• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS GEJALA MORFOFONEMIK DALAM DIALEK BAHASA SUNDA DI KECAMATAN SINDANGWANGI, KABUPATEN MAJALENGKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS GEJALA MORFOFONEMIK DALAM DIALEK BAHASA SUNDA DI KECAMATAN SINDANGWANGI, KABUPATEN MAJALENGKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS GEJALA MORFOFONEMIK DALAM

DIALEK BAHASA SUNDA DI KECAMATAN SINDANGWANGI, KABUPATEN MAJALENGKA

ANALYSIS OF MORPHOPHONEMIC SYMPTOMS IN SUNDANESE DIALECT, SINDANGWANGI DISTRICT, MAJALENGKA

Allif Pradana

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran Jalan Raya Bandung Sumedang km 21 Jatinangor, Sumedang

allif18001@mail.unpad.ac.id Lia M. Indriyani

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran Jalan Raya Bandung Sumedang km 21 Jatinangor, Sumedang

lia.maulia@unpad.ac.id Wagiati

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran Jalan Raya Bandung Sumedang km 21 Jatinangor, Sumedang

wagiati@unpad.ac.id

Abstrack

This study aims to determine the analysis of morphophonemic symptoms in the Sundanese dialect, Sindangwangi sub-district. The theory that will be discussed is reviewed based on morphophonemic theory which aims to analyze sound changes in variations in the Sundanese dialect of Sindngawangi, Majalengka district which borders speakers of geographically different languages and dialects, by sharing supporting theories from the articulatory phonetic theory of Sundanese and typical elements of the Sundanese language presented by Fatimah Djajasudarma (2013).

The method used in this study is a qualitative approach method to describe the results of a fundamental and deep analysis, with several data collection methods, namely listening technique. This research, there are several morphophonemic symptoms, namely (1) metathesis, (2) prosthesis, (3) epenthesis, (4) progressive assimilation, (5) regressive assimilation, and (6) adaptation, in the Sundanese dialect of Sindangwangi.

Keywords: dialect, morphophonemic, articulatory phonetics, language variation

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gejala morfofonemik dalam dialek bahasa Sunda di Kecamatan Sindangwangi, Kabupaten Majalengka.

Teori yang digunakan adalah teori morfofonemik yang bertujuan untuk menganalisis perubahan bunyi dalam variasi bahasa dialek sunda di Kecamatan Sindangwangi, Kabupaten Majalengka yang berbatasan dengan penutur dari bahasa dan dialek yang berbeda secara geografis. Selain itu, berbagai teori penunjang dari teori fonetis artikulatoris bahasa Sunda dan unsur khas bahasa Sunda yang disampaikan oleh Fatimah Djajasudarma (2013). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif untuk memaparkan hasil analisis yang fundamental dan mendalam digunakan beberapa metode pengumpulan data, yaitu (1) teknik simak dan (2) teknik cakap dengan kriteria

(2)

informan yang sudah ditetapkan. Hasil penelitian ini ditemukan adanya beberapa gejala morfofonemik, yaitu (1) metatesis, (2) protesis, (3) epentesis, (4) asimilasi progresif, (5) asimilasi regresif, dan (5) adaptasi dalam dialek bahasa Sunda di Kecamatan Sindangwangi.

Kata kunci: dialek, morfofonemik, fonetis artikulatoris, variasi bahasa

(1) teknik cakap semuka yang mendatangi para informan secara langsung di setiap daerah pengamatan, diawali dengan adanya daftar pertanyaan pancingan yang kemudian langsung di tanyakan kepada informan oleh peneliti tanpa bantuan dari tenaga lapangan lain untuk mengurangi perbedaan bunyi fonetis yang didapatkan ketika melakukan penelitian, (2) teknik catat merupakan lanjutan dari teknik- teknik sebelumnya untuk dan wajib ada karena bahan yang diajukan oleh peneliti merupakan metode awal dari teknik cakap, yaitu teknik pancingan. dengan menggunakan data-data dengan menggunakan suku kata kebahasaan yang ada dalam 200 daftar pertanyaan Swadesh kompilasi klasik dari konsep-konsep dasar untuk tujuan pendekatan dialek. Terjemahan daftar Swadesh ke dalam satu set bahasa memungkinkan peneliti untuk mengukur keterkaitan variasi antarbahasa juga ditambahkan dengan beberapa suku kata yang unik hasil pemupuan data.

Nadra dan Reniwati (2009) menyatakan bahwa informan yang seharusnya dipilih merupakan informan yang memiliki kriteria (1) berusia 40-60 tahun, (2) berpendidikan tidak terlalu tinggi (maksimum setingkat SMP/SMA), (3) berasal dari desa/daerah penelitian, (4) lahir dan dibesarkan serta menikah dengan orang yang berasal dari daerah penelitian, (5) memiliki alat ucap yang sempurna dan lengkap.

