• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gagasan lain dari Derrida mengenai demokrasi adalah demos dan autoimunitas. Gagasan yang pertama dikaitkan dengan struktur biner demokrasi, yaitu terdiri atas demos (‘rakyat’) dan cratos (‘aturan’, ‘peraturan’, ‘pemerintahan’). Maka dari itu, demokrasi berarti ‘peraturan oleh rakyat.’ Selain itu, mengenai demokrasi, adagium awam yang terkenal adalah “Pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat.” Dengan demikian jelaslah bahwa demokrasi adalah sebuah perpaduan antara sesuatu yang riil (manusia, demos, ‘rakyat’) dan sesuatu yang konseptual (cratos, ‘aturan’, ‘pemerintahan’).

Berdasarkan deskripsi di atas, yang cenderung tidak disadari adalah bahwa pada kenyataannya rakyat, entitas yang riil ini, merupakan sekumpulan manusia yang beraneka ragam. Seorang rakyat bernama X bisa saja menganggap diri sebagai (1) teman, (2) profesor, (3) penggemar hobi memancing ikan, atau bahkan sebagai apa pun ketika bertemu dengan seorang rakyat juga bernama Y—yang bisa saja menganggap dirinya sendiri (1) penggemar sate, (2) kutu buku, (3) perakit komputer, atau apa pun—tergantung konteks pertemuan mereka berdua.

Sehubungan dengan itu, maka ada banyak sekali kemungkinan konteks pertemuan yang mungkin terjadi, minimal sebanyak jumlah manusia yang

bergabung dalam identitas rakyat. Maka dari itu, mustahilah bagi siapapun untuk mendefinisikan rakyat secara tepat, sesuai konteks terkini, dan, lebih dari itu, diterima (acceptable) secara sukarela oleh rakyat itu sendiri. Dalam arti, masing-masing rakyat tahu dan maklum kenapa dan dengan cara bagaimana mereka didefinisikan. Maka dari itu, yang paling logis adalah memandang bahwa rakyat tidak-bisa-tidak pasti bersifat dan beridentitas heterogen.

Karakteristik yang heterogen itu membuat demos secara riil tidak bisa dihomogenkan pemaknaannya ke dalam satu definisi. Bagaimanapun, pendefinisian atau homogenisasi demos kerap kali terjadi, terutama dalam hal yang bersifat legal formal (cratos) kenegaraan. Kemudian, apabila identitas demos terpaksa (atau dipaksakan agar) dipadatkan ke dalam satu definisi, heterogenitasnya akan menemui benturan-benturan, baik dalam persoalan individual maupun identitas-asal lainnya.

Misalnya, ketika X dan Y berperkara di suatu persidangan—ranah yang didalamnya cratos secara kontekstual bekerja—identitas keduanya langsung dipadatkan masing-masing ke dalam “penggugat” dan “tergugat.” Maka dari itu, lesaplah segala identitas lain—teman, profesor, penggemar hobi memancing ikan, penggemar sate, kutu buku, perakit komputer—yang secara natural bernaung di bawah identitas demos atau bahkan dipilih sendiri secara sukarela oleh rakyat yang bersangkutan. Kini, identitas kedua demos itu hanyalah “penggugat” atau “tergugat”, dua identitas yang secara telak diciptakan oleh cratos.

Maka dari itu, demokrasi pun sesungguhnya adalah oksimoron. Dalam arti, demokrasi mengikat entitas (demos) yang mustahil diseragamkan—yaitu tidak mungkin mengalami homogenisasi kecuali memunculkan benturan di antara sesama demos sendiri—dengan sesuatu (cratos) yang memang harus diseragamkan, mengalami homogenisasi, bukan heterogenisasi. Demokrasi mengikat dua entitas yang saling berlawanan. Demokrasi memiliki kontradiksi internal di dalam dirinya.

Dekonstruksi menjumpai kontradiksi internal ini dengan cara tertentu. Dalam sebuah wawancara oleh Borradori, Derrida (2003:120) menyatakan bahwa demos adalah keunikan yang ada di dalam dan tidak dapat dikalkulasi dari setiap orang. Demos menuntut kesetaraan fundamental bagi semua orang, terutama di ranah hukum (Wortham, 2010:35). Keunikan demos ini tidak dapat disepadankan dengan individu sebagai warga negara atau rakyat, melainkan sebagai dirinya sendiri.

Maka dari itu, dapatlah dipahami bahwa demos ada sebelum hukum, negara, atau ‘pemerintahan’—cratos—didefinisikan dan dibentuk. Dengan demikian, ketiga entitas tersebutlah yang harus mematuhi demos, bukan sebaliknya. Homogenitas cratos-lah yang harus menuruti heterogenitas demos, bukan sebaliknya. Jadi, penerapan demokrasi yang-akan-datang harus sesuai dengan kehendak demos secara keseluruhan.

Dalam sebuah wawancara oleh Geoffrey Bennington di Universitas Sussex (terekam di situs http://www.livingphilosophy.org/Derrida-politics-friendship), Derrida menegaskan bahwa pemahaman mengenai demokrasi hendaknya tidak dibatasi pada entitas politik tertentu, semisal pemilihan umum, kampanye, atau

organisasi partai, melainkan kembali berfokus kepada pemahaman tentang rakyat (demos) sebagai pencarian akan kesetaraan yang absolut. Mengaplikasikan demokrasi, dengan demikian, berarti memandang istimewa setiap manusia, baik sebagai hamba hukum (cratos) maupun terlebih lagi sebagai dirinya sendiri, di dalam identitas demos.

Lebih lanjut, dalam bukunya yang berjudul The Politics of Friendship (1997:viii), Derrida bahkan menghubungkan pertemanan (friendship)—sebuah relasi antarmanusia yang intens, natural, dan tidak terkotak-kotakkan oleh aturan tertulis negara—dengan politik. Dalam hal ini, politik yang dimaksudkannya bukanlah sebagai sebuah rezim atau bentuk kekuasaan tertentu, melainkan sebagai “melampaui prinsip-prinsip golongan.” Politik yang menjadi visi Derrida adalah politik yang melampaui upaya penjenisan dan pengkotak-kotakkan demos, yang sudah jelas-jelas sangat heterogen.

Sebab, dengan mengkotak-kotakkan entitas-yang-sudah-sangat-beragam (demos), alih-alih membiarkan setiap unsurnya bercampur-baur dan saling bersentuhan secara alami, batas-batas kedirian setiap orang kemudian menjadi sedemikian tegas dan cenderung terlarang untuk dilampaui. Mengikuti contoh sebelumnya, maka kedirian X dan Y secara tegas dibatasi hanya pada identitas “penggugat” dan “tergugat”—bukan lagi identitas sebagai “teman”, “profesor”, “penggemar hobi memancing ikan”, “penggemar sate”, “kutu buku”, “perakit komputer”, dan sebagainya yang padanya secara sukarela, tanpa tuntutan dari aturan tertulis (cratos), X dan Y mengidentifikasi diri. Dalam hal ini, batas-batas

tersebut merupakan produk cratos yang mengikat setiap orang, rakyat sebagai warga negara.

Keberadaan demokrasi yang semata-mata dimaknai sebagai sistem kekuasaaan selalu mengimplikasikan adanya pihak penguasa dan pihak yang dikuasai. Itulah oposisi hierarkis yang nyata. Padahal, yang dimaksudkan Derrida sendiri dengan (ber)demokrasi adalah hubungan pertemanan, yang selalu mengabaikan dan melampaui relasi (oposisi) hierarkis semisal kekuasaan. Sebab, dalam berteman seseorang tidak menjadi penguasa atau pun yang dikuasai.

Tentang hal ini, Kattekola (2012:17) menemukan bahwa Derrida mempersoalkan tendensi hegemonis tertentu yang berupaya mempersatukan keberagaman demos. Tendensi demikian justru menyubordinasikan keberagaman ras, sosial, dan kultural demos sendiri hanya demi kohesi sosial ala penguasa, sehingga tidak memunculkan respek dan tanggung jawab dari pihak demos (Kattekola, 2012:18). Hal demikian berbeda daripada hubungan alamiah—tanpa tendensi politik dari negara (cratos)—antar-demos, yang memang selalu berbaur selayaknya teman di dalam rutinitas.

Akan tetapi, penerapan demokrasi tanpa kekuasaan (cratos) negara adalah mustahil. Sebab, ketika hal itu dilakukan, rakyat akan mengalami keadaan chaos serta absennya kedaulatan untuk mengatur dan melindungi diri sendiri secara kolektif (sovereignty). Dengan demikian, ada upaya “bunuh diri” masyarakat di sana jika demokrasi diterapkan tanpa hadirnya penguasa. Kekuasaan, cratos, dan

sovereignty merupakan pharmakon18, yaitu racun (karena mengkotak-kotakkan demos dan berpeluang untuk menjadi yang superior terhadap demos) dan sekaligus obat (karena tanpanya demos akan jatuh ke dalam kekacauan).

Mengenai hal ini, Derrida mengajukan sebuah gagasan bernama autoimunitas, sebuah istilah yang juga ditemukan di dalam disiplin keilmuan biologi. Istilah autoimunitas sendiri menjelaskan proses ketika sebuah organisme menyerang sistem imunnya sendiri sebagai bentuk pertahanan-diri (D’cruz, 2008:93). D’cruz (2008:103) menyebut bahwa Derrida telah menyajikan dua contoh peristiwa tentang autoimunitas. Pertama, peristiwa pemilihan umum demokratis di Aljazair pada 1992, ketika pemungutan suara mayoritas rakyat di sana berakhir dengan kemenangan partai yang hendak mematikan sistem demokrasi dengan jalan penggantian dasar negara menjadi negara teokratis. Kedua, pemberlakuan aturan hukum—secara demokratis—di Amerika Serikat yang mengekang kebebasan warga negaranya sendiri setelah terjadinya Peristiwa 9/11.

Maka dari itu, secara garis besar autoimunitas merujuk pada kondisi ketika demokrasi menyerang, alih-alih melindungi, rakyatnya sendiri. Dalam hal ini, yang menyerang rakyatnya sendiri itu dapat sebagai demos maupun cratos. Sebagai demos, misalnya, ketika mayoritas rakyat menyerang kebebasan sesamanya secara sadar melalui proses pemungutan suara. Sebagai cratos, ketika sebuah aturan

18 Istilah pharmakon digunakan oleh Derrida (1981:96–97) dari pembacaannya atas teks dari Plato.

Pharmakon menjelaskan kemenduaan Plato dalam memandang tulisan, yaitu sebagai

yang-berbahaya baik bagi daya ingat (mnĕmĕ) maupun kebijaksanaan (sophia). Bagaimanapun, Derrida mampu menunjukkan bahwa diksi pharmakon yang digunakan oleh Plato justru mengingkari logika yang dibuat oleh Plato sendiri. Sebab, di dalam pharmakon bernama tulisan ini, tulisan pun dapat diposisikan sebagai obat baik bagi daya ingat (mnĕmĕ) maupun kebijaksanaan (sophia).

hukum dibuat dan diberlakukan justru untuk mengekang kebebasan rakyat. Kedua ekses peranan ini dibenarkan oleh sistem demokrasi, yang telah mengalami autoimunitas.

Sebelumnya, Derrida (2005:22) menyatakan bahwa untuk mengerti konsep demokrasi, siapapun harus berada di basis kebebasan. Memahami arti demokrasi “adalah” dengan memahami arti kebebasan. Mengutip Aristoteles, Derrida (2005:23) pun menambahkan bahwa salah satu faktor kebebasan, dalam demokrasi, adalah hadirnya daya memerintah (to govern) dan diperintah (to be governed) dalam siklus pergiliran. Pharmakon-nya pun terpecah di sini, yaitu obat “to govern” dan racun “to be governed.”

Demos dapat sesekali menenggak obat, yaitu ketika mereka (atau tepatnya, sebagian dari mereka) bebas memilih “to govern”, dan juga sekali waktu menghirup racun ketika mereka lebih memilih “to be governed.” Atas dasar itu, mengutip Plato, Derrida (2005:26) menyampaikan bahwa demokrasi, pada akhirnya, bukanlah nama bagi sebuah rezim ataupun konstitusi tertentu. Demokrasi cenderung ada sebagai sirkuit pemainan “minum obat/menenggak racun” atau arisan “berkuasa/terkuasai”, yang diselenggarakan dengan kebebasan yang utuh tanpa bayang-bayang rezim nirdemokratis apa pun.

Meskipun demikian, pada realitasnya banyak sekali rezim yang menganggap dirinya demokratis, entah itu bernama rezim Demokrasi Monarkis (Monarki-Konstitusional), Demokrasi Parlementer, Demokrasi Liberal, Demokrasi Populis, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, dan sebagainya. Jika sudah

mengalami hal demikian—Derrida (2005:33) sendiri mengambil contoh Nazi Jerman yang bangkit dan berkuasa melalui proses pemilihan umum yang demokratis—, demokrasi atau demos dikatakan telah mengalami autoimunitas. Autoimunitas ini lebih fatal daripada tindakan memilih racun pharmakon “to be governed” karena autoimunitas tersebut mensyaratkan keterlibatan penuh mayoritas demos.

Bagi Derrida (2005:34), ketika musuh-terburuk-bagi-kebebasan-demokratis dipercaya dan dituruti oleh mayoritas demos, maka musuh ini dapat berpenampilan sebagai sosok pro-demokrasi sejati. Misalnya, pada kasus pemilihan umum yang memunculkan rezim Nazi Jerman. Pemilihan umum tersebut terjadi berkat dukungan mayoritas demos Jerman. Sehubungan dengan itu, Derrida (2005:23) melihat bahwa baik Plato maupun Aristoteles—yang bahkan mengatakan bahwa prinsip keadilan adalah kesetaraan yang didasarkan pada jumlah, bukan pada kebermanfaatan yang seimbang—tahu implikasi “tirani mayoritas” ini.

Lebih jauh, “tirani” demikian akan berakibat fatal baik secara internal maupun eksternal. Internal, ketika “tirani mayoritas” menindas kebebasan demokratis pihak minoritasnya sendiri. Eksternal, ketika “tirani mayoritas” menindas mereka yang tidak beridentitas kolektif sama dengannya—semisal Jerman yang seluruh demos-nya (terutama ras Arya) mendukung Hitler dan ambisi ekspansifnya ke seluruh Eropa untuk melumatkan masyarakat non-Arya. Bagaimanapun, efek internal cenderung lebih sering terjadi daripada efek eksternal karena demos selalu sudah bersifat heterogen di dalam dirinya.

Maka dari itu, autoimunitas tidak bisa dicegah kecuali dengan kesadaran demos bahwa demokrasi (terutama dalam hal cratos-nya dari penanda demokrasi) berpeluang untuk diusir secara internal di dalam dirinya, dipinggirkan, atau dieksklusi oleh “Tiran demokratis”19 yang berdalih hendak mengukuhkan demokrasi. Persoalan ini bukanlah sesederhana “Tiran yang mengatasnamakan demokrasi.” Yang menjadi pokok masalah adalah apakah penerap demokrasi mampu menghindari dirinya sendiri dari upaya menghipnotis demos agar menindas sesamanya.

Keberagaman identitas demos yang hendak dipaksa masuk ke dalam satu kotak saja—semisal keberagaman identitas Jerman yang hendak dikukuhkan secara total ke dalam satu kotak “Bangsa Arya” oleh Hitler; keberagaman identitas Indonesia yang hendak dikukuhkan ke dalam satu kotak bernama “Pancasilais” oleh Soeharto dan “Revolusioner” oleh Soekarno—harus diawasi secara penuh dan, kalau mampu, dihindari oleh seluruh manusia yang telah bersatu secara sukarela, tanpa paksaan, di bawah identitas demos yang sama, bukan di bawah identitas kotak tertentu yang direka-reka oleh penguasa.

Kegagalan dalam berdemokrasi, dengan demikian, berkaitan dengan kegagalan manusia dalam memahami ke(ber)samaan identitas-di-dalam-keragaman dan jahatnya tirani. Apabila hal yang kedua terjadi, munculah sikap yang terburu-buru serta sering kali eksploitatif dan destruktif dalam memaknai

19 Ini pun adalah sebuah oksimoron. Ia dikatakan “Tiran” sebab tidak demokratis. Di sisi lain, ia dikatakan “demokratis” sebab muncul dari proses yang demokratis. Perhatikan bahwa oksimoron “Tiran demokratis” sejalan dengan oksimoron “demokrasi” (demos + cratos).

demokrasi. Bagi perspektif Derridean, sikap tersebut tidak dapat disetujui karena makna demokrasilah, sang Lain itu, bukan pendefinisian makna demokrasi, yang datang secara tiba-tiba. Oleh karena itu, bagi perspektif yang sama, diperlukan kesabaran dalam menerapkan demokrasi yang-akan-datang. Hal yang, antara lain, dapat diwujudkan dengan menjaga ke(ber)samaan identitas demos secara sukarela.

Dalam Counterpath (2004:63), yang ditulis oleh Catherine Malabou bersama dengan Derrida, filsuf Perancis ini bahkan menghubungkan demokrasi dengan gagasannya mengenai katastrofe.20 Katastrofe tidak berada dalam kondisi waktu yang konvensional—seperti tanggal, hari, bulan, tahun, dan sebagainya— melainkan semata-mata datang dan bahkan melenyapkan waktu itu sendiri. Inilah kemendadakan yang dirindukan sekaligus “pelenyapan” yang tidak dapat dihindari oleh kesabaran dalam menerapkan demokrasi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:635), katastrofe berarti malapetaka atau perubahan yang terjadi secara cepat dan mendadak. Dalam perspektif agama, katastrofe dapat disamakan dengan kiamat, peristiwa peniadaan yang mengerikan. Namun bagi Derrida, katastrofe bukanlah akhir yang harus dipikirkan secara mesianistik atau sebagai Bencana Besar (dengan “B”, bukan “b”), melainkan sebagai terpenuhinya janji-janji demokrasi. Jelaslah dengan katastrofe ini, bahwa makna demokrasi hanya dapat “akan datang”, bukan “dapat didatangkan.”

20 “Derrida affirms that catastrophe has to be thought of together with promise, the promise of

Akhirnya, Kiamat Besar adalah ketika seluruh demos mendefinisikan makna demokrasi. Kiamat Kecil adalah ketika sebagian (kecil) demos, yaitu yang menganggap dirinya sebagai penguasa, mendefinisikan makna demokrasi. Sementara itu, katastrofe, sebagai pelenyapan-yang-dirindukan, adalah ketika makna demokrasi itu datang sendiri kepada seluruh demos, termasuk mereka yang menganggap dirinya sebagai penguasa.

1.5.4 Différance

Critchley (1992:240) menyatakan bahwa demokrasi di dalam dirinya memiliki sifat ke-différance-an (différantial structure).21 Artinya, demokrasi dicirikan oleh ketidaklengkapan dan penundaan demi terpenuhinya kehadiran maknanya sendiri yang hakiki. Ketidaklengkapan selalu berarti perbedaan dengan yang dianggap lengkap. Kemudian, tercapainya makna yang hakiki adalah upaya yang terus-menerus tertunda. Oleh karena itu, sifat demokrasi ini selaras dengan karakteristik différance yaitu “berbeda” sekaligus “menunda”, sebagaimana yang akan dijelaskan sebagai berikut.

Différance secara kebahasaan dapat dimengerti melalui arti kata to differ (‘membedakan’) dan to defer (‘menunda’) yang dihubungkan dengan tindakan memaknai (al-Fayyadl, 2005:110). Karakteristik différance tidak bisa dilepaskan dari arti dua kata tersebut, yaitu bahwa ia memiliki pengertian spasial (dalam arti ‘membedakan’ sesuatu yang meruang) dari kata to differ dan temporal (karena

‘menunda’ selalu berkaitan dengan pelamaan waktu) dari kata to defer (Derrida, 1982:9; Selden dkk., 2005:165).

Bahasa Perancis adalah bahasa asalnya. Berkaitan dengan itu, différance pertama-tama dipahami melalui kata à différer, yang dalam bahasa Perancis berarti sekaligus ‘membedakan’ (to differ) dan ‘menunda’ (to defer). Gandanya arti tersebut membebaskan Derrida, sebagai penutur bahasa Perancis, untuk mengungkapkan gagasan filosofisnya yang hendak menampik terpenuhinya totalitas makna.

Dalam bahasa Perancis pula, terdapat kata différence (différer dengan imbuhan {-ence}) yang merujuk pada ‘efek dari hal-hal yang berbeda’ atau ‘perbedaan’. Kemudian, ada pula kata différant yang berarti ‘sedang membedakan’. Akhiran {-ant} dalam bahasa Perancis memiliki fungsi yang sama dengan akhiran {-ing} dalam bahasa Inggris, yaitu untuk merujuk pada arti ‘sedang dilakukan’ bagi suatu verba. Yang ditekankan pada deskripsi ini adalah huruf a dalam akhiran {-ant} dan huruf e dalam akhiran {-ence}.

Beranjak dari itu, différance dapat mengantarkan pemahaman lebih dekat kepada tindakan sedang membedakan-sekaligus-menunda (à différer) (perhatikan huruf a di dalam sufiks {-ance} différance) bahkan sebelum adanya perbedaan (différence) itu sendiri (Derrida, 1982:8). Hal ini terjadi karena huruf e dari akhiran {-ence} dalam kata bahasa Perancis différence digantikan oleh huruf a, yang berasal dari sufiks {-ant}, sehingga terbentuklah istilah différance.

Penggantian huruf e menjadi huruf a pada istilah différance juga dimaksudkan oleh Derrida sebagai kritik atas logosentrisme Saussurian dan terutama metafisika kehadiran. Sebab, huruf a pada différance hanya bisa dideteksi melalui tulisan, bukan tuturan. Hal ini jelas bertolak belakang dengan pernyataan logosentris Saussure yaitu bahwa yang utama adalah tuturan.

Meskipun setuju dengan pernyataan Saussure yang lain, semisal bahwa makna hanya terjadi akibat perbedaan internal kebahasaan (Saussure, 1959:117) dan di dalam bahasa hanya ada perbedaan-perbedaan tanpa referen positif (Saussure, 1959:120), Derrida (1982:4) tetap menganggap différance sebagai kuburan bagi intensi apa pun yang menotalkan makna, termasuk intensi Saussure. Derrida “mengubur” logosentrisnya Saussure hanya dengan satu huruf a.

Meskipun demikian, Derrida (1982:6–7) menegaskan bahwa différance tidak bisa direduksi ke dalam definisi ontologis atau teologis apa pun. Bahkan, masih menurut Derrida, différance bukanlah sebuah kata atau konsep. Dengan différance, Derrida semata-mata memaklumkan teks agar menjadi medan yang tidak merujuk pada kebenaran transendental apa pun. Ia bagaikan sebuah gurun pasir tidak berujung tepi. Sebab, bagi Derrida (1976:xvi), tidak ada penanda transendental serta referen final di luar teks, sehingga semua penanda tidak merujuk pada apa pun selain penanda. Jadi, sebuah teks ada tanpa tujuan akhir (telos).

Walaupun terkesan nihilis, pemikiran Derrida ini berguna untuk melawan semangat tiran apa pun yang berusaha menotalkan makna demokrasi, baik secara konseptual maupun tindakan. Sebab, sifat ke-différance-an ini—yang termuat di

dalam setiap upaya penerapan demokrasi—bertolak belakang dengan hasrat penotalan makna demokrasi. Maka dari itu, différance dapat dilacak di dalam upaya penotalan yang demikian untuk membuktikan ketidaklogisan seorang tiran demokrasi (meskipun tiran ini mengatasnamakan dan berkuasa melalui proses yang demokratis). Irasionalitas yang dimaksud adalah ketidakselarasan antara apa yang diungkapkan dan apa yang dilaksanakan mengenai demokrasi.

Sampai di akhir penjelasan ini, kelima gagasan Derrida mengenai demokrasi di atas dapat dipilah menjadi dua, yaitu gagasan yang mengandaikan hubungan horizontal di dalam demokrasi dan gagasan yang mengandaikan hubungan vertikal. Yang pertama berisikan gagasan demokrasi yang-akan-datang dan demos, sedangkan yang kedua berisikan gagasan différance dan autoimunitas. Hubungan horizontal berarti bahwa semua orang yang terlibat di dalam penerapan demokrasi hadir secara setara satu sama lain, sedangkan hubungan vertikal berarti sebaliknya.

Gagasan demokrasi yang-akan-datang dan demos berfokus pada pandangan bahwa penerapan demokrasi yang dimaknai tidak sebagai closure mensyaratkan agar setiap orang berposisi secara setara satu sama lain. Semua orang sama-sama menerapkan demokrasi yang maknanya tidak bisa dihadirkan secara final. Sebab, finalitas makna berarti menafikan identitas demos. Sementara itu, gagasan différance dan autoimunitas berkonsentrasi pada fakta bahwa di dalam demokrasi relasi vertikal antara pemerintah dan yang-diperintah harus ada. Meskipun demikian, relasi ini—jika menafikan identitas demos—dapat memunculkan musibah autoimunitas dari pemerintah kepada yang-diperintah. Untuk itu, pelacakan différance dapat mencegah atau setidaknya melacak autoimunitas ini.

Di pihak lain, gagasan aporia tidak termasuk ke dalam baik relasi horizontal maupun relasi vertikal. Dikatakan demikian, sebab aporia “ingin” menjembatani agar semua orang di dalam demokrasi dipandang setara. Namun, di saat yang sama, aporia pun mencegah persamaan ini karena aporia terikat oleh fakta bahwa demokrasi tidak mungkin bekerja tanpa keberadaan pemerintah (yang-superior) di dalam relasi vertikal.

Yang inkalkulatif bagi aporia adalah kesetaraan absolut, yaitu relasi horizontal yang berlaku bagi seluruh demos, sedangkan yang kalkulatif bagi aporia adalah ketidaksetaraan-vertikal yang memang harus ada, yaitu antara pemerintah dan yang-diperintah. Oleh karena itu, gagasan aporia terletak di antara relasi vertikal dan relasi horizontal di dalam demokrasi. Aporia memisahkan sekaligus menghubungkan kedua relasi itu. Aporia memotong sekaligus menjalin hubungan kedua relasi itu.

Pemilahan gagasan-gagasan Derrida mengenai demokrasi tersaji di dalam diagram berikut.

Gambar 1. Diagram Pemilahan Gagasan-gagasan Derrida tentang Demokrasi

Dokumen terkait