FONOTAKTIK FONEM DALAM BAHASA PESISIR SIBOLGA
T E S I S
Oleh:
GUSNISARI LUBIS 117009027/LNG
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FONOTAKTIK FONEM DALAM BAHASA PESISIR SIBOLGA
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Saint Pada Program Studi Ilmu Linguistik Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara
Oleh:
GUSNISARI LUBIS 117009027/LNG
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : FONOTAKTIK FONEM DALAM BAHASA PESISIR SIBOLGA
Nama Mahsiswa : GUSNISARI LUBIS Nomor Induk Mahasisi : 117009027
Program Studi : Linguistik
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Dr. T. Syarfina, M.Hum) (Dr. Gustianingsih, M.Hum)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D) (Dr. Syahron Lubis, M.A)
Telah diuji pada
Tanggal : 28 Agustus 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. T. Syarfina, M.Hum Anggota : 1. Dr. Gustianingsih, M.Hum
2. Dr. Namsyah Hot Hasibuan, M.Ling 3. Dr. Dwi Widayati, M.Hum
PERNYATAAN
Judul Tesis
FONOTAKTIK FONEM DALAM BAHASA PESISIR SIBOLGA
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Magister of Saint pada program studi Linguistik Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya
sendiri.
Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari
hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah saya cantumkan sumbernya
secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan sebagian atau seluruh Tesis
ini bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian
tertentu, saya bersedia menerima sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.
Medan, Agustus 2013 Penulis
ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk menelaah bahasa Pesisir Sibolga dari sudut fonotaktiknya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur fonotaktik fonem di dalam suku kata bahasa Pesisir Sibolga, metode yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif. Penelitian ini berfokus pada struktur fonotaktik fonem di dalam deret vokal dan deret konsonan, struktur fonotaktik fonem di dalam suku kata dan pola struktur fonotaktik fonem dalam kata bahasa Pesisir Sibolga.
Struktur fonotaktik fonem di dalam deret vokal bahasa Pesisir Sibolga ditemukan 11 (sebelas) jenis deret vokal, yaitu: / ai /, / aa /, / ae /, / ie /, / oa /, / ia /, / au /, / ou /, / ua /, / uo /, dan / iu /. Kesebelas jenis deret vokal tersebut terdapat pada tiga posisi, yaitu posisi awal, tengah, dan akhir kata. Struktur fonotaktik fonem di dalam deret konsonan BPS ditemukan ada sebelas jenis deret konsonan, yaitu: /ñ-j/, /ŋ-k/, /n-t/, /ŋ-g/, /c-c/, /m-m/, /k-k/, /m-p/, /m-b/, /ñ-c/, dan /n-d/.
Struktur fonotaktik fonem di dalam suku kata dibagi menjadi empat bagian, yaitu struktur fonotaktik fonem di dalam kata yang bersuku kata satu, bersuku kata dua, bersuku kata tiga, dan bersuku kata empat. Berdasarkan pada hasil penelitian tentang Fonotaktik Fonem dalam bahasa Pesisir Sibolga (BPS) ditemukan beberapa pola fonotaktik fonem dalam BPS. Pola-pola tersebut adalah sebagai berikut: V, VK, KV, KVK, KKV, KKVK, dan KKKVK.
Keywords: fonotaktik, fonem, suku kata, dan Pesisir Sibolga.
ABSTRACT
The objective of the research was to analyze the dialect at BPS (Sibolga Coastal Area) from its phonotactic and to describe the phonotactic structure of phonemes in the syllable of the dialect at BPS. The study used descriptive qualitative method. The research was focused on phonotactic structure of phonemes in a series of vowel and consonants, phonotactic structure of phonemes in syllables, and phonotactic structure in words of BPS.
There are 11 types of vowel series in the phonotactic structure of phonemes in the dialect of BPS: /ai/, /aa/, /ae/, /ie/, /oa/, /ia/, /au/, /ou/, /ua/, /uo/, and /iu/. They are found in three word positions: initial position, middle position, and final position. There are 11 types of consonant series in the phonotactic structure of phonemes in BPS consonant series: /ñ-j/, /ŋ-k/, /n-t/, /ŋ-g/, /c-c/, /m-m/, /k-k/, /m-p/, /m-b/, /ñ-c/, and /n-d/.
Phonatactic structure of phonemes in syllables is divided into four parts: phonotactic structure of phonemes in words which has one syllable, phonotactic structure of phonemes which has two syllables, phonotactic structure of phonemes which has three syllables, and phonotactic structure of phonemes which has four syllables. Based on the result of the research on phonotactic phonemes in the dialect of BPS, it was found that there were some phonotactic patterns of phonemes in BPS. The patterns are V, VK, KV, KVK, KKV, KKVK, and KKKVK.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan kemurahan kepada penulis sehingga Tesis dengan judul Fonotaktik Fonem dalam Bahasa Pesisir Sibolga dapat diselesaikan.
Tesis ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister of Saint pada Sekolah Pascasarjana, Program Studi Linguistik Universitas Sumatera Utara.
Selama melakukan penelitian dan penulisan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:
1. Prof. Dr, dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M,Sc,(CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Syahron Lubis, M.A selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
4. BAPPEDA Sumatera Utara yang telah memberikan beasiswa pendidikan S2 di Linguistik USU.
5. Walikota Sibolga, Drs. M. Syarfi Hutauruk, yang telah memberikan kesempatan untuk memperoleh pendidikan S2 di Linguistik USU.
6. Kepala Dinas Pendidikan Kota Sibolga, Drs. Alpian Hutauruk, yang telah memberikan kesempatan untuk memperoleh pendidikan S2 di Linguistik USU.
7. Prof. T. Silvana Sinar, MA.,Ph.D, selaku Ketua Prodi Linguistik USU sekaligus sebagai penguji, yang telah memberikan dukungan dan motivasi selama penulis menempuh pendidikan hingga selesai.
8. Dr.Nurlela, M.Hum, selaku sekretaris Program Studi Linguistik Pascasarjan Universitas Sumatera Utara.
9. Dr. T. Syarfina, M.Hum selaku pembimbing I yang telah memotivasi dan memberikan arahan dari awal sampai selesanya penulisan Tesis ini.
10. Dr. T. Gustianingsih, M.Hum selaku pembimbing II yang telah memotivasi dan memberikan arahan dari awal sampai selesanya penulisan Tesis ini. 11. Dr. Namsyah Hot Hasibuan, M.Ling dan Dr. Dwi Widayati, M.Hum selaku
penguji yang telah memberikan saran dan kritikan yang membangun guna kesempurnaan Tesis ini.
12. Para dosen yang mengajar di Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak ilmu selama penulis mengikuti pendidikan.
14. Rekan-rekan guru dan staf pegawai SMK Negeri 1 Sibolga yang telah memberikan dukungan da motivasi selama penulis menempuh pendidikannya.
15. Orangtua tercinta Maswira Panggabean dan Zainal Abidin Lubis (Alm) yang memberikan dukungan moral dan spiritual selama penulis dalam pendidikannya.
16. Suamiku, Adam Malik Simamora, ST dan anakku, Akhdan Latif Azizan Simamora, yang telah memberikan dukungan, motivasi dan pengertiannya selama penulis menempuh pendidikannya, penulis mengucapkan banyak terima kasih.
17. Saudara-saudaraku dan semua keluarga besarku yang telah memberikan dukungan, motivasi dan kerjasamanya, penulis mengucapkan banyak terima kasih.
18. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang juga turut memberikan dukungan, semangat, dan saran kepada penulis selama penyelesaian Tesis ini.
Selanjutnya, penulis menyadari bahwa Tesis ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk penyempurnaan Tesis ini. Akhir kata, penulis berharap semoga Tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca.
Medan, Agustus 2013 Penulis,
Gusnisari Lubis
RIWAYAT HIDUP
I. Data Pribadi
Nama : Gusnisari Lubis
Tempat/Tanggal lahir : Sibuluan I, 14 Agustus 1982
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Sudah menikah
Alamat : JL. Adonia Hutagalung No. 14 Sibuluan Raya Pandan-Kab. Tapanuli Tengah
Email : gusnisari@gmail.com
II. Pendidikan Formal
1. SD Negeri 152978 Pagaran 2. SMP Negeri 1 Sibolga
3. SMA Negeri 1 Matauli Pandan 4. S1 Universitas Bung Hatta Padang
III. Riwayat Pekerjaan
1. Staf Pengajar di SMA Negeri 1 Matauli Pandan (2005-2007) 2. Staf pengajar di SMP Swasta Al-Muslimin Pandan (2005-2009) 3. Staf Pengajar di MAN Sibolga (2005-2009)
DAFTAR ISI
LAMBANG DAN PENGGUNAANNYA ……… xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 7 2.1 Konsep ... 7
2.1.1 Fonotaktik dan Fonologi ... 7
2.2 Landasan teori ... 10
2.2.1 Fonotaktik ... 10
2.2.2 Fonem ... 13
2.2.3 Penyukuan (Syllabification)………. 15
2.2.4 Deret Konsonan... ... 23
2.2.5 Gugus Konsonan ... ... 24
2.2.6 Deret Vokal ………. 24
2.3 Tinjauan Pustaka ... 25
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN……… 35
BAB VFONOTAKTIK FONEM DALAM BAHASA PESISIR SIBOLGA 54
5.1 Struktur Fonotaktik Fonem di dalam Deret Vokal dan Deret Konsonan bahasa Pesisir Sibolga (BPS) ... 54
5.1.1 Struktur Fonotaktik Fonem di dalam Deret Vokal BPS . 54 5.1.2 Struktur Fonotaktik Fonem di dalam Deret Konsonan BPS 54 5.2 Struktur Fonotaktik Fonem dalam Suku Kata BPS ... 68
5.2.1 Struktur Fonotaktik Fonem dalam Suku Kata yang Bersuku Kata Satu ... 69
5.2.2 Struktur Fonotaktik Fonem dalam Suku Kata yang Bersuku Kata Dua ... 70
5.2.3 Struktur Fonotaktik Fonem dalam Suku Kata yang Bersuku Kata Tiga ... 77
5.2.4 Struktur Fonotaktik Fonem dalam Suku Kata yang Bersuku Kata Empat ... 81
5.3 Pola Struktur Fonotaktik Fonem dalam Suku Kata BPS ... 84
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 89
6.1 Simpulan ... 89
6.2 Saran ... 90 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1 Peta Fonem Vokal dalam bahasa Indonesia 14
2. Tabel 2 Peta Fonem Konsonan dalam bahasa Indonesia 15
3. Tabel 3 Afdeling di bawah Keresidenan Sibolga 37
4. Tabel 4 Wilayah Kecamatan dan Kelurahan di Kota Sibolga 42
5. Tabel 5 Deret Vokal dalam bahasa Pesisir Sibolga 56
6. Tabel 6 Deret Konsonan dalam bahasa Pesisir Sibolga 59
LAMBANG DAN PENGGUNAANNYA
1. Tanda hubung ( - ) digunakan untuk menandai batas suku pada penyukuan kata.
2. Tanda garis miring ( /…./ )digunakan untuk menandai transkripsi fonemik. 3. Tanda kurung siku ( [….] ) digunakan untuk menandai transkripsi fonetik. 4. Tanda kurung biasa ((…)) digunakan untuk menandai keterangan tambahan
opsional.
ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk menelaah bahasa Pesisir Sibolga dari sudut fonotaktiknya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur fonotaktik fonem di dalam suku kata bahasa Pesisir Sibolga, metode yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif. Penelitian ini berfokus pada struktur fonotaktik fonem di dalam deret vokal dan deret konsonan, struktur fonotaktik fonem di dalam suku kata dan pola struktur fonotaktik fonem dalam kata bahasa Pesisir Sibolga.
Struktur fonotaktik fonem di dalam deret vokal bahasa Pesisir Sibolga ditemukan 11 (sebelas) jenis deret vokal, yaitu: / ai /, / aa /, / ae /, / ie /, / oa /, / ia /, / au /, / ou /, / ua /, / uo /, dan / iu /. Kesebelas jenis deret vokal tersebut terdapat pada tiga posisi, yaitu posisi awal, tengah, dan akhir kata. Struktur fonotaktik fonem di dalam deret konsonan BPS ditemukan ada sebelas jenis deret konsonan, yaitu: /ñ-j/, /ŋ-k/, /n-t/, /ŋ-g/, /c-c/, /m-m/, /k-k/, /m-p/, /m-b/, /ñ-c/, dan /n-d/.
Struktur fonotaktik fonem di dalam suku kata dibagi menjadi empat bagian, yaitu struktur fonotaktik fonem di dalam kata yang bersuku kata satu, bersuku kata dua, bersuku kata tiga, dan bersuku kata empat. Berdasarkan pada hasil penelitian tentang Fonotaktik Fonem dalam bahasa Pesisir Sibolga (BPS) ditemukan beberapa pola fonotaktik fonem dalam BPS. Pola-pola tersebut adalah sebagai berikut: V, VK, KV, KVK, KKV, KKVK, dan KKKVK.
Keywords: fonotaktik, fonem, suku kata, dan Pesisir Sibolga.
ABSTRACT
The objective of the research was to analyze the dialect at BPS (Sibolga Coastal Area) from its phonotactic and to describe the phonotactic structure of phonemes in the syllable of the dialect at BPS. The study used descriptive qualitative method. The research was focused on phonotactic structure of phonemes in a series of vowel and consonants, phonotactic structure of phonemes in syllables, and phonotactic structure in words of BPS.
There are 11 types of vowel series in the phonotactic structure of phonemes in the dialect of BPS: /ai/, /aa/, /ae/, /ie/, /oa/, /ia/, /au/, /ou/, /ua/, /uo/, and /iu/. They are found in three word positions: initial position, middle position, and final position. There are 11 types of consonant series in the phonotactic structure of phonemes in BPS consonant series: /ñ-j/, /ŋ-k/, /n-t/, /ŋ-g/, /c-c/, /m-m/, /k-k/, /m-p/, /m-b/, /ñ-c/, and /n-d/.
Phonatactic structure of phonemes in syllables is divided into four parts: phonotactic structure of phonemes in words which has one syllable, phonotactic structure of phonemes which has two syllables, phonotactic structure of phonemes which has three syllables, and phonotactic structure of phonemes which has four syllables. Based on the result of the research on phonotactic phonemes in the dialect of BPS, it was found that there were some phonotactic patterns of phonemes in BPS. The patterns are V, VK, KV, KVK, KKV, KKVK, and KKKVK.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbahasa merupakan pengalaman universal yang dimiliki oleh manusia.
Bahasa adalah sistem bunyi ujar. Bunyi bahasa yang tidak sesuai diucapkan oleh
seorang pengguna bahasa akan mengakibatkan bunyi itu tidak sesuai dengan
bunyi yang sebenarnya. Pengguna bahasa perlu mempelajari bahasa lebih terinci
guna menciptakan penggunaan bahasa yang lebih baik dan lebih tepat. Kesalahan
berbahasa tidak hanya terjadi pada lafal tetapi juga sistem penulisan. Kebanyakan
sistem penulisan tidak dapat menggambarkan bunyi yang diucapkan oleh manusia
secara sempurna ketika berbicara. Sistem penulisan berfungsi sebagai pelestarian
ujaran. Oleh karena itu, bunyi merupakan media bahasa yang terpenting dalam
ujaran.
Dalam linguistik dikenal dua cara yang terpisah untuk mengkaji bunyi
bahasa, yaitu fonetik dan fonologi. Fonetik adalah kajian dan analisis yang
berhubungan dengan artikulasi, transmisi, dan persepsi bunyi-bunyi tertentu.
Fonologi merupakan suatu kajian dan analisis tentang pemanfaatan pelbagai
macam bunyi bahasa oleh bahasa-bahasa dan pemanfaatan sistem-sistem untuk
mengontraskan ciri-ciri bunyi (sistem fonologis) yang terdapat dalam
bahasa-bahasa tersebut.
Fonetik dan fonologi mempelajari pokok masalah atau aspek yang sama
dalam bahasa, yaitu bunyi bahasa sebagai hasil artikulasi yang dapat didengar,
Fonetik itu umum (yaitu mempelajari bunyi bahasa tanpa mengacu kepada fungsi
bunyi bahasa itu dalam bahasa tertentu), deskriptif dan dapat diklasifikasikan.
Fonologi senantiasa memfokuskan sebuah bahasa sebagai sebuah sistem
komunikasi dalam teori dan prosedur analisisnya.
Setiap bahasa mempunyai ketentuan sendiri yang berkaitan dengan kaidah
kebahasaannya, termasuk di dalamnya kaidah deretan fonem. Kaidah yang
mengatur deretan fonem mana yang terdapat dalam bahasa dan mana yang tidak
dinamakan fonotaktik. (Moeliono, 1993 : 52).
Fonotaktik adalah bidang fonologi atau fonemik yang mengatur tentang
penjejeran fonem dalam kata. Contohnya, kata batanding memiliki 8 fonem.
Jejeran fonem dari kata tersebut adalah /b/, /a/, /t/, /a/, /n/, /d/, /i/, /ŋ/. Maka dapat
disimpulkan bahwa fonotaktik ialah cabang fonologi yang berkenaan dengan
urutan fonem yang dibenarkan dalam sebuah bahasa.
Dalam bahasa lisan, kata umumnya terdiri atas rentetan bunyi yang satu
mengikuti yang lain. Bunyi-bunyi itu mewakili rangkaian fonem serta alofonnya.
Rangkaian fonem itu tidak bersifat acak, tetapi mengikuti kaidah tertentu. Kaidah
yang mengatur penjejeran fonem dalam satu kata dinamakan kaidah fonotaktik
(Alwi, 2003: 28). Rangkaian fonem yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu
mengenai pola-pola fonotaktik pada suku kata dalam bahasa Pesisir Sibolga.
Bahasa Pesisir Sibolga merupakan salah satu bahasa daerah yang ada di
Indonesia tepatnya di Kota Sibolga, Sumatera Utara. Jadi penelitian tentang
fonotaktik bahasa ini pun perlu dilakukan untuk mengembangkan kemahiran
berbahasa Pesisir Sibolga. Untuk mengetahui bagaimana aturan tata bunyi dalam
kenyataannya di Sibolga bahasa yang paling banyak digunakan oleh
masyarakatnya adalah bahasa Pesisir Sibolga, tetapi dalam dunia pendidikan
bahasa ini tidak diajarkan seperti halnya bahasa Batak Toba yang dijadikan
sebagai salah satu bahasa yang diajarkan dalam pelajaran muatan lokal.
Mengingat hal itu maka perlu dilakukan penelitian tentang bahasa Pesisir
Sibolga sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu referensi untuk dijadikannya
bahasa ini menjadi sebuah pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah yang ada di
kota Sibolga. Bahasa Pesisir Sibolga (BPS) ini unik karena mempunyai kemiripan
dengan bahasa Minang, Batak, dan bahasa Melayu. Tentu saja berbeda dari segi
bunyi. Sebagai contoh dalam bahasa Minang mengatakan [apo]yang artinya ‘apa’
bahasa Pesisir Sibolga juga mengatakan [apo] untuk mengungkapkan kata ‘apa’.
Kata yang diungkapkan sama tapi tentu saja dari segi bunyinya sangat berbeda.
Perbedaan itu sangat jelas kedengaran ketika seseorang melafalkan kata [apo]
tersebut.
Contoh yang lain adalah kata [mangapo] dalam bahasa Pesisir Sibolga,
sedangkan dalam bahasa Minang dilafalkan dengan kata [manga], dan dalam
bahasa Batak dilafalkan dengan kata [mahua]. Jadi dari contoh kata tersebut
timbul sebuah keinginan untuk mengetahui bagaimana aturan atau kaidah yang
digunakan dalam kata bahasa Pesisir Sibolga dirangkai dengan beberapa fonem
sehingga membentuk sebuah kata dan menghasilkan bunyi yang dapat dimengerti
oleh orang yang mendengarnya. Penelitian ini juga akan mencari tahu fonotaktik
bahasa Pesisir Sibolga. Oleh karena itu dalam hal ini perlu dilakukan penelitian
daerah yang ada di Indonesia pada umumnya dan di Sumatera Utara pada
khususnya.
Tesis ini berjudul Fonotaktik Fonem dalam Bahasa Pesisir Sibolga
dengan permasalahan pokok yang dianalisis adalah struktur fonem pada suku
kata. Dalam Hasibuan (1996: 3-4) menyatakan bahwa fonotaktik sebagai ihwal
distribusi fonem, Fudge (1990) memberikan penjelasan bahwa bahasa Inggris
hanya membolehkan maksimal tiga fonem konsonan yang dapat berfungsi sebagai
awal sukunya. Tidak semua kombinasi tiga fonem konsonan dapat diterima
sebagai awal suku. Fonem konsonan yang dapat menjadi komponennya sudah
tertentu dan dengan jumlah yang lebih terbatas. Sebagai contoh, kombinasi fonem
konsonan /spl-, spr-, str-/, dan /skl-/ yang mungkin muncul sebagai awal suku.
Dalam setiap contoh, posisi pertama pada urutan komponen fonemis awal suku
berupa gugus konsonan berkomponen tiga fonem senantiasa ditempati oleh fonem
/s/ saja. Posisi kedua ditempati oleh fonem hambat tansuara /p, t, k/, dan posisi
ketiga oleh konsonan sonoran non-nasal /l, r, w, y/. Dari contoh awal suku berupa
gugus konsonan berkomponen tiga fonem di atas, fonem tertentu yang dapat
menempati posisi pertama pada urutan komponen fonemisnya hanya satu fonem.
Jumlah ini merupakan bagian yang sangat terbatas dari seluruh fonem pada
khazanah fonem bahasa Inggris. Begitu juga dengan jumlah konsonan yang dapat
menjadi komponen kedua dan ketiganya, masing-masing hanya terdiri atas tiga
dan empat fonem konsonan. Dan upaya menempatkan fonem yang benar di antara
/s/ dan /l/ pada awal suku berupa gugus konsonan berkomponen tiga fonem di
atas, misalnya, memerlukan pengetahuan tersendiri. Pengetahuan tentang
akan membatasi pilihan pada salah satu dari konsonan /p/ atau /k/. Studi tentang
kemungkinan kombinasi fonem dalam suatu bahasa oleh Fudge disebut
fonotaktik.
Penelitian fonotaktik bahasa-bahasa daerah cukup banyak dilakukan
namun Fonotaktik Fonem dalam Bahasa Pesisir Sibolga (BPS) sepanjang
pengetahuan penulis belum pernah diteliti sebelumnya. Bahasa Pesisir Sibolga ini
dianggap perlu diteliti karena jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia
mempunyai perbedaan seperti yang terdapat dalam kata berikut ini, yaitu:
Bahasa Pesisir Sibolga Bahasa Indonesia
‘makkan’ ‘makan’
‘kakki’ ‘kaki’
‘dakke?’ ‘dekat’
Dari contoh kata di atas tampak jelas perbedaan susunan fonem dalam
pembentukan kata. Dalam bahasa Pesisir Sibolga terdapat deret konsonan [k] di
tengah kata, sedangkan bahasa Indonesia hanya memiliki konsonan tunggal [k]
pada kata [makan]. Contoh tersebut mengindikasikan bahwa bahasa Pesisir
Sibolga sangat unik dan menarik untuk diteliti. Penelitian ini masih perlu dikaji
lebih mendalam tentang bagaimana struktur fonotaktik fonem dalam BPS dan
dalam penelitian ini akan meneliti kombinasi fonem konsonan dan vokal pada
suku kata pertama, kedua, ketiga dan keempat dalam kata dasar BPS seperti
penjelasan di atas. Kombinasi fonem konsonan seperti /spl-, spr-, str-/, dan /skl-/
dapat muncul di awal suku kata bahasa Pesisir Sibolga yang berasal dari bahasa
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, penulis tertarik
untuk meneliti fonotaktik fonem dalam bahasa Pesisir Sibolga (BPS). Masalah
pokok penelitian adalah
1. Bagaimanakah struktur fonotaktik fonem di dalam deret vokal dan deret
konsonan di dalam suku kata bahasa Pesisir Sibolga?
2. Bagaimanakah struktur fonotaktik fonem di dalam suku kata bahasa
Pesisir Sibolga?
3. Bagaimanakah pola struktur fonotaktik fonem di dalam suku kata bahasa
Pesisir Sibolga?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan struktur fonotaktik fonem di dalam deret dan deret
konsonan bahasa Pesisir Sibolga.
2. Mendeskripsikan struktur fonotaktik fonem di dalam suku kata bahasa Pesisir
Sibolga.
3. Mendeskripsikan pola struktur fonotaktik fonem di dalam suku kata bahasa
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan
mengenai fonotaktik bahasa daerah guna memperkaya khazanah penelitian
tentang bahasa-bahasa daerah di Indonesia.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan penyusunan buku
pelajaran Bahasa Pesisir Sibolga (BPS) pada tingkat Sekolah Dasar (SD) dan
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan sebagai mata pelajaran muatan
lokal dalam menentukan struktur fonotaktik fonem dalam BPS. Fonotaktik fonem
dalam bahasa Pesisir Sibolga dalam penelitian ini diharapkan juga dapat dijadikan
sebagai sumbangan ilmiah kepada penulis lain yang berminat menganalisis
fonotaktik bahasa tertentu yang ada di Nusantara dan tentunya juga sebagai
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
2.1.1 Fonotaktik dan Fonologi
Fonotaktik dalam penelitian ini mengacu pada urutan fonem yang
dimungkinkan dalam bahasa. Kata dimungkinkan, diinterpretasikan sebagai suatu
keadaan yang menyebabkan urutan fonem itu dapat berterima di masyarakat.
Masyarakat menggunakan seperangkat bunyi-bunyi bahasa termasuk fonem untuk
membentuk sebuah kata, dari kata ke frasa, dari frasa ke klausa dan sampai pada
kalimat yang memiliki arti dan dapat dipahami.
Secara garis besar, fonologi adalah suatu subdisiplin dalam ilmu bahasa
atau linguistik yang membicarakan tentang bunyi bahasa. Lebih sempit lagi,
fonologi murni membicarakan tentang fungsi, perilaku, serta organisasi bunyi
sebagai unsur-unsur linguistik (Lass, 1988:1). Menurut Verhaar, fonologi adalah
ilmu yang menyelidiki perbedaan minimal antar ujaran yang selalu terdapat dalam
kata sebagai konstituen (Verhaar, 1982: 36), contohnya adalah bue dan
pueɁ.(bue= ayun dan pueɁ= buat/membuat). Pasangan kata tersebut memiliki dua bunyi yang berbeda yaitu [b] dan [p]. Hal itu menunjukkan bahwa /b/ dan /p/
adalah dua fonem yang berbeda. Demikian juga dengan Yallop (1990: 126) yang
menggunakan pasangan minimal untuk membuktikan bahwa sebuah bunyi adalah
fonem. Jadi, pasangan minimal adalah dua ujaran yang berbeda maknanya tetapi
Setiap bahasa diwujudkan oleh bunyi, dalam hal ini adalah bunyi-bunyi
yang dihasilkan oleh alat-alat ucap manusia karena secara tepat tidak ada bunyi
yang sama benar diucapkan oleh seorang pembicara paling tidak, ada dua hal
pokok yang mendasari perbedaan itu. Pertama secara ucapan dan kedua secara
sistem. Perbedaan tersebut didasarkan pada pendapat Ferdinand de Saussure, yang
mengganggap bahwa bunyi bahasa ada yang bersifat ujar (parole) dan ada yang
bersifat sistem (langue). Baik parole maupun langue termasuk dalam kajian
fonologi.
Sementara fonem adalah abstraksi dari bunyi-bunyi bahasa. Sama halnya
dengan pengertian yang dikemukakan Alwi, bahwa fonem adalah satuan bahasa
terkecil berupa bunyi atau aspek bunyi bahasa yang membedakan bentuk dan
makna kata (Alwi dkk, 2003: 53). Fonem tidak sama dengan bunyi bahasa. Fonem
diberi nama sesuai dengan nama salah satu bunyi bahasa yang merealisasikannya.
Misalnya: konsonan bilabial, konsonan bersuara, konsonan geseran velar
bersuara, dan vokal depan atas.
Berdasarkan ada tidaknya rintangan terhadap arus udara dalam saluran
suara, bunyi bahasa dapat dibedakan menjadi dua kelompok: vokal dan dan
konsonan (Alwi dkk, 2003:49) Vokal adalah bunyi bahasa yang dihasilkan tanpa
penutupan atau penyempitan di atas glottis. Dengan kata lain, vokal adalah bunyi
bahasa yang arus udaranya tidak mengalami rintangan dan kualitasnya ditentukan
oleh tiga faktor, yaitu tinggi-rendahnya posisi lidah, bagian lidah yang dinaikkan,
dan bentuk bibir pada pembentukan vokal itu (Alwi dkk, 2003: 50). Konsonan
yang terlibat: keadaan pita suara, penyentuhan atau pendekatan berbagai alat ucap,
dan cara alat ucap itu bersentuhan atau berdekatan (Alwi dkk, 2003:52).
Setiap bahasa mempunyai ciri khas dalam fonotaktik, yakni dalam
merangkai fonem untuk membentuk satuan fonologis yang lebih besar, misalnya
suku kata. (Kentjono dan Sunarto, 1990:34). Menurut Sigurd (1968:450),
deskripsi fonologis suatu bahasa secara umum terdiri atas deskripsi fonem-fonem
pada bahasa dan deskripsi distribusi fonem, dan pernyataan itu sering disebut
struktur fonotaktik dalam bahasa. Dengan demikian fonotaktik merupakan sebuah
ilmu yang mengatur urutan fonem-fonem yang membentuk sebuah kata yang
menghasilkan bunyi yang dapat berterima dalam sebuah bahasa. Aturan-aturan
tersebut tidak sama pada semua bahasa, tetapi berbeda-beda. Istilah fonotaktik
sering kali didefenisikan berbeda-beda oleh para ahli bahasa. Kridalaksana
(1982:58) memberikan tiga defenisi untuk istilah fonotaktik, yaitu:
1. Urutan fonem yang dimungkinkan dalam suatu bahasa
2. Deskripsi tentang urutan tersebut
3. Gramatika stratifikasi, sistem pengaturan dalam stratum fonetik
Pengertian lain terdapat dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia
(TBBBI), fonotaktik adalah kaidah yang mengatur deretan fonem mana yang
terdapat dalam bahasa dan mana yang tidak. Kaidah itulah yang menyebabkan
kita dapat merasakan secara intuitif bentuk mana yang kelihatan seperti kata
Indonesia dan mana yang tidak, meskipun kita belum pernah melihatnya
Dalam penelitian ini yang berlaku pada pelafalan sejumlah kata-kata dalam
bahasa Pesisir Sibolga melalui kosakata Swadesh dan beberapa kosakata lainnya
yang direkam pada saat penelitian dalam pengambilan data. Selain itu, pengertian
tersebut sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk melihat urutan
fonem yang membentuk suku kata dalam bahasa Pesisir Sibolga.
2.2 Landasan Teori 2.2.1 Fonotaktik
Fonotaktik adalah suatu prosedur pertemuan dan penentuan tata urut dan
tata hubung fonem-fonem dalam sebuah bahasa yang berpedoman pada distribusi
(awal, tengah, dan akhir kata) sehingga yang dibicarakan dalam fonotaktik adalah
pola urutan bunyi pada kata.
Fonem adalah kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi
membedakan makna. Dan kesatuan bunyi tersebut bertaut sehingga membentuk
suku kata. Fonem merupakan komponen langsung dalam suku. Pulgram (1970)
menyatakan bahwa:
The syllable is a linguistic unit of the figure type, a segment of the section, which contains one vowel nucleus and whose phonological boundaries, which may be but are not always necessarily signaled phonetically, are determined by a general set of phonological-phonotactic rules of syllabation that are applied to the specific phonotactics of a given language.
Dalam menentukan batasan suku, Pulgram terlihat banyak memperhatikan
berbagai hal yang terkait dengan ciri suku. Pulgram bertolak dari pernyataan
merupakan klas yang dapat ditempatkan di antara klas yang lainnya dalam jajaran
satuan bahasa, seperti fonem, morfem, ataupun leksem. Masing-masing dapat
dipandang sebagai satuan emik yang terdapat pada tuturan. Pengertian figura
dalam hubungan ini oleh Pulgram diberikan dengan mempertentangkan satuan
fonem dan suku dengan satuan morfem dan leksem. Satuan fonem dan suku
menurut Pulgram masuk tipe figura. Figura itu sendiri tidak bermakna dan tidak
pula menyatakan makna (the figure does not by and of itself convey meaning).
Namun, figura berguna dalam upaya melengkapi makna tanda (sign). Walau
tergolong ke dalam tipe figura, antara fonem dan suku tetap terdapat perbedaan
yang jelas. Pulgram melihat perbedaan itu dari ciri yang dimiliki oleh
masing-masing satuan bahasa di atas. Fonem memiliki ciri khusus yang memungkinkan
terdapatnya pengertian ataupun batasan tentang fonem itu sendiri. Ciri itu, yang
sekaligus dapat dijadikan batasannya adalah bahwa di samping sebagai figura,
fonem merupakan satuan fungsional terkecil bahasa. Dengan kedua ciri yang
dimilikinya itu dapat dikatakan bahwa fonem dengan sendirinya telah beroleh
batasan. Ciri fonem yang dimaksud di atas, yang sekaligus dapat dijadikan
sebagai batasannya, tidak terlihat pada suku. Walau tergolong figura, suku tidak
dapat diberi batasan atas dasar jumlah komponen satuannya. Hal ini disebabkan
oleh jumlah komponen fungsional suku tidak dapat diperkirakan. Suku tidak dapat
dikatakan merupakan satuan minimum atau maksimum, dan tidak pula sebagai
satuan dengan jumlah komponen yang pasti. Jelasnya, suku hanya dapat
diterangkan berdasarkan bentuk dan batas-batasnya sendiri. Sifat suku yang tidak
dapat disebut sebagai satuan fonotaktik minimum dengan sendirinya memperjelas
pengertian bahwa suku pada dasarnya terwujud berkat adanya kombinasi fonem
tertentu menurut kaidah fonotaktik yang berlaku. ( Hasibuan, (1996: 37-39)).
Fromkin dan Rodman (1993: 231) mengatakan bahwa pembatas-pembatas
(constraints) deretan segmen disebut pembatas-pembatas fonotaktik bahasa itu.
Jika kita memeriksa fonotaktik bahasa Inggris, kita menemukan bahwa fonotaktik
sebuah kata sebenarnya pada dasarnya berdasarkan fonotaktik suku kata.
Hyman (1975: 10) mengatakan bahwa ada juga pembatas-pembatas
segmental yang mencirikan tataran fonetis yang merujuk kepada
pembatas-pembatas segmental fonetis, dimana batasan-batasan seperti ini disebut pembatas-pembatas
segmental. Dan di samping pembatas-pembatas segmental, ada juga pembatas
fonotaktik (sequential constraints) dan yang dapat menyinggung salah satu tataran
fonetis atau tataran fonologis, atau kedua-duanya. Kalau dibicarakan masalah
pembatas-pembatas fonotaktik fonologis dan pembatas-pembatas fonetis, hal ini
berarti bahwa dalam kedua tataran itu, ada batasan bagaimana segmen (bunyi)
dapat dikombinasikan secara berurutan (sequentially). Hal ini bisa berarti bahwa
kata atau suku kata hanya dapat dimulai dengan segmen-segmen tertentu atau
segmen-segmen tertentu tidak dapat terjadi sebelum atau sesudah segmen (bunyi)
yang lain.
O’Grady, dkk (1997:77) mengatakan bahwa fonotaktik adalah seperangkat
pembatas-pembatas tentang bagaimana pola deretan bunyi-bunyi (segmen) itu
terbentuk, membentuk bagian dari kemampuan dan pengetahuan fonologis yang
dimiliki oleh penutur bahasa itu. Pembatas fonotaktik merujuk pada batasan
distribusi bunyi dan deretan bunyi pada posisi (awal, tengah, akhir) dalam kata
Alwi, dkk (1998:28) mengatakan bahwa dalam bahasa lisan, kata umumnya
terdiri dari rentetan bunyi yang satu mengikuti yang lain yang mempunyai makna.
Bunyi-bunyi itu mewakili rangkaian fonem serta alofonnya. Rangkaian fonem itu
tidak bersifat acak, tetapi mengikuti kaidah tertentu. Fonem yang satu yang dapat
mengikuti fonem yang lain ditentukan berdasarkan konvensi di antara para
pemakai bahasa itu sendiri. Kaidah yang mengatur deretan fonem dalam satu
bahasa disebut kaidah fonotaktik.
Kridalaksana (1982:58) memberikan tiga defenisi untuk istilah fonotaktik,
yaitu:
1. Urutan fonem yang dimungkinkan dalam suatu bahasa
2. Deskripsi tentang urutan tersebut
3. Gramatika stratifikasi, sistem pengaturan dalam stratum fonetik
Hawkins (1984:61) mengatakan bahwa kajian tentang kombinasi deretan
bunyi pada umumnya dikenal sebagai fonotaktik. Hal senada juga disampaikan
oleh Wolfram dan Johnson (1982:75) mengatakan bahwa pola-pola tertentu dalam
penggabungan bunyi-bunyi pada sebuah bahasa disebut fonotaktik bahasa itu.
Burling (1992:134) mengatakan bahwa fonotaktik merupakan kajian tentang
urutan dan susunan unit fonologis suatu bahasa yang dapat diizinkan tetapi
terbatas.
Finegan dan Besnier (1989:78) mengatakan bahwa kaidah-kaidah yang
memerikan struktur suku kata dalam suatu bahasa disebut pembatas fonotaktik.
Hartmann dan Stork (1972:175) mengatakan bahwa fonotaktik adalah sistem dan
mengatakan bahwa pembatas fonotaktik merujuk pada batasan distribusi bunyi
dan deretan bunyi pada posisi (awal, tengah, dan akhir) dalam kata atau frasa.
Dengan demikian dari pendapat di atas bahwa pembatas-pembatas dalam
memadukan beberapa bunyi bahasa dalam sebuah bahasa belum tentu merupakan
kendala bagi bahasa lainnya, dan dalam hal ini peneliti lebih cenderung mengikuti
pendapat Wofram dan Johnson (1982:75), Pulgram (1970), Kridalaksana
(!982:58), dan Burling, (1992:134) seperti yang dideskripsikan di atas.
2.2.2Fonem
Fonem sebagai figura oleh Pulgram (1970) disebut juga satuan fungsional
terkecil bahasa. Lyons (1981), yang juga menganggap fonem sebagai satuan
fungsional terkecil bahasa, memberikan batasan fonem dengan memperhatikan
aspek distribusinya. Lyons mengartikan distribusi itu sebagai konteks terdapatnya
suatu bunyi pada seluruh kalimat yang ada dalam sebuah bahasa. Dua buah bunyi
dapat dinyatakan sebagai dua fonem yang berbeda apabila di antara keduanya
terdapat distribusi tumpang tindih yang membedakan bentuk yang satu dengan
lainnya. Antara [m] dan [n] dalam bahasa Pesisir Sibolga, misalnya, dapat
dinyatakan sebagai dua fonem yang berbeda karena kedua bunyi tersebut
berdistribusi tumpang tindih. Perbedaan fungsionalnya terlihat, misalnya, dalam
membedakan bentuk [makkan] ‘makan’ dengan [nakkan] ‘keponakan’, ataupun
antara [ayam] ‘ayam’ dengan [ayan] ‘sejenis ember tapi digunakan untuk
memasak’. Hanya bunyi yang memiliki perbedaan fungsional saja yang dapat
atas diperoleh dua fonem yang berbeda. Keduanya adalah nasal bilabial /m/ dan
nasal alveolar /n/.
Jadi komponen sesungguhnya dari sistem bahasa adalah fonemnya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa fonem adalah kesatuan bunyi terkecil suatu
bahasa yang berfungsi membedakan makna. Fonem diklasifikasikan menjadi dua
golongan, yaitu fonem vokal dan fonem konsonan. Fonem vokal adalah bunyi
yang dihasilkan tanpa melibatkan penyempitan atau penutupan daerah artikulasi.
Ketika bunyi itu diucapkan, yang diatur hanyalah ruang resonansi pada rongga
mulut melalui pengaturan posisi lidah dan bibir. Fonem vokal lebih sedikit
jumlahnya bila dibandingkan dengan fonem konsonan. hal tersebut dikarenakan
terbatasnya pengaturan posisi lidah dan bibir ketika bunyi itu diucapkan. Berikut
ini merupakan peta fonem vokal yang terdapat dalam bahasa Indonesia.
Tabel 1
Peta Fonem Vokal dalam bahasa Indonesia
Depan Tengah Belakang
Tinggi / i / / u /
Sedang / e / /ə / / o /
Rendah / a /
Fonem konsonan adalah bunyi yang dihasilkan dengan melibatkan penyempitan
dan penutupan pada daerah artikulasi. Bunyi-bunyi konsonan ini lebih banyak
dalam upaya penyempitan atau penutupan ketika bunyi itu diucapkan. Berikut ini
merupakan peta fonem konsonan yang terdapat dalam bahasa Indonesia.
Tabel 2
Peta Fonem Konsonan dalam bahasa Indonesia
Cara
Dalam pembicaraan fonotaktik bahasa Pesisir Sibolga, komponen yang
2.2.3 Penyukuan (Syllabification)
Penyukuan adalah prinsip untuk menentukan kombinasi kata-kata yang
monosilabis dan disilabis dalam sebuah bahasa seperti yang dikutip dari beberapa
linguis di bawah ini:
Wolfram dan Johnson (1982:86) mengatakan bahwa prinsip untuk
menentukan kombinasi kata-kata yang monosilabis dalam sebuah bahasa disebut
penyukuan, yang terdiri atas suku kata yang terbuka dan tertutup.
Pulgram (1970) menyatakan bahwa kaidah atau aturan penyukuan didasari
oleh prinsip fonemik yaitu sebagai berikut:
1. Menetapkan kata mana dari tuturan yang harus diuraikan atas sukunya.
Batas-batas kata dengan sendirinya akan menjadi batas suku.
2. Membagi sementara setiap kata sedemikian rupa sehingga batas suku tetap
berada sesudah setiap vokal. Dengan cara ini diperoleh suku-suku terbuka.
3. Jika perolehan suku terbuka tidak memberi kemungkinan karena tidak
terdapatnya distribusi vokal pada posisi akhir kata, maka sejumlah
konsonan sebatas yang diperlukan dapat menutupi suku terbuka itu dengan
akhir suku yang diperbolehkan. Vokal yang semula menduduki posisi
akhir suku akhirnya berubah posisi karena adanya pemindahan konsonan
dari awal suku sesudahnya kepada suku yang mendahuluinya.
4. Jika perolehan suku terbuka tidak memberi kemungkinan karena sejumlah
konsonan yang akan menjadi awal suku bagi suku sesudahnya tidak
terdapat pada posisi awal kata, maka sejumlah konsonan sebatas yang
bagi suku yang mendahuluinya. Suku pertama, yang sebelumnya terbuka,
akhirnya menjadi tertutup.
5. Jika pemindahan konsonan dari posisi awal suku ke posisi akhir suku
memunculkan sejumlah konsonan akhir suku yang tidak diperbolehkan,
maka keunikan itu lebih dibebankan kepada akhir suku daripada ke awal
suku yang mengikutinya.
Kaidah penyukuan yang diusulkan Pulgram pada dasarnya memberi
pengutamaan pemerolehan suku terbuka serta pemaksimalan awal suku terbuka
serta pemaksimalan awal suku. Prinsip senada yang menguatkan kaidah
penyukuan Pulgram kemudian terlihat juga pada Clement and Keyser (1983).
Problema penetapan konsonan antara kepada suku (syllable node) mana
komponen K harus disertakan (yang di depan atau yang berikutnya) memberi latar
pengusutan ‘Prinsip Mendahulukan Awal Suku’ (The Onset First Principle)
mereka. Prinsip penyukuan mereka (1983) dalam Katamba (1989) adalah sebagai
berikut:
a. Konsonan awal suku dimaksimalkan sesuai dengan konsonan struktur suku
bahasa yang bersangkutan (syllable-initial consonants are maximised to the
extent consistent with the syllable structure conditions of the language in
question).
b. Konsonan akhir suku, kemudian, dimaksimalkan sesuai dengan kondisi
struktur suku bahasa yang bersangkutan (syllable-final consonants with the
Dalam penerapannya prinsip (a) harus mendahului (b), yaitu pemaksimalan
awal suku sebatas tercapainya kondisi struktur suku bahasa yang bersangkutan.
Struktur kata VKV, sesuai prinsip mendahulukan awal suku, harus diurai atas
V-KV. Kata bahasa Pesisir Sibolga <ijo>’ hijau’, misalnya, akan dapat diuraikan
atas sukunya menjadi /i-jo/, bukan /ij-o/.
Uraian lanjut prinsip penyukuan Clement and Keyser (1983), dapat dibuat
secara bertahap sebagai berikut:
a. Setiap V pada kata dihubungkan dengan simpul suku. Gambaran ini
memberi arti tidak terdapatnya suku tanpa V sebagai inti.
b. Setiap K digabungkan dengan V terdekat di sebelah kanannya sehingga
menghasilkan sejumlah konsonan yang tidak menyalahi kaidah bahasa yang
bersangkutan. Prosedur ini dengan sendirinya menghasilkan awal suku.
c. Setiap K yang tersisa disertakan kepada V terdekat di sebelah kirinya.
Prosedur ini dengan sendirinya menghasilkan akhir suku.
Dengan mengambil kata sadebo (sebagian) bahasa Pesisir Sibolga,
gambaran tahapan kerja di atas terlihat seperti di bawah ini.
K V K V K V
Setiap V, sesuai ketentuan pada (b), dihubungkan dengan simpul suku.
K V K V K V
s a d e b o
ketentuan (b) mengharuskan pengabungan setiap K kepada V disebelah kanan.
Penerapan (b) menghasilkan awal suku / s- /, / d- /, / b-/ yaitu /sa-de-bo/.
Katamba, (1998:164) lebih cenderung mendeskripsikan peranan suku kata
dalam fonologi daripada pengertian penyukuan seperti yang diberikan di bawah
ini:
1. Suku kata sebagai unit dasar fonotaktik. Dalam hal ini, suku kata tersebut
mengatur bagaimana konsonan dan vokal bisa dikombinasikan secara
hirarki fonologis.
2. Suku kata sebagai ranah kaidah fonologis. Dalam hal ini pembatas struktur
suku kata tidak dibatasi dari kata pinjaman dan interferensi bahasa ibu
(mother tonge), sehingga struktur kata sering memainkan peranan yang
penting dalam menentukan kaidah fonologis internal sebuah bahasa.
3. Suku kata sebagai struktur segmen yang kompleks. Dalam hal ini suku kata
tidak hanya mengatur kombinasi bunyi (segment) tetapi juga mengontrol
kombinasi ciri-ciri yang membentuk bunyi tersebut.
Spencer, (1996:72-73) mengatakan bahwa ada tiga alasan mengapa suku
1. Kalau kita perhatikan kumpulan bunyi dalam sebuah bahasa, kita akan
menemukan adanya prinsip yang tertentu digunakan dalam
pembentukannya.
2. Sangat banyak pembatas dalam bahasa tertentu cenderung diaplikasikan
pada tataran struktur suku kata di samping tataran morfem maupun tataran
kata.
3. Suku kata adalah hal yang paling baik dapat dipahami sebagai pembentukan
konstituen dalam proses fonologis. Pendeknya pengertian tentang
penyukuan sangat penting dalam pemahaman kita untuk menyusun sistem
fonologis suatu bahasa.
Hyman (1975:188) juga berpendapat dan menyatakan bahwa suku kata
terdiri dari dua bagian fonetis, yaitu:
1. Konsonan yang mendahului vokal disebut Onset (O)
2. Rima (R). Rima terdiri atas dua bagian yaitu: (a) inti (nucleus) atau ‘peak’,
(b) konsonan yang mengikuti vokal disebut koda (coda).
Contoh:
� = suku kata
Onset (O) Rhyme (R)
Nucleus (R) Coda
(C)
O’Grady, dkk (1989:79-80) mengatakan bahwa untuk mendeskripsikan
penyukuan dalam dua suku kata atau lebih melalui empat langkah, yaitu sebagai
berikut:
Langkah pertama, karena inti suku kata merupakan konstituen yang wajib pada sebuah suku kata, maka inti suku kata itu yang pertama sekali ditentukan
pada tiap-tiap sukunya yang biasanya vokal, dan di atas masing-masing simbol
nucleus (N) ditempatkan Rima (R), dan di atas masing-masing Rima (R)
ditempatkan simbol sigma (�) untuk pembatas suku katanya.
Contoh:
� �
R R
N N
ԑ k s t r i m (Extreme)
Langkah kedua, deretan konsonan yang terpanjang ke sebelah kiri masing-masing inti (N) yang tidak melanggar pembatas-pembatas fonotaktik suatu bahasa
disebut onset (O) dari suku katanya.
Contoh: � �
R R
N O N
Langkah ketiga, ini diartikan bahwa setiap konsonan yang sisa yang ada di sebelah kanan dan tiap-tiap (N) membentuk coda (C). Coda ini digabungkan
dengan inti suku kata yang berakhir dengan coda (C) dalam hal ini disebut suku
kata tertutup.
Contoh:
� �
R R
N C O N C
ԑ k s t r i m (Extreme)
Menurut Halim (1984:144), struktur suku kata (atau pola KV) terdiri dari 3
(tiga) bagian, yaitu: ‘ancang-ancang’, ‘puncak (inti)’, dan ‘koda’. Ambercrombie,
dalam Halim, menyebut ketiga bagian itu dengan istilah “konsonan pelesap” (K),
“unsur silabik” (V), dan “konsonan penahan” (K) (Halim, 1984:144). Dalam
penelitian ini istilah yang akan digunakan adalah konsonan (K) dan vokal (V).
Menurut Halim (1984) ada 4 (empat) tipe utama struktur suku kata dalam
bahasa Indonesia yaitu KV, KVK, VK, dan V. Kemudian Halim mengembangkan
kombinasi yang mungkin terjadi dari keempat tipe tersebut. Kombinasi yang
didapatkan Halim dalam 2 (dua) suku kata, adalah sebagai berikut:
1.KV – KV /lu-pa/
2.KV – KVK /ma-kan/
4.KVK – V /ma-u/
5.KVK – KV /tan-da/
6.KVK – KVK /lom-pat/
7.VK – KV /aη-ka/
8.VK – KVK /ar-wah/
9.V – KV /i-ni/
10. V – KVK /a-naɁ/
11. V - VK /a-ir/
12. V – V /i-a/
Moeliono dkk.(1988:66) memperluas keempat struktur suku kata utama
menjadi 11 macam yaitu:
1.V /a-mal/
2.VK /ar-ti/
3.KV /pa-sar/
4.KVK /pak-sa/
5.KKV /slo-gan/
6.KKVK /trak-tor/
7.KVKK /teks-til/
8.KKKV /stra-te-gi/
9.KKKVK /struk-tur/
10. KKVKK /kom-pleks/
Contoh-contoh pada struktur suku kata di atas yang mengandung gugus
konsonan sebagian besar berasal dari bahasa Inggris. Lauder mengungkapkan
bahwa sekitar 85% lema-lema yang terdapat dalam KBBI (1993) cenderung
berkonstruksi KV (49,50%) dan KVK (35,42%). Dari hasil perhitungan itu
terlihat bahwa suku yang mengandung gugus konsonan jumlahnya hanya
mencapai 3,65%. Jumlah yang kecil menunjukkan bahwa suku kata dengan
konstruksi demikian merupakan struktur baru dalam bahasa Indonesia.
Menurut Yusuf (1998:124) struktur suku kata yang paling alamiah adalah
KV (Konsonan Vokal) yang selalu muncul dalam berbagai bahasa di dunia, dan
dalam pemerolehan bahasa anak-anak. Struktur demikianlah yang pertama kali
dikuasai anak-anak. Begitu pula dalam bahasa Indonesia, konstruksi KV ini
merupakan salah satu dari 4 (empat) struktur suku kata utama, seperti yang telah
disebutkan sebelumnya.
Berdasarkan pada penjelasan di atas, disadari begitu banyaknya teori yang
disampaikan para ahli mengenai fonotaktik. Dalam setiap teori tersebut mereka
mempunyai ciri khas masing-masing. Namun dalam hal ini, teori yang dipakai
dalam penelitian ini, penulis mengikuti teori Pulgram (1970).
Contoh: /-mb-/ dalam bahasa Pesisir Sibolga seperti pada kata: [rambuɁ] ‘rambut’ pemisahan sukunya adalah [ram-buɁ]. Kedua pasangan bunyi ini berdampingan (berderet) dan kedua pasangan ini terletak pada suku kata yang
2.2.4 Deret Konsonan
Deret konsonan adalah gabungan dua konsonan yang terdapat pada suku
kata yang berbeda meskipun berdampingan seperti pendapat Pulgram, (1970:79)
mengatakan bahwa gabungan dua konsonan atau lebih yang terjadi pada suku kata
yang berbeda meskipun berdampingan disebut deret. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh Alwi, dkk., (1998:79) mengatakan bahwa deret adalah
gabungan dua konsonan atau lebih yang terjadi pada suku kata yang berbeda
meskipun berdampingan. Lauder, (1996: 148) juga menyatakan deret konsonan
adalah konsonan-konsonan yang berada dalam suku kata yang berbeda. Contoh
deret konsonan di tengah dalam bahasa Pesisir Sibolga (BPS):
/-mb-/ pada [rambuɁ] ‘rambut’
/-ŋk-/ pada [baŋka?] ‘jangan’
/-nt-/ pada [hantam] ‘angkat’
/-kk-/ pada [dakke?] ‘dekat’
2.2.5 Gugus Konsonan
Gugus konsonan adalah deretan dua konsonan atau lebih yang tergolong ke
dalam satu suku kata yang sama ketika dilafalkan baik pada posisi awal, tengah,
dan akhir kata. Lauder, (1996:150) mengatakan bahwa gugus konsonan adalah
dua atau tiga konsonan berdampingan yang terdapat dalam satu suku kata.
Pulgram (1970) dalam Hasibuan (1996:55) mengusulkan bahwa gugus konsonan
yang sama. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa gugus konsonan
merupakan gabungan dua atau tiga konsonan yang berjejer dalam satu suku kata
yang letaknya bisa di awal dan di akhir suku kata.
2.2.6 Deret Vokal
Deret vokal adalah vokal-vokal yang berderet dalam dua suku kata yang
berbeda. Deretan vokal biasanya merupakan dua vokal yang masing-masing
mempunyai satu hembusan napas dan karena itu masing-masing termasuk dalam
suku kata yang berbeda. Dengan kata lain deret vokal adalah dua atau lebih vokal
yang berjajaran yang terdapat pada suku kata yang berbeda ketika dilafalkan. Ada
beberapa defenisi deret vokal yang dikutip dari beberapa pendapat linguis di
bawah ini:
Aminoedin dkk.(1984:140) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan deret
vokal ialah dua atau lebih vokal yang berjajaran, tetapi masing-masing merupakan
puncak kenyaringan ucapan. Hal ini berarti bahwa masing-masing merupakan
suku yang berlainan. Alwi dkk.(1998:52) juga mengatakan deret vokal adalah
hembusan nafas yang sama atau hampir sama, kedua vokal itu termasuk dalam
suku kata yang berbeda. Contoh: deret /ai/, dan /ao/ pada kata kain (kain) dan
maon (rasakan) adalah deret vokal karena masing-masing terdiri atas dua suku
kata yaitu: ka-in dan ma-on.
Jadi dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa deret vokal merupakan
gabungan dua atau lebih vokal yang berjajaran yang terdapat pada suku kata yang
2.3 Tinjauan Pustaka
Penelitian ini tentang fonotaktik fonem dalam bahasa Pesisir Sibolga.
Penelitian ini memuat uraian yang sistematik dan relevan dari fakta, hasil
penelitian sebelumnya yang bersifat mutakhir yang memuat teori atau pendekatan
terbaru yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan. Berikut ini
beberapa penelitian yang telah dilakukan para peneliti-peneliti bahasa tentang
fonotaktik yang dapat dijadikan sebagai bahan dasar rujukan penelitian ini.
Hasibuan (2009) meneliti problematika fonotaktik bahasa Indonesia,
menyatakan setiap bahasa mempunyai ketentuan sendiri yang berkaitan dengan
kaidah kebahasaan termasuk di dalamnya kaidah deretan fonem. Kaidah yang
mengatur deretan fonem mana yang terdapat dalam bahasa dan mana yang tidak
dinamakan fonotaktik. Bahasa Indonesia juga mempunyai kaidah semacam itu
seperti deretan vokal, deretan konsonan, dan suku kata dalam bahasa Indonesia,
seperti: deretan vokal: /-iu-/ pada kata tiup, nyiur.
Deretan vokal di atas adalah deretan vokal yang lazim dan berterima dalam
bahasa Indonesia. Deretan konsonan misalnya /-mp-/ pada kata empat dan /-nd-/
pada kata indak. Deretan konsonan di atas adalah deretan konsonan yang lazim
dan berterima dalam bahasa Indonesia. Deretan vokal dan konsonan dalam suku
kata:
a. V : a - mal
b. VK : ar - ti
c. KV : pa - sar
d. KVK : pak - sa
f. KKVK : trak - tor
g. KVKK : teks - til
h. KKKV : stra – te - gi
i. KKKVK : struk - tur
j. KKVKK : kom - pleks
k. KVKKK : korps
Hasibuan (1979) dalam bukunya Deskripsi Bahasa Batak Toba menguraikan
inventarisasi fonem Bahasa Toba, sebagai berikut:
1. Vokal: /a/, /i/, /u/, /e/, /o/ dengan kata lain, vokal /e/ dan /o/ masing-masing
mempunyai alofon, yaitu:
/E/ [sEhat] bahasa Indonesia
e
/e/ [binje] ucapan suku Jawa
/ɵ/ [tɵlɵŋ] bahasa Indonesia
o
/o/ [bodo] bahasa Jawa
2. Konsonan: /b/, /p/, /d/, /t/, /j/, /g/, /k/, /m/, /n/, /ŋ/, /h/, /l/, /r/, /s/, /Ɂ/.
3. Fonem bahasa Indonesia yang tidak dijumpai pada bahasa Batak Toba yaitu:
e /∂/ [b∂nar] bahasa Indonesia
c /c/ [cacat] bahasa Indonesia
ñ ñ /ñ/ [ñañi] bahasa Indonesia
y /y/ [bayion] bunyi pelancar
dengan catatan:
fonem /w/ dan /y/ dalam bahasa Toba hanya dipakai sebagai bunyi pelancar
saja.
4. Bahasa Batak Toba mempunyai klaster tidak produktif yaitu: /nd/ - /ndang/
artinya ‘tidak’, dan /ndada/ ‘tidak ada’.
5. Diftong tidak dijumpai dalam bahasa Batak Toba seperti: balai [balE],
damai [damE], dan pulau [pulo].
Chaiyanara (2007) meneliti Fonotaktik Bahasa Melayu. Transfonologisasi
Internal dan Eksternal, maksudnya satu penyesuaian dan pemunculan bentuk
fonem yang baru serta kemajuan secara diakronik tentang sistem dan penyusunan
fonem bahasa Melayu. Transfonologisasi dimaksudkan sebagai satu fenomena
pembentukan sistem fonologi baru dalam suatu bahasa disebabkan oleh kebutuhan
tertentu dalam pembentukan kata dan penentuan makna.
Mengingat bahasa Austronesia Purba pada asalnya memiliki 4 (empat)
vokal yaitu [i, e, a, u], setelah berkembang menjadi bahasa Melayu induk, vokal i
dan u diperoleh masing-masing memiliki variasi fonemik dan berkembang
menjadi dua bunyi yang baru yaitu bunyi [i] menurunkan bunyi [i] dan [e]
sedangkan bunyi [u] menurunkan bunyi [u] dan [o] kepada bahasa Melayu induk.
Kemudian bunyi [a] memiliki variasi fonemik yaitu [a] dan [e] dalam
perkembangan bahasa Melayu induk. Dengan perubahan tersebut maka sistem
vokal dalam beberapa dialek bahasa Melayu induk terdiri dari sistem 6 vokal yaitu
Perubahan hasil Transfonologisasi Austronesia Purba bunyi [e] memiliki
variasi fonemik yaitu [e] dan [E], sedangkan bunyi [o] memiliki variasi fonemik
yaitu [o] dan [ↄ]. Hasil transfonologisasi yang berlaku dalam bahasa Austronesia
Purba dan bahasa Melayu induk terwujud dalam delapan vokal [i, e, a, ↄ, o, u, ∂].
Contoh: [ada], [ad∂], [adↄ], [ado], [gali], [biru], [bek]. Ahli berikut yang menyinggung fonotaktik bahasa Melayu/bahasa Indonesia adalah Spat (1900)
dalam Chayanara (2007). Fonem-fonem homorgan yang dapat berkombinasi telah
menjadi bagian dari perhatiannya. Antara lain adalah /ñ/ yang homorgan dengan
/c/ dan /j/, dan tidak menemukan adanya penerimaan kehadiran gugus konsonan.
Upaya Spat yang lain berkaitan dengan fonotaktik adalah penyukuan kata.
Setidaknya Spat telah memberikan rumusan tentang penyukuan kata dasar
(stamwoorden) dan kata berawalan. Untuk kata dasar Spat berpendapat bahwa
suku pertama senantiasa terbuka, sedangkan yang terakhir boleh terbuka ataupun
tertutup. Kata dasar seperti <tampar>, <jantan>, <angkat>, mengikuti rumusannya
dalam penyukuan akan menjadi /ta-mpar/, /ja-ntan/, /aŋ-kat/. Hasil penyukuan
kata dasar seperti yang dikemukakan oleh Spat terlihat lebih tepat disebut sebagai
hasil penggalan kata dasar daripada penyukuan atas dasar fonemik yang tetap
memperhatikan sistem fonem dan kenyataan berbahasa. Penyertaan dua konsonan
antara sekaligus kepada suku kedua untuk memperoleh suku pertama terbuka,
seperti dimaksudkan oleh Spat, tidak dapat diterima karen hal demikian
menyebabkan pemunculan gugus konsonan yang tidak ditemukan sebagai awal
kata dalam bahasa Indonesia. Penyukuan Spat dalam hal ini juga terlihat belum
kontradiktif dengan ketentuan sebelumnya yang tidak membenarkan adanya
gugus konsonan dalam bahasa Melayu/ bahasa Indonesia.
Hasibuan (1996) meneliti Fonotaktik dalam Suku Kata Bahasa Indonesia.
Ada dua upaya pokok yang dilakukan dalam telaah tersebut. Pertama adalah
penyukuan terhadap kata, dan yang kedua merupakan uraian suku atas komponen
fonemisnya. Kedua upaya tersebut bertujuan menemukan kaidah. Upaya pertama
diharapkan dapat menghasilkan seperangkat kaidah penyukuan, dan upaya kedua
dapat menemukan kaidah fonotaktis yang berlaku pada suku kata bahasa
Indonesia. Telaah fonotaktik dalam suku bahasa Indonesia ternyata dapat
mengungkapkan lebih banyak fonem yang dapat berdistribusi pada akhir suku
daripada di akhir kata. Terdapatnya konsonan nasal palatal /ɲ/ sebagai akhir suku
pada berbagai suku memperjelas bahwa konsonan tunggal yang dapat
berdistribusi di akhir kata tidak dapat disamakan dengan yang dapat berdistribusi
di akhir suku. Konsonan /ɲ/ pada kenyataannya dapat ditemukan sebagai akhir
suku dalam banyak contoh seperti berikut ini.
gincu /giñ.cu/ incar /iñ.car/
renceng /reñ.ceɲ/ benjol /beñ.jol/
gencar /gɜñ.car/ senjata /sɜñ.ja.ta/
ancam /añ.cam/ ganjaran /gañ.ja.ran/
bonjol /boñ.jol/ konco /koñ.co/
kuncup /kuñ.cup/ tunjuk /tuñ.juk/
Konsonan /ñ/, sebagaimana terlihat di atas, terdapat sebagai akhir suku
apabila fonem kedua konsonan antara sesudahnya terdiri dari hambat palatal.
Indonesia pada akhir suku. Kenyataan ini menguatkan sekaligus pendapat
Pulgram (1970) yang menyatakan bahwa fonem atau gugus konsonan yang
menjadi batas kata dapat dipastikan sebagai awal atau akhir suku, tetapi fonem
dapat dipastikan sebagai awal atau akhir suku belum bisa dipastikan dapat
menjadi batas kata. Melalui penyukuan kata, batas suku perolehan diupayakan
sedemikian rupa sehingga susun taut fonemisnya memenuhi kaidah fonotaktik
batas kata bahasa Indonesia. Dalam upaya penyukuan kata bahasa Indonesia yang
dilakukan terdapat kombinasi konsonan antara (/jl-/) yang dalam telaah bahasa
Indonesia, hingga sejauh ini, beliau belum melihat statusnya sebagai awal suku.
Tidak diterimanya /jl-/ sebagai awal suku bahasa Indonesia, dari segi kaidah
penyukuan, dengan mudah dapat dipahami. Alasannya, kombinasi konsonan
antara tersebut tidak terlihat sebagai batas awal atau sebagai pendahulu kata.
Awal atau akhir suku tidak dapat disamakan dengan batas kata, kombinasi
konsonan antara tersebut potensial untuk menjadi awal suku. Sebagai contohnya
dapat dilihat pada suku perolehan penyukuan kata anjlok (/añ.jlok/).
Kontribusi penelitia Hasibuan ini dijadikan acuan oleh penulis dalam
mendukung keberhasilan penelitian ini terutama dalam mencari kaidah yang
berlaku dalam bahasa Pesisir Sibolga dalam hal urutan fonem dalam pembentukan
kata. Selain itu, penelitian tersebut juga berkontribusi dalam menemukan
fonotaktik fonem dalam bahasa Pesisir Sibolga karena materi dan teori yang
digunakan adalah sama.
Siahaan (2009) meneliti Fonotaktik Bahasa Toba. Dari penelitannya tersebut
menemukan 21 (dua puluh satu) deret vokal dalam bahasa Toba yaitu: /ai/, /au/,
uae/, /aio/, dan /auo/. Deret vokal yang berada di awal, tengah dan akhir yaitu:
/ai/, /au/, /ae/, /ia/, /ua/, /ea/, /oi/. Deret vokal yang berada di tengah dan di akhir
yaitu /ao/, /iu/, /io/, /ue/, /eu/, /eo/, /oa/, /io/, /aoa/. Deret vokal yang berada di
tengah dan di akhir yaitu: /oa/, /iu/, /io/, /ue/, /eu/, /eo/, /oa/, /aoa/. Deret vokal
yang hanya berada di akhir yaitu: /ou/, /uo/.
Keduapuluh satu deret vokal di atas mempunyai jenis kata verba, nomina,
adjektiva, pronomina, dan adverbia. Deret konsonan dalam bahasa Toba ada 50
(lima puluh) yaitu: /-kp-/, /-kj-/, /-kd-/, /-kh-/, /-kt-/, /-kl-/, /-ks-/, /-lb-/, /-lg-/,
/-lm-/, /-ld-/-lm-/, /-lh-/-lm-/, /-lt-/-lm-/, /-lp-/-lm-/, /-lŋ-/, /-ls-/, /-mb-/, /-mp-/, /-ml-/, /-nd-/, /-ŋj-/, ns-/,
/-nt-/, /-ŋg-/, /-ŋt-/, /-ŋk-/, /-ŋs-/, /-ŋp-/, /-pr-/, /-pt-/, /-ph-/, /-ps-/, /-rb-/, /-rl-/, /-rt-/,
/-rh-/, /-rs-/, /-rj-/, /-rp-/, /-rg-/, /-rn-/, /-sp-/, /-sb-/, /-sn-/, /-st-/, /-sd-/, /-tm-/, /-tŋ-/,
/-ts-/.
Suku kata dalam bahasa Toba terdiri atas: vokal (V), vokal konsonan (VK),
konsonan vokal (KV) dan konsonan vokal konsonan (KVK). Dalam bahasa Toba
tidak ditemui gugus vokal, gugus konsonan, dan diftong. Dalam bahasa Toba
hanya ditemui cluster seperti /nd/ ‘ndang’ yang artinya ‘tidak’ dikatakan tidak
produktif.
Tarigan (2001) meneliti fonotaktik bahasa Karo. Dari penelitian tersebut
ditemukan struktur fonotaktik bahasa Karo yang ditinjau dari deret vokal, diftong,
gugus konsonan, deret konsonan dan suku kata. Deret vokal dalam bahasa Karo
ada 13 (tiga belas) yaitu: /ia/, /io/, /ea/, /eo/, /ai/, /ao/, /au/, /ou/, /ua/, ue/, /ui/, /ie/,
dan /iu/. Deret vokal /ia/, /io/, /ea/, /ai/, /au/, /ua/, /ui/, dan /iu/ berada pada posisi
awal, tengah dan akhir kata dasar, deret vokal /ou/ berada pada posisi awal dan
kata dasar. Jenis yang memuat ketiga belas deret vokal di atas adalah verba,
nomina, adjektiva, pronomina dan adverbia. Terdapat dua diftong yaitu /ou/ dan
/ei/. Kedua diftong tersebut berada pada posisi akhir kata dasar. Jenis yanng
memuat kedua diftong tersebut adalah nomina, adjektiva dan verba. Gugus
konsona dalam bahasa Karo ada enam yaitu: /mb-/, /mp-/, /nd-/, /nt-/, /ŋg-/, dan /ŋk-/. Keenam gugus konsonan tersebut berada pada posisi awal dan tengah kata
dasar. Dari data yang didapatkan diketahui bahwa gugus konsonan dalam bahasa
Karo tidak dijumpai yang terdiri atas perpaduan tiga atau empat segmen seperti
halnya bahasa Inggris dijumpai gugus konsonan yang terdiri dari perpaduan tiga
atau empat segmen dalam satu suku kata yang sama yang terdapat pada posisi
awal dan akhir kata. Pembatas-pembatas gugus konsonan berdasarkan analisis
data dapat disimpulkan bahwa hanya dijumpai dalam bentuk nasal (m, n, ŋ) dan
bunyi positif (b, p, t, d, k, dan g) sehingga terbentuklah gugus /mb-/, /mp-/, /nd-/,
/nt-/, /ŋg-/, dan /ŋk-/ yang disebut nasal homorganik sehingga gugus konsonan
dalam bahasa Karo hanya terbatas pada bunyi nasal + bunyi plosif dan gugus
konsonan /bm-/, /pm-/, /dn-/, /tn-, /gŋ-/, dan /kŋ-/ seperti gugus konsonan ini tidak
dijumpai dalam bahasa Karo. Deret konsonan juga ditemukan ada sepuluh jenis
yaitu:
1. Deret konsonan yang dimulai dengan /p/ berada pada posisi tengah. Jenis
deret konsonan ini adalah verba dan adjektiva.
2. Deret konsonan yang dimulai dengan /m/ berada pada posisi tengah. Jenis
deret konsonan ini adalah verba dan adjektiva.
3. Deret konsonan yang dimulai dengan /t/ berada pada posisi tengah. Jenis
4. Deret konsonan yang dimulai dengan /n/ berada pada posisi tengah. Jenis
deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.
5. Deret konsonan yang dimulai dengan /s/ berada pada posisi tengah. Jenis
deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.
6. Deret konsonan yang dimulai dengan /l/ berada pada posisi tengah. Jenis
deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.
7. Deret konsonan yang dimulai dengan /r/ berada pada posisi tengah. Jenis
deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.
8. Deret konsonan yang dimulai dengan /k/ berada pada posisi tengah kata
dasar. Jenis deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.
9. Deret konsonan yang dimulai dengan /ŋ/ berada pada posisi tengah. Jenis
deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.
10. Deret konsonan yang dimulai dengan /h/ berada pada posisi tengah. Jenis
deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.
Dan suku kata yang terdapat dalam bahasa Karo pada penelitian tersebut
terbagi atas:
1. Suku kata deret vokal berbentuk V. KV-VK, KV-V, V-VK dan KKV-V.
2. Suku kata diftong berbentuk KVK-KV dan KV-KV.
3. Suku kata gugus konsonan berbentuk KKV dan KKVK.
4. Suku kata deret konsonan berbentuk KK yang dijumpai hanya pada satu
posisi yaitu posisi tengah kata dasar.
Penelitian yang juga digunakan sebagai bahan pemikiran tesis ini adalah
hasil penelitian Lauder (1996) pada artikelnya yang berjudul “Khazanah Fonem
mengupas masalah fonotaktik bahasa Indonesia. Pengetahuan fonotaktik bahasa
Indonesia diperlukan sebagai acuan dalam menelaah fonotaktik fonem dalam
bahasa Pesisir Sibolga.
Lauder melakukan penilikan frekuensi dan fonotaktik fonem-fonem bahasa
Indonesia dalam rangka mengenali konstruksi bunyi bahasa Indonesia. Ada dua
prinsip konstruksi suku kata bahasa Indonesia yaitu ortografis dan gramatikal.
Data yang digunakan Lauder adalah Kompas dan Suara Pembaharuan, kemudian
diperoleh 255.704 kata, yang sudah diperiksa dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Lauder meneliti kata-kata yang diperoleh berdasarkan:
1. Frekuensi pemunculan vokal
2. Frekuensi pemunculan konsonan
3. Fonotaktik. Ada dua kecenderungan yaitu: (a) pola yang cenderung berderet
konsonan nasal-non nasal homorganik, contohnya [nan-ti], (b) pola yang
cenderung berkonsonan getar atau konsonan tak bersuara, contohnya
[mus-ti]
4. Gugus konsonan pada awal dan tengah kata yang paling menonjol dalam
kosakata bahasa Indonesia adalah konstruksi bunyi [kr-] dan [pr-].
Konstruksi yang cenderung digunakan adalah gugus konsonan di awal atau
tengah kata yang konsonan keduanya berupa konsonan getar [r] atau
konsonan sampingan [l]
5. Ada tujuh konstruksi diftong, gugus vokal, dan deret vokal yang ditemukan
yaitu /ai/, /au/, /eu/, /oi/, /ae/, /ui/ dan /ei/.
Dari penelitian itu, Lauder menyimpulkan bahwa penilikan frekuensi fonem
kecenderungan lebih pada pemakaian bunyi letup dan bunyi sengau. Lauder juga
menyebutkan bahwa sistem ejaan bahasa Indonesia cenderung fonemis.
Kontribusi yang dapat dijadikan bahan acuan terkait dengan penelitian yang
akan dilakukan ini adalah sama dan dengan adanya perbedaan kajian termasuk di
dalamnya penggunaan teori dan pendekatan yang berbeda maka diharapkan dapat
membantu peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini yaitu untuk mencari tahu
tentang fonotaktik fonem dalam bahasa Pesisir Sibolga yang terfokus pada deret
vokal, deret konsonan, suku kata, dan pola struktur fonotaktik fonem dalam