• Tidak ada hasil yang ditemukan

i RINGKASAN

Nova Prasetyanto. D14061892. 2011. Kadar H2S, NO2, dan Debu pada Peternakan Ayam Broiler dengan Kondisi Lingkungan yang Berbeda di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Maria Ulfah, S. Pt., MSc. Agr. Pembimbing Anggota : Ir. Siti Badriyah Rushayati, MSi.

Berkembangnya peternakan ayam broiler dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan di sekitarnya diantaranya emisi berupa gas hidrogen sulfida (H2S) dan nitrogen dioksida (NO2) serta partikel berupa debu. Kualitas lingkungan, diantaranya dipengaruhi oleh suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin dan ketinggian lokasi, yang baik sangat diperlukan ayam broiler. Faktor-faktor tersebut juga dapat mempengaruhi kadar gas dan debu. Informasi mengenai kadar gas H2S, NO2, dan debu di peternakan ayam broiler di Kabupaten Bogor sampai saat ini belum banyak tersedia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kadar H2S, NO2, dan debu di peternakan ayam broiler pada dua lokasi dengan kondisi lingkungan yang berbeda. Penelitian ini dilakukan di peternakan ayam broiler Bagus Farm yang terletak di Desa Semplak Barat, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor dengan ketinggian lokasi 170 m dpl dan peternakan ayam broiler Ikhtiar Farm di Desa Cikoneng Talang, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor dengan ketinggian lokasi 520 m dpl. Penelitian ini dilakukan selama bulan Oktober sampai dengan November 2010.

Analisis H2S dilakukan dengan menggunakan metode metilen blue. Analisis NO2 dilakukan dengan menggunakan metode G. Saltzman. Analisis konsentrasi partikel debu dilakukan dengan menggunakan metode Gravimetri. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif.

Kisaran suhu udara di peternakan Bagus Farm di dalam kandang adalah 26,8- 28,2 oC dan di luar kandang adalah 27,7-29,6 oC. Kisaran suhu udara di peternakan Ikhtiar Farm di dalam kandang adalah 25,6-27,0 oC dan di luar kandang adalah 25,9-27,9 oC. Kisaran kelembaban udara di peternakan Bagus Farm di dalam kandang adalah 81%-92% dan di luar kandang 77%-87%. Kisaran kelembaban udara di Ikhtiar Farm di dalam kandang adalah 70%–85% dan di luar kandang adalah 67%-84%. Kecepatan angin di sekitar kandang peternakan Bagus Farm berkisar 0,8-1,5 m/detik. Kecepatan angin di peternakan ayam broiler Ikhtiar Farm berkisar antara 0,4-3,3 m/detik.

Kadar H2S di peternakan ayam broiler Bagus Farm adalah 0,0014–0,0122 ppm. Kadar H2S di peternakan ayam broiler Ikhtiar Farm Talang adalah <0,001– 0,0067 ppm. Kadar NO2 di peternakan ayam broiler Bagus Farm adalah 6,042– 10,129 µg/m3. Kadar NO2 di peternakan ayam broiler Ikhtiar Farm adalah 3,949– 4,629 µg/m3. Kadar debu di peternakan ayam broiler Bagus Farm adalah 13,616– 31,533 µg/m3. Kadar debu di peternakan ayam broiler Ikhtiar Farm adalah 11,683– 28,377 µg/m3. Hasil penelitian menunjukkan kadar H2S, NO2, dan debu di dua lokasi peternakan ayam broiler berada di bawah standar baku mutu udara ambien. Peternakan Ikhtiar Farm menghasilkan kadar H2S, NO2 dan debu yang lebih rendah bila dibandingkan dengan peternakan Bagus Farm. Hal tersebut dipengaruhi oleh

ii kondisi lingkungan (suhu udara, kelembaban udara, arah dan kecepatan angin, dan ketinggian lokasi), kondisi kandang (bahan atap, sistem kandang) dan kondisi sekitar kandang (areal pertanian, keberadaan tanaman di sekitar kandang). Penelitian lanjutan mengenai H2S, NO2 dan debu pada peternakan ayam broiler perlu dilakukan untuk mendapatkan data kadar pencemar dari peternakan ayam broiler yang lebih lengkap di Kabupaten Bogor.

Kata-kata kunci: peternakan ayam broiler, kondisi lingkungan, kadar H2S, NO2, debu

iii ABSTRACT

Levels of H2S, NO2, and Dust from Broiler Chicken Farm at Different Environmental Conditions in Bogor Regency, West Java

Prasetyanto, N., M. Ulfah, and S. B. Rushayati

The development of broiler chicken farms may cause negative impacts such as emissions include hydrogen sulfide (H2S) and nitrogen dioxide (NO2) and particles of dust. Environmental quality is very necessary for broiler chicken. The levels of gases and dust is affected by environmental condition. Information of the levels of H2S, NO2, and dust in broiler chicken farms in Bogor Regency has not been widely available. The purpose of this study was to assess the levels of H2S, NO2, and dust from broiler chicken farms with different environmental conditions. This research was conducted on Bagus Farms that located in West Semplak, Kemang District, Bogor Regency (170 above see level) and Ikhtiar Farm that located in Cikoneng Talang, Pamijahan District, Bogor Regency (520 above sea level). This research was conducted during October until November 2010. The result shows that the levels of H2S, NO2 and dust at two research sites were lower than basic standard of H2S, NO2 and dust consisted in ambient air. The level of H2S, NO2 and dust in Ikhtiar Farm that was lower than in Bagus Farm was caused by enviromental condition (temperature, humidity, wind speed and altitude), broiler chicken farm condition (roofing, the broiler chicken farm system) and condition around the broiler chicken farm (agriculture area and plants planted around broiler chicken farm). However, the further researches on emissions inventory from broiler chicken farms is needed to provide a comprehensive data of emissions from broiler chicken farms in Bogor Regency.

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dunia perunggasan khususnya peternakan ayam broiler merupakan subsektor peternakan yang saat ini berkembang pesat dan efisien dibandingkan jenis unggas yang lain. Hal tersebut dikarenakan pertumbuhan ayam broiler lebih cepat dibandingkan komoditas ternak lainnya karena pemeliharaan ayam broiler hanya membutuhkan waktu 35-42 hari. Ayam broiler adalah jenis ras unggulan hasil persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi terutama dalam memproduksi daging ayam (Cahyono, 1995).

Berkembangnya peternakan ayam broiler juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan di sekitarnya. Dampak negatif yang ditimbulkan salah satunya berupa emisi yang dapat mencemari udara dari usaha peternakan ayam broiler, yaitu berupa gas hidrogen sulfida (H2S) dan nitrogen dioksida (NO2) serta partikel debu.

Hidrogen sulfida (H2S) merupakan gas yang dapat menghasilkan bau tidak sedap. Gas tersebut bersifat toksik bagi manusia dan ternak, dapat meningkatkan kerentanan terhadap penyakit, dan dapat mengganggu efisiensi aktivitas para pekerja yang berada di sekitar peternakan karena bau yang ditimbulkan (Setiawan, 1996). Selain gas H2S, terdapat juga gas NO2 yang dibentuk melalui proses mikrobiologi dari nitrifikasi dan denitrifikasi. Gas ini dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan terutama gangguan pernafasan akut. Gas ini juga dapat menyebabkan keracunan apabila konsentrasinya melebihi ambang batas normal.

Selain gas, terdapat partikel yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan yaitu debu. Kandungan utama debu pada peternakan unggas umumnya berasal dari pakan. Debu yang berlebihan dapat mengakibatkan emisi debu. Dampak debu bagi manusia salah satunya adalah dapat mengganggu kesehatan khususnya terhadap gangguan pernafasan (Casey et al., 2006).

Kadar gas dan debu di sekitar usaha peternakan ayam broiler dapat mencemari udara jika melebihi ambang batas normal. Kadar gas dan debu di sekitar usaha peternakan ayam broiler dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan yang baik sangat diperlukan oleh ayam broiler untuk menghasilkan produktivitas yang optimal. Selain itu, kondisi lingkungan yang baik di sekitar usaha

2 peternakan ayam broiler juga diperlukan bagi manusia untuk menjalankan kegiatan sehari-hari. Kondisi lingkungan yang baik diantaranya dipengaruhi oleh suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin dan ketinggian suatu lokasi.

Informasi mengenai kadar gas H2S, NO2, dan debu di peternakan ayam broiler di Kabupaten Bogor sampai saat ini belum banyak tersedia. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui kadar H2S, NO2, dan debu yang dihasilkan oleh suatu peternakan ayam broiler pada kondisi lingkungan yang berbeda.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kadar H2S, NO2, dan debu di peternakan ayam broiler pada dua lokasi dengan kondisi lingkungan yang berbeda.

