• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. bahwa sastra berusaha menangkap pengalaman konkret manusia, sedangkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. bahwa sastra berusaha menangkap pengalaman konkret manusia, sedangkan"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Ada pendapat yang cenderung mengatakan bahwa sastra terpisah daripada atau steril terhadap politik. Pendapat demikian datang, antara lain, dari Damono (1978:49). Dalam pembahasannya mengenai novel politik, Damono menjelaskan bahwa sastra berusaha menangkap pengalaman konkret manusia, sedangkan ideologi—politik—adalah sesuatu yang bersifat abstrak. Maka dari itu, yang abstrak ini, bagi Damono, akan “membangkang” bila dipaksa masuk ke dalam teks sastra. Dengan hal itu, secara implisit Damono mengatakan bahwa politik tidak akan bisa masuk ke dalam teks sastra kecuali bahwa sastra dikompromikan atau tidak menjadi dirinya sendiri.

Pendapat yang serupa juga datang dari Budi Darma, sebagaimana dikutip oleh Heryanto (1985:42). Darma mengatakan, “Sebagai seorang warga negara, setiap pengarang memang mempunyai kewajiban untuk ‘committed’ (sic) terhadap kehidupan sosial. … Tapi sebagai pengarang … dia mempunyai kewajiban yang berbeda.” Secara implisit Darma menilai bahwa seorang sastrawan seharusnya steril dari kekuatan politik tertentu di dalam karyanya. Urusan politik sebisa mungkin tidak datang dari karya sastra seorang pengarang, melainkan dari karya nonsastranya.

(2)

Akan tetapi, dewasa ini pendapat demikian cenderung tidak lagi relevan. Hal ini tampak, antara lain, dari pandangan Seno Gumira Ajidarma (1997:111), dalam kaitannya dengan hegemoni penguasa politik atas warga, yang menyebut:

“Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara, karena bila jurnalisme bersumber dari fakta, maka sastra bersumber dari kebenaran. ... Kebenaran bisa sampai apa pun bentuknya. Bagi saya, dalam bentuk fakta maupun fiksi, kebenaran adalah kebenaran - yang getarannya bisa dirasakan setiap orang.”

Dalam hal ini, pembungkaman tersebut datang dari kekuasaan politik tertentu. Bagi Ajidarma, seorang sastrawan boleh secara sadar melibatkan dirinya dalam upaya resistensi atas dominasi penguasa politik. Maka dari itu, tidak tampak keterpisahan antara domain politik dan domain sastra di dalam kerja seorang sastrawan, meskipun yang pertama masih dapat dibedakan dari yang kedua, yaitu bahwa domain politik menampilkan kebenaran dalam bentuk fakta, sedangkan domain sastra menampilkan hal yang sama dalam bentuk fiksi.

Penelitian ini akan mengkaji hubungan antara sastra dan politik di Indonesia. Dalam hal ini, sastra akan dibatasi pada sastra Angkatan 66, sedangkan politik akan dibatasi pada demokrasi. Pembatasan sastra ke dalam karya-karya Angkatan 66 mengindikasikan bahwa kelompok tersebut memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan angkatan lainnya. Hal yang sama juga menandakan bahwa hubungan antara sastra dan politik akan lebih bersifat kekinian jika Angkatan 66 disertakan. Kemudian, pembatasan politik ke dalam demokrasi menandakan bahwa demokrasi merupakan sistem yang relevan dewasa ini dibandingkan dengan sistem politik lainnya.

(3)

Sastra Angkatan 66 menghadapi persoalan politik di Indonesia dengan cara yang berbeda daripada angkatan-angkatan sebelumnya, yaitu, misalnya, Angkatan Pujangga Baru dan Angkatan 45. Menurut Faruk (1995:5), Angkatan Pujangga Baru menghadapi domain politik dalam kaitannya dengan nasionalisme, sebuah ideologi yang bekerja di domain politik. Selain itu, yang terutama adalah bahwa Angkatan Pujangga Baru, dalam batas tertentu, menemui kekuasaan politik yang tidak berasal dari bangsa Indonesia, yaitu pemerintah kolonial Belanda.1

Yang datang setelah Angkatan Pujangga Baru adalah Angkatan 45, yang bersemangat universalisme.2 Angkatan 45, seperti halnya Angkatan Pujangga Baru

dan Angkatan 66, aktif di domain politik dengan keterlibatan yang sadar. Hal ini, antara lain, tampak dari sajak Chairil Anwar yang berjudul “Persetujuan dengan Bung Karno.” Selain itu, yang terutama membedakan Angkatan 45 daripada Angkatan 66 adalah bahwa Angkatan 45 menemui lawan atau kekuasaan politik yang tidak berasal dari bangsa Indonesia sendiri, yaitu penjajahan Jepang (Jassin, 1968a:5). Maka dari itu, hal ini pula yang menyamakan Angkatan 45 dengan

1 Patut diperhatikan bahwa memosisikan secara telak Angkatan Pujangga Baru berlawanan dengan

pemerintah kolonial Belanda akan menyesatkan. Faruk (2007:52), misalnya, mengatakan bahwa independensi (Angkatan) Pujangga Baru—yang tampak dari eksistensi majalahnya, Poedjangga

Baroe—memang membangun citra kedekatannya dengan masyarakat pribumi, namun kebijakan

redaksionalnya tetap berada dalam bayang-bayang politik kebudayaan pemerintah kolonial Belanda. Bahkan, pada mulanya kalangan nasionalis pribumi tidak begitu antusias dalam menyambut

Poedjangga Baroe, yang dinilainya kebarat-baratan dan masih berhubungan dengan Balai Pustaka,

sebuah institusi pendidikan dan literasi milik pemerintah kolonial Belanda (Faruk, 2007:49).

2 Kutipan dari Chairil Anwar berikut menunjukkan semangat demikian.

“… Kata ialah Kebenaran!!! Bahwa Kata tidak membudak pada dua majikan, bahwa Kata ialah These sendiri!! Dan waktu lampau cuma mengajar kita : didesakkannya kita ke kesedaran (sic!) yang ada memang dalam diri sendiri. … Dunia – terlebih kita – yang kehilangan kemerdekaan dalam segala makna, menikmatkan kembali kelezatannya kemerdekaan. Kemerdekaan dan Pertanggung Jawab adalah harga manusia ….” (Jassin, 1968b:144-145). (huruf kursif dari peneliti –HR).

(4)

Angkatan Pujangga Baru dan sekaligus membedakannya dari Angkatan 66: menemui kekuatan politik asing di negeri sendiri.

Angkatan 66 menemui lawan politik yang berasal dari bangsa Indonesia sendiri, yaitu kekuasaan Soekarno, yang kemudian runtuh dan digantikan oleh kekuasaan Soeharto. Nama bagi pihak yang pertama adalah Orde Lama3, sedangkan bagi pihak yang kedua adalah Orde Baru. Kuntowijoyo (Ismail, 2005:xi-xiv) secara implisit menilai bahwa Angkatan 66 berposisi sebagai pelaku sejarah—aktif terlibat dalam upaya perlawanan—terhadap kekuasaan Orde Lama, sementara kekuasaan Orde Baru ditemui ketika Angkatan 66 berposisi sebagai saksi sejarah, yang tidak terlibat dalam upaya perlawanan.

Ketakterlibatan ini berlaku tidak hanya bagi Angkatan 66, yang sudah berusia tua pada momen runtuhnya kekuasaan Soeharto. Pada kenyataannya, angkatan-angkatan pasca-66—seperti Angkatan 70-an, Angkatan 80-an, Angkatan 90-an, dan, terutama, Angkatan 20004—pun tidak terlibat dengan pergerakan politik terbuka. Semua angkatan tersebut hanya sampai pada tahap memunculkan resistensi, bukan perlawanan frontal dan serentak. Resistensi demikian tidak sejajar dengan pergerakan terdahulu yang melawan orde kekuasaan tertentu, seperti pergerakan antikolonial Belanda (bagi Angkatan Pujangga Baru), anti-pendudukan Jepang (bagi Angkatan 45), dan anti-tirani Orde Lama (bagi Angkatan 66).

3 Menurut Nasution (1989:31), istilah Orde Lama dan Orde Baru mulai populer ketika

berlangsungnya sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 22 Juni 1966. Istilah Orde Lama sendiri dimaksudkan bahwa kekuasaan Soekarno telah menyelewengkan Undang-Undang Dasar dan bahwa Orde Baru adalah pengoreksi kesalahan Orde Lama.

4 Daftar mengenai angkatan-angkatan pasca-66, lihat Leksikon Susastra Indonesia oleh Korrie

(5)

Runtuhnya kekuasaan Orde Baru hanya diiringi oleh kebersatuan pergerakan rakyat dengan mahasiswa. Dalam peristiwa itu, tidak muncul kebersatuan dan keterlibatan kalangan sastrawan, terutama Angkatan 2000, dengan pergerakan tersebut. Angkatan 2000 sebagai sastrawan tidak terlibat di dalam pergerakan politik pada momen kritis tersebut. Hal demikian tampak dari antologi Lampan (2000b), yang menghimpun para sastrawan ke dalam kelompok Angkatan 2000. Di dalam himpunan itu, tampak bahwa sastrawan yang sadar politik5 tidak

terorganisasi, melainkan hanya mengekspresikan resistensinya melalui karyanya masing-masing, dalam mengkritisi—bukan meruntuhkan—sebuah kekuasaan politik.

Hal ini menjelaskan perbedaan antara Angkatan 66 dan angkatan-angkatan sesudahnya. Sebab, Angkatan 66 pernah terlibat di dalam sebuah pergerakan politik terbuka yaitu, antara lain, aksi demonstrasi mahasiswa yang berusaha meruntuhkan tirani Orde Lama (Ismail, 1993:ix-xxv). Bahkan, Angkatan 66 bertindak lebih jauh. Orde yang kemudian muncul pasca-runtuhnya Orde Lama, bagaimanapun, merupakan hasil kolaborasi Angkatan 66 dengan pihak lain6 di luar rakyat. Pihak lain demikian dapat dipandang sebagai elite politik.