2. Kajian Teori

Sebagai media dalam penyampaian, bahasa pun membuka sebuah identitas lokal yang bergantung pada perkembangan sosial dari masyarakatnya. Sejalan dengan itu, komunikasi antaretnis yang mempunyai sosiolinguistik berbeda menjadi salah satu awal dari timbulnya gejala bahasa yang membuat bahasa daerah semakin berkembang. Tercatat bahasa daerah berjumlah 413 ada di Indonesia (Wahyuni, 2010). Akan tetapi, dalam perkembangannya bahasa terjadi bukan hanya dari interaksi

1. Pendahuluan

Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi manusia dalam bersosialisasi.

Dengan adanya bahasa manusia dapat terhubung pada lingkungannya, seperti bertukar informasi, transaksi jual-beli, dan belajar dalam kesehariannya. Berjalan dengan waktu bahasa akan selalu berkembang. Semakin banyak bahasa yang bertemu semakin beragam pula bahasa yang dihasilkan. Bahasa merupakan salah satu ciri pembeda dari manusia dan mahluk hidup lainya. Dalam aktivitas manusia, bahasa diperlukan untuk menunjang interaksi dari setiap individu dalam masyarakat. Interaksi tersebut berlangsung setiap hari dan setiap saat dalam masyarakat dan menimbulkan variasi bahasa antara satu komunitas dengan komunitas yang lainya. Bahasa daerah yang berhubungan dengan kehidupan sosial dalam masyarakat memiliki dua fitur utama, yaitu sebagai sarana komunikasi dan sebagai media adat budaya lokal. Fungsi ganda bahasa daerah adalah fungsi pragmatik dan fungsi budaya. Penggunaan bahasa sebagai fungsi budaya dapat dipahami sebagai praktik linguistik dalam kegiatan budaya. Makna fungsi budaya yang lebih sempit dari bahasa daerah ini berfungsi sebagai media penyampaian dalam mempraktikkan budaya lokal masyarakat tertentu. Jadi, bentuk budaya lokal menciptakan bahasa sebagai media penyampaian.

Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Kirk dan Miller berpendapat bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia, baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya (Moleong, 2014), Dalam mendukung penelitian ini ada beberapa teknik pengumpulan data dengan metode metode penelitian yang akan digunakan untuk mendukung keakuratan data dan juga memaksimalkan jumlah data, metode penelitian yang akan diambil untuk mengambil data adalah

(3)

langsung para penutur bahasa, namun juga erat dengan kebijakan politik yang ada ketika masa kolonial dengan hadirnya bahasa Belanda dan setelah Republik Indonesia terlahir menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tentunya membuat bahasa daerah semakin menyusut penuturnya karena dalam bidang umum bahasa nasional tersebut sering menjadi bahasa utama yang digunakan dalam berbagai sektor pemerintahan yang melayani masyarakat.

Hal tersebut yang membuat pengguna bahasa daerah semakin kurang mempraktikkan dalam keseharian, ditambah dengan perkembangan teknologi yang berpotensi menghapus identitas bahasa daerah. Dengan adanya perkembangan teknologi digital yang lebih dominan hadir di tengah masyarakat dengan bahasa luar, seperti bahasa Inggris, Jepang, Korea, dan lainnya semakin menghapus penggunaan bahasa daerah dalam kegiatan sehari-sehari, bahkan dalam ruang lingkup keluarga mikro lebih mementingkan penggunaan bahasa-bahasa lain dalam berkomunikasi karena tidak adanya keharusan ataupun kebanggaan untuk memakai bahasa daerah. Hal tersebut tentunya akan mempercepat proses punahnya bahasa daerah yang disebut dengan kematian bahasa (Mbete, 2013).

Dalam perkembangannya, bahasa Sunda pun mengalami perubahan-perubahan yang biasa disebut variasi bahasa. Perubahan yang berlangsung dilatarbelakangi oleh perubahan bahasa yang dimulai dari tingkat penutur.

Faktor-faktor yang saling berkaitan dengan situasi kebahasaan yang saling mempengaruhi, seperti sosial budaya, teknologi, dan mobilitas masyarakat dapat menimbulkan variasi bahasa dialek sebagai salah satu fenomena bahasa.

Begitu pun dengan munculnya variasi bahasa.

Hal tersebut terjadi pada bahasa Sunda di Kecamatan Sindangwangi. Bahasa Sunda merupakan bahasa daerah dengan penutur terbesar kedua setelah bahasa Jawa. Penutur bahasa menyesuaikannya dengan situasi kondisi yang dijumpainya. Hal tersebut menimbulkan banyak tuturan yang timbul bersamaan dengan situasi dan kondisi yang ada. Variasi internal bahasa merupakan keanekaragaman yang patut diperhitungkan dalam sosiologis karena merupakan salah satu hasil dari interaksi sosial masyarakatnya yang akan selalu berkembang

dari masyarakat yang heterogen (Wijana, 1996).

Tempat berlangsungnya kontak tersebut dapat ditemukan di Kecamatan Sindangwangi yang letaknya berada di arah timur sampai timur laut yang berjarak kurang lebih 20 km dari pusat administrasi Kabupaten Majalengka. Kecamatan Sindangwangi letaknya berbatasan dengan 2 kabupaten, yaitu Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan yang memiliki variasi bahasa dan berbeda dengan bahasa Sunda.

Dalam bahasa Sunda dikenal istilah bahasa Sunda lulugu dan bahasa Sunda wewengkon.

Bahasa Sunda lulugu merupakan bahasa Sunda yang dijadikan bahasa baku atau standar, sedangkan bahasa Sunda wewengkon merupakan variasi dari bahasa lulugu (Fitriyani et al, 2021). Oleh sebab itu, bahasa Sunda di Kecamatan Sindangwangi yang kemudian disingkat BSS haruslah diketahui ragam bahasa dan variasinya karena berbeda dengan bahasa Sunda standar.

Keberadaan bahasa Sunda yang digunakan di Kecamatan Sindangwangi berkembang dengan interaksi dan juga komunikasi yang dilakukan oleh individu dalam masyarakatnya menyesuaikan dengan norma kebiasaan, budaya, perkembangan teknologi, dan juga situasi kondisi yang berlangsung menjadi sebuah keniscayaan tentang perkembangan dan perubahan yang terjadi dengan bahasa. Dalam berkomunikasi, bahasa Sunda di Kecamatan Sindangwangi merupakan bahasa yang dituturkan dan menjadi salah satu indikasi bahasa A1 atau bahasa ibu bagi populasinya. Bahasa tersebut mendapatkan pengaruh dari berbagai bahasa yang secara signifikan hadir dan berdinamika di dalam penggunaannya. Pengguna bahasa sering berkomunikasi dengan penutur dari daerah lain yang mempunyai bahasa berbeda dan termasuk dialek.

Pengertian ragam bahasa telah banyak dikemukakan oleh ahli bahasa. Mustakim (1994) menyatakan bahwa ragam bahasa adalah variasi pemakaian bahasa yang berbeda-beda yang ditimbulkan sebagai akibat adanya ragam sarana, situasi, dan bidang pemakaian bahasa. Suwito dalam (Pateda, 1992) menyatakan bahwa ragam bahasa adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menunjuk salah satu dari sekian variasi yang terdapat dalam pemakaian bahasa.

(4)

Dialek menurut Meillet dalam (Mahsun, 1995) adalah varian sebuah bahasa yang adanya ditentukan oleh latar belakang asal penutur yang tercakup dalam sebuah wilayah geografis. Ragam bahasa yang digunakan oleh penutur memiliki perbedaan-perbedaan kecil, tetapi tidak menyebabkan para penutur bahasa tersebut merasa memiliki bahasa yang berbeda.

Perbedaan dalam bidang kebahasaan dialek dibagi menjadi (1) perbedaan fonologi, (2) perbedaan morfologi, (3) perbedaan sintaksis, (4) perbedaan semantik, dan (5) perbedaan leksikon (Erfinawati & Indrapuri, 2017).

Morfofonemik masih menjadi salah satu bidang yang berasal dari paduan fonologi dan morfologi. Morfofonemik adalah gejala- gejala perubahan, penambahan, pengurangan fonem pada morfem dasar (Djajasudarma, 2010). Ramlan dalam (Djajasudarma, 2013) berpendapat bahwa morfofonemik adalah suatu perubahan fonem yang timbul akibat adanya pertemuan fonem dengan morfem. Pendekatan fonetik organis atau artikulatoris adalah fonetik yang mempelajari bagaimana mekanisme alat- alat bicara yang ada dalam tubuh manusia menghasilkan suatu bunyi bahasa. Adapun yang dipelajari dalam kajian ini adalah posisi dan gerakan bibir, lidah, dan organ-organ manusia lainnya yang memproduksi suara atau bunyi bahasa (Yavaş, 2011). Kemudian, dengan menambahkan struktur morfemik yang menjadi unsur khas dari bahasa Sunda, seperti dwilingga, dwireka, dan dwipurwa akan menambah unsur kekhasan bahasa Sunda secara umum (Djajasudarma, 2013)

Penelitian-penelitian yang relevan dengan penelitian ini pernah dilakukan oleh Euis Nina (1986) dalam skripsinya yang berjudul

“Gejala Morfofonemik dalam Bahasa Sunda”.

Selanjutnya, Dewi (2018) meneliti “Gejala Morfofonemik pada Kosakata Bahasa Sunda Di Kecamatan Kuningan”. Erfinawati (2017) meneliti tentang ”Analisis Makna dalam Ragam Dialek Lokal Aceh Besar dalam Bahasa Aceh. Suherman (2012) meneliti “Perubahan Fonologis Kata-Kata Serapan Bahasa Sunda dari Bahasa Arab: Studi Kasus pada Masyarakat Sunda di Jawa Barat”. Wagiati (2021) melakukan penelitian dengan judul “Dialektologi Perseptual Variasi Linguistik Bahasa Sunda Dialek Ciamis, Provinsi Jawa Barat”. Perbedaan penelitian ini

dengan penelitian sebelumnya adalah pendekatan dan cakupan penelitian yang berbeda.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Metatesis

Gejala metatesis terjadi apabila ada perubahan tempat pada fonem bentuk dasar dengan hasil analisis sebagai berikut.

BSL BSS

Cöyah Cöyah

Kata ceuyah atau yang berarti ‘sedang banyak atau sedang musim’ biasanya disandingkan dengan musim-musim panen, baik buah-buahan maupun sayuran yang menandakan lebat atau banyak jumlah tersebut. Struktur kata ceuyah dalam bahasa Sunda loma mengalami gejala morfofonemik jika diucapkannya oleh penutur baahasa Sunda di Kecamatan Sindangwangi dan menjadi ceuhay. Gejala morfofonemik terjadi dengan perpindahan fonem konsonan tengah [y]

yang termasuk ke dalam konsonan palatal depan, semi vokal bersuara dengan fonem konsonan akhir [h] yang termasuk dalam konsonan glotal geseran bersuara. Hal tersebut menandakan bahwa kata dalam bahasa Sunda Sindangwangi terdapat salah satu unsur diftongisasi.

BSL BSS

Wahangan Hawangan

Kata wahangan atau dalam bahasa Indonesia ‘sungai’ terjadi gejala morfofonemik metatesis dalam bahasa Sunda Sindangwangi menjadi hawangan. Gejala metatesis yang adalah perpindahan fonem konsonan awal [w]

yang termasuk ke dalam konsonan bilabial, letupan, bersuara dengan fonem konsonan tengah [h] glotal, geseran, bersuara. Gejala ini terjadi karena kebiasaan menyerap unsur bunyi yang berasal dari penutur sekitar yang biasa menggunakan bahasa Cirebon.

BSL BSS

Cika-cika Kica-kica

Kata cika-cika yang dalam bahasa Indonesia

‘kunang-kunang’ merupakan sebuah reduplikasi

(5)

semu dan jika disamakan dengan unsur unik bahasa Sunda termasuk ke dalam dwilingga semu.

Dalam bahasa Sunda Sindangwangi sandingannya menjadi kica-kica. Gejala metatesis yang ada dalam perpindahan fonem konsonan awal [c]

yang termasuk dalam konsonan palatal, depan, letupan, tidak bersuara dengan fonem konsonan tengah [k] yang termasuk dalam konsonan, dorso velar, letupan, tidak bersuara. Gejala tersebut terjadi bersumber dari kebiasaan penutur bahasa Sunda Sindangwangi.

BSL BSS

Kapacirit Kacapirit

Kata kapacirit yang dalam bahasa Indonesia

‘mencret di celana’ terjadi gejala morfofonemik metatesis dalam bahasa Sunda Sindangwangi menjadi kacapirit. Gejala metatesis yang ada adalah perpindahan fonem konsonan tengah pertama [p] yang termasuk dalam konsonan bilabial, letupan, tidak bersuara menjadi fonem konsonan tengah kedua dengan fonem konsonan tengah kedua [c] yang termasuk konsonan palatal, depan, letupan, tidak bersuara, Gejala demikian disebabkan oleh kebiasaan penutur bahasa Sunda di Kecamatan Sindangwangi.

3.2 Protesis

Gejala protesis adalah gejala kosakata yang salah satu fonemnya mengalami perubahan akibat penambahan fonem di depannya. Berikut disajikan analisisnya.

BSL BSS

Cul əncul

Kata cul atau dalam bahasa Indonesia

‘membiarkan’ terjadi gejala morfofonemik protesis dalam bahasa Sunda Sindangwangi menjadi encul. Penambahan bunyi terjadi dari vokal dan konsonan [ə n] yang mendahului fonem kata dasar dari cul, yaitu [c]. Struktur pun berubah menjadi dua suku kata yang diakibatkan dari penambahan fonem vokal [ə] dan [n] yang termasuk kedalam konsonan apiko dental, nasal, bersuara dengan fonem [c] yang termasuk ke dalam konsonan palatal, depan, letupan, bersuara menjadi sebuah gejala nasalisasi

yang tentunya menghasilkan sebuah simpulan bahwa untuk mempermudah pengucapan bunyi dari kata tersebut oleh penutur bahasa Sunda Sindangwangi diperlukan penambahan suku kata.

BSL BSS

Lεm Elεm

Kata lem atau dalam bahasa Indonesia ‘lem’

terjadi gejala morfofonemik protesis dalam bahasa Sunda Sindangwangi menjadi elem. Penambahan bunyi terjadi dari vokal [ə] yang ditambahkan pada posisi awal sebelum fonem pertama konsonan [l]

yang termasuk konsonan apiko palatal, lateral, bersuara. Proses tersebut mengubah struktur kata dari satu suku kata menjadi dua suku kata. Hal tersebut menghasilkan simpulan bahwa untuk mempermudah pengucapan bunyi dari kata tersebut oleh penutur bahasa Sunda Sindangwangi diperlukan penambahan suku kata.

BSL BSS

Mang əmang

Kata mang atau dalam bahasa Indonesia

‘paman’ terjadi gejala morfofonemis protesis dalam bahasa Sunda Sindangwangi menjadi emang. Penambahan bunyi terjadi dari vokal [ə] yang ditambahkan pada posisi awal sebelum fonem pertama konsonan [m] yang termasuk konsonan bilabial, nasal, bersuara. Hal tersebut mengubah struktur kata dari satu suku kata menjadi dua suku kata dan menghasilkan simpulan bahwa untuk mempermudah pengucapan bunyi kata tersebut oleh penutur bahasa Sunda Sindangwangi diperlukan penambahan suku kata.

BSL BSS

bal bal

Kata bal atau dalam bahasa Indonesia ‘bola’

terjadi gejala morfofonemis protesis dalam bahasa Sunda Sindangwangi menjadi ebal. Penambahan bunyi terjadi dari vokal [ə] yang ditambahkan pada posisi awal sebelum fonem pertama konsonan [b] yang termasuk konsonan bilabial, letupan, bersuara. Proses tersebut mengubah

(6)

struktur kata dari satu suku kata menjadi dua suku kata dan menghasilkan simpulan bahwa untuk mempermudah pengucapan bunyi kata tersebut oleh penutur bahasa Sunda Sindangwangi diperlukan penambahan suku kata.

BSL BSS

Tεh əntεh

Kata téh atau dalam bahasa Indonesia

‘teh’ terjadi gejala morfofonemis protesis dalam bahasa Sunda Sindangwangi menjadi enteh. Penambahan bunyi terjadi dari vokal dan konsonan [ə n] yang mendahului fonem kata dasar dari teh, yaitu [t]. Proses tersebut berubah menjadi dua suku kata yang diakibatkan dari penambahan fonem vokal [ə] dan [n] yang termasuk ke dalam konsonan apiko dental, nasal, bersuara dengan fonem [t] yang termasuk ke dalam apiko dental, letupan, bersuara. Hal tersebut merupakan gejala nasalisasi yang tentunya menghasilkan sebuah simpulan bahwa untuk mempermudah pengucapan bunyi dari kata tersebut oleh penutur bahasa Sunda Sindangwangi diperlukan penambahan suku kata.

BSL BSS

Gös Engös

Kata geus atau dalam bahasa Indonesia

‘sudah’ terjadi gejala morfofonemis protesis dalam bahasa Sunda Sindangwangi menjadi engeus. Penambahan bunyi terjadi pada vokal dan konsonan [ə ŋ] yang mendahului fonem kata dasar dari geus, yaitu [ö]. Peristiwa tersebut mengubah struktur menjadi dua suku kata yang diakibatkan dari penambahan fonem vokal [ə] dan [ŋ] yang termasuk ke dalam konsonan dorso velar, nasal, tidak bersuara dengan fonem vokal [ö] menjadi sebuah gejala nasalisasi.

Hal tersebut menghasilkan sebuah simpulan bahwa untuk mempermudah pengucapan bunyi dari kata tersebut oleh penutur bahasa Sunda Sindangwangi diperlukan penambahan suku kata.

BSL BSS

Jöng öjöng

Kata jöng atau dalam bahasa Indonesia

‘dengan’ terjadi gejala morfofonemis protesis dalam bahasa Sunda Sindangwangi menjadi öjöng. Penambahan bunyi terjadi dari vokal [ö]

yang mendahului fonem kata dasar dari jeung, yaitu [j]. Peristiwa tersebut mengubah struktur menjadi dua suku kata yang diakibatkan dari penambahan fonem vokal [ö] dengan fonem konsonan [j] yang termasuk konsonan palatal, depan, letupan bersuara menghasilkan simpulan bahwa untuk mempermudah pengucapan bunyi dari kata tersebut penutur bahasa Sunda Sindangwangi diperlukan penambahan suku kata.

BSL BSS

Kön Ingkön

Kata keun atau dalam bahasa Indonesia

‘tinggalkan’ terjadi gejala morfofonemis protesis dalam bahasa Sunda Sindangwangi menjadi Ingkön. Penambahan bunyi terjadi dari vokal dan konsonan [i ŋ] yang mendahului fonem kata dasar dari keun, yaitu [k] yang termasuk fonem konsonan dorso velar, letupan, tidak bersuara.

Hal tersebut mengubah struktur menjadi dua suku kata yang diakibatkan dari penambahan fonem vokal [i] dengan fonem konsonan [ŋ]

yang termasuk konsonan dorso velar, nasal, tidak bersuara menjadi sebuah gejala nasalisasi.

Hal tersebut menghasilkan simpulan bahwa untuk mempermudah pengucapan bunyi dari kata tersebut oleh penutur bahasa Sunda Sindangwangi diperlukan penambahan suku kata.

BSS BSL

Rεk εrεk

Kata rék atau dalam bahasa Indonesia

‘akan’ terjadi gejala morfofonemis protesis dalam bahasa Sunda Sindangwangi menjadi érék. Penambahan bunyi terjadi dari vokal [ε]

yang mendahului fonem kata dasar dari érék, yaitu [r] yang termasuk fonem konsonan apiko prepalatal, getaran, bersuara. Peristiwa tersebut mengubah struktur menjadi dua suku kata yang diakibatkan dari penambahan fonem vokal [ε]

dengan fonem konsonan [r] yang termasuk apiko prepalatal, getaran, bersuara menjadi sebuah

(7)

gejala getar yang kadang terjadinya fonem konsonan ganda [r] dengan penyebutan bunyi yang lebih panjang. Hal tersebut menghasilkan sebuah simpulan bahwa untuk mempermudah pengucapan bunyi dari kata tersebut oleh penutur bahasa Sunda Sindangwangi diperlukan penambahan suku kata.

BSS BSL

Urang Arurang

Kata urang atau dalam bahasa Indonesia

‘kami’ terjadi gejala morfofonemis protesis dalam bahasa Sunda Sindangwangi menjadi arurang. Penambahan bunyi terjadi dari vokal dan konsonan [ar] yang mendahului fonem kata dasar dari urang, yaitu [u] yang termasuk fonem vokal.

Peristiwa tersebut mengubah struktur menjadi tiga suku kata yang diakibatkan dari penambahan fonem vokal [a] dengan fonem konsonan [r] yang termasuk apiko prepalatal, getaran, bersuara.

Hal tersebut tentunya menghasilkan simpulan bahwa untuk mempermudah pengucapan bunyi dari kata tersebut oleh penutur bahasa Sunda Sindangwangi diperlukan penambahan suku kata.

3.3 Epentesis

Epentesis adalah apabila ada fonem yang disisipkan ke dalam bentuk dasar dengan hasil analisis sebagai berikut.

BSS BSL

Nundutan Nuηdutan

Kata nundutan yang dalam bahasa Indonesia

‘mengantuk’ terjadi gejala morfofonemis epentesis dalam bahasa Sunda Sindangwangi menjadi nungdutan. Hal tersebut terjadi akibat penyisipan atau penambahan fonem di tengah [g] yang termasuk fonem konsonan dorso velar, letupan, bersuara sebelum fonem [n] yang termasuk ke dalam fonem konsonan apiko dental, nasal, bersuara. Proses tersebut mengubah bunyi [ŋ] dari konsonan vokal dorso velar, nasal tidak bersuara sehingga menyebabkan pertemuan antara fonem [ŋ] dorso velar, nasal, tidak bersuara dengan [d] apiko dental, letupan, bersuara menimbulkan gejala

nasalisasi. Terjadinya gejala epentesis tersebut disebabkan oleh lebih mudahnya penutur bahasa Sunda Sindangwangi menyebutkan bunyi dari kata tersebut untuk berinteraksi dengan penutur tetangga yang berasal dari bahasa Jawa Cirebon.

BSL BSS

Palaur Palalaur

Kata Palaur yang dalam bahasa Indonesia

‘takut’ terjadi gejala morfofonemis epentesis dalam bahasa Sunda Sindangwangi menjadi palalur. Akibat dari penyisipan atau penambahan fonem konsonan dan vokal di tengah [la] yang termasuk fonem konsonan apiko palatal, lateral, bersuara sebelum fonem [l] yang termasuk ke dalam fonem konsonan apiko palatal, lateral, bersuara. Hal tersebut mengakibatkan gejala getar (trill) pada akhir pengucapan yang juga termasuk unsur khusus bahasa Sunda, yaitu dwipurwa atau pengulangan. Hal tersebut terjadi gejala epentesis yang disebabkan oleh lebih mudahnya penutur bahasa Sunda Sindangwangi menyebutkan bunyi dari kata tersebut untuk berinteraksi dengan penutur tetangga yang berasal dari bahasa Jawa Cirebon.

3.4 Asimilasi Progresif

Asimilasi progresif pada nomina terjadi jika fonem yang berada di belakang salah satu fonem pada bentuk dasar terpengaruh oleh fonem yang berada di depannya, hingga berubah menjadi fonem yang berada di depannya. Hal tersebut diperlihatkan pada hasil analisis berikut.

BSL BSS

Cərəmε Crəmε

Kata ceremé yang dalam bahasa Indonesia

‘ceremai’ terjadi gejala morfofonemik asimilasi progresif dalam bahasa Sunda Sindangwangi menjadi crémé. Akibat dari fonem vokal [ə] yang berada di belakang fonem [r] yang termasuk konsonan apiko prepalatal menjadi luluh pada bentuk dasar terpengaruh oleh fonem yang berada di depannya dan termasuk gejala palatalisasi sehingga berubah menjadi luluh. Penutur bahasa Sunda Sindangwangi menyebutkan bunyi kata tersebut terpengaruh dengan penutur tetangga

(8)

yang berasal dari bahasa Jawa Cirebon.

BSL BSS

Kikil Cεkcεk Cεcεk

Kata kikil yang dalam bahasa Indonesia

‘kulit sapi’ dalam bahasa Sunda Sindangwangi ada dua versi penyebutan, yaitu cékck dan cécék.

Peristiwa tersebut terjadi gejala morfofonemik asimilasi progesif antara bahasa Sunda Sindangwangi dari cékcék mejadi cécék. Hal tersebut mengakibatkan fonem konsonan [k] yang termasuk pada konsonan dorso velar, nasal, tidak bersuara berada di belakang fonem konsonan [c] yang termasuk palatal depan, letupan, tidak bersuara menjadi luluh pada bentuk dasar terpengaruh oleh fonem yang berada di depannya dan termasuk gejala palatalisasi. Penutur bahasa Sunda Sindangwangi menyebutkan bunyi dari kata tersebut terpengaruh dengan penutur tetangga yang berasal dari bahasa Jawa Cirebon.

3.5 Asimilasi Regresif

Asimilasi regresif yang terjadi pada verba adalah verba bahasa Sunda terjadi jika fonem yang ada di belakang dari bentuk dasar itu dapat mempengaruhi fonem yang ada di depan. Hal tersebut dapat dilihat pada contoh berikut.

BSL BSS

Gəgəroh Kukumbah Babanyo

Kata gegeroh yang dalam bahasa Indonesia

‘mencuci piring’, dalam bahasa Sunda Sindangwangi ada dua versi penyebutan, yaitu kukumbah dan babanyo. Peristiwa tersebut terjadi akibat gejala morfofonemik asimilasi progresif antara bahasa Sunda Sindangwangi dari kukumbah menjadi babanyo. Hal tersebut terjadi akibat dari fonem konsonan dan vokal [k u] yang berada di depan fonem [m] yang termasuk konsonan dorso velar, letupan, tidak bersuara pada bentuk dasar terpengaruh oleh fonem yang berada di depannya sehingga berubah menjadi babanyo yang mengakibatkan gejala labialisasi dan juga termasuk unsur khusus bahasa Sunda yang termasuk dwireka atau pengulangan fonem. Penutur bahasa Sunda Sindangwangi menyebutkan bunyi dari kata

tersebut terpengaruh dengan penutur tetangga yang berasal dari bahasa Jawa Cirebon.

BSL BSS

Teu kiyeng Sangheuk Sangeuk

Kata teu kiyeung yang dalam bahasa Indonesia ‘tidak mau melakukan sesuatu’, dalam bahasa Sunda Sindangwangi ada dua versi penyebutan, yaitu sangheuk dan sangeuk. Hal tersebut terjadi gejala morfofonemik asimilasi regresif antara bahasa Sunda Sindangwangi dari sangheuk menjadi sangeuk. Peristiwa tersebut terjadi akibat dari fonem konsonan [ŋ] yang termasuk pada konsonan dorso velar, nasal, tidak bersuara berada di depan fonem vokal [ö] yang termasuk pada bentuk dasar yang terpengaruh oleh fonem yang berada di depannya sehingga berubah menjadi sangeuk.

Peristiwa tersebut terjadi peleburan fonem konsonan [h] yang termasuk konsonan glotal, geseran, tidak bersuara. Penutur bahasa Sunda Sindangwangi menyebutkan bunyi dari kata tersebut terpengaruh dengan penutur tetangga yang berasal dari bahasa Jawa Cirebon.

3.6 Adaptasi

Adaptasi didapatkan dari serapan kata bahasa luar yang tidak ada persamaannya.

Dalam konteks bahasa Sunda Sindangwangi ada beberapa kata yang berasal dari bahasa Belanda dan diserap menjadi kosakata unik yang tidak ditemukan dalam bahasa Sunda loma. Hal tersebut dapat dilihat pada contoh berikut.

Bahasa belanda BSS

Fit Pit

Kata fit yang dalam bahasa Indonesia

‘sepeda’, dalam bahasa Sunda Sindangwangi diserap dan diadaptasi menjadi pit. Contoh tersebut memperlihatkan terjadinya penyesuaian oleh penutur mengikuti bunyi fonem artikulatoris dari bahasa Sunda. Struktur kata fit sendiri dalam fonemik bahasa belanda terdiri ata fonem [f] yang termasuk konsonan bilabial, geseran, tidak bersuara diadaptasi menjadi kata pit dengan fonem [f] diganti [p] yang termasuk dalam fonemik sunda dari konsonan bilabial,

(9)

geseran, tidak bersuara. Hal tersebut merupakan salah satu unsur unik dalam kosakata bahasa Sunda Sindangwangi yang membuktikan secara diakronis dari unsur bahasa dalam pengaruh masa kolonial Belanda.

Bahasa belanda BSS

Logi Loji

Kata logi yang dalam bahasa Indonesia

‘gudang’, dalam bahasa Sunda Sindangwangi diserap dan diadaptasi menjadi loji. Kata tersebut terbentuk maknanya pertama kali oleh tempat penyimpanan makanan tentara Belanda yang kemudian diserap menjadi bermakna gudang.

Dalam bunyi tersebut terjadi penyesuaian konsonan oleh penutur mengikuti bunyi fonem artikulatoris dari bahasa Sunda. Struktur kata logi sendiri dalam fonemik bahasa Belanda terdiri ata fonem [g] yang termasuk konsonan dorso velar, letupan, bersuara yang sebenarnya sama dengan fonemik bahasa Sunda loma yang mengadaptasi menjadi kata loji dengan fonem [g] digantikan [j] yang dalam fonemik Sunda dari konsonan palatal, depan, letupan bersuara merupakan salah satu unsur unik dalam kosakata bahasa Sunda Sindangwangi yang membuktikan secara diakronis dari unsur bahasa dalam

pengaruh masa kolonial Belanda.

4. Penutup

4.1 Simpulan

Hasil dari kajian ini ditemukan bahwa kosakata dari bahasa Sunda Sindangwangi terdapat beberapa gejala morfofonemik, yaitu (1) metatesis, (2) protesis, (3) epentesis, (4) asimilasi progresif, (5) asimilasi regresif , dan (5) adaptasi dengan berbagai gejala nasalisasi dan juga variasi analisis dari gejala bahasa dengan bahasa Sunda loma, bahasa Sunda Sindangwangi, dan juga bahasa Belanda. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kosakata bahasa Sunda Sindangwangi memiliki kekayaan bahasa dan patut dilestarikan juga dianalisis lebih lanjut oleh stakeholder terkait, seperti akademisi , pemerintahan, dan sebagainya.

4.2 Saran

Berdasarkan pada uraian hasil analisis, bahasa Sunda Sindangwangi memiliki kekayaan bahasa dan patut dilestarikan juga dianalisis lebih lanjut oleh stakeholder terkait, seperti akademisi, pemerintah, dan sebagainya.

Daftar Pustaka

Dewi, N. K. 2018. “Gejala Morfofonemik pada Kosakata Bahasa Sunda di Kecamatan Kuningan”.

4(2), 178–202.

Djajasudarma, F. 2010. Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan Kajian (1st ed.). PT Refika Aditama.

Djajasudarma, F. 2013. Fonologi dan Gramatika Sunda (1st ed.). Refika Aditama.

Erfinawati, M. P. D., & Indrapuri, K. 2017. “Analisis Makna dalam Ragam Dialek Lokal Aceh Besar dalam Bahasa Aceh”. Seminar Nasional II USM, 1, 158–162.

Fitriyani, A., Resmini, N., & Wiyanti, D. A. N. S. R. I. 2021. “Dengan Bahasa Sunda Lulugu di Kota Bandung”. Artikulasi, 1(2), 1–17.

Mbete, A. M. 2013. “Bahasa dan Budaya Lokal Minorita, Asal-Muasal, Ancaman Kepunahan dan Ancangan Pemberdayaan dalam Kerangka Pola Ilmiah Pokok Kebudayaan”. Universitas Udayana,Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Linguistik Pada Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Moelong, L. J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya

Mustakim. 1994. Membina Kemampuan Berbahasa: Panduan ke Arah Kemahiran Berbahasa. PT Rineka Cipta.

Nandra, R. 2009. Dialektologi,Teori, dan metode. Elmatera Publishing.

(10)

Pateda, M. 1992. Sosiolinguistik. Angkasa.

Suherman, A. 2012. “Perubahan Fonologis Kata-Kata Serapan Bahasa Sunda dari Bahasa Arab: Studi Kasus pada Masyarakat Sunda di Jawa Barat”. Sosiohumanika, 5(1), 21–38.

Wagiati, N. D., & Duddy Zein. 2021. “Dialektologi Perseptual Variasi Linguistik Bahasa Sunda Dialek Ciamis, Provinsi Jawa Barat”. Metalingua, 19(1), 151–162.

Yavaş, M. 2011. “Applied English Phonology, Second Edition”. In Applied English Phonology, Second Edition. https://doi.org/10.1002/9781444392623

Wijana, I. D. P. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Penerbit Andi.

Wahyuni, S. 2010. “Tarik-Menarik Bahasa Jawa Dialek Banyumas dan Bahasa Sunda di Perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat Bagian Selatan sebagai Sikap Pemertahanan Bahasa oleh Penutur”.

Undip.

Referensi

Dokumen terkait

Jawab : Di keluarga saya termasuk sosialisasi bahasa yang halus yah, karena saya dengan papahnya juga tidak pernah berkata yang kasar di depan anak-anak, karena takut ditiru

Sumber data dalam penelitian ini difokuskan kepada masyarakat yang menggunakan leksikon penanda waktu dalam bahasa Sunda di Kecamatan Kasomalang, Kabupaten Subang.. Teknik

1) Data: Data yang akan diambil dalam penelitian ini, yaitu berbagai peristiwa tutur bahasa Sunda baik tuturan lisan maupun tulisan yang dilakukan oleh siswa PAUD dan

atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Idiom Bahasa Jawa Dialek Osing di Kecamatan Kabat Kabupaten Banyuwangi

Tuturan (14) termasuk ke dalam kalimat larangan halus yang isinya melarang dengan kata halus kepada mitra tutur agar mau melaksanakan apa yang diperintahkan oleh

Penelitian berjudul Gejala Bahasa Prokem Dialek Tegal di Lingkungan Remaja Desa Kalisapu Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal ini bertujuan untuk mendeskripsikan gejala

Pada umumnya penutur bahasa di Ammatoa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba berdialok konjo atau menggunakan bahasa Makassar berdialok konjo dalam percakapannya, akan

komposisi secara sintaktis. Fungsi komposisi secara sintaktis yang ditemukan di dalam BSDM di Desa Mekar Bersatu Kecamatan Batukliang Kabupaten Lombok Tengah, yaitu mengubah