3 TINJAUAN PUSTAKA

Usaha Peternakan Ayam Broiler

Usaha peternakan ayam broiler terlihat mulai kembali berkembang setelah Indonesia dilanda krisis pada tahun 1997. Hal ini dapat dilihat dari terjadinya peningkatan populasi broiler dari tahun 2004 sampai tahun 2008 sebesar 16,58%, dari sekitar 779 juta ekor menjadi 902 juta ekor (Ditjenak, 2009) seperti yang diperlihatkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Populasi Ayam di Indonesia pada Tahun 2004 - 2008

Jenis Ternak Tahun (juta ekor)

2004 2005 2006 2007 2008

Ayam Buras 276.989.054 278.953.778 291.085.191 272.251.141 243.423.389

Ayam Ras Petelur 93.415.519 84.790.411 100.201.556 111.488.877 107.955.170

Ayam Ras Pedaging 778.969.843 811.188.684 797.527.446 891.659.346 902.052.418

Sumber : Ditjenak (2009)

Usaha peternakan ayam sering dijadikan sebagai sumber penyebab utama yang ikut mencemari lingkungan. Oleh karena itu, agar peternakan ayam tersebut menjadi suatu usaha yang berwawasan lingkungan dan efisien, maka tatalaksana pemeliharaan, perkandangan, dan penanganan limbahnya harus selalu diperhatikan. Menurut Deptan (1991) dan Deptan (1994) usaha peternakan dengan populasi tertentu perlu dilengkapi dengan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Untuk usaha peternakan ayam ras pedaging, yaitu populasi lebih dari 15.000 ekor per siklus terletak dalam satu lokasi, sedangkan untuk ayam petelur, populasi lebih dari 10.000 ekor induk terletak dalam satu lokasi.

Kotoran Ayam

Kotoran ayam secara umum terdiri dari sisa pakan yang tidak tercerna seperti selulosa (karbohidrat), lemak, protein dan unsur anorganik (Tabbu dan Hariono, 1993). Protein yang terkandung di dalam kotoran merupakan sumber utama nitrogen. Jumlah dan komposisi kotoran yang dihasilkan oleh ayam bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh umur, ras, dan jenis pakan. Diperkirakan seekor ayam broiler menghasilkan kotoran setiap harinya sebanyak 0,15 kg yang mengandung 1,7%

4 nitrogen, 0,16% fosforus, dan 0,58% kalium (Kumar dan Biswar, 1982; Charles dan Hariono, 1991).

Fontenot et al. (1983) melaporkan bahwa rata-rata produksi buangan segar ternak ayam petelur adalah 0,06 kg/hari/ekor, dan kandungan bahan kering sebanyak 26% sedangkan dari pemeliharaan ayam pedaging kotoran yang dikeluarkan sebanyak 0,1 kg/hari/ekor dan kandungan bahan keringnya 25%. Komposisi rata-rata kotoran ayam pedaging berdasarkan bobot basah disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Unsur Kotoran Ayam Broiler

Nama Unsur Kandungan unsur kotoran/bobot basah

Minimum Maksimum Rata-rata

Total Padatan (%) Total N (%) NH4-N P2O5 K2O (%) Ca (ppm) Mg (ppm) Sulfida (ppm) Mn (ppm) Zn (ppm) Cu (ppm) 38,00 0,89 0,08 1,09 0,63 0,51 0,12 0,07 66,00 48,00 16,00 92,00 5,80 1,48 6,14 4,26 6,22 1,37 1,05 579,00 583,00 634,00 75,80 2,94 0,75 3,22 2,03 1,79 0,52 0,52 266,00 256,00 283,00 Sumber : Malone (1992)

Sumber pencemaran dari usaha peternakan ayam berasal dari kotoran ayam yang berkaitan dengan unsur nitrogen dan sulfida yang terkandung dalam kotoran tersebut, yang pada saat penumpukan kotoran atau penyimpanan terjadi proses dekomposisi oleh mikroorganisme membentuk gas amonia, nitrat, dan nitrit serta gas sulfida. Gas-gas tersebut yang menyebabkan bau (Svensson, 1990; Pauzenga, 1991).

Pencemaran Udara

Pencemaran dalam arti luas adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain kedalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas

5 lingkungan turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan kurang atau tidak dapat berfungsi sesuai peruntukkannya (KLH, 2007).

Pencemaran udara diartikan sebagai keadaan atmosfer, dimana satu atau lebih bahan-bahan polusi yang jumlah dan konsentrasinya dapat membahayakan kesehatan mahluk hidup, merusak properti dan mengurangi kenyamanan di udara (Salim, 2002). Menurut PP-RI Nomor 18 Tahun 1999 (RI, 1999), pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Berdasarkan definisi ini maka segala bahan padat, gas, dan cair yang ada di udara dan dapat menimbulkan tidak nyaman yang disebut polutan udara. Menurut Mukono (2000), yang dimaksud pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau substrat fisik atau kimia ke dalam lingkungan udara normal yang mencapai sejumlah tertentu, sehingga dapat dideteksi oleh manusia (atau yang dapat dihitung dan diukur) serta dapat memberikan efek pada manusia, binatang, vegetasi dan material karena ulah manusia (man made).

Pencemaran udara dapat dibedakan menjadi dua yaitu pencemaran udara bebas dan pencemaran udara di dalam ruangan (indoor air pollution). Bahan atau zat yang dapat mencemari udara dapat berbentuk gas dan partikel (Sunu, 2001). Menurut Soedomo (2001), berdasarkan ciri fisik, bahan pencemar dapat berupa partikel (debu, aerosol, timah hitam), gas (CO, NOx, SOx, H2S) dan energi (suhu udara dan kebisingan) sedangkan menurut kejadian atau terbentuknya ada pencemar primer (yang diemisikan langsung oleh sumber) dan pencemar sekunder (yang terbentuk karena reaksi di udara antara berbagai zat).

Hidrogen Sulfida (H2S)

Hidrogen sulfida dibentuk dari reduksi bakteri sulfat dan dekomposisi kandungan sulfur organik pada kotoran dalam kondisi anaerob. Gas H2S merupakan gas yang berwana lebih ringan dari pada udara, mudah larut dalam air dan mempunyai bau seperti telur busuk (Casey et al., 2006). Baku mutu udara ambien untuk H2S 42 µg/m3 atau 0,03 ppm selama 30 menit (KLH, 1988). Gas ini tidak berwarna dan dapat dideteksi pada konsentrasi yang sangat rendah yaitu 0,002 ppm (Soemirat, 2002).

6 Pencemaran udara yang ditimbulkan oleh kotoran ayam merupakan masalah lingkungan yang cukup mengganggu. Gas H2S yang dihasilkan dari proses penguraian zat makanan sisa pencernaan dilakukan oleh mikroba perombak protein (Usri, 1988). Gas tersebut toksik bagi manusia dan hewan serta dapat meningkatkan kerentanan penyakit dan dapat mengganggu efisiensi aktivitas para pekerja yang berada di sekitar peternakan karena bau yg ditimbulkan (Martin et al., 2004). Hal tersebut merupakan suatu permasalahan yang cukup nyata pada industri peternakan (Praja, 2006). Batas rataan konsentrasi gas H2S yang diperbolehkan pada peternakan tempat bekerja selama paparan 8 jam adalah 10 ppm dan batas rata-rata bagi senyawa berbau dalam air terdeteksi adalah 0,00018 mg/L (Ariens et al., 1986).

Gas H2S banyak ditemukan di dataran rendah yang tertutup dan memiliki ventilasi yang buruk. Gas H2S pada konsentrasi yang rendah dapat menyebabkan iritasi mata, batuk, sesak nafas, iritasi hidung, dan tenggorokan. Gas H2S pada konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan pusing, mual, muntah, pingsan, koma bahkan kematian (OSHA, 2005). Pengaruh gas hidrogen sulfida pada manusia disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh Paparan Gas Hidrogen Sulfida (H2S) pada Manusia Kadar Gas H2S (ppm) Pengaruh pada Manusia 10 20 50-100 200 500 per menit 600 per menit Iritasi mata

Iritasi mata, hidung, dan tenggorokan Mual, muntah, diare

Pusing, depresi, rentan pneumonia Mual, muntah, pingsan

Kematian Sumber : Pauzenga (1991)

Nitrogen Dioksida (NO2)

Nitrogen dioksida (NO2) adalah gas yang sangat berbahaya jika terhirup oleh manusia. Nitrogen monoksida (NO) dapat mengalami oksidasi menjadi NO2 yang bersifat racun berbau tajam menyengat hidung dan berwarna merah kecoklatan. Gas NO2 yang terkandung dalam udara sebesar 400 μg/m3 selama pengukuran 1 jam dapat membahayakan kesehatan makhluk hidup terutama manusia karena dapat

7 menyebabkan gangguan pernapasan (penurunan kapasitas difusi paru-paru) (KLH, 2007).

Warna gas NO2 adalah merah kecoklatan dan berbau tajam menyengat hidung. Kadar NOx di udara daerah perkotaan yang berpenduduk padat akan lebih tinggi dari daerah pedesaan yang berpenduduk sedikit. Hal ini disebabkan karena berbagai macam kegiatan yang menunjang kehidupan manusia akan menambah kadar NOx diudara, seperti transportasi, peternakan, pembuangan sampah dan lain-lain. Keberadaan NOx di udara dapat dipengaruhi oleh sinar matahari yang mengikuti daur reaksi fotolitik NO2 sebagai berikut (Pohan, 2002):

NO2 + sinar matahari NO + O O + O2 O3 (ozon)

Sebelum matahari terbit, kadar NO dan NO2 tetap stabil dengan kadar sedikit lebih tinggi dari kadar minimum sehari-hari. Seiring dengan sinar matahari yang memancarkan sinar ultra violet. Kadar NO2 pada saat ini dapat mencapai 0,5 ppm (Wardhana, 2001).

Senyawa NOx adalah senyawa kimia yang dapat menyebabkan iritasi pada dinding alat pernafasan dan dapat menyebabkan penyempitan saluran nafas baik pada orang yang sehat maupun pada penderita asma. Dampak negatif terhadap manusia terutama terjadi pada reaksinya terhadap fungsi paru-paru dan saluran nafas. Gas NOx juga dapat meningkatkan reaksi terhadap bahan-bahan allergen alamiah (misalkan serbuk sari, dll). Penelitian menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO. NO2 bersifat racun terutama terhadap paru-paru. Kadar NO2 yang lebih tinggi dari 100 ppm dapat mematikan sebagian besar binatang percobaan dan 90% dari kematian tersebut disebabkan oleh gejala pembengkakan paru-paru (edema pulmonari). Kadar NO2 sebesar 800 ppm akan mengakibatkan 100% kematian pada binatang-binatang yang diuji dalam waktu 29 menit atau kurang. Pemberian NO2 dengan kadar 5 ppm selama 10 menit terhadap manusia mengakibatkan kesulitan dalam bernafas (Wardhana, 2001).

Ambang batas konsentrasi harian Baku Mutu Nasional berdasarkan PP RI 41/1999 untuk senyawa oksida nitrogen adalah 150 μg/m3

dengan waktu pengukuran 24 jam (RI, 1999). Potensi dampak terhadap kesehatan karena terlampauinya ambang batas konsentrasi rata-rata harian dilakukan dengan mengamati jumlah hari

8 melampaui ambang batas Baku Mutu konsentrasi rata-rata harian (exceedence days). Sebelum analisis potensi dampak kesehatan dilakukan, perlu diamati jumlah data harian yang tersedia untuk perhitungan exceedence days tersebut. Gas NO2 (nitrogen dioksida), dapat juga merusak jaringan paru-paru dan jika bersama H2O akan membentuk nitric acid (HNO3) yang pada gilirannya dapat menimbulkan hujan asam yang sangat berbahaya bagi lingkungan (Kusuma, 2002).

Debu

Debu adalah partikel-partikel zat padat, yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan alami yang cepat, peledakan, dan lain-lain dari bahan-bahan, baik organik maupun anorganik (Suma’mur, 1995). Sifat-sifat debu diantaranya adalah mengendap karena pengaruh gaya gravitasi bumi, selalu basah karena dilapisi oleh lapisan air yang sangat tipis, mudah menggumpal, mempunyai listrik statis yang mampu menarik partikel lain yang berlawanan serta dapat memancarkan sinar (Achmadi, 1990).

Jumlah debu berubah-ubah bergantung pada lokasi. Konsentrasi debu pada umumnya berkurang dengan bertambahnya ketinggian. Debu dapat menyerap, memantulkan, dan menghamburkan radiasi yang datang. Debu atmosferik dapat tersapu turun ke permukaan bumi oleh curah hujan tetapi kemudian atmosfer dapat terisi partikel debu kembali (Tjasyono, 2004).

Debu dari peternakan unggas pada umumnya meliputi partikel tanah, sisa pakan, rambut dan bulu, kotoran kering, bakteri, dan jamur. Kandungan debu di peternakan unggas umumnya berasal dari pakan sedangkan kandungan partikel tanah tersebut menentukan konsentrasi debu (Casey et al., 2006). Baku mutu udara ambien untuk debu adalah 260 µg/m3 dengan waktu pengambilan 24 jam (KLH, 1988).

Efek debu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan tergantung dari solubility, komposisi kimia debu, konsentrasi debu, dan ukuran partikel debu (Achmadi, 1990). Akibat yang dapat ditimbulkan oleh debu antara lain gangguan kenyamanan pada pernafasan, peradangan saluran pernafasan, alergi, meningkatkan sekresi cairan di hidung, nafas menjadi berat, serta penurunan kapasitas ventilasi paru (Kurniawan, 1996).

Partikel debu yang menyebabkan penyakit paru-paru akibat lingkungan kerja yang terpenting adalah partikel yang berukuran lebih kecil dari 0,1 µ dan sifat-sifat

9 aerodinamik dari debu yang terdapat di udara. Gejala yang terjadi pada pekerja biasanya meliputi gangguan restriktif paru antara lain cepat lelah, sesak nafas pada waktu bekerja ringan, dan berkurangnya kapasitas kerja (Rab, 1996).

Pengaruh Meteorologis Terhadap Kadar Emisi

Faktor meteorologis mempunyai peranan yang penting dalam menentukan kualitas udara di suatu daerah. Kondisi atmosfer sangat ditentukan oleh berbagai faktor meteorologis, seperti: 1) kecepatan dan arah angin, 2) kelembaban, 3) suhu udara, 4) tekanan udara, dan 5) aspek tinggi permukaan (topografi) (Soedomo, 2001). Kadar gas pencemar di udara selain dipengaruhi oleh jumlah sumber pencemar, parameter meteorologi juga mempengaruhi kadar gas pencemar di udara sehingga kondisi lingkungan tidak dapat diabaikan. Kecepatan angin, suhu udara dan kelembaban udara adalah bagian dari parameter meteorologi yang dapat mempengaruhi kadar gas pencemar di udara. Kecepatan angin menentukan kedalaman seberapa banyak udara pencemar tersebut mula-mula tercampur dan ketidakteraturan kecepatan serta arah angin menentukan laju penyebaran pencemar ketika terbawa dalam arah angin. Faktor ini yang menentukan suatu daerah akan tercemar dan seberapa cepat kadar pencemar menipis akibat pencampuran dengan udara lingkungan setelah bahan tersebut meninggalkan sumbernya (Neighburger, 1995). Faktor meteorologis akan menentukan penyebaran pencemar di udara ambien, baik yang berasal dari emisi sumber tidak bergerak maupun dari sumber bergerak. Kondisi meteorologi akan menentukan luasan penyebaran pencemar, pola penyebaran, dan jangkauan penyebaran serta jangka waktu penyebarannya.

Suhu Udara

Suhu udara didefinisikan sebagai tingkat atau derajat kepanasan dari suatu benda. Suhu udara dinyatakan dengan satuan derajat celcius (Prawirowardoyo, 1996). Soedomo (2001) menyatakan suhu udara secara langsung mempengaruhi kondisi kestabilan atmosfer. Dalam kondisi stabil, yaitu pada suhu udara yang lebih rendah dari lingkungan, maka massa udara polutan tidak dapat naik tetapi tetap berada di atmosfer dan terakumulasi, sehingga akan menaikkan konsentrasi polutan. Sebaliknya, pada saat suhu udara lebih tinggi daripada suhu udara lingkungan maka

10 massa udara polutan akan naik dan menyebar sehingga tidak terjadi pengendapan di permukaan dan akan meminimalkan konsentrasi polutan.

Kecepatan dan Arah Angin

Angin akan mempengaruhi kecepatan penyebaran polutan dengan udara di sekitarnya. Kecepatan angin yang semakin tinggi menyebabkan pencampuran dan penyebaran polutan dari sumber emisi di atmosfer akan semakin besar sehingga konsentrasi zat pencemar menjadi encer begitu juga sebaliknya. Hal ini akan menurunkan konsentrasi zat polutan di udara (Hasnaeni, 2004).

Arah angin berperan dalam penyebaran polutan yang akan membawa polutan tersebut dari satu sumber tertentu ke area lain searah dengan arah angin. Kecepatan angin memegang peranan dalam jangkauan dari pengangkutan dan penyebaran polutan. Kecepatan angin mempengaruhi distribusi pencemar, konsentrasi pencemar akan berkurang jika angin berkecepatan tinggi dan membