. Perbedaan-perbedaan tersebut jika tidak dikelola secara baik dapat menimbulkan perpecahan dan konflik dengan mewujudkan pengembangan sikap positif terhadap keadaan dan situasi yang kurang menguntungkan, mengevaluasi dan berusaha mencari hikmah untuk menemukan cara terbaik melestarikan bahasa, dialek dan tradisi lisan yang ada di Indonesia.

b. Dialektologi

Istilah dialektologi berasal dari kata dialect dan kata logi. Kata dialect berasal dari bahasa Yunani dialektos. Kata dialektos digunakan untuk menunjuk pada keadaan bahasa di Yunani yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan kecil dalam bahasa yang mereka gunakan. Adapun kata logi berasal dari bahasa Yunani logos, yang berarti ‘ilmu’. Gabungan dari kedua kata ini berserta artinya membawa pengertian dialektologi sebagai ilmu yang memepelajari suatu dialek saja dari suatu bahasa dan dapat pula mempelajari dialek-dialek yang ada dalam suatu Bahasa.

(38)

Dialektologi merupakan cabang linguistik yang mempelajari variasi bahasa. Yang dimaksud dengan variasi bahasa adalah perbedaan-perbedaan bentuk yang terdapat dalam suatu bahasa. Perbedaan-perbedaan tersebut mencakup semua unsur kebahasaan, yaitu fonologi, morfologi, leksikon, sintaksis, dan semantik. Dalam bidang fonologi, perbedaan tersebut dapat berupa perbedaan bunyi (lafal) dan dapat pula berupa perbedaan fonem. Dalam bidang morfologi perbedaan tersebut dapat berupa afiks (prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks), pronominal, atau kata penunjuk. Dalam bidang sintaksis, perbedaan itu berupa struktur kalimat atau struktur frasa. Dan dalam bidang semantik, perbedaan itu berupa makna, tetapi makna tersebut masih berhubungan atau masih mempunyai pertalian, makna yang digunakan pada titik pengamatan tertentu dengan makna yang digunakan pada titi pengamatan yang lainnya masih berhubungan.

Dari sekian banyak daerah, pasti masing-masing daerah memiliki variasi bahasa. Variasi ini dapat berupa perbedaan ucapan seseorang dariwaktu ke waktu atau dari satu tempat ke tempat lain. Variasi bahasa ini memperlihatkan pola tertentu yang dipengaruhi oleh pola sosial, yang bersifat kedaerah dan geografis. Di samping itu, perbedaan tersebut tidak hanya terjadi pada tataran bunyi saja, akan tetapi pada beberapa tataran linguistik lainnya. Cabang ilmu linguistik yang mempelajari variasi bahasa ini disebut sebagai dialektologi.

(39)

Dialektologi merupakan ilmu yang mengkaji perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang berkaitan dengan faktor geografis, yang salah satu aspek kajiannya adalah pemetaan perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang terdapat di antara daerah pengamatan dalam penelitian (Mahsun, 1995: 20).

Pengunaan bahasa dapat dilihat dari segi tempat. Karena itulah, letak suatu daerah yang tidak sama dapat mempengaruhi bahasa yang dipergunakan. Bahasa yang dipergunakan bisa saja memiliki perbedaan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Hal tersebut dapat mengakibatkan timbulnya berbagai dialek yang ada di wilayah berbeda. Dialek-dialek bahasa juga dapat dibedakan menjadi dialek yang bersifat horisontal dan vertikal. Dialek yang bersifat horisontal menunjukkan variasi bahasa yang bersifat geografis, perbedaan antara satu bahasa daerah bahasa lain dalam lingkungan satu masyarakat bahasa. Sifat dialek ditentukan oleh variasi berbahasa dalam satu masyarakat bahasa yang bersifat sosial. Secara tidak langsung dari pengertian tersebut, dialek bahasa yang bersifat horizontal menunjukkan adanya satu bahasa yang dapat memiliki beberapa dialek yang terbesar secara geografis. Dan dialek bahasa yang bersifat vertical ditentukan oleh variasi berbahasa dalam satu masyarkat bahasa yang bersifat sosial.

Pada dasarnya dialek yang satu berbeda dengan dialek yang lain karena masing-masing memiliki kekhasan yang bersifat lingual.

(40)

Kekhasan inilah yang menjadi pembeda bagi dialek-dialek tersebut. Mahsun (1995: 23) menguraikan perbedaan unsur kebahasaan sebagai berikut:

1. Deskripsi perbedaan fonologi

Perbedaan fonologi di sini terkait dengan perbedaan dari segi fonetiknya.

2. Deskripsi perbedaan morfologi

Menyangkkut semua aspek dalam morfologi. Perbedaan ini dapat menyangkit aspek afiksasi atau reduplikasi.

3. Deskripsi perbedaan sintaksis

Berkaitan dengan perbedaan yang terdapat pada seluruh aspek kajian sintaksis yang ditemukan dalam bahasa yang diteliti. Perbedaan tersebut menyangkut perbedaan struktur bahasa ataupun frasa yang digunakan untuk menyatakan makna yang sama. 4. Deskripsi perbedaan leksikon

Leksem-leksem yang digunakan untuk merealisasikan suatu makna yang sama tidak berasal dari satu etymon prabahasa. Semua perbedaan bidang leksikon selalu berupa variasi.

5. Perbedaan semantik

Perbedaan semantik memiliki pertalian antara makna yang digunakan pada daerah pengamatan tertentu dengan makna yang digunakan pada daerah pengamatan lainnya.

(41)

Berdasarkan uraian perbedaan kebahasaan di atas, yang akan dikaji dalam penelitian ini terbatasa pada deskripsi perbedaan fonologis dan leksikal. Hal tersebut dikarenakan aspek perbedaan fonologi dan leksikallah yang sesuai dengan wilayah kebahasaan. c. Penelitian Dialektologi di Indonesia

Lauder (2007: 48) mengungkapkan bahwa penelitian dialektologi di Indonesia mulai dari awal kemunculannya pada tahun 1951 hingga tahun 2007 sudah menghasilkan 140 penelitian. Akan tetapi, dari banyaknya penelitian dialektologi yang sudah dihasilkan hanya ada 41 naskah yang berhasil diterbitkan. Sebagian besar penelitian dialektologi masih berpusat di Pulau Jawa dibandingkan penelitian di daerah lainnya. Hal tersebut terlihat dari rekapitulasi penelitian dialektologi yang menempatkan penelitian Pulau Jawa sebagai penelitian dengan persentase terbesar, yaitu 47,85%. Posisi berikutnya disusul oleh penelitian di Pulau Sumatera dengan persentase sebesar 17,14%. Jika dicermati secara mendalam, perolehan angka persentase Pulau Jawa dan Pulau Sumatera sangat berbeda jauh.

Hal ini memperlihatkan menumpuknya penelitian dialektologi di Pulau Jawa dan jarangnya penelitian di daerah lainnya. Kemudian, penelitian dialektologi terbanyak nomor tiga adalah penelitian di Pulau Sulawesi dengan persentase sebanyak 12,85%. Berikutnya, penelitian dialektologi di Pulau Bali memperoleh angka sebanyak

(42)

10,71%. Selanjutnya, Nusa Tenggara Barat dan Timur menduduki peringkat lima sebesar 6,42%. Tiga pulau yang masih belum banyak penelitian dialektologi adalah Pulau Kalimantan dengan perolehan persentase 3,57% dan Pulau Maluku termasuk Pulau Irian 0,71%. Dari semua penelitian dialektologi tersebut, kurang lebih 30 buah bahasa beserta dialek-dialeknya yang berhasil didokumentasikan melalui penelitian metode ini. Tentu saja, angka tersebut merupakan angka yang sangat kecil bila dibandingkan bahasa yang terdapat di Indonesia yang mencapai ratusan. Hal ini menandakan bahwa penelitian dialektologi di Indonesia masih membutuhkan perhatian yang lebih besar lagi, terutama di daerah-daerah yang masih memperoleh persentase yang kecil. Meskipun demikian, penelitian dialektologi di Pulau Jawa juga masih harus digali lebih mendalam walaupun tingkat persentasenya sudah besar. Namun, akan lebih baik dan jauh lebih diprioritaskan bila penelitian dilakukan di luar Pulau Jawa. Hal yang perlu dihindari peneliti saat ingin melakukan penelitian dialektologi adalah melakukan penelitian bahasa yang telah diteliti. Hal tersebut disebabkan masih banyak bahasa di Indonesia yang masih belum terdokumentasikan dan memerlukan untuk dilakukan penelitian. d. Pemetaan Bahasa

Hal pertama yang akan dilakukan peneliti adalah menyiapkan daftar tanyaan. Daftar tanyaan yang akan ditanyakan kepada informan adalah kosakata dasar Swadesh dan kosakata budaya bidang bagian

(43)

peralatan dan perlengkapan. Setelah daftar tanyaan selesai dibuat, peneliti akan menentukan titik pengamatan dan mendatangi titik pengamatan tersebut. Kemudian peneliti akan menentukan informan yang sesuai dengan kriteria penelitian dialektologi. Pada penelitian ini, peneliti memilih satu informan di setiap kecamatan yang ada di Kabupaten Barru. Kemudian peneliti akan menyiapkan peta dasar Kabupaten Barru. Data penelitian yang diperoleh dimasukkan ke dalam peta dasar yang telah dibuat. Peta bahasa tersebut dibuat dalam peta bahasa bentuk lambang.

Pembuatan peta kebahasaan juga akan dilakukan pada pencarian perbedaan terhadap aspek fonologis dan leksikal, Sesuai dengan objek kajia nnya yang berupa perbedaan unsur-unsur kebahasaan karena factor geografis. Kedudukan dan peranan peta bahasa di dalam geografi dialek sangatlah penting. Gambaran umum mengenai sejumlah dialek baru akan tampak jelas jika semua gejala itu dipetakan. Peta bahasa tersebut berisi mengenai perbedaan maupun persamaan yang terdapat di antara dialek-dialek tersebut. Menurut Trudgill (2004: 29).

Pemetaan sebagaimana disinggung sebelumnya sangat penting dalam menampilkan gejala kebahasaan. Artinya, pemetaan dan kajian geografi dialek merupakan suatu kesatuan antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Ayatrohaedi (1983, 31 – 32) berpandangan bahwa peta bahasa atau peta dialek merupakan alat bantu untuk

(44)

menggambarkan kenyataan yang terdapat dalam dialek-dialek, baik itu persamaan maupun perbedaan di antara dialek-dialek tersebut. Peta bahasa bisa berupa peta peragaan (display maps) dan peta tafsiran (interpretive maps). Peta peragaan sungguh-sungguh mentransfer jawaban tertabulasi untuk masalah tertentu ke atas peta, yang meletakkan tabulasi ke perspektif geografis. Peta tafsiran mencoba membuat pernyataan yang lebih umum dengan menunjukkan distribusi variasi utama dari satu daerah ke daerah lain (Chambers dan Trudgill, 1980: 29).

B. Kerangka Pikir

Berdasarkan pembahasan teoritis diatas. Pembahasan berikut akan di uraikan kerangka pikir yang melandasi penelitian ini. Adapun landasan berpikir dalam penelitian ini yaitu ingin merepresentasikan Variasi dialek bahasa Bugis di Kabupaten Barru: Kajian Dialektologi (studi kasus 2 kecamatan). Bahasa Daerah (Bugis) merupakan bahasa pertama atau bahasa ibu, Jadi ketika ada kontak bahasa atau Dialek yang terjadi maka akan menimbulkan perubahan fonem maupun kata.

Bahasa Bugis merupakan Bahasa komunikasi mayoritas penduduk Kabupaten Barru. Oleh karena itu, penggunaan bahasa Bugis sangat sulit dipisahkan dari kehidupan penduduk Kabupaten Barru. Perubahan wujud fonem dalam bahasa Bugis dapat terjadi tanpa disadari oleh penutur bahasa Bugis. Hal ini diakibatkan oleh adanya factor yang bersumber dari lingkungan masyarakat,

(45)

situasi dan waktu. Untuk lebih jelasnya, kerangka pikir yang akan menjadi dasar dalam penelitian dapat dilihat pada bagan sebagai berikut.

Bagan 2.1 Kerangka Pikir

Bahasa Bugis

Kecamatan

Soppeng Riaja Fonologi

Leksikal Kecamatan Barru Kabupaten Barru Penambahan Fonem Pergantian Fonem Pelesapan Fonem Pemetaan Bahasa

(46)

28 BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif, karena penelitian ini berusaha mendeskripsikan situasi kebahasaan pada masyarakat Kabupaten Barru yang muncul pada bentuk leksikal, bentuk fonologis dan peta bahasa. Metode yang digunakan adalah metode dialektologi yang terdiri atas tiga tahap, (1) tahap pemerolehan data, (2) tahap analisis data, (3) tahap penyajian analisis data (Mahsun, 1995: 93).

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif kualitatif, yakni sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata yang menunjukkan variasi bahasa Bugis: Kajian Dialektologi. Langkah awal ialah mengumpulkan data. Data yang terkumpul diolah secara deskriptif sesuai dengan tujuan penelitian. Oleh sebab itu, peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas sehingga dapat memudahkan peneliti dalam pencarian dan pengumpulan data, penganalisisan, dan pengolahan objek yang akan diteliti. Keirl dan Miler (dalam Moleong, 2002: 22) mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan, manusia, kawasannya sendiri, dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya.

(47)

B. Definisi Istilah

Definisi istilah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu analisis perubahan fonologi dan leksikal dalam Bahasa Bugis, antara lain:

1. Perubahan fonem 2. Penutur bahasa Bugis 3. Penambahan fonem 4. Pelesapan fonem 5. Pergantian fonem

C. Sumber Data

Sumber data penelitian berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data utama berupa data lingual, budaya, dan sejarah yang diperoleh peneliti melalui teknik pengumpulan data di lapangan. Pemerolehan data ini dengan melakukan wawancara pada informan dan menyadap pembicaraan pembicaraan penduduk setempat. Data sekunder merupakan data pendukung berupa peta dasar monografi, batas wilayah, kondisi sosial kultural masyarakat Kabupaten Barru, dan keadaan geografis yang diperoleh dari instansi terkait serta pustaka dari penelitian-penelitian sebelumnya mengenai dialek.

(48)

D. Teknik Pengumpulan Data 1. Penentuan Daerah Pengamatan

Hal utama untuk menentukan daerah penelitian adalah; keadaan geografis, kependudukan, tinjauan sejarah, keadaan kebahasaan, dan kajian sebelumnya (Ayatrohaedi, 1979: 36-37). Kependudukan berarti penduduk di daerah pengamatan harus memiliki mobilasi yang rendah, berpenduduk maksimal 6000 jiwa (Mahsun, 1995: 103), serta memiliki kesamaan dalam bidang budaya, etnis, agama, dan sosial (Ayatrohaedi, 1979: 36).

Keadaan geografis diperlukan untuk menentukan daerah pengamatan karena keadaan geografis di Kabupaten Barru yang sebagian berada di dekat-dekat pantai dan pegunungan, sehingga memungkinkan timbulnya situasi kebahasaan yang berbeda-beda di setiap wilayahnya. Dari tujuh Kecamatan di Kabupaten Barru, Kecamatan yang akan dijadikan objek penelitian antara lain yaitu Kecamatan Tanete Riaja dalam hal ini Kelurahan Lompo Riaja, Desa Siawung.

2. Pemilihan Informan

Menurut Djadjasudarma (1993: 20) bahwa informan dapat dipilih ditentukan berdasarkan gender, pendidikan, dan bergantung pada jenis penelitian itu sendiri. Kriteria yang dibutuhkan dalam penelitian mengenai dialektologi ini, terdapat beberapa titik daerah penelitian di Kabupaten Barru. Setiap titik akan dipilih dua atau tiga informan, yaitu sebagai informan inti

(49)

dan lainnya sebagai informan tambahan. Pemilihan informan dilakukan dengan memperhatikan beberapa kriteria berikut.

a. Berjenis kelamin laki-laki atau perempuan;

b. Berusia antara 20 – 60 tahun (tidak pikun). Usia ini di anggap sangat sesuai bagi seorang informan karena pada usia tersebut informan telah menguasai bahasa atau dialeknya, tetapi belum sampai pada taraf pikun. c. Orang tua, istri, atau suami informan lahir dan dibesarkan di daerah itu,

serta jarang atau tidak pernah meninggalkan daerahnya;

d. Berpendidikan maksimal tamat pendidikan dasar (SD – SMP). Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan pula, jika informan yang memiliki tingkat pendidikan SMA sampai S1 dapat di gunakan dengan catatan bahwa tempat pendidikan yang ditempuh tersebut masih berada di Kabupaten Barru.

e. Berstatus sosial menengah (tidak rendah atau tidak tinggi) dengan harapan tidak terlalu tinggi mobilitasnya;

f. Dapat berbahasa Bugis; dan

g. Sehat jasmani dan rohani. Sehat jasmani maksudnya tidak cacat berbahasa dan memiliki pendengaran yang tajam untuk menangkap pertanyaan-pertanyaan dengan tepat. Hal ini terkait dengan salah satu variasi yang akan dideskripsikan dalam penelitian dialektologi yaitu variasi bunyi, sedangkan sehat rohani maksudnya tidak gila atau pikun.

(50)

3. Pembentukan Daftar Tanya

Daftar tanyaan adalah daftar yang digunakan peneliti untuk mendapatkan informasi dari informan. Daftar tanyaan penelitian ini ada dua jenis. Daftar tanya pertama berisi pertanyaan mengenai identitas informan dan kemampuan berbahasa. Daftar pertanyaan kedua berisi kosakata dasar (umum) dan kosa kata yang berkaitan dengan budaya setempat. Daftar tanyaan yang baik harus memenuhi tiga syarat: (1) daftar tanyaan yang menampilkan ciri-ciri istimewa daerah yang diteliti, (2) mengandung hal-hal yang berkaitan dengan sifat dan keadaan budaya daerah penelitian, (3) daftar tanya tersebut harus memberi kemungkinan untuk dijawab secara langsung dan spontan (Jaberg dan Jud dalam Ayatrohaedi, 1979: 39).

Daftar tanyaan ini menanyakan kosakata dasar secara umum (dimiliki oleh semua bahasa) dan khusus. Kosakata dasar secara umum mengacu pada daftar Morris Swadesh karena mencakup segala aspek kegiatan, benda, dan kondisi geografis yang sifat universal. Sedangkan kosakata secara khusus berarti kosakata yang merupakan refleki budaya masyarakat setempat.

Daftar tanyaan dalam penelitian ini berjumlah 70 kata yang berhubungan dengan medan makan; bilangan dan ukuran; waktu, musim, dan arah; bagian tubuh manusia;kata ganti orang dan istilah kekerabatan; pakaian dan perhiasan; jabatan dan perhiasan; bau, rasa, dan warna; alam; binatang dan tumbuhan; rumah dan bagian-bagiannya serta alat; dan aktifitas sehari-hari.

(51)

4. Teknik Pupuan Lapangan

Pemerolehan data dilakukan dengan teknik pupuan lapangan yaitu peneliti terjun langsung ke daerah penelitian untuk memperoleh data, karena dengan teknik ini peneliti dapat mengamati, mencatat, mendengarkan, merekam, dan mengumpulkan korpus data secara langsung. Pertimbangan lain dengan menerapkan teknik lapangan menurut peneliti adalah, (1) peneliti dapat memperoleh data yang tidak terdapat dalam daftar tanya sehingga dapat melengkapi korpus data, (2) dapat dilakukan cross chek data jika ada jawaban atau keterangan informasi yang meragukan dengan cara menanyakan kembali pada informan mengenai pertanyaan. Pertanyaan kosakata secara langsung dan bebas. Sadap rekam dapat dilakukan pada suasana informal dan santai (Samarin, 1988: 119).

E. Teknik Analisis Data

Penelitian ini akan menggunakan metode padan dalam menganalisis data. Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentuannya berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan atau diteliti (Sudaryanto dalam Kesuma, 2007: 47). Terdapat dua teknik yang digunakan dalam menganalisis menggunakan metode padan. (1) Teknik pilah unsur penentu, yaitu teknik analisis data dengan cara memilah-milah satuan kebahasaan yang dianalisis dengan penentu yang berupa daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki penelitinya (Sudaryanto dalam Kesuma, 2007: 51), dan (2) Teknik hubung banding, yaitu teknik analisis data dengan cara

(52)

membandingkan satuan-satuan kebahasaan yang dianalisis dengann alat penentu berupa hubungan banding antara semua unsur penentu yang relevan dengan semua unsur satuan kebahasaan yang ditentukan. Tujuan hubungan ini adalah untuk mencari kesamaan, perbedaan, dan kesamaan hal pokok di antara satuan-satuan kebahasaan yang dibandingkan (Sudaryanto dalam Kesuma, 2007: 53).

F. Objek Penelitian

Objek penelitian ini yaitu perbedaan fonologi, leksikal dan pemetaan dialek bahasa Bugis. Di dalam penelitian ini akan dibagi menjadi dua kecamatan, yakni kecamatan Tanete Riaja dan kecamatan Barru. Masing-masing kecamatan terdiri atas satu kelurahan/desa yang akan dijadikan sebagai daerah penelitian, antara lain yaitu kelurahan Lompo Riaja dan desa Siawung,

G. Instrumen Penelitian 1. Daftar Informan

No. Nama Usia

Pendidikan terakhir Pekerjaan Daerah pengamatan 1. 2. 3. 4.

(53)

2. Daftar Tanyaan

a. Keterangan Tentang Informan :

Nama : Jenis Kelamin : Usia : Tempat Tinggal Desa/Dusun : Kecamatan : Kabupaten : Provinsi : Pendidikan :

Tinggal di Tempat ini : Asal Orang Tua : Status Perkawinan :

b. Daftar Kosakata Morris Swadesh 1 abu 2 air 3 akar 4 aku 5 alir (meng) 6 anak 7 angin 8 anjing 9 apa 10 api 11 apung 12 asap 13 awan 14 bagaimana 15 baik 16 bakar

(54)

17 balik 18 banyak 19 bapak 20 baring 21 baru 22 basah 23 batu 24 berapa 25 belah (mem) 26 benar 27 benih 28 bengkak 29 berenang 30 berjalan 31 berat 32 beri 33 besar 34 bilamana 35 binatang 36 bintang 37 buah 38 bulan 39 bulu 40 bunga 41 bunuh 42 buru (ber) 43 buruk 44 burung 45 busuk 46 cacing 47 cium 48 cuci 49 daging 50 dan 51 danau 52 darah 53 datang 54 debu 55 daun 56 dekat 57 dengan 58 dengar 59 di dalam 60 di 61 di mana 62 dingin

(55)

63 diri (ber) 64 di sini 65 di situ 66 dorong 67 dua 68 duduk 69 ekor 70 empat

(56)

BAB IV

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

A. Geografi Kabupaten Barru

Kabupaten Barru adalah salah satu dari 23 kabupaten/kota dalam wilayah provinsi Sulawesi selatan. letaknya pada pesisir barat jazirah selatan pulau Sulawesi, sekitar 100 km pada bagian utara Kota Makassar Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan.

Kabupaten Barru mempunyai ketinggian antara 0-1.700 meter diatas permukaan laut dengan bentuk permukaan sebahagian besar daerah kemiringan berbukit hingga bergunung-gunung. Wilayah bertopografi perbukitan hingga pegunungan berada di sebahagian besar wilayah tengah hingga timur dan selatan yang sebagiannya juga merupakan kawasan karst. Sebahagian lainnya merupakan daerah datar, landai hingga pesisir. Kabupaten Barru merupakan daerah pesisir pantai yang cukup panjang. Garis pantai mencapai 87 Km sehingga merupakan kabupaten dengan pesisir pantai terpanjang di Sulawesi Selatan.

Secara geografis, terletak pada koordinat 4°00' - 5°35' Lintang Selatan dan 199°35' - 119°49' Bujur Timur. Dengan luas wilayah 1.174.72 Km dan berada kurang lebih 102 Km sebelah Utara kota Makassar ibu kota provinsi Sulawesi Selatan yang dapat di tempuh melalui perjalanan darat kurang lebih 2,5 jam.

luas wilayah kabupaten barru 1.174.72 km2 atau 117.472 ha, berpenduduk sebanyak 159.235 jiwa (2006). di pandang dari segi topografi daerah ini memilkii dataran rendah pada ketinggian 0 – 25 m dari permukaan laut dan memiliki

(57)

wilayah pegunungan yang berada pada ketinggian 1.000 s.d. 1.500 meter dari permukaan laut dengan proporsi kemiringan 0 – 2 % hingga kemiringan 44 %. letak wilayahnya berbatasan dengan yaitu :

1. sebelah utara berbatasan dengan kota parepare dan kabupaten sidrap 2. sebelah timur berbatasan dengan kabupaten soppeng dan kabupaten bone 3. sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten pangkajene dan kepulauan

sebelah barat berbatasan dengan selat makassar.

Kabupaten Barru terdiri dari 7 Kecamatan dan 55 Desa/Kelurahan, yaitu: Tanete Riaja : Mattirowalie, Harapan, Lompo Riaja, Libureng, Kading, Lompo Tengah, dan Lempang . Tanete Rilau : Lasitae, Pancana, Lalabata, Corowali, Pao-Pao, Tellumpanua, Lalolang, Tanete, Lipukasi, dan Garessi. Barru : Sumpang Binangae, Coppo, Tuwung, Anabanua, Palakka, Galung, Tompo, Sepee, Mangempang, dan Siawung. Soppeng Riaja : Ajakkang, Paccekke, Kiru-Kiru, Mangkoso, Lawallu, Siddo, dan Batupute. Mallusetasi : Cilellang, Manuba, Nepo, Palanro, Mallawa, Kupa, Bojo dan Bojo Baru. Pujananting : Bulo-Bulo, Gattareng, Pujananting, Jangan-Jangan, Patappa, Bacu-bacu dan Mattappawalie. Balusu : Binuang, Madello, Takkalasi, Kamiri, Balusu, dan Lampoko.

(58)

Gambar 4.1 Luas Wilayah Menurut Kecamatan Di Kabupaten Barru (Km2), 2017

Di Kabupaten Barru terdapat seluas 71,79 % wilayah ( 84.340 Ha) dengan tipe iklim C yakni mempunyai bulan basah berturut-turut 5-6 bulan (Oktober - Maret) dan bulan Kering berturut-turut kurang dari 2 bulan (April - September). Total hujan selama setahun di Kabupaten Barru sebanyak 113 hari dengan jumlah curah hujan sebesar 5.252 mm.Curah hujan di kabupaten Barru berdasarkan hari hujan terbanyak pada bulan Desember - Januari dengan jumlah curah hujan 1.335 mm dan 1.138 mm sedangkan hari hujan masing-masing 2 hari dengan jumlah curah hujan masing- masing 104 mm dan 17 mm.

Khusus Kecamatan Barru dan Kecamatan Tanete Riaja memiliki kondisi geografis yang berbeda dikarenakan daerahnya yang berbeda. Kecamatan Barru terdiri dari lima desa dan lima kelurahan. Luas kecamatan adalah 200,27 km2. Desa yang memiliki wilayah terluas adalah Desa Palakka sekitar 36,33 km2. Sebelah utara kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Balusu, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tanete Rilau, di sebelah barat berbatasan

Tanete Rilau7% Barru17% Pujananting 27% Ballusu 9% Soppeng Riaja 7% Tanete Riaja 15% 18%

(59)

dengan Selat Makassar, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Soppeng. Semua desa sudah berstatus sebagai desa definitif, dari sepuluh desa ada 4 desa yang terletak di daerah pesisir pantai yaitu Sumpang Binangae, Coppo, Mangempang dan Siawung. Kecamatan Barru terdiri atas 23 Lingkungan dan 19 Dusun. Satuan Lingkungan Setempat (SLS) terkecil di kecamatan Barru adalah RT. Jumlah RT sebanyak 134 RT. Pembentukan pemerintah di Kecamatan Tanete Riaja telah dijabat Hj. A. HILMANIDA, S.STP, M.Si sebagai camat balusu dan SYARIF AMRULLAH SADIRA, S.STP sekertaris kecamatan balusu.

Sedangkan Kecamatan Tanete Riaja merupakan Kecamatan yang notabenenya arus lalu lintas jalan Provinsi Sulawesi Selatan antar Kabupaten yakni Kabupaten Barru menuju Kabupaten Soppeng. Kecamatan Tanete Riaja memiliki luas 174,29 km2. Pembentukan pemerintah di Kecamatan Tanete Riaja telah dijabat MUSAKKIR, S.Sos., M.Si sebagai camat balusu dan MU ARISTO SHIDDIQ, SH, MH sekertaris kecamatan balusu.

(60)

Berikut ini merupakan peta wilayah Kabupaten Barru:

(61)

B. Sejarah Kabupaten Barru

Kabupaten barru dahulu sebelum terbentuk adalah sebuah kerajaan kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang raja, Yaitu: kerajaan berru (barru), kerajaan tanete, kerajaan soppeng riaja dan kerajaan Malusetasi.

Di masa pemerintahan Belanda dibentuk pemerintahan sipil Belanda Diana wilayah kerajaan barru, tante dan Soppeng raja dimasukkan dalam wilayah Wonder afdelling barru yang bernaung di bawah afdelling Parepare sebagai kepala pemerintahan binder afdelling diangkat seorang Control Belanda yang berkedudukan di barru, sedangkan ke tiga bekas kerajaan tersebut diberi status sebagai sel bestuur (pemerintahan kerajaan sendiri) yang mempunyai hak otonom untuk menyelenggarakan pemerintahan sehari-hari baik terhadap eksekutif maupun yudikatif.

Dilihat dari sejarah, sebelum menjadi daerah-daerah swapraja pada permulaan kemerdekaan bangsa Indonesia, keempat wilayah swapraja ini merupakan 4 bekas selfbesture di dalam afdelling Parepare masing-masing:

1. Bekas selfbesture Mallusetasi yang daerahnya sekarang menjadi Kecamatan Mallusetasi dengan ibukota Palanro. Adalah penggabungan bekas kerajaan lili di bawah kekuasaan kerajaan ajatappareng oleh Belanda sebagai selfbestuur, ialah kerajaan lili bon dan kerajaan lili Eko

2. Bekas selfbestuur Soppeng raja yang merupakan penggabungan 4 kerajaan Soppeng (sekarang kabupaten Soppeng) sebagai selfbestuur ialah bekas kerajaan lili Siddo, lili Kiru-Kiru, lili Ajakkang dan lili Balusu.

(62)

3. Bekas selfbestuur Barru yang sekarang menjadi Kecamatan barru dengan ibu kotanya sumpang Binangae yang sejak semula memang merupakan sebuah kerajaan kecil yang berdiri sendiri.

4. Bekas selfbestuur tanete dengan pusat pemerintahannya di pancana daerah sekarang menjadi 3 Kecamatan masing-masing Kecamatan tanete Riau, Kecamatan tanete raja, Kecamatan Pujananting.

Seiring dengan perjalanan waktu, maka pada tanggal 24 Februari 1960 merupakan tonggak sejarah yang menandai awal kelahiran Kabupaten daerah Tingkat II Barru dengan Ibukota Barru berdasarkan undang-undang nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi selatan. Kabupaten Barru terdiri dari 7 Kecamatan dan 54 desa/kelurahan dengan undang-undang nomor 29 tahun 1959 (tambahan lembaran negara nomor 1822 tahun 1959); tentang pembentukan daerah tingkat II dalam propinsi Sulawesi selatan dan menetapkan wilayah swapraja Tanete, Barru, Soppeng Riaja dan Mallusetasi menjadi satu daerah Tingkat II dengan sebutan daerah Tingkat II barru. penambahan wilayah Mallusetasi ini berkaitan dengan wilayah pemerintahan ini berbatasan dengan swapraja Barru dan penetapan kota Parepare menjadi satu kota praja (kemudian disebut kota madya dan sekarang dengan pemerintahan kota) yang wilayahnya meliputi soreang dan bacukiki yang penerimaan itu menjadi dasar keutuhan daerah tingkat dua barru.

Berdasarkan undang – undang ini ditetapkan pusat pemerintahan administrasi di Sumpang binangae dan jumlah anggota dewan perwakilan rakyat daerah ( DPRD ) sebanyak 18 orang. penetapan kepala pemeritahan didasarkan

(63)

pada surat keputusan menteri dalam negeri nomor u.p.7/2/39-372 tertanggal 28 Januari 1960 yang menetapkan kapten Infanteri Lanakka (Nrp: 16309) menjadi kepala daerah tingkat barru periode 1960 – 1965. upacara pelantikannya dilaksanakan pada tanggal 20 Februari 1960. dalam seminar yang dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 1993 di barru menetapkan tanggal 20 Februari 1960 menjadi hari jadi kabupaten barru.

Sejak tanggal tersebut, Kabupaten Barru telah beberapa kali melaksanakan pergantian Bupati, adapun nama – nama Bupati Kabupaten Barru secara berturut – turut adalah sebagai berikut :

Bupati : 1. Lanakka 20 – 02 – 1960 s.d 01 – 02 – 1965 2. H. Machmud Sewang 16 – 07 – 1965 s.d 05 – 03 – 1980 3. H. Andi Syukur 05 – 03 – 1980 s.d 05 – 03 – 1985 4. H. A. Mansyur Sultan,BA 05 – 03 – 1985 s.d 05 – 03 – 1990 5. Drs. H. A. Pamadengrukka 05 – 03 – 1990 s.d 05 – 03 – 1995 Mappanyompa 6. Drs. H. A. Makkasau Razak 06 – 04 – 1995 s.d 07 – 04 – 2000 7. Drs. H. Syamsul Alam Bulu, M.Si 07 – 04 – 2000 s.d 03– 05 – 2000

( Penjabat Bupati)

8. Drs. H. A. muhammad rum 04 – 05 – 2000 s.d 04 – 05 – 2005 9. Drs. H. M. Arsyad Kale,M.Si

(64)

( Penjabat Bupati) 04 – 05 – 2005 s.d 10 – 08 – 2005

10.Drs. H. A. Muhammad Rum 10 – 08 – 2005 s.d 10 – 08 – 2010 11.Drs. H. A. Idris syukur, M.Si 10 – 08 – 2010 s.d 06 – 09- 2017 Ir. H. Suardi Saleh M.S.i. 06-09-2017 s.d – sampai sekarang

C. Demografi Masyarakat Kabupaten Barru

Dari hasil pemerolehan data sekunder, dapat ditemukan data demografi pulau Bawean sebagai berikut:

1. Jumlah Penduduk

Penduduk Kabupaten Barru berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2017 sebanyak 172.767 jiwa yang terdiri atas 83.082 jiwa penduduk laki-laki dan 89.685 jiwa penduduk perempuan. Dibandingkan dengan proyeksi jumlah penduduk tahun 2016, penduduk Barru mengalami pertumbuhan sebesar 0,5 persen dengan masing-masing persentase pertumbuhan penduduk laki-laki sebesar 0,56 persen dan penduduk perempuan sebesar 0,45 persen. Sementara itu besarnya angka rasio jenis kelamin tahun 2017 penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan sebesar 92,64.

Kepadatan penduduk di Kabupaten Barru tahun 2017 mencapai 147 jiwa/km2 dengan rata-rata jumlah penduduk per rumah tangga 4 orang. Kepadatan Penduduk di 7 kecamatan cukup beragam dengan kepadatan penduduk tertinggi terletak di kecamatan Tanete Rilau dengan kepadatan sebesar 427 jiwa/km2 dan terendah di Kecamatan Pujananting sebesar 42 jiwa/Km2. Sementara itu jumlah rumah tangga mengalami pertumbuhan sebesar 0,5 persen dari tahun 2016.

(65)

Berdasarkan hasil laporan kependudukan di Kecamatan Barru dan Kecamatan Tanete Riaja tahun 2017 bahwa jumlah penduduk adalah menunjukkan Kecamatan Tanete Riaja saat ini di huni penduduk kurang lebih 22.739 jiwa dan Kecamatan Barru 41.078 jiwa. Angka tersebut memberikan indikator pesatnya kegiatan pembangunan yang perlu di siapkan di masa yang akan datang. Secara umum kondisi kependudukan di Kecamatan Barru dan Kecamatan Tanete Riaja dapat di lihat pada penjelasan tabel berikut.

Tabel 4.1 Jumlah Dan Luas Wilayah Kecamatan Barru dan Kecamatan Tanete Riaja

No Kecamatan

Luas (km2)

Jumlah penduduk

1 Kecamatan Barru 199,32 41.078

2 Kecamatan Tanete Riaja 174,29 22.739

Jumlah 373,61 63.817

Sumber: Kantor Kecamatan Barru dan Kecamatan Tanete Riaja Kabupaten Barru 2018

Berdasarkan dari tabel 4.1, menunjukkan bahwa pada perkembangan penduduk keseluruhan yang ada di Kecamatan Barru dan Kecamatan Tanete Riaja

yaitu 63.817 dan luas wilayahnya yaitu 373,61 km2.

2. Pendidikan

Masyarakat Kabupaten Barru mempunyai semangat yang tinggi dalam persoalan pendidikan. Hal tersebut dapat ditunjukkan denga maraknya lembaga pendidikan, dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi. Selain sekolah formal, juga terdapat pesantren di hampir semua Kecamatan di Kabupaten

Gambar

Gambar 1.1 Peta Persebaran Dialek Indonesia
Gambar 4.1 Luas Wilayah Menurut Kecamatan Di Kabupaten Barru  (Km 2 ), 2017
Gambar 4.2 Peta Wilayah Kabupaten Barru
Tabel 4.1 Jumlah Dan Luas Wilayah Kecamatan Barru dan Kecamatan Tanete Riaja
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persamaan perubahan vokal dan konsonan pada proses afiksasi adalah prefiks /me/ BJ dan prefiks /me-/ BI tidak mengalami

Penelitian ini mengkaji dialek atau variasi bahasa berdasarkan perbedaan wilayah dengan fokus daerah penelitiannya adalah di Sumatera Utara, khususnya di daerah Kabupaten

Perubahan afiks {pe-} menjadi {pa-} terhadap bentuk dasar yang terjadi pada suku Bugis dialek Wajo terhadap penggunaan bahasa Indonesia lisan di Desa Torue

Reduplikasi atau pengulangan merupakan satuan gramatik, baik seluruhnya maupun sebagian, baik dengan variasi fonem atau tidak.Hasil pengulangan itu ialah kata

Berdasarkan analisis data yang dilakukan, dapat disimpulkan yaitu dari hasil analisis pemaparan temuan variasi leksikal yang dilakukan di desa-desa Kecamatan Depati

Perubahan afiks { pe- } menjadi { pa- } terhadap bentuk dasar yang terjadi pada suku Bugis dialek Wajo terhadap penggunaan bahasa Indonesia lisan di Desa Torue

Hasil penlitian ini menyimpulkan bahwa pemerolehan bahasa anak usia 3- 4 tahun dalam bidang fonologi, anak dikatakan belum mampu mengucapkan konsonan /s/ menjadi fonem /c/,

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian beserta pembahasan, penulis mengambil kesimpulan bahwa perubahan kosakata KBBI beranah Islam mengalami perubahan fonologis yang umumnya berupa