• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

CuSO 4 5H 2 O dengan difenilamin

Cu(difenilamin)4.Cl2.6H2O dan Cu(difenilamin)4.SO4.6H2O 103M dalam Metanol ... 61 Tabel 5. Hasil Pengukuran Kerentanan Magnetik Kompleks

Cu(difenilamin)4.Cl2.6H2O dan Cu(difenilamin)4.SO4.6H2O . 62 Tabel 6. Harga μeff pada Beberapa Harga χg dari Kompleks

Cu(difenilamin)4.Cl2.6H2O dan Cu(difenilamin)4.SO4.6H2O . 64

commit to user

GAMBAR LAMPIRAN

Halaman

Gambar 1. Diagram sintesis dan karakterisasi senyawa kompleks

CuCl2.2H2O dengan difenilamin ... 55

Gambar 2. Diagram sintesis dan karakterisasi senyawa kompleks

CuSO4.5H2O dengan difenilamin ... 56 Gambar 3. Kurva larutan standar Cu(II) pada konsentrasi 0-3 ppm . 59

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejumlah senyawa kompleks terjadi dan terdapat secara alamiah dalam sistem biologi. Proses pengikatan oksigen oleh Fe menjadi senyawa kompleks dalam tubuh merupakan salah satu contoh aplikasi senyawa kompleks. Studi pembentukan kompleks menjadi hal yang menarik untuk dipelajari karena kompleks yang terbentuk dimungkinkan memberi banyak manfaat misalnya untuk ekstraksi, sebagai katalis dan penanganan keracunan logam berat. Senyawa kompleks terdiri dari ion logam yang dikelilingi oleh molekul-molekul atau ion-ion yang disebut ligan.

Tembaga(II) merupakan salah satu ion logam transisi deret pertama yang mempunyai orbital d yang terisi sebagian atau belum terisi penuh. Tembaga(II) mempunyai konfigurasi elektron 3d9 dengan satu elektron tidak berpasangan. Tembaga(II) memiliki stabilitas kompleks yang paling besar jika dibandingkan dengan logam transisi deret pertama yang lain dan paling stabil jika dibandingkan dengan bilangan oksidasi tembaga lain. Kebanyakan senyawa tembaga(I) cukup mudah teroksidasi menjadi tembaga(II). Pada umumnya tembaga(II) membentuk kompleks dengan bilangan koordinasi 4, 5 atau 6 dengan geometri square planar,

square pyramidal atau oktahedral.

Belaid et al. (2008) mensintesis kompleks [CuL1](H2O) (L1 = N,N’-O-phenylenebis(salicylideneimine)), ligan L1 terkoordinasi pada ion Cu2+ secara tetradentat melalui gugus (›NH) dan atom O gugus hidroksil fenol yang terdeprotonasi membentuk geometri square planar seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 1.

commit to user

Gambar 1. Struktur senyawa kompleks [CuL1](H2O) (L1 = N,N’-O-phenylene bis(salicylideneimine)) yang bergeometri square planar (Belaid et al., 2008: 63-69)

Hania, M. (2009) mensintesis kompleks [Cu(L2)2] (L2 = 4-chloro benzaldehydephenylhydrazone) yang strukturnya ditunjukkan oleh Gambar 2.

Ligan L2 terkoordinasi pada ion Cu2+ melalui atom N dari gugus (›NH) dan gugus C=N secara bidentat membentuk kompleks dengan geometri square planar.

N N H H Cl N H N H Cl Cu2+

Gambar 2. Struktur senyawa kompleks [Cu(L2)2] (L2 = 4-chlorobenzaldehyde phenylhydrazone) yang bergeometri square planar (Hania M.,

2009: 508-514)

commit to user

Bhardwaj et al. (2010) mensintesis kompleks [{Cu(CH3COO)}2(μ-L3

)2] (L3 = 2-((2-(dimethylamino)ethylamino)methyl)phenol), ligan L3 terkoordinasi pada ion Cu2+ melalui gugus (›NH), atom N tersier dan atom O gugus fenol yang terdeprotonasi. Dalam kompleks ini, anion CH3COO- juga terkoordinasi pada ion Cu2+ sehingga menghasilkan kompleks yang bergeometri square pyramidal seperti ditunjukkan oleh Gambar 3.

O -HN N H3C H3C O -NH N CH3 CH3 Cu2+ Cu2+ O -C O CH3 O -C O CH3

Gambar 3. Struktur senyawa kompleks [{Cu(CH3COO)}2(μ-L3

)2] (L3 =

2-((2-(dimethylamino)ethylamino)methyl)phenol) yang bergeometri

square pyramidal (Bhardwaj et al., 2010: 97–106)

Revanasiddappa et al. (2010) mensintesis kompleks [Cu(L4)(H2O)2(Cl)2] (L4 = desipramine), ligan L4 terkoordinasi pada ion Cu2+ melalui gugus (›NH) dan atom N heterosiklik secara bidentat. Dalam kompleks ini, ion Cl- dan H2O juga terkoordinasi pada ion Cu2+ membentuk geometri oktahedral seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 4.

Gambar 4. Struktur senyawa kompleks [Cu(L4)(H2O)2(Cl)2] (L4 =

desipramine) yang bergeometri oktahedral (Revanasiddappa et al.,

2010: 18-25)

commit to user

Dari beberapa contoh senyawa kompleks di atas terlihat bahwa gugus (›NH) yang terikat antara gugus phenol-CH2- dan -phenil, gugus (›NH) yang

terikat antara gugus Cl-phenil-CH=N- dan –phenil, gugus (›NH) yang terikat antara gugus phenol-CH2- dan –C2H5N(CH3)2, gugus (›NH) yang terikat antara gugus -CH3 dan suatu heterosiklik terkoordinasi pada ion pusat Cu2+ membentuk kompleks dengan geometri square planar, square pyramidal dan oktahedral. Gugus pengeliling (›NH) dapat memberikan pengaruh terhadap geometri kompleks, karena itu pengaruh gugus lain yang mengelilingi gugus (›NH) perlu dipelajari misalnya pada difenilamin yang strukturnya ditunjukkan oleh Gambar 5.

H

N

Gambar 5. Struktur difenilamin

Difenilamin mengandung gugus (›NH) yang dikelilingi oleh gugus phenil, karenanya gugus (›NH) difenilamin berkesempatan terkoordinasi pada ion Cu2+. Adanya pelarut (metanol) dan anion-anion yang terdapat dalam campuran ligan dan ion Cu2+ (SO42- dan Cl-) memungkinkan juga terkoordinasi pada ion Cu2+ sebagaimana terjadi pada ion asetat dan ion klorida yang terkoordinasi pada ion Cu2+ pada kompleks [{Cu(CH3COO)}2(μ-L3

)2] dan [Cu(L4)(H2O)2(Cl)2], oleh karena itu ada beberapa kemungkinan kompleks yang terbentuk dengan geometri tertentu. Dengan demikian pembentukan kompleks antara ion Cu2+ dengan difenilamin menarik untuk dipelajari.

commit to user

B. Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Pelarut yang digunakan dalam sintesis kompleks memiliki peranan yang penting dalam pembentukan kompleks. Penggunaan pelarut basa memungkinkan terjadinya persaingan antara ligan dengan pelarut. Penggunaan pelarut asam memungkinkan ligan akan terprotonasi oleh H+ dari pelarut sehingga menyebabkan kompleks tidak terbentuk. Sifat kelarutan ion logam dan ligan juga perlu diperhatikan. Oleh karena itu, pemilihan suatu pelarut menjadi masalah dalam sintesis kompleks. Perbandingan mmol logam dan ligan dalam pembentukan kompleks tidak selalu stoikiometri sehingga perlu dicari perbandingan yang sesuai.

Penentuan struktur kompleks dapat dilakukan berdasarkan analisis unsur-unsurnya dan kristallografi sinar-X. Karakterisasi kompleks yang terbentuk meliputi :

a. Sifat kemagnetan b. Sifat spektroskopi c. Kestabilan kompleks d. Sifat redoks kompleks

2. Batasan masalah

a. Sintesis kompleks dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan mencampur logam dan ligan tanpa pemanasan, dengan pemanasan, atau dengan cara refluks. Difenilamin merupakan ligan yang sedikit larut dalam air dan mudah larut dalam pelarut organik, oleh karena itu dipilih pelarut organik. Perbandingan mol logam dan ligan yang digunakan dalam sintesis kompleks dilakukan dengan menentukan bilangan koordinasi ion logam dalam kompleks dengan metode perbandingan mmol.

b. Penentuan struktur kompleks dilakukan berdasarkan analisis unsur tembaga dalam kompleks dengan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA), daya hantar listrik larutan kompleks, dan analisis spektra FT-IR untuk memperkirakan gugus atau atom dari difenilamin yang terkoordinasi pada ion Cu2+.

commit to user

c. Karakterisasi kompleks tembaga(II) dengan difenilamin yang dilakukan meliputi sifat kemagnetan dan sifat spektroskopi kompleks.

3. Rumusan Masalah

a. Bagaimana sintesis kompleks tembaga(II) dengan difenilamin?

b. Bagaimana perkiraan struktur kompleks tembaga(II) dengan difenilamin? c. Bagaimana sifat kemagnetan dan sifat spektroskopi kompleks tembaga(II)

dengan difenilamin?

C. Tujuan Penelitian

a. Mensintesis kompleks tembaga(II) dengan difenilamin.

b. Memperkirakan struktur kompleks tembaga(II) dengan difenilamin.

c. Mengetahui sifat kemagnetan dan sifat spektroskopi kompleks tembaga(II) dengan difenilamin.

D. Manfaat Penelitian

Memberikan informasi mengenai sintesis, cara penentuan struktur dan sifat kompleks tembaga(II) dengan difenilamin.

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI

A. TinjauanPustaka

1. Sintesis Senyawa Kompleks

Senyawa kompleks didefinisikan sebagai senyawa yang terdiri dari ion logam yang dikelilingi oleh molekul-molekul atau ion-ion yang disebut ligan. Ion pusat pada umumnya merupakan ion-ion logam transisi karena ion logam ini memiliki orbital d yang terisi sebagian atau belum terisi penuh. Ligan adalah molekul-molekul atau ion-ion yang mempunyai atom donor elektron. Banyaknya atom donor ligan yang terkoordinasi pada atom atau ion pusat disebut bilangan koordinasi (Cotton and Wilkinson, 1998: 226).

Sintesis kompleks dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan pencampuran larutan pada berbagai perbandingan mol logam : mol ligan dalam berbagai pelarut tanpa pemanasan, maupun dengan pemanasan pada berbagai suhu. Sintesis kompleks [Cu(L5)2(H2O)(SO42-)] (L5 = aminoguanizone of pyruvic acid), dilakukan dengan merefluks CuSO4.5H2O dan L5 dalam campuran DMSO-metanol (1/4V) selama 0,5 jam (Turta et al., 2008: 309-316). Kompleks [CuL1](H2O) (L1 = N,N’-O-phenylenebis(salicylideneimine)) disintesis dengan

cara merefluks CuCl2.6H2O dan L1 dalam etanol selama 4-5 jam (Belaid et al., 2008: 63–69). Cara sintesis lain adalah dengan pancampuran disertai pemanasan seperti pada sintesis kompleks [Cu(L6)(OH)2] (L6 = 3,5-diamine-4-(4-bromo-phenylazo)-1H-pyrazole) yang diperoleh dengan mencampur larutan CuCl2.2H2O dalam metanol dan L6 dalam DMF kemudian diaduk selama 4 jam pada suhu 110 ºC (Turan et al., 2008: 27-32). Kompleks lain dapat dihasilkan dengan pencampuran tanpa pemanasan seperti pada kompleks [Cu(L7)(Cl)2] (L7 = 2,3,5,6-tetra(2-pyridyl)pyrazine). Kompleks disintesis dengan mencampur larutan

CuCl2.2H2O dengan L7 dalam asetonitril dan diaduk selama 2 jam pada suhu ruang (Trivedi et al., 2009: 284–290).

commit to user 2. Kompleks Cu(II)

Tembaga(II) merupakan salah satu ion logam transisi deret pertama yang terletak pada periode empat dan golongan IB, memiliki nomor atom 29 dan massa atom 63,54 g/mol. Konfigurasi elektron tembaga adalah [Ar] 3d10 4s1, sedang pada ion tembaga(II) adalah [Ar] 3d9 4s0. Konfigurasi elektron tembaga dan tembaga(II) diilustrasikan pada Gambar 6. Tembaga(II) memiliki stabilitas kompleks yang paling besar jika dibandingkan dengan logam transisi deret pertama yang lain dan paling stabil jika dibandingkan dengan bilangan oksidasi tembaga lain. Kebanyakan senyawa tembaga(I) cukup mudah teroksidasi menjadi tembaga(II) (Lee, 1994: 827).

Gambar 6. Konfigurasi elektron Cu dan Cu2+ (Basolo and Johson, 1964: 32)

Tembaga(II) dapat membentuk kompleks dengan bilangan koordinasi 4, 5 atau 6 dengan geometri square planar, square pyramidal atau oktahedral. Sebagai contoh yaitu pada kompleks [Cu(L6)(OH)2] (L6 = 3,5-diamine-4-(4-bromo-phenylazo)-1H-pyrazole) (Turan et al., 2008: 27-32) yang memiliki bilangan

koordinasi 4 dan bergeometri square planar. Pada kompleks tersebut, ligan L6 terkoordinasi pada ion Cu2+ melalui atom N di luar siklis secara bidentat dan dua ion OH- juga terkoordinasi pada ion Cu2+. Struktur kompleks [Cu(L6)(OH)2] ditunjukkan oleh Gambar 7.

3d10 4s1 4p 4d

3d9 4s0 4p 4d

Cu [Ar]

Cu2+ [Ar]

commit to user N Br N N NH NH2 NH2 Cu2+ HO HO DMF

Gambar 7. Struktur kompleks [Cu(L6)(OH)2] (L6 =3,5-diamine-4-(4-bromo-phenylazo)-1H-pyrazole) yang bergeometri square planar (Turan et al., 2008: 27-32)

Kompleks [Cu(L5)2(H2O)(SO42-)] (L5 = aminoguanizone of pyruvic acid)

(Turta et al., 2008: 309-316) memiliki bilangan koordinasi 5 dengan geometri

square pyramidal. Atom O hidroksil yang terdeprotonasi, atom N tersier dan

(=NH) dari ligan L5 serta atom O dari H2O dan anion SO42- terkoordinasi pada ion pusat Cu2+, seperti ditunjukkan oleh Gambar 8.

C O O C CH3 N N H C NH2 NH Cu O O S O O O H H C O O C CH3 N H N C H2N NH O H H Cu

Gambar 8. Struktur kompleks [Cu(L5)2(H2O)(SO42-)] (L5 = aminoguanizone of pyruvic acid) yang bergeometri square pyramidal (Turta et al.,

2008: 309-316)

Kompleks [Cu(L8)2(Cl)2] (L8 = 2-[(4-phenyl-1H-1,2,3-triazol-1-yl)methyl]pyridine) (Crowley et al., 2010: 70-83) memiliki bilangan koordinasi 6

dan bergeometri oktahedral terdistorsi Jahn-Teller. Atom N siklis dari L8 secara bidentat terkoordinasi pada ion pusat Cu2+, serta dua anion Cl- terkoordinasi pada ion pusat Cu2+. Struktur kompleks [Cu(L8)2(Cl)2] dapat dilihat pada Gambar 9.

commit to user N N N N N N N N Cu2+ Cl -Cl

-Gambar 9. Struktur kompleks [Cu(L8)2(Cl)2] (L8 =

2-[(4-phenyl-1H-1,2,3-triazol-1-yl)methyl]pyridine) yang bergeometri oktahedral

terdistorsi Jahn-Teller (Crowley et al., 2010: 70-83)

3. Teori Pembentukan Kompleks

Pembentukan kompleks Cu(II) dapat dijelaskan dengan teori ikatan valensi, teori medan kristal dan teori orbital molekul.

a. Teori Ikatan Valensi

Teori ikatan valensi dikembangkan oleh Prof. Linus Pauling. Menurut teori ini, senyawa kompleks mengandung ion kompleks dengan ligan sebagai basa lewis harus mempunyai pasangan elektron bebas yang terkoordinasi pada atom pusat yang mempunyai orbital kosong. Ikatan yang terbentuk merupakan ikatan kovalen koordinasi (Lee, 1994: 202). Sebagai contoh, yaitu pada pembentukan kompleks [CoF6]3- dan [Co(NH3)6]3+.

Ion ion Co3+ mempunyai struktur elektron terluar 3d6. Pada kompleks [CoF6]3-, ion Co3+ mengandung empat elektron yang tidak berpasangan, sedangkan semua elektron orbital d ion Co3+ pada kompleks [Co(NH3)6]3+ sudah berpasangan. Setiap ligan, sebagai basa lewis, menyumbangkan satu pasang elektron untuk membentuk suatu ikatan kovalen koordinasi. Penggambaran teori ikatan valensi dari struktur elektronik ditunjukkan oleh Gambar 10. Kombinasi orbital-orbital atom logam bercampur menghasilkan orbital-orbital hibrida, yang membentuk ikatan kovalen paling stabil antara logam dan ligan-ligan (Basolo and Johnson, 1964: 33).

commit to user [CoF6] 3-3d 4s 4p 4d F- F- F- F- F- F -[Co(NH3)]3+ 3d 4s 4p NH3 NH3 NH3 NH3 NH3 NH3 3d

Gambar 10. Penggambaran teori ikatan valensi [CoF6]3- dan [Co(NH3)6]3+ (Lee, 1994: 203)

Orbital-orbital hibrida dalam sistem koordinasi enam melibatkan orbital-orbital atom s, px, py, pz, dx2-y2, dan dz2. Enam hasil orbital hibrida sp3d2 mengarah pada sudut-sudut oktahedron. Untuk kompleks [CoF6]3-, orbital-orbital d yang digunakan mempunyai tingkat energi yang sama dengan orbital s dan p. Kompleks dengan tipe nsnp3nd2 dinamakan kompleks outer-orbital karena

menggunakan orbital d luar. Pada kompleks [Co(NH3)6]3+ menggunakan orbital d yang tingkat energinya lebih rendah dibanding orbital s dan p. Kompleks dengan tipe (n-1)d2 ns np3 dinamakan kompleks inner-orbital karena menggunakan orbital d dalam (Basolo and Johnson, 1964: 34).

Kompleks [Cu(NH3)4]2+ dapat terbentuk jika ion logam Cu2+ menyediakan 4 orbital kosong untuk ditempati pasang elektron bebas dari empat ligan NH3. Orbital yang digunakan adalah satu orbital 3d, satu orbital 4s dan dua orbital 4p yang mengalami hibridisasi dsp 2 (Day and Selbin, 1993: 579). Ilustrasi pembentukan hibridisasi dsp2 pada ion [Cu(NH3)4]2+ ditunjukkan oleh Gambar 11.

sp3d2

d2sp3

commit to user 3d 4s 4p 4d Cu2+ Cu2+ tereksitasi 3d 4s 4p 4d [Cu(NH3)4]2+ 3d 3d 4s 4p NH3 NH3 NH3NH3

Gambar 11. Ilustrasi pembentukan hibridisasi dsp2 pada ion [Cu(NH3)4]2+ (Day and Selbin, 1993: 579)

Orbital hibridisasi dapat digunakan untuk meramalkan geometri suatu senyawa, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Tabel 1 (Lee, 1994: 85).

Tabel 1. Bentuk Hibridisasi dan Konfigurasi Geometri (Lee, 1994: 85)

Bilangan Koordinasi Bentuk Hibridiasi Geometri 2 Sp Lurus 3 sp2 Segitiga Datar 4 sp3 Tetrahedral 4 dsp2 Segiempat Datar 5 sp3d Segitiga Bipiramida 6 sp3d2 Oktahedral

Teori ikatan valensi ini dapat menjelaskan struktur dan kemagnetan banyak senyawa kompleks, namun memiliki kelemahan yaitu tidak dapat menerangkan warna dan spektra kompleks yang dihasilkan serta tidak dapat menjelaskan momen magnet yang berbeda pada temperatur yang bervariasi (Lee, 1994: 204).

dsp2

commit to user b. Teori Medan Kristal

Teori medan kristal mengasumsikan ikatan antara ion logam/atom pusat dan ligan dalam kompleks adalah murni elektrostatik (ikatan ion murni). Ion logam transisi sebagai atom pusat dianggap sebagai ion positif yang dikelilingi oleh ligan yang bermuatan negatif atau molekul netral yang mempunyai pasangan elektron bebas (Lee, 1994: 202).

1) Kompleks Oktahedral

Penjelasan kompleks oktahedral adalah sebagai berikut : ion logam sebagai partikel bermuatan positif terletak di tengah oktahedron dan ligan berada di keenam sudutnya yang terletak pada sumbu x, y dan z seperti ditunjukkan oleh Gambar 12.

Gambar 12. Arah sumbu x, y dan z dalam medan oktahedral (Lee, 1994: 205)

Orbital d logam mempunyai tingkat energi yang sama (terdegenerasi), akan tetapi ketika terbentuk kompleks mengalami pemisahan karena adanya pengaruh medan ligan (Lee, 1994: 204). Orbital d logam terpisah menjadi dua kelompok yaitu dxy, dxz, dyz yang disebut t2g dan dx2-y2, dz2 yang disebut eg seperti ditunjukkan oleh Gambar 13.

y x z x y x z z y x y 3 dz2 d x 2 -y 2 dxy dyz dxz (a) (b)

Gambar 13. (a) Kelompok eg (b) Kelompok t2g (Huheey, 1993: 396)

commit to user

Medan ligan akan menyebabkan kenaikan tingkat energi orbital eg lebih besar jika dibandingkan t2g. Diagram tingkat energi orbital d dalam medan ligan oktahedral ditunjukkan pada Gambar 14. Perbedaan energi antara orbital t2g dan eg adalah 10 Dq atau ∆o. Orbital eg mempunyai energi +0,6∆o di atas tingkat energi rata-rata, sedangkan orbital t2g mempunyai energi -0,4∆o di bawah tingkat energi rata-rata (Lee, 1994: 208).

Pengisian orbital t2g pada kompleks octahedral akan menurunkan energi kompleks dan membuatnya menjadi lebih stabil, sebesar -0,4∆0 per elektron. Sementara pengisian orbital eg menaikkan energi sebesar 0,6∆0 per elektron. Total

Crystal Field Stabilization Energy (CFSE) atau energi yang terstabilkan oleh

medan kristal adalah

CFSEoctahedral = -0,4n(t2g) + 0,6n(eg)

Dimana n(t2g) dan n(eg) berturut-turut adalah jumlah elektron yang mengisi orbital t2g

dan eg. Nilai CFSE konfigurasi d0 dan d10 adalah nol baik di medan ligan kuat maupun lemah. Nilai konfigurasi d5 juga nol pada medan ligan lemah (Lee, 1994: 210-211).

Gambar 14. Diagram tingkat energi orbital d pada medan oktahedral (Lee, 1994: 206)

2) Kompleks Tetrahedral

Tetrahedral sering dihubungkan dengan sebuah kubus. Pada kompleks tetrahedral, atom pusat terletak di tengah kubus dan empat dari delapan sudutnya terisi oleh ligan, seperti ditunjukkan oleh Gambar 15.

eg

t 2g

Energi rata-rata ion logam pada medan spherical

Orbital 3d

E

Ion logam dalam medan oktahedral

Tingkat energi rata-rata +0,6Δo

-0,4Δo

Δo

commit to user

Gambar 15. Hubungan tetrahedron dengan kubus (Lee, 1994: 219)

Empat ligan pada kompleks tetrahedral tidak secara langsung mendekati orbital-orbital d dari logam, akan tetapi ligan-ligan ini lebih mendekat pada orbital-orbital yang berada searah dengan sisi kubus (dxy, dxz dan dyz (orbital t2)) daripada orbital yang searah dengan pusat kubus (dz2 dan dx2-y2 (orbital e)). Orbital

t2 akan berada pada tingkat energi yang lebih tinggi sementara orbital e akan stabil pada tingkat energi di bawahnya, sehingga akan membentuk diagram energi yang berkebalikan dengan medan oktahedral (Huheey, 1993: 402).

Diagram tingkat energi orbital d pada medan tetrahedral ditunjukkan oleh Gambar 16. Medan ligan kuat dapat menyebabkan perbedaan energi pemisahan t2

dan e yang lebih besar. Akan tetapi, energi pemisahan tetrahedral selalu lebih kecil jika dibandingkan energi pemisahan oktahedral. Kompleks tetrahedral mempunyai energi pemisahan sebesar 4/9∆o jika dibandingkan dengan kompleks oktahedral (Lee, 1994: 220).

Gambar 16. Pembelahan dan tingkat energi orbital d pada medan tetrahedral (Lee, 1994: 221)

e t 2

Energi rata-rata ion logam pada medan spherical

Orbital 3d

E

Ion logam dalam medan tetrahedral

Tingkat energi rata-rata +0,4Δt

-0,6Δt

Δt

commit to user 3) Kompleks Square Planar

Kedua ligan yang berada pada posisi trans kompleks oktahedral, apabila bergerak menjauh dari ion pusat, maka kompleks yang dihasilkan adalah kompleks oktahedral yang terdistorsi secara tetragonal. Distorsi seperti ini dinamakan distorsi Jahn-Teller. Distorsi Jahn-Teller terdapat pada bentuk oktahedral dimana orbital ion pusatnya terisi secara tidak simetris, yaitu seperti pada ion Cu2+ dengan konfigurasi d9. Kedua ligan sepanjang sumbu z yang menjauhi ion pusat menyebabkan orbital dxy, dxz dan dyz-nya terstabilkan dan energinya berkurang karena elektron-elektron yang terdapat pada orbital tersebut memperoleh tolakan yang lebih kecil dibandingkan tolakan yang diperoleh dalam bentuk oktahedral. Berkurangnya energi-energi orbital di atas, disertai dengan bertambahnya energi orbital-orbital dx2-y2 dan dz2 ( Huheey, 1993: 443-444).

Pelepasan kedua ligan di sepanjang sumbu z kompleks oktahedral yang terdistorsi secara tetragonal akan menghasilkan kompleks dengan struktur square

planar (Gambar 17), seperti yang umumnya terbentuk pada kompleks

tembaga(II). Pembelahan orbital d pada kompleks square planar dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 17. Distorsi kompleks oktahedral yang kemudian menjadi kompleks oktahedral yang terdistorsi secara tetragonal dan kompleks square

planar (Madan, 1987: 1361) Cu2+ L L L L Sumbu Z Sumbu Y Sumbu X Cu2+ L L L L L L Cu2+ L L L L L L

Kompleks oktahedral Kompleks oktahedral yang terdistorsi secara tetragonal

Kompleks square planar Kedua ligan pada sb. Z

menjauhi ion pusat Cu2+

Kedua ligan pada sb. Z lepas

commit to user

Gambar 18. Pembelahan orbital d pada kompleks square planar (Miessler and Tarr, 2011: 429)

c. Teori Orbital Molekul

Teori orbital molekul dapat digunakan untuk menjelaskan adanya ikatan kovalen dalam senyawa kompleks. Orbital atom logam dan ligan digunakan untuk membentuk orbital molekul. Pada kompleks oktahedral, orbital dxy, dxz, dyz yang arahnya berada di antara arah ligan menuju ion pusat tidak terlibat dalam pembentukan ikatan (nonbonding). Sedangkan orbital dx2-y2 dan dz2 yang mengarah langsung pada ligan dapat membentuk orbital molekul ikatan (bonding) dan anti ikatan (antibonding), selain itu orbital 4s dan 4p juga terlibat dalam pembentukan orbital molekul (Lee, 1994: 228). Diagram tingkat energi untuk kompleks oktahedral ditunjukkan oleh Gambar 19.

17

E

Orbital 3d

Oktahedral Square Planar

J-T Distortion a1g x2-y2 xz yz eg xy xz yz xy t 2g b2g eg z2 b1g x2-y2 z2

commit to user p s d dx2-y2 dz2 dxy dxz d yz t2g dxy dxz d yz t2g dx2-y2 dz2 px py pz a1g t1u eg nonbonding dx2-y2 dz2 eg* a1g* px* py* pz* t1u* 10 Dq antibonding bonding

orbital logam orbital molekul orbital ligan

t1u

a1g

eg

Gambar 19. Diagram tingkat energi kompleks oktahedral (Huheey, 1993: 417)

Teori orbital molekul juga dapat digunakan untuk menjelaskan pembentukan kompleks tetrahedral. Pada kompleks tetrahedral, lima orbital d logam terpisah menjadi dua kelompok yaitu orbital e (dx2-y2 dan dz2) dan t2 (dxy, dxz,

dyz). Orbital (dx2-y2 dan dz2) merupakan orbital nonbonding e, yang tidak terlibat dalam pembentukan ikatan. Ketiga orbital p membentuk orbital molekul bonding

t2 dan orbital molekul antibonding t2*. Orbital dxy, dxz, dyz membentuk orbital molekul bonding t2 dan orbital antibonding t2*. Orbital s membentuk orbital

molekul bonding a1 dan orbital antibonding a1*. Empat orbital ligan juga

mempunyai orbital molekul bonding dan antibonding (Huheey, 1993: 418-420). Diagram tingkat energi untuk kompleks tetrahedral ditunjukkan oleh Gambar 20.

commit to user

Gambar 20. Diagram tingkat energi kompleks tetrahedral (Huheey, 1993: 419)

Diagram tingkat energi orbital molekul pada kompleks square-planar ditunjukkan oleh gambar 21. Kompleks dengan bilangan koordinasi empat yang mempunyai bentuk square planar mengikat empat ligan yang identik. Orbital d terpecah menjadi orbital a1g (dz2), b1g (dx2-y2), b2g (dx-y) dan eg (dx-z, dy-z). Orbital p juga terpecah menjadi orbital a2u (pz) dan eu (px, py). Keempat ligan yang terorientasi pada sumbu x dan sumbu y terpecah menjadi orbital a1g, eu dan b1g

yang akan berinteraksi dengan orbital yang memiliki simetri yang sama. Sebagian orbital logam (a2u, eg dan b2g) memiliki orbital nonbonding karena orbital tersebut tidak mengalami tumpang tindih dengan orbital ligan (Miessler and Tarr, 2011: 384-386). (n+1) p (n+1) s n d t2 t2 t2 a1 a1 a1 t2 e e t2* t2* a1* ∆t Orbital antibonding Orbital bonding Orbital Non-bonding

Orbital logam Orbital molekul Orbital ligan

commit to user

Gambar 21. Diagram tingkat energi kompleks square-planar (Miessler and Tarr, 2011: 385) Orbital antibonding Orbital ligan Δ 2b1g 2a1g 1a1g 1eu 1b1g Orbital bonding a1g eu b1g dz2 dx2-y2 eg dxy b2g eg b2g b1g a1g dxz , dyz Orbital 3d Orbital d logam Orbital Nonbonding 2eu 3a1g eu a2u a2u px , py pz a1g Orbital 4p Orbital 4s 20

commit to user

4. Spektra Elektronik Kompleks Tembaga(II)

Spektra kompleks meliputi transisi elektronik tingkat-tingkat energi yang berbeda. Ion Cu2+ dengan konfigurasi d9 tanpa adanya medan magnet/listrik dari luar mempunyai satu tingkat energi yaitu 2D. Ion bebas 2D akan terpisah menjadi tingkat energi 2Eg dan 2T2g karena adanya pengaruh dari medan oktahedral. Pembelahan tingkat energi konfigurasi d9 pada medan oktahedral ditunjukkan oleh Gambar 22 (Lee, 1994: 956).

Gambar 22. Pembelahan tingkat energi konfigurasi d9 pada medan oktahedral (Lee, 1994: 956)

Ion bebas 2D pada medan oktahedral akan terpisah menjadi 2Eg dan2T2g, dan selanjutnya masing-masing tingkatan energi ini terpisah pada medan square

planar karena distorsi Jahn-Taller. Gambar pembelahan tingkat energi konfigurasi d9 pada medan square planar ditunjukkan oleh Gambar 23 (Miessler and Tarr, 2011: 430).

Gambar 23. Pembelahan tingkat energi konfigurasi d9 pada medan square

planar (Miessler and Tarr, 2011: 430)

2 D Energi

Kekuatan Medan Ligan

2 T2g 0.4 0.6 2 Eg B2g A1g B1g Eg E

Oktahedral Square Planar

2 D 2 Eg 2 T2g 21

commit to user

Studi eksperimen mengenai spektra sejumlah besar kompleks yang mengandung berbagai ion logam dan ligan telah dipelajari, dan dapat dijelaskan bahwa ligan-ligan dapat ditata dalam deret menurut kapasitasnya untuk menyebabkan pemisahan atau pembelahan orbital d dari ion pusat. Deret tersebut bagi ligan-ligan yang umum adalah :

I- < Br-< Cl-< OH-<RCO2-<F- <H2O <NCS-< NH3< en < NO2-<phen <CN

-(Cotton and Wilkinson, 1998: 537)

5. Sifat Magnetik

Senyawa kompleks dengan orbital d dan f yang belum terisi penuh, dapat diketahui rentang sifat kemagnetannya, yang tergantung pada tingkat oksidasi, konfigurasi elektron dan bilangan koordinasi atom logamnya. Perkalian kerentanan spesifik (Xg) dari suatu senyawa dengan berat molekulnya akan diperoleh harga kerentanan molar (Xm) yang dapat dihubungkan dengan momen paramagnetik permanen (μ) suatu molekul dengan Persamaan 1 (Huheey, 1993: 459). X m = RT N 3 2 2

... (1)

N adalah bilangan Avogadro, R adalah tetapan gas ideal, T adalah suhu (dalam K)

dan μ dalam satuan BM (1 BM = eh/4mπ). Dari Persamaan 1 dapat diketahui besarnya harga μ, yaitu dengan :

μ = 2 2 1 3       N RTXm ... (2) μ = 2,84 (X m T) 1/2... (3) - Spin tinggi - Medan lemah - Pemisahan medan ligan (Δ) kecil - Spin rendah - Medan kuat - Pemisahan medan ligan (Δ) besar 22

commit to user

Harga μ dapat diubah ke dalam jumlah spin elektron tak berpasangan,

Dokumen terkait