5 Mereka, antara lain, adalah Wiji Thukul (dengan karyanya yang berorientasi pada perjuangan kaum

buruh), Joko Pinurbo (dengan esainya, “Puisi di Tengah Wacana Kekuasaan” [Rampan, 2000b:379]), atau Helvy Tiana Rosa (dengan cerpennya, “Jaring-jaring Merah” [Rampan, 2000b:302]).

6 Perhatikan pernyataan dari Abdul Haris Nasution (1989:4), salah seorang eksponen militer

Indonesia, berikut.

“…siasat yang paling bijaksana untuk memenangkan Orde Baru adalah dengan siasat serta taktis konstitusional …. Baik koreksi-koreksi maupun tuntutan Angkatan 66 oleh Pengemban SP (Surat Perintah) 11 Maret akan disalurkan secara demokratis konstitusional kepada MPRS …, setelah badan ini dibersihkan dari Gestapu/PKI serta oknum plin-plan lainnya.” (Huruf kursif dari peneliti -HR).

(6)

Bagi Jassin (1968a:xv), kelahiran Angkatan 66 adalah suatu peristiwa politik yaitu ketika sekelompok mahasiswa menolak ekses kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah. Hatta ([2004] 1960) secara implisit menyimpulkan bahwa ekses tersebut adalah penyelewengan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, sehingga menyebabkan hilangnya wibawa pemerintah Orde Lama. Di tempat lain, Hatta bahkan menyebut bahwa (ekses) kekuasaan Soekarno melebihi kekuasaan kolonial Belanda (Rose, 1991:327). Dengan demikian, posisi Angkatan 66 tampak khas daripada angkatan-angkatan sebelum atau sesudahnya. Sebab, yang dihadapinya secara kolektif melalui pergerakan politik terbuka adalah ekses kekuasaan dari sebagian kecil bangsa Indonesia sendiri yang melampaui kolonialisme asing.

Jassin (1968a) mengelompokkan 55 sastrawan ke dalam Angkatan 66. Sastrawan yang demikian adalah para penulis teks prosa dan puisi. Lebih lanjut, Jassin (1968a:19) menempatkan sastrawan Angkatan 66 identik dengan para sastrawan penanda tangan Manifes Kebudayaan7, sebuah dokumen yang dianggap

Dengan demikian, tampak bahwa lahirnya Orde Baru juga merupakan hasil kontribusi Angkatan 66 terhadap jatuhnya Orde Lama. Juga tampak dari sini bahwa penamaan Angkatan 66 pertama-tama bukanlah berkaitan dengan persoalan sejarah sastra saja, melainkan juga terutama persoalan politis.

7 Manifes Kebudayaan terbit sebagai halaman tersendiri yang dikembarkan dalam majalah Sastra

pada 17 Agustus 1963 (Teeuw, 1980:258). Manifes Kebudayaan berbunyi:

—Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita2 dan politik kebudayaan Nasional kami;

—Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk tujuan kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya;

—Dalam melaksanakan kebudayaan Nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah2 masyarakat bangsa2;

—Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami. Djakarta, 17 Agustus 1963

(7)

berseberangan dengan ideologi Soekarno, yaitu terutama Manifesto Politik (Ismail, 1993:xiv-xv). Di pihak lain, Nasution (1989), salah seorang eksponen dari domain politik dan militer, cenderung mengidentifikasi Angkatan 66 sebagai kelompok pengusung Tritura8. Bagaimanapun, baik di domain sastra maupun di domain politik, Angkatan 66 bersemangat anti-tirani, menegakkan kebenaran dan keadilan (Jassin, 1968a:xv), serta mengusung ideologi Pancasila (Jassin, 1968a:5) dan anti-komunisme.

Dalam domain sastra Angkatan 66, teks puisi—bukan teks prosa atau apalagi teks drama—memiliki keunikan. Hal ini tampak dari pemilahan yang diberikan oleh Jassin (1968a) mengenai teks puisi karya Angkatan 66, yaitu adanya istilah sajak demonstrasi. Penamaan teks sajak ini, dilihat dari imbuhan demonstrasi, jelas menggambarkan suasana gerakan politis berupa peruntuhan tirani, sebagai pihak

H.B. Jassin Hartono Andangdjaja Trisno Sumardjo Sjahwil

Wiratmo Sukito Djufri Tanissan

Zaini Binsar Sitompul

Bokor Hutasuhut Taufiq A. G. Ismail Goenawan Mohamad Gerson Poyk A. Bastari Asnin M. Saribi

Bur Rasuanto Poernawan Tjondronegoro Soe Hok Djin Ekana Siswojo

D. S. Moeljanto Nashar

Ras Siregar Boen S. Oemarjati.

Menurut Teeuw (1980:259), para penyusun manifes itu menyaingi tuntutan bahwa hanya cita-cita kebudayaan Marxis sajalah satu-satunya cita-cita yang sah bagi Indonesia. Mereka bertindak secara kolektif dan menentang monolitisma mutlak yang dituntut oleh Lekra atas nama demokrasi terpimpin dengan slogan Manipol, Usdek, dll. Kemudian, di bawah pimpinan Pramoedya Ananta Toer, suatu serangan yang amat hebat dilancarkan terhadap orang-orang Manikebu, suatu nama bagi Manifes Kebudayaan yang sengaja dibuat untuk mendiskreditkan para penyusun manifes (Ismail, 1993:xiv). Akhirnya, pada 8 Mei 1964 Presiden Soekarno melarang Manifes Kebudayaan (Manikebu).

8 Tritura adalah nama bagi tiga tuntutan, yang juga dikenal sebagai Tri Tuntutan Rakyat atau Tiga

Tuntutan Rakyat. Isi Tritura adalah sebagai berikut: (1) bubarkan PKI (Partai Komunis Indonesia), (2) ritul Kabinet, dan (3) turunkan harga (Ismail, 1993:xx). Isi Tritura juga, menurut tulisan Noer (1990:610), adalah (1) membubarkan PKI, (2) membentuk kabinet baru, dan (3) menurunkan harga. Tritura dimunculkan pertama kali pada 10 Januari 1966 (Jassin, 1968a:9).

(8)

nirdemokratis, dan, lebih dari itu, keterlibatan para penyair Angkatan 66. Maka dari itu, istilah yang dimunculkan oleh Jassin bukanlah prosa demonstrasi atau drama demonstrasi bagi Angkatan 66, melainkan sajak demonstrasi. Di sisi lain, demonstrasi bukanlah sebuah aktivitas yang berdampak sastrawi, melainkan sosial-politik, sehingga munculnya istilah sajak demonstrasi menandakan keterlibatan para penyair Angkatan 66, secara sadar dan terorganisasi, di domain politik.

Ada 25 penyair yang dikelompokkan oleh Jassin (1968a) ke dalam Angkatan 66. Di antara mereka itu, Taufiq Ismail merupakan penyair yang terkemuka dalam menyuarakan ideologi Angkatan 66. Hal ini tampak dari pendapat Rosidi (1988:55)—yang baginya seiring dengan pendapat Jassin sendiri—yaitu bahwa sajak-sajak demonstrasi dari Taufiq Ismail adalah karya yang paling representatif untuk mewakili karya Angkatan 66. Pendapat yang serupa juga datang dari Teeuw (1979:80), yang mengatakan bahwa Taufiq Ismail adalah contoh yang tidak terlupakan mengenai penyair-penyair yang bersajak pada periode runtuhnya kekuasaan Soekarno.9

Teks puisi karya Taufiq Ismail yang lahir bersamaan dengan munculnya Angkatan 66 adalah teks kumpulan sajak Tirani dan Benteng. Kemudian, selepas dari momentum runtuhnya Orde Lama, Taufiq Ismail juga berpuisi mengenai momen runtuhnya Orde Baru. Puisi yang dimaksud adalah teks kumpulan sajak Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Dalam penelitian ini, peneliti menyertakan teks kumpulan sajak Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia dengan alasan bahwa kesetiaan

9 “… the names of the poets concerned [with the period of repression of Soekarno] are all forgotten,

(9)

dan konsistensi penyair terhadap ideologi yang diyakininya sejak tahun kelahiran Angkatan 66 patut dipersoalkan. Dengan demikian, kontekstualitas Angkatan 66 dapat dilacak.

Dalam penelitian ini, istilah politik didefinisikan sebagai domain yang memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan di dalam kehidupan masyarakat (Efriza, 2008:9). Selain itu, menurut Heywood (2011:2), istilah politik juga merujuk pada aktivitas yang melaluinya masyarakat membuat, menyediakan, dan mengembangkan peraturan publik untuk diberlakukan bagi hidup mereka. Maka dari itu, setiap pembentukan peraturan adalah hasil proses politik yang melibatkan pemerintah dan mereka yang diperintah. Dalam pada itu, pihak yang pertama dapat dikatakan berkuasa atas pihak yang kedua demi kebijakan umum. Kemudian, interaksi politis antara kedua pihak ini terjadi di dalam lembaga negara.

Menurut Plato (Efriza, 2008:222), terdapat lima bentuk negara yang berkaitan dengan karakteristik manusia. Oleh karena itu, kelima bentuk negara ini mengalami perkembangan siklis. Pertama, aristokrasi yaitu pemerintahan yang diselenggarakan oleh para aristokrat atau cendekiawan demi kepentingan seluruh rakyat dengan tujuan keadilan. Oleh karena sifat para aristokrat itu berubah, bentuk pemerintahan aristokrasi pun ikut berubah menjadi yang berikutnya. Kedua, timokrasi yaitu pemerintahan oleh para aristokrat yang berhasrat pada kemasyhuran. Oleh karena hasrat ini, timokrasi pun merosot menjadi bentuk pemerintahan berikutnya. Ketiga, oligarki yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh kaum kaya demi kepentingan mereka sendiri. Rakyat membenci oligarki, sehingga

(10)

kekuasaan kaum kaya direbut oleh rakyat dan memunculkan bentuk pemerintahan berikutnya. Keempat, demokrasi yaitu pemerintahan oleh rakyat.

Awalnya, demokrasi dianggap ideal, sampai ketika rakyat tidak tahu bagaimana cara memerintah diri mereka sendiri secara kolektif, sehingga munculah kondisi kacau (chaos). Untuk mengatasi chaos ini, tampilah sosok penguasa bertangan besi, sehingga demokrasi merosot menjadi bentuk pemerintahan berikutnya. Kelima, tirani yaitu pemerintahan oleh penguasa absolut yang sewenang-wenang. Jika penguasa absolut ini tidak mampu menstabilkan kondisi politik negaranya, bentuk pemerintahan tirani akan kembali menjadi aristokrasi.

Maka dari itu, demokrasi menjadi punya persoalan di dalam dirinya. Sebab, ketika seluruh rakyat diberi kekuasaan untuk mengatur diri mereka sendiri, peluang munculnya penindas rakyat justru terjadi. Lebih kontekstual lagi, di antara sistem bernegara lainnya, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang paling populer dewasa ini. Terutama sejak berakhirnya Perang Dunia II, hampir tidak ada sistem pemerintahan yang tidak menggunakan label demokrasi, bahkan termasuk kediktatoran atau komunisme mengimbuhi pemerintahannya dengan demokrasi (Denitch, 1992:115). Jadi, hampir tidak ada negara di dunia kini yang bebas dari ancaman tirani, sebagaimana diprediksi siklus Platonian.

Dalam kaitannya dengan Indonesia, demokrasi tidak pernah absen sebagai sistem pemerintahan yang berlaku. Setidak-tidaknya, ada tiga sistem pemerintahan yang berimbuhan demokrasi, yaitu Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, dan Demokrasi Pancasila. Dengan demikian, sejak Proklamasi Kemerdekaan

(11)

hingga kini, hubungan politik di dalam negara Indonesia diusahakan agar selalu berlangsung di dalam prinsip yang demokratis. Demokrasi—bukan aristokrasi, timokrasi, oligarki, atau tirani—telah dipilih secara konsisten, meski tidak selalu secara konsekuen, sebagai bentuk pemerintahan yang sah di Indonesia.

Secara historis, Orde Lama dan Orde Baru menggunakan demokrasi sebagai landasan ideal. Bagi yang pertama adalah Demokrasi Terpimpin (Lubis, 1986:14), sedangkan bagi yang kedua adalah Demokrasi Pancasila (Aspinall, 2005:xi). Runtuhnya kekuasaan Orde Lama diawali oleh peristiwa G30S, yang mengorbankan nyawa 78.500–600.000 manusia (Roosa, 2008:42).10 Sementara itu,

runtuhnya kekuasaan Orde Baru diawali oleh peristiwa Kerusuhan Mei 1998, yang untuk Jakarta saja mengorbankan nyawa 1.200 manusia (Friend, 2003:264).11 Dari kedua poin itu, tampak keganjilan bahwa rakyatlah yang selalu menjadi korban chaos penerapan demokrasi, yang berimbuhan baik Terpimpin maupun Pancasila.

Taufiq Ismail menyinggung chaos runtuhnya Orde Lama dan Orde Baru di dalam tiga buah teks kumpulan sajaknya, yaitu Tirani, Benteng (keduanya ditulis mayoritas pada 1966), dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (yang bertahun cipta 1998).12 Fokus peneliti semata-mata kepada ketiga teks karya Taufiq Ismail itu

didahului dengan asumsi bahwa teks kumpulan sajak lain, dari penyair yang sama,

10 Angka tersebut terinci sebagai berikut. Komisi Pencari Fakta yang ditunjuk oleh Presiden

Soekarno melaporkan pada Januari 1966 bahwa terdapat 78.500 orang mati dibunuh. Di pihak lain, Tat, seorang sipil yang tergabung dalam komisi tersebut, mengatakan secara pribadi kepada Soekarno bahwa jumlah korban jiwa sebenarnya mendekati 500.000 atau 600.000.

11 Sebagai pelengkap, data dari Thufail (2007:78) bahkan menyebut bahwa 1.190 orang di antaranya

tewas terpanggang di dalam bangunan pertokoan.

12 Penulisan ketiga teks kumpulan sajak ini tidak memakai huruf kursif atau tanda kutip. Sebab,

ketiganya bukanlah berbentuk buku atau sebuah sajak, melainkan kumpulan sajak yang termuat di dalam sebuah buku.

(12)

kurang mampu berkaitan dengan (penerapan) demokrasi di Indonesia. Artinya, situasi penciptaan Tirani, Benteng, dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia mempunyai hubungan yang kuat dengan makna proses berdemokrasi di Indonesia, terutama Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila. Selain itu, ketiga teks kumpulan sajak ini diduga mempersoalkan mudahnya demokrasi untuk diduduki (being occupied) oleh rezim yang nirdemokratis.

Lebih jauh, kata tirani, benteng, dan malu yang terdapat di dalam judul teks kumpulan sajak tersebut diduga mempersoalkan bahwa demokrasi berpeluang memunculkan rezim nirdemokratis dari dalam dirinya sendiri, sehingga sejalan dengan prediksi siklus Platonian. Persoalan demikian mengenai “rezim yang adalah tirani, sehingga mengondisikan kalangan prodemokrasi agar membuat benteng13 perlawanan, namun dari dalam benteng itu justru lahir rezim nirdemokratis lainnya, sehingga membuat malu kalangan prodemokrasi yang sejati.”

Pengutamaan ini (“prodemokrasi yang sejati”) diduga telah mengarahkan penyair untuk membuat kriterianya sendiri atau model yang menurutnya ideal mengenai demokrasi. Misalnya, sebagai eksponen Angkatan 66, penyair diduga telah membuat kriteria bahwa suatu sistem dikatakan demokratis hanya jika sistem tersebut berpedoman pada Pancasila sekaligus antikomunisme—terutama jika hal ini dihubungkan dengan isi dokumen produk Angkatan 66, yaitu Manifes

13 Di tempat lain, Nasution (1989:191) menggunakan kata benteng untuk menggambarkan kuatnya

pendirian Orde Lama. Di sana dikatakan bahwa :

“Sejak bulan Oktober 1965 sampai dengan Maret 1967 kita terbenam dalam pergolakan … antara Angkatan 66 dengan pihak sisa G30S serta ‘benteng Orde Lama.’”

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa suasana pada kurun waktu itu (1965-1967) cenderung bernuansa ofensif selayaknya sebuah pertempuran—ada benteng Orde Lama di satu pihak dan benteng Orde Baru dan Angkatan 66 di pihak lain.

(13)

Kebudayaan dan Tritura. Maka dari itu, ada kemungkinan bahwa penyair telah menyandarkan finalitas kebagusan makna atau membentuk sebuah keutuhan (closure) demokrasi pada kriterianya sendiri.

Sesuai dengan teori yang digunakan dalam penelitian ini (Derridean, yang juga dipakai sebagai metode penelitian, yaitu dekonstruksi14), persoalan closure semakin problematis karena adanya kontradiksi atau oposisi internal di dalam demokrasi. Artinya, oposisi-internal ini memperlawankan demokrasi bukan kepada selain-demokrasi (semisal tirani), melainkan kepada sesuatu-di-dalam-demokrasi-sendiri. Pihak pro-demokrasi, yaitu penyair sebagai representasi Angkatan 66, diduga tidak sadar akan hal ini. Maka dari itu, setiap closure mengenai kesejatian berdemokrasi patut dipersoalkan, yaitu dengan cara bahwa demokrasi dimaknai sebagai dirinya sendiri, tanpa perlu dilekatkan dengan istilah atau penanda apa pun.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian sebelumnya, peneliti merumuskan masalah-masalah di dalam penelitian ini sebagai berikut.

1) Bagaimana makna demokrasi di dalam struktur oposisional teks kumpulan sajak Tirani, Benteng, dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia?

14 Dalam dekonstruksi, Derrida (1988:148) menganggap bahwa segala referen yang mungkin adalah

teks—“tidak ada apa-apa di luar teks,” demikian katanya. Kemudian, di dalam teks yang bertendensi

closure (atau logosentris), selalu ada struktur oposisional (Wortham, 2010:131). Lebih lengkap

(14)

2) Bagaimana kontradiksi-internal demokrasi terbentuk di dalam struktur tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan pada dua tataran, yaitu teoretis dan praktis. Pada tataran teoretis, peneliti berintensi agar pemikiran Derrida dapat mendeskripsikan makna demokrasi di dalam Tirani, Benteng, dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia karya Taufiq Ismail. Kemudian, hasil pendeskripsian itu diharapkan mampu menjelaskan kecenderungan munculnya sosok tirani dari dalam rahim demokrasi; penjelasan yang diperoleh dari perspektif disiplin ilmu sastra.

Pada tataran praktis, peneliti berharap agar hasil penelitian ini dapat turut memperkaya khazanah kritik sastra Indonesia. Selain itu, hasil analisis ini diharapkan tidak hanya terbatas pada kajian ilmu sastra, melainkan turut serta ke dalam kajian disiplin keilmuan lain. Misalnya, hasil analisis ini dapat dipertimbangkan sebagai bahan untuk pengkajian relasi antara sastra dan politik atau hubungan yang mungkin terjadi antara demokrasi dan literasi.

Lebih lagi, dewasa ini Indonesia sedang berada dalam “tahun politik” 2014. Masa ini adalah masa ketika masyarakat Indonesia diharapkan untuk belajar kembali, membaca lagi, catatan tentang masa lalu atau tulisan yang merekam ingatan kolektif bangsa. Harapannya, dengan keterbukaan-diri mengenai perspektif lain dalam memandang ingatan-bersama, semisal G30S dan Kerusuhan Mei 1998, masyarakat Indonesia dapat melalui “tahun politik” ini dengan tepat, yaitu tidak

(15)

hanya sukses menghasilkan pemimpin(-pemimpin) yang enggan mengulangi kesalahan Soekarno dan Soeharto, di samping tidak hanya berkemauan untuk mencari sisi bagus dari kedua sosok tersebut, melainkan juga turut memaknai demokrasi secara inklusif.

1.4 Tinjauan Pustaka

Sebelum penelitian ini dilakukan, peneliti telah berusaha mencari dan mempelajari penelitian-penelitian lain yang telah dilaksanakan atas objek yang sama, yaitu teks kumpulan sajak Tirani, Benteng, dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia karya Taufiq Ismail, serta atas metode yang sama yaitu dekonstruksi.

Berkaitan dengan objek, peneliti menemukan sebuah skripsi karya Ida Fitriyah dari Jurusan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia Karya Taufiq Ismail: Pemaknaan Semiotik Riffaterre” (2005). Sebagaimana tersua di judul itu, Fitriyah menganalisis teks kumpulan sajak tersebut dengan teori yang berbeda, yaitu semiotika Riffaterre, sehingga penelitian ini tidak akan menghasilkan simpulan yang sama.

Selain itu, peneliti juga menjumpai sebuah tesis berjudul “Keadilan dalam Kumpulan Puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia Karya Taufiq Ismail: Pemaknaan Semiotik Riffaterre” (2009) karya Nuryati Djihadah dari Program Studi S-2 Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada. Penelitian yang dilaksanakan oleh Djihadah menggunakan objek yang sama yaitu teks kumpulan sajak Malu (Aku)

(16)

Jadi Orang Indonesia. Perbedaannya terletak pada teori yang digunakan dan fokus penelitian yaitu keadilan.

Peneliti juga menemukan sebuah penelitian berjudul “Telaah Semiotika Ragam Bahasa Sastra Taufiq Ismail dalam Kumpulan Puisi ‘Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia’” (2005) karya Daroe Iswatiningsih, seorang pengajar Jurusan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang. Meskipun objek yang dipilihnya sama, Iswatiningsih menggunakan teori yang berbeda, yaitu semiotika, untuk menganalisisnya. Teori semiotika yang digunakannya cenderung merupakan campuran konsep-konsep dari Riffaterre, Pradopo, dan Abrams. Dengan demikian, peneliti tidak menemukan adanya kesamaan penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Iswatiningsih. Adapun penelitian yang menggunakan metode dekonstruksi dijumpai pada karya Murtini (1993) dari Program Studi S-2 Sastra Indonesia dan Jawa Universitas Gadjah Mada. Penelitian yang berupa tesis tersebut menggunakan objek penelitian prosa karya Ramadhan K.H., sehingga tidak memiliki kesamaan dengan objek penelitian ini, yaitu teks puisi karya Taufiq Ismail.

Berdasarkan tinjauan-tinjauan di atas, penelitian ini dianggap akan mengemukakan kebaruan dalam hal teori, metode, fokus, dan objek yang digunakan.

(17)

1.5 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan gagasan-gagasan dari Derrida mengenai demokrasi sebagai landasan teori. Adapun gagasan-gagasan yang dimaksud adalah democracy to come, aporia, demos, autoimunitas, dan différance. Bagaimanapun, peneliti, mengikuti pendapat Hägglund (2008:171-172), menganggap bahwa pengutamaan Derrida terhadap demokrasi—bukan aristokrasi, timokrasi, oligarki, tirani, atau sistem pemerintahan lainnya—hanyalah berarti bahwa demokrasi berpeluang untuk tidak mengabsolutkan makna dirinya. Sehubungan dengan itu, menghindari pengabsolutan adalah karakteristik filsafat Derrida (Hägglund, 2008:31).

1.5.1 Democracy To Come

Democracy to come atau la démocratie à venir diterjemahkan sebagai demokrasi yang-akan-datang. Peneliti menggunakan istilah “yang-akan-datang” untuk menerjemahkan to come, yang secara harfiah berarti ‘yang akan datang’ (tanpa tanda hubung), dengan alasan bahwa tanda hubung ini berguna untuk menghindarkan gagasan Derrida dari pertanyaan semisal “Jenis demokrasi apa yang akan datang itu?”. Sebab, Derrida sama sekali tidak bermaksud mengajukan satu jenis demokrasi yang baru dengan gagasannya. Tanda hubung di dalam terjemahan bahasa Indonesia ini berguna untuk menegaskan bahwa yang menjadi fokus adalah makna atau pemaknaan atas demokrasi itu sendiri.

(18)

Pemaknaan atau makna demokrasi sering kali dibatasi label-label tertentu yang dihubungkan dengan penanda demokrasi. Dampaknya, penjenisan demokrasi tidak dapat dihindari lagi. Misalnya, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Konstitusional, Demokrasi Terpimpin, dan Demokrasi Pancasila. Pada dua contoh yang tersebut terakhir, demokrasi hadir semata-mata sebagai ‘yang dipimpin’ atau ‘yang didasarkan pada Pancasila’, bukan sebagai dirinya sendiri.

Oleh karena penanda demokrasi sudah dijadikan pelengkap bagi sebuah tindakan, pemaknaan dan makna demokrasi pun dianggap sudah utuh dan final. Demokrasi kemudian dimunculkan sebagai sesuatu yang sudah tidak perlu dikritisi lagi, yaitu sebuah closure. Meskipun demikian, tindakan yang diimbuhi penanda demokrasi dapat saja bersifat anti-demokrasi. Akhirnya, makna demokrasi sudah tidak bebas lagi karena dikekang oleh penanda—semisal terpimpin atau Pancasila—yang menyertainya.

Mengenai demokrasi yang-akan-datang, Hodge (2007:135) menjelaskan bahwa gagasan dari Derrida itu memberi janji pembebasan menuju yang tak-ternamakan atau yang belum-termunculkan. Sekurang-kurangnya, pembebasan itu dilakukan terhadap penanda demokrasi, yang kerap kali diduduki (occupied) oleh intensi eksklusif tertentu. Demokrasi yang-akan-datang, sekali lagi, bukanlah sebuah jenis demokrasi yang baru. Oleh karena itu, penanda demokrasi dalam istilah demokrasi yang-akan-datang bersifat inklusif dan bebas dari penunggalan makna.

(19)

Artinya, penanda yang-akan-datang bukanlah sebuah label yang mengikat makna demokrasi. Ia bukanlah penanda yang punya daya ikat eksklusif semisal Parlementer, Konstitusional, Terpimpin, atau Pancasila. Penanda yang-akan-datang justru mendukung kebebasan penanda demokrasi agar demokrasi dimaknai secara inklusif, dengan catatan bahwa tujuan berdemokrasi sendiri adalah yang tak-ternamakan dan/atau belum-termunculkan. Sebab, makna demokrasi itu adalah the Other (sang Lain), sesuatu yang berbeda sama sekali dari apa yang dapat ditemukan dalam kekinian.

Untuk memahami penjelasan tersebut, peneliti terlebih dahulu mendeskripsikan pandangan Derrida mengenai ‘yang akan datang’, tanpa perlu pertama-tama dihubungkan dengan penanda demokrasi. Yang dimaksud oleh Derrida dengan karakteristik ‘yang akan datang’ berbeda dari pengertian awam mengenai ‘yang akan terjadi’. Dalam hal ini, kedatangan sesuatu tidak sama dengan terjadinya sesuatu. Untuk menjelaskannya, diadakan pemilahan antara the future (masa depan) dan l’avenir (to come, ‘yang akan datang’).15

Bagi Derrida, masa depan adalah apa yang akan terjadi secara terprogram, terjadwal, atau terprediksi. Artinya, masa depan mematuhi kaidah-kaidah waktu dalam sistem hasil konvensi manusia—semisal, jam, tanggal, hari, atau tahun. Sementara itu, ‘yang akan datang’ semata-mata merujuk pada sosok yang kedatangannya tidak dapat diduga oleh manusia. Sosok itu bukanlah sosok yang

15 Penjelasan mengenai the future dan l’avenir ini sebagian besar berdasarkan hasil wawancara

terhadap Derrida dalam film dokumenter berjudul Derrida (2002) yang disutradarai oleh Kirby Dick dan Amy Ziering Kofman.

(20)

bisa dihadirkan secara utuh sebagaimana entitas yang empiris. Kedatangan sosok itu pun tidak mematuhi kaidah waktu kalender, sebagai hasil konvensi manusia, sehingga tidak mungkin terprediksi.

Sosok itu adalah sang Lain yang menyingkapkan kediriannya sendiri kepada manusia. Kedatangan sang Lain terjadi tanpa bisa diantisipasi oleh manusia. Manusia hanya mampu bersikap pasif terhadap kedatangan sang Lain (al-Fayyadl, 2005:199). Kepasifan yang radikal ini—yang juga berkaitan dengan kritik Derrida terhadap logosentrisme16—dapat digunakan dalam upaya memaknai demokrasi. Singkatnya, bersikap pasif dalam usaha untuk memaknai demokrasi adalah inti demokrasi yang-akan-datang.

Sebaliknya, usaha untuk menerapkan demokrasi harus selalu aktif sehingga sang Lain dapat mendatangkan dirinya sendiri kepada manusia. Keaktifan inilah yang ditegaskan oleh Derrida mengenai dekonstruksi sebagai pengalaman akan ketidakmungkinan yang memerlukan sikap keterbukaan terhadap sang Lain (Wortham, 2010:131).

Di samping aktif, usaha untuk menerapkan demokrasi adalah usaha yang inklusif, yaitu meruangkan perbedaan. Oleh karena itu pula, perspektif Derridean

16 Logosentrisme berarti ‘berpusat pada logos’. Logos adalah kebenaran atau kebenaran dari

kebenaran (Piliang, 2003:125). Hasrat kepada (1) asal yang tertinggi, (2) tujuan (telos), atau (3) prinsip-prinsip kebenaran yang merupakan dasar makna juga dapat disamakan sebagai logosentrisme (Wortham, 2010:89). Terhadap linguistik Saussurian, logosentrisme yang dimaksud Derrida adalah metafisika kehadiran, yaitu bahwa perspektif Saussure masih berhasrat pada kehadiran subjek penutur atau terpusatnya kesadaran pada bunyi (al-Fayyadl, 2005:62). Hal ini menyebabkan kecenderungan Saussure untuk mengutamakan tuturan (parole) daripada tulisan dan bahkan menuduh tulisan sebagai sesuatu yang berbahaya bagi bahasa (Saussure, 1959:24).

(21)

berintensi agar penanda demokrasi jangan lagi digunakan dalam arti eksklusif. Penanda demokrasi bukanlah milik dan tidak dapat dimiliki oleh siapa pun.

Selain itu, sehubungan dengan dekonstruksi sebagai sebuah pengalaman, Kleden (2010:132) mengatakan bahwa di dalam perspektif Derridean ketidakmungkinan mesti dilihat sebagai dasar kemungkinan dari apa yang disebut sebagai peristiwa (event). Struktur the possible impossibility dipakai oleh Derrida dalam membahas keutamaan demokrasi (Kleden, 2010:133–134).

Dalam demokrasi yang-akan-datang, usaha yang aktif untuk menerapkan demokrasi adalah usaha untuk mengalami kemustahilan berupa tersingkapnya sang Lain. Peneliti sendiri beranggapan bahwa tersingkapnya sang Lain, meski tidak dapat diprediksi, adalah sebuah the moment17. Dengan demikian, penerapan demokrasi harus menyadari fungsinya sebagai aktualitas yang menyingkap potensi(-potensi) yang belum hadir.

Critchley (1992:240) berpendapat bahwa demokrasi yang-akan-datang harus dipandang sebagai sebuah tugas dan tanggung jawab yang tidak kunjung usai karena pemaknaan atas demokrasi itu sendiri adalah ketiadaan. Makna demokrasi di sini dan kini adalah tidak ada. Maka dari itu, siapa pun tidak akan bisa menjadikan penanda demokrasi sebagai label bagi tindakan yang bertujuan

17 Peneliti dalam hal ini mengajukan sebuah istilah the moment, yang merujuk pada peristiwa tertentu

yang di dalamnya efek penerapan demokrasi muncul sebagai momen bersejarah. Misalnya, the

moment bagi penerapan Demokrasi Terpimpin adalah ketika G30S muncul; the moment bagi

penerapan Demokrasi Pancasila adalah ketika Kerusuhan Mei 1998 muncul. Maka dari itu, the

moment bagi penerapan demokrasi yang-akan-datang adalah “ketika” (dibubuhi tanda kutip karena

‘yang akan datang’ tidak dapat diprediksi via sistem waktu kalender) sang Lain mengungkapkan kediriannya sendiri kepada manusia.

(22)

mengutuhkan makna demokrasi karena makna demokrasi di sini-kini jelas-jelas nihil.

Akhirnya, usaha yang tersisa bukanlah penerapan demokrasi yang maknanya sudah terdefinisikan utuh, melainkan penerapan demokrasi yang-akan-datang. Artinya, penerapan yang semata-mata dilakukan sampai makna demokrasi menyingkapkan dirinya sendiri. Dihubungkan dengan gagasan Derrida mengenai l’avenir, maka makna demokrasi diselaraskan sebagai sang Lain. Sang Lain “adalah” makna penerapan demokrasi.

1.5.2 Aporia

Kedatangan sang Lain atau makna penerapan demokrasi hanya dapat dialami ketika manusia sudah mengenal aporia (D’cruz, 2008:6). Bagi Derrida, kata yang berasal dari Yunani kuno ini menyatakan sesuatu yang tidak dapat dilalui sepenuhnya (Wortham, 2010:15). Sesuatu ini pun tidak dapat dijelaskan oleh pengetahuan, analisis rasional, atau pemikiran dialektis apa pun.

Aporia cenderung terletak di antara dua posisi. Posisi yang pertama adalah tempat diri berpijak, sedangkan posisi yang kedua adalah tempat tujuan berada. Posisi yang pertama adalah tempat berlangsungnya penerapan demokrasi yaitu kekinian yang bisa diprediksi sesuai dengan sistem waktu kalender. Sementara itu, posisi yang kedua adalah tempat makna demokrasi berada yaitu tempat sang Lain mengungkapkan kediriannya.

(23)

Untuk memahami semua itu, bayangkan aporia adalah sebuah jembatan (penghubung) atau selat (pemisah) yang berada di antara dua pulau. Pulau yang pertama adalah ranah yang dapat dikalkulasi, diprediksi, atau dirasionalisasikan, sedangkan pulau yang kedua adalah ranah yang tidak mungkin bisa dikalkulasi atau diprediksi. Pulau yang pertama adalah tempat berlangsungnya penerapan demokrasi, sedangkan pulau yang kedua adalah tempat makna demokrasi atau tujuan berdemokrasi berada.

Diri bisa saja menganggap bahwa pulau tempatnya berpijak (“sesuatu yang dapat dikalkulasi” alias penerapan demokrasi) dihubungkan dengan pulau tujuan yang ingin dicapainya (“sesuatu yang mustahil dikalkulasi atau diprediksi” alias makna demokrasi) oleh aporia. Akan tetapi, diri pun bisa saja menganggap bahwa pulau tempatnya berpijak (“sesuatu yang dapat dikalkulasi” alias penerapan demokrasi) dipisahkan dari pulau tujuan yang ingin dicapainya (“sesuatu yang mustahil dikalkulasi atau diprediksi” alias makna demokrasi) oleh aporia. Bagaimanapun, baik sebagai “jembatan penghubung” maupun “selat pemisah”, aporia adalah sesuatu yang harus dilintasi agar diri mencapai tujuannya atau tujuan menghampiri diri.

Mengidentifikasi sebuah aporia setara dengan tindakan memberi nama kepada sesuatu yang tidak akan bisa, secara tepat, dialami atau dikenali sebagaimana adanya, meskipun dapat dirasakan (Wortham, 2010:15). Maka dari itu, kedatangan makna demokrasi dapat disejajarkan sebagai gerak dari rasa rindu yang tidak kunjung usai. Mengikuti pengandaian sebelumnya, seorang pelaksana demokrasi yang-akan-datang menginginkan agar makna demokrasilah, sang

(24)

Lainlah, yang melintasi aporia agar dia dapat berjumpa dengan makna demokrasi atau sang Lain.

Maka dari itu, bukan bahwa pelaksana demikian yang melintasi aporia tersebut. Sebab, pelaksana demokrasi yang-akan-datang tidak mungkin berada di atas aporia, dia tidak mungkin keluar dari pulau tempatnya berpijak (“sesuatu yang dapat dikalkulasi” alias penerapan demokrasi). Akan tetapi, bagaimanapun tidak-mungkinnya dia keluar dari penerapan demokrasi, dia tetap ingin sampai ke pulau yang kedua: ranah inkalkulatif, tempat pemaknaan demokrasi dapat dialami.

Bertautan dengan itu, Kleden (2010:133) menjelaskan bahwa ketidakmungkinan memang memiliki sifat absolut, namun ia dirindukan sebagai yang-mungkin. Maka dari itu, ketidakmungkinan untuk menerapkan demokrasi yang telah dimaknai secara final adalah ketidakmungkinan yang dirindukan sebagai sesuatu yang mungkin. Jadi, ada kerinduan untuk menyempurnakan penerapan demokrasi dengan pemaknaan demokrasi.

Kemudian, di dalam setiap kerinduan selalu ada gerak aktif sekaligus pasif. Hasrat untuk bertemu adalah gerak yang aktif, sedangkan sikap percaya bahwa pertemuan yang didambakan itu tidak mungkin terjadi adalah “gerak” yang pasif. Demikian pula, hasrat untuk melaksanakan demokrasi adalah aktif, sedangkan sikap percaya bahwa makna demokrasi tidak mungkin didefinisikan secara utuh— tidak mungkin dipindahkan dari pulau inkalkulatif tempatnya berada ke pulau kalkulatif tempat pelaksana demokrasi berada—adalah “gerak” yang pasif.

(25)

Perspektif Derridean menawarkan agar gerak aktif itu lebih ditujukan sebagai sebuah upaya tidak kunjung usai terhadap, sekurang-kurangnya, dua ketidakmungkinan yang mungkin (the possible impossibility), yaitu kemauan mengampuni yang tak-terampuni dan keadilan. Dua hal tersebut dipandang sebagai ketidakmungkinan oleh Derrida karena pengampunan yang sesungguhnya bukanlah pengampunan terhadap tindakan yang termaafkan atau dapat diampuni, melainkan terhadap perbuatan yang tidak terampuni sehingga pengampunan tidak lagi sebagai sebuah kalkulasi (Wortham, 2010:58). Yang kalkulatif selalu hadir sebagai kemungkinan, sedangkan yang inkalkulatif selalu hadir sebagai kemustahilan, yang dituju dengan melalui aporia—baik sebagai jembatan penghubung maupun selat pemisah.

Demikian pula dengan keadilan, yang bukanlah hasil ketentuan hukum (Wortham, 2010:80). Menurut Derrida, keadilan akan menjadi kalkulatif jika mendasarkan dirinya pada aturan hukum. Berkalkulasi bukanlah berkeadilan. Bagi Derrida, keadilan yang sesungguhnya bersumber dari tanggung jawab fundamental yang tidak berdasarkan pada aturan apa pun. Tanggung jawab tersebut harus menemukan kembali dirinya sendiri dengan kehati-hatian yang total pada setiap momen bertanya. Artinya, sebuah keputusan hanya dapat dianggap adil ketika keputusan ini tidak henti mempertanyakan keadilan dirinya sendiri.

Kedua ketidakmungkinan ini—pengampunan bagi yang tak terampuni dan keadilan—menjelaskan bahwa upaya mengalami pertemuan dengan sang Lain adalah upaya yang harus dilakukan tanpa henti; upaya yang mencoba mengatasi aporia menuju sebuah panggilan yang terbuka, tak terdefinisikan, dan sekaligus

(26)

dirindukan, yaitu makna demokrasi. Sehubungan dengan itu, peneliti menganggap bahwa the moment bagi penerapan demokrasi yang-akan-datang adalah ketika pengampunan bagi yang-tak-terampuni dan keadilan terpenuhi secara final bagi seluruh rakyat. Tentu, terwujudnya kedua hal itu dapat pula disamakan dengan bahwa sang Lain mengungkapkan kediriannya sendiri kepada manusia

Dalam kaitannya dengan demokrasi yang-akan-datang, kedatangan-sang-Lain juga dapat dipandang sebagai janji. Sebab, dalam pemikiran Derrida, janji merespons sang Lain (Wortham, 2010:146). Bertautan dengan itu, Mohammad (2009:94), dalam pembahasannya mengenai Derrida, bahkan menyebut bahwa demokrasi itu sendiri adalah janji keadilan. Dalam perspektif yang sama, D’cruz (2008:93) juga menyebut bahwa aporia terletak di antara sikap berkalkulasi (calculability) dari identitas politik dan janji yang tidak kalkulatif (incalculability) dari demokrasi yang-akan-datang. Janji dalam pandangan D’cruz itu adalah sebuah nomina, bukan verba. Maka dari itu, janji-dari-penerapan-demokrasi dan makna demokrasi adalah “dwitunggal” sang Lain yang dirindukan oleh mereka (atau kita) yang menerapkan demokrasi.

Dengan demikian, penerapan demokrasi yang-akan-datang adalah sebuah perjalanan yang membutuhkan keberanian untuk mengatasi aporia, melepaskan penanda-penanda tertentu dari penanda demokrasi, dan menolak pemaknaan demokrasi di sini-kini yang final tanpa cela. Di samping itu, demokrasi yang-akan-datang mensyaratkan pembebasan penanda-penanda tertentu yang berkaitan dengan penerapan demokrasi. Penanda-penanda tersebut, antara lain, adalah keadilan dan pengampunan. Sebab, keduanya sering kali dibatas-batasi oleh dan

(27)

bagi pihak tertentu saja. Menanggapi hal ini, demokrasi yang-akan-datang setidaknya menegaskan agar keadilan dan pengampunan bagi yang-tak-terampuni segera ditunaikan di dalam tindakan.

1.5.3 Demos dan Autoimunitas

Gagasan lain dari Derrida mengenai demokrasi adalah demos dan autoimunitas. Gagasan yang pertama dikaitkan dengan struktur biner demokrasi, yaitu terdiri atas demos (‘rakyat’) dan cratos (‘aturan’, ‘peraturan’, ‘pemerintahan’). Maka dari itu, demokrasi berarti ‘peraturan oleh rakyat.’ Selain itu, mengenai demokrasi, adagium awam yang terkenal adalah “Pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat.” Dengan demikian jelaslah bahwa demokrasi adalah sebuah perpaduan antara sesuatu yang riil (manusia, demos, ‘rakyat’) dan sesuatu yang konseptual (cratos, ‘aturan’, ‘pemerintahan’).

Berdasarkan deskripsi di atas, yang cenderung tidak disadari adalah bahwa pada kenyataannya rakyat, entitas yang riil ini, merupakan sekumpulan manusia yang beraneka ragam. Seorang rakyat bernama X bisa saja menganggap diri sebagai (1) teman, (2) profesor, (3) penggemar hobi memancing ikan, atau bahkan sebagai apa pun ketika bertemu dengan seorang rakyat juga bernama Y—yang bisa saja menganggap dirinya sendiri (1) penggemar sate, (2) kutu buku, (3) perakit komputer, atau apa pun—tergantung konteks pertemuan mereka berdua.

Sehubungan dengan itu, maka ada banyak sekali kemungkinan konteks pertemuan yang mungkin terjadi, minimal sebanyak jumlah manusia yang

(28)

bergabung dalam identitas rakyat. Maka dari itu, mustahilah bagi siapapun untuk mendefinisikan rakyat secara tepat, sesuai konteks terkini, dan, lebih dari itu, diterima (acceptable) secara sukarela oleh rakyat itu sendiri. Dalam arti, masing-masing rakyat tahu dan maklum kenapa dan dengan cara bagaimana mereka didefinisikan. Maka dari itu, yang paling logis adalah memandang bahwa rakyat tidak-bisa-tidak pasti bersifat dan beridentitas heterogen.

Karakteristik yang heterogen itu membuat demos secara riil tidak bisa dihomogenkan pemaknaannya ke dalam satu definisi. Bagaimanapun, pendefinisian atau homogenisasi demos kerap kali terjadi, terutama dalam hal yang bersifat legal formal (cratos) kenegaraan. Kemudian, apabila identitas demos terpaksa (atau dipaksakan agar) dipadatkan ke dalam satu definisi, heterogenitasnya akan menemui benturan-benturan, baik dalam persoalan individual maupun identitas-asal lainnya.

Misalnya, ketika X dan Y berperkara di suatu persidangan—ranah yang didalamnya cratos secara kontekstual bekerja—identitas keduanya langsung dipadatkan masing-masing ke dalam “penggugat” dan “tergugat.” Maka dari itu, lesaplah segala identitas lain—teman, profesor, penggemar hobi memancing ikan, penggemar sate, kutu buku, perakit komputer—yang secara natural bernaung di bawah identitas demos atau bahkan dipilih sendiri secara sukarela oleh rakyat yang bersangkutan. Kini, identitas kedua demos itu hanyalah “penggugat” atau “tergugat”, dua identitas yang secara telak diciptakan oleh cratos.

(29)

Maka dari itu, demokrasi pun sesungguhnya adalah oksimoron. Dalam arti, demokrasi mengikat entitas (demos) yang mustahil diseragamkan—yaitu tidak mungkin mengalami homogenisasi kecuali memunculkan benturan di antara sesama demos sendiri—dengan sesuatu (cratos) yang memang harus diseragamkan, mengalami homogenisasi, bukan heterogenisasi. Demokrasi mengikat dua entitas yang saling berlawanan. Demokrasi memiliki kontradiksi internal di dalam dirinya. Dekonstruksi menjumpai kontradiksi internal ini dengan cara tertentu. Dalam sebuah wawancara oleh Borradori, Derrida (2003:120) menyatakan bahwa demos adalah keunikan yang ada di dalam dan tidak dapat dikalkulasi dari setiap orang. Demos menuntut kesetaraan fundamental bagi semua orang, terutama di ranah hukum (Wortham, 2010:35). Keunikan demos ini tidak dapat disepadankan dengan individu sebagai warga negara atau rakyat, melainkan sebagai dirinya sendiri.

Maka dari itu, dapatlah dipahami bahwa demos ada sebelum hukum, negara, atau ‘pemerintahan’—cratos—didefinisikan dan dibentuk. Dengan demikian, ketiga entitas tersebutlah yang harus mematuhi demos, bukan sebaliknya. Homogenitas cratos-lah yang harus menuruti heterogenitas demos, bukan sebaliknya. Jadi, penerapan demokrasi yang-akan-datang harus sesuai dengan kehendak demos secara keseluruhan.

Dalam sebuah wawancara oleh Geoffrey Bennington di Universitas Sussex (terekam di situs http://www.livingphilosophy.org/Derrida-politics-friendship), Derrida menegaskan bahwa pemahaman mengenai demokrasi hendaknya tidak dibatasi pada entitas politik tertentu, semisal pemilihan umum, kampanye, atau

(30)

organisasi partai, melainkan kembali berfokus kepada pemahaman tentang rakyat (demos) sebagai pencarian akan kesetaraan yang absolut. Mengaplikasikan demokrasi, dengan demikian, berarti memandang istimewa setiap manusia, baik sebagai hamba hukum (cratos) maupun terlebih lagi sebagai dirinya sendiri, di dalam identitas demos.

Lebih lanjut, dalam bukunya yang berjudul The Politics of Friendship (1997:viii), Derrida bahkan menghubungkan pertemanan (friendship)—sebuah relasi antarmanusia yang intens, natural, dan tidak terkotak-kotakkan oleh aturan tertulis negara—dengan politik. Dalam hal ini, politik yang dimaksudkannya bukanlah sebagai sebuah rezim atau bentuk kekuasaan tertentu, melainkan sebagai “melampaui prinsip-prinsip golongan.” Politik yang menjadi visi Derrida adalah politik yang melampaui upaya penjenisan dan pengkotak-kotakkan demos, yang sudah jelas-jelas sangat heterogen.

Sebab, dengan mengkotak-kotakkan entitas-yang-sudah-sangat-beragam (demos), alih-alih membiarkan setiap unsurnya bercampur-baur dan saling bersentuhan secara alami, batas-batas kedirian setiap orang kemudian menjadi sedemikian tegas dan cenderung terlarang untuk dilampaui. Mengikuti contoh sebelumnya, maka kedirian X dan Y secara tegas dibatasi hanya pada identitas “penggugat” dan “tergugat”—bukan lagi identitas sebagai “teman”, “profesor”, “penggemar hobi memancing ikan”, “penggemar sate”, “kutu buku”, “perakit komputer”, dan sebagainya yang padanya secara sukarela, tanpa tuntutan dari aturan tertulis (cratos), X dan Y mengidentifikasi diri. Dalam hal ini, batas-batas

(31)

tersebut merupakan produk cratos yang mengikat setiap orang, rakyat sebagai warga negara.

Keberadaan demokrasi yang semata-mata dimaknai sebagai sistem kekuasaaan selalu mengimplikasikan adanya pihak penguasa dan pihak yang dikuasai. Itulah oposisi hierarkis yang nyata. Padahal, yang dimaksudkan Derrida sendiri dengan (ber)demokrasi adalah hubungan pertemanan, yang selalu mengabaikan dan melampaui relasi (oposisi) hierarkis semisal kekuasaan. Sebab, dalam berteman seseorang tidak menjadi penguasa atau pun yang dikuasai.

Tentang hal ini, Kattekola (2012:17) menemukan bahwa Derrida mempersoalkan tendensi hegemonis tertentu yang berupaya mempersatukan keberagaman demos. Tendensi demikian justru menyubordinasikan keberagaman ras, sosial, dan kultural demos sendiri hanya demi kohesi sosial ala penguasa, sehingga tidak memunculkan respek dan tanggung jawab dari pihak demos (Kattekola, 2012:18). Hal demikian berbeda daripada hubungan alamiah—tanpa tendensi politik dari negara (cratos)—antar-demos, yang memang selalu berbaur selayaknya teman di dalam rutinitas.

Akan tetapi, penerapan demokrasi tanpa kekuasaan (cratos) negara adalah mustahil. Sebab, ketika hal itu dilakukan, rakyat akan mengalami keadaan chaos serta absennya kedaulatan untuk mengatur dan melindungi diri sendiri secara kolektif (sovereignty). Dengan demikian, ada upaya “bunuh diri” masyarakat di sana jika demokrasi diterapkan tanpa hadirnya penguasa. Kekuasaan, cratos, dan

(32)

sovereignty merupakan pharmakon18, yaitu racun (karena mengkotak-kotakkan demos dan berpeluang untuk menjadi yang superior terhadap demos) dan sekaligus obat (karena tanpanya demos akan jatuh ke dalam kekacauan).

Mengenai hal ini, Derrida mengajukan sebuah gagasan bernama autoimunitas, sebuah istilah yang juga ditemukan di dalam disiplin keilmuan biologi. Istilah autoimunitas sendiri menjelaskan proses ketika sebuah organisme menyerang sistem imunnya sendiri sebagai bentuk pertahanan-diri (D’cruz, 2008:93). D’cruz (2008:103) menyebut bahwa Derrida telah menyajikan dua contoh peristiwa tentang autoimunitas. Pertama, peristiwa pemilihan umum demokratis di Aljazair pada 1992, ketika pemungutan suara mayoritas rakyat di sana berakhir dengan kemenangan partai yang hendak mematikan sistem demokrasi dengan jalan penggantian dasar negara menjadi negara teokratis. Kedua, pemberlakuan aturan hukum—secara demokratis—di Amerika Serikat yang mengekang kebebasan warga negaranya sendiri setelah terjadinya Peristiwa 9/11.

Maka dari itu, secara garis besar autoimunitas merujuk pada kondisi ketika demokrasi menyerang, alih-alih melindungi, rakyatnya sendiri. Dalam hal ini, yang menyerang rakyatnya sendiri itu dapat sebagai demos maupun cratos. Sebagai demos, misalnya, ketika mayoritas rakyat menyerang kebebasan sesamanya secara sadar melalui proses pemungutan suara. Sebagai cratos, ketika sebuah aturan

18 Istilah pharmakon digunakan oleh Derrida (1981:96–97) dari pembacaannya atas teks dari Plato.

Pharmakon menjelaskan kemenduaan Plato dalam memandang tulisan, yaitu sebagai

yang-berbahaya baik bagi daya ingat (mnĕmĕ) maupun kebijaksanaan (sophia). Bagaimanapun, Derrida mampu menunjukkan bahwa diksi pharmakon yang digunakan oleh Plato justru mengingkari logika yang dibuat oleh Plato sendiri. Sebab, di dalam pharmakon bernama tulisan ini, tulisan pun dapat diposisikan sebagai obat baik bagi daya ingat (mnĕmĕ) maupun kebijaksanaan (sophia).

(33)

hukum dibuat dan diberlakukan justru untuk mengekang kebebasan rakyat. Kedua ekses peranan ini dibenarkan oleh sistem demokrasi, yang telah mengalami autoimunitas.

Sebelumnya, Derrida (2005:22) menyatakan bahwa untuk mengerti konsep demokrasi, siapapun harus berada di basis kebebasan. Memahami arti demokrasi “adalah” dengan memahami arti kebebasan. Mengutip Aristoteles, Derrida (2005:23) pun menambahkan bahwa salah satu faktor kebebasan, dalam demokrasi, adalah hadirnya daya memerintah (to govern) dan diperintah (to be governed) dalam siklus pergiliran. Pharmakon-nya pun terpecah di sini, yaitu obat “to govern” dan racun “to be governed.”

Demos dapat sesekali menenggak obat, yaitu ketika mereka (atau tepatnya, sebagian dari mereka) bebas memilih “to govern”, dan juga sekali waktu menghirup racun ketika mereka lebih memilih “to be governed.” Atas dasar itu, mengutip Plato, Derrida (2005:26) menyampaikan bahwa demokrasi, pada akhirnya, bukanlah nama bagi sebuah rezim ataupun konstitusi tertentu. Demokrasi cenderung ada sebagai sirkuit pemainan “minum obat/menenggak racun” atau arisan “berkuasa/terkuasai”, yang diselenggarakan dengan kebebasan yang utuh tanpa bayang-bayang rezim nirdemokratis apa pun.

Meskipun demikian, pada realitasnya banyak sekali rezim yang menganggap dirinya demokratis, entah itu bernama rezim Demokrasi Monarkis (Monarki-Konstitusional), Demokrasi Parlementer, Demokrasi Liberal, Demokrasi Populis, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, dan sebagainya. Jika sudah

(34)

mengalami hal demikian—Derrida (2005:33) sendiri mengambil contoh Nazi Jerman yang bangkit dan berkuasa melalui proses pemilihan umum yang demokratis—, demokrasi atau demos dikatakan telah mengalami autoimunitas. Autoimunitas ini lebih fatal daripada tindakan memilih racun pharmakon “to be governed” karena autoimunitas tersebut mensyaratkan keterlibatan penuh mayoritas demos.

Bagi Derrida (2005:34), ketika musuh-terburuk-bagi-kebebasan-demokratis dipercaya dan dituruti oleh mayoritas demos, maka musuh ini dapat berpenampilan sebagai sosok pro-demokrasi sejati. Misalnya, pada kasus pemilihan umum yang memunculkan rezim Nazi Jerman. Pemilihan umum tersebut terjadi berkat dukungan mayoritas demos Jerman. Sehubungan dengan itu, Derrida (2005:23) melihat bahwa baik Plato maupun Aristoteles—yang bahkan mengatakan bahwa prinsip keadilan adalah kesetaraan yang didasarkan pada jumlah, bukan pada kebermanfaatan yang seimbang—tahu implikasi “tirani mayoritas” ini.

Lebih jauh, “tirani” demikian akan berakibat fatal baik secara internal maupun eksternal. Internal, ketika “tirani mayoritas” menindas kebebasan demokratis pihak minoritasnya sendiri. Eksternal, ketika “tirani mayoritas” menindas mereka yang tidak beridentitas kolektif sama dengannya—semisal Jerman yang seluruh demos-nya (terutama ras Arya) mendukung Hitler dan ambisi ekspansifnya ke seluruh Eropa untuk melumatkan masyarakat non-Arya. Bagaimanapun, efek internal cenderung lebih sering terjadi daripada efek eksternal karena demos selalu sudah bersifat heterogen di dalam dirinya.

(35)

Maka dari itu, autoimunitas tidak bisa dicegah kecuali dengan kesadaran demos bahwa demokrasi (terutama dalam hal cratos-nya dari penanda demokrasi) berpeluang untuk diusir secara internal di dalam dirinya, dipinggirkan, atau dieksklusi oleh “Tiran demokratis”19 yang berdalih hendak mengukuhkan

demokrasi. Persoalan ini bukanlah sesederhana “Tiran yang mengatasnamakan demokrasi.” Yang menjadi pokok masalah adalah apakah penerap demokrasi mampu menghindari dirinya sendiri dari upaya menghipnotis demos agar menindas sesamanya.

Keberagaman identitas demos yang hendak dipaksa masuk ke dalam satu kotak saja—semisal keberagaman identitas Jerman yang hendak dikukuhkan secara total ke dalam satu kotak “Bangsa Arya” oleh Hitler; keberagaman identitas Indonesia yang hendak dikukuhkan ke dalam satu kotak bernama “Pancasilais” oleh Soeharto dan “Revolusioner” oleh Soekarno—harus diawasi secara penuh dan, kalau mampu, dihindari oleh seluruh manusia yang telah bersatu secara sukarela, tanpa paksaan, di bawah identitas demos yang sama, bukan di bawah identitas kotak tertentu yang direka-reka oleh penguasa.

Kegagalan dalam berdemokrasi, dengan demikian, berkaitan dengan kegagalan manusia dalam memahami ke(ber)samaan identitas-di-dalam-keragaman dan jahatnya tirani. Apabila hal yang kedua terjadi, munculah sikap yang terburu-buru serta sering kali eksploitatif dan destruktif dalam memaknai

19 Ini pun adalah sebuah oksimoron. Ia dikatakan “Tiran” sebab tidak demokratis. Di sisi lain, ia

dikatakan “demokratis” sebab muncul dari proses yang demokratis. Perhatikan bahwa oksimoron “Tiran demokratis” sejalan dengan oksimoron “demokrasi” (demos + cratos).

(36)

demokrasi. Bagi perspektif Derridean, sikap tersebut tidak dapat disetujui karena makna demokrasilah, sang Lain itu, bukan pendefinisian makna demokrasi, yang datang secara tiba-tiba. Oleh karena itu, bagi perspektif yang sama, diperlukan kesabaran dalam menerapkan demokrasi yang-akan-datang. Hal yang, antara lain, dapat diwujudkan dengan menjaga ke(ber)samaan identitas demos secara sukarela. Dalam Counterpath (2004:63), yang ditulis oleh Catherine Malabou bersama dengan Derrida, filsuf Perancis ini bahkan menghubungkan demokrasi dengan gagasannya mengenai katastrofe.20 Katastrofe tidak berada dalam kondisi waktu yang konvensional—seperti tanggal, hari, bulan, tahun, dan sebagainya— melainkan semata-mata datang dan bahkan melenyapkan waktu itu sendiri. Inilah kemendadakan yang dirindukan sekaligus “pelenyapan” yang tidak dapat dihindari oleh kesabaran dalam menerapkan demokrasi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:635), katastrofe berarti malapetaka atau perubahan yang terjadi secara cepat dan mendadak. Dalam perspektif agama, katastrofe dapat disamakan dengan kiamat, peristiwa peniadaan yang mengerikan. Namun bagi Derrida, katastrofe bukanlah akhir yang harus dipikirkan secara mesianistik atau sebagai Bencana Besar (dengan “B”, bukan “b”), melainkan sebagai terpenuhinya janji-janji demokrasi. Jelaslah dengan katastrofe ini, bahwa makna demokrasi hanya dapat “akan datang”, bukan “dapat didatangkan.”

20 “Derrida affirms that catastrophe has to be thought of together with promise, the promise of

(37)

Akhirnya, Kiamat Besar adalah ketika seluruh demos mendefinisikan makna demokrasi. Kiamat Kecil adalah ketika sebagian (kecil) demos, yaitu yang menganggap dirinya sebagai penguasa, mendefinisikan makna demokrasi. Sementara itu, katastrofe, sebagai pelenyapan-yang-dirindukan, adalah ketika makna demokrasi itu datang sendiri kepada seluruh demos, termasuk mereka yang menganggap dirinya sebagai penguasa.

1.5.4 Différance

Critchley (1992:240) menyatakan bahwa demokrasi di dalam dirinya memiliki sifat ke-différance-an (différantial structure).21 Artinya, demokrasi dicirikan oleh ketidaklengkapan dan penundaan demi terpenuhinya kehadiran maknanya sendiri yang hakiki. Ketidaklengkapan selalu berarti perbedaan dengan yang dianggap lengkap. Kemudian, tercapainya makna yang hakiki adalah upaya yang terus-menerus tertunda. Oleh karena itu, sifat demokrasi ini selaras dengan karakteristik différance yaitu “berbeda” sekaligus “menunda”, sebagaimana yang akan dijelaskan sebagai berikut.

Différance secara kebahasaan dapat dimengerti melalui arti kata to differ (‘membedakan’) dan to defer (‘menunda’) yang dihubungkan dengan tindakan memaknai (al-Fayyadl, 2005:110). Karakteristik différance tidak bisa dilepaskan dari arti dua kata tersebut, yaitu bahwa ia memiliki pengertian spasial (dalam arti ‘membedakan’ sesuatu yang meruang) dari kata to differ dan temporal (karena

(38)

‘menunda’ selalu berkaitan dengan pelamaan waktu) dari kata to defer (Derrida, 1982:9; Selden dkk., 2005:165).

Bahasa Perancis adalah bahasa asalnya. Berkaitan dengan itu, différance pertama-tama dipahami melalui kata à différer, yang dalam bahasa Perancis berarti sekaligus ‘membedakan’ (to differ) dan ‘menunda’ (to defer). Gandanya arti tersebut membebaskan Derrida, sebagai penutur bahasa Perancis, untuk mengungkapkan gagasan filosofisnya yang hendak menampik terpenuhinya totalitas makna.

Dalam bahasa Perancis pula, terdapat kata différence (différer dengan imbuhan {-ence}) yang merujuk pada ‘efek dari hal-hal yang berbeda’ atau ‘perbedaan’. Kemudian, ada pula kata différant yang berarti ‘sedang membedakan’. Akhiran {-ant} dalam bahasa Perancis memiliki fungsi yang sama dengan akhiran {-ing} dalam bahasa Inggris, yaitu untuk merujuk pada arti ‘sedang dilakukan’ bagi suatu verba. Yang ditekankan pada deskripsi ini adalah huruf a dalam akhiran {-ant} dan huruf e dalam akhiran {-ence}.

Beranjak dari itu, différance dapat mengantarkan pemahaman lebih dekat kepada tindakan sedang membedakan-sekaligus-menunda (à différer) (perhatikan huruf a di dalam sufiks {-ance} différance) bahkan sebelum adanya perbedaan (différence) itu sendiri (Derrida, 1982:8). Hal ini terjadi karena huruf e dari akhiran {-ence} dalam kata bahasa Perancis différence digantikan oleh huruf a, yang berasal dari sufiks {-ant}, sehingga terbentuklah istilah différance.

(39)

Penggantian huruf e menjadi huruf a pada istilah différance juga dimaksudkan oleh Derrida sebagai kritik atas logosentrisme Saussurian dan terutama metafisika kehadiran. Sebab, huruf a pada différance hanya bisa dideteksi melalui tulisan, bukan tuturan. Hal ini jelas bertolak belakang dengan pernyataan logosentris Saussure yaitu bahwa yang utama adalah tuturan.

Meskipun setuju dengan pernyataan Saussure yang lain, semisal bahwa makna hanya terjadi akibat perbedaan internal kebahasaan (Saussure, 1959:117) dan di dalam bahasa hanya ada perbedaan-perbedaan tanpa referen positif (Saussure, 1959:120), Derrida (1982:4) tetap menganggap différance sebagai kuburan bagi intensi apa pun yang menotalkan makna, termasuk intensi Saussure. Derrida “mengubur” logosentrisnya Saussure hanya dengan satu huruf a.

Meskipun demikian, Derrida (1982:6–7) menegaskan bahwa différance tidak bisa direduksi ke dalam definisi ontologis atau teologis apa pun. Bahkan, masih menurut Derrida, différance bukanlah sebuah kata atau konsep. Dengan différance, Derrida semata-mata memaklumkan teks agar menjadi medan yang tidak merujuk pada kebenaran transendental apa pun. Ia bagaikan sebuah gurun pasir tidak berujung tepi. Sebab, bagi Derrida (1976:xvi), tidak ada penanda transendental serta referen final di luar teks, sehingga semua penanda tidak merujuk pada apa pun selain penanda. Jadi, sebuah teks ada tanpa tujuan akhir (telos).

Walaupun terkesan nihilis, pemikiran Derrida ini berguna untuk melawan semangat tiran apa pun yang berusaha menotalkan makna demokrasi, baik secara konseptual maupun tindakan. Sebab, sifat ke-différance-an ini—yang termuat di

(40)

dalam setiap upaya penerapan demokrasi—bertolak belakang dengan hasrat penotalan makna demokrasi. Maka dari itu, différance dapat dilacak di dalam upaya penotalan yang demikian untuk membuktikan ketidaklogisan seorang tiran demokrasi (meskipun tiran ini mengatasnamakan dan berkuasa melalui proses yang demokratis). Irasionalitas yang dimaksud adalah ketidakselarasan antara apa yang diungkapkan dan apa yang dilaksanakan mengenai demokrasi.

Sampai di akhir penjelasan ini, kelima gagasan Derrida mengenai demokrasi di atas dapat dipilah menjadi dua, yaitu gagasan yang mengandaikan hubungan horizontal di dalam demokrasi dan gagasan yang mengandaikan hubungan vertikal. Yang pertama berisikan gagasan demokrasi yang-akan-datang dan demos, sedangkan yang kedua berisikan gagasan différance dan autoimunitas. Hubungan horizontal berarti bahwa semua orang yang terlibat di dalam penerapan demokrasi hadir secara setara satu sama lain, sedangkan hubungan vertikal berarti sebaliknya. Gagasan demokrasi yang-akan-datang dan demos berfokus pada pandangan bahwa penerapan demokrasi yang dimaknai tidak sebagai closure mensyaratkan agar setiap orang berposisi secara setara satu sama lain. Semua orang sama-sama menerapkan demokrasi yang maknanya tidak bisa dihadirkan secara final. Sebab, finalitas makna berarti menafikan identitas demos. Sementara itu, gagasan différance dan autoimunitas berkonsentrasi pada fakta bahwa di dalam demokrasi relasi vertikal antara pemerintah dan yang-diperintah harus ada. Meskipun demikian, relasi ini—jika menafikan identitas demos—dapat memunculkan musibah autoimunitas dari pemerintah kepada yang-diperintah. Untuk itu, pelacakan différance dapat mencegah atau setidaknya melacak autoimunitas ini.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana menghitung Pajak Masukan dan Pajak Keluaran untuk mengetahui jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang kurang bayar atau lebih

Berdasarkan Ketentuan Umum Keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani Nomor 136/KPTS/DIR/2001 yang dimaksud dengan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah suatu

Sampel secara random dipilih dan dikelompokkan dalam kelompok eksperimen (diberi perlakuan dengan pemberian video ajar) yang berjumlah 69 mahasiswa dan kelompok

Sajian gending tidak dapat berdiri sendiri dalam menghantarkan seseorang mencapai kondisi ndadi, namun merupakan salah satu unsur terpenting karena intensitas auditifnya

Pada penelitian ini digunakan adsorben biomassa dan karbon aktif dari tempurung biji nyamplung untuk mengadsorpsi ion logam Cd 2+ dalam larutan Pembuatan karbon aktif

a. Studi Dokumenter, yaitu Penulis memperoleh bahan hukum primer dari dokumen berupan salinan putusan yang dikeluarkan dari Pengadilan Agama Pelaihari. Bahan hukum

Misalkan A dan B adalah matriks sebarang yang memiliki invers, AB dan BA juga memiliki invers maka berlaku hubungan berikut.. Tentukan invers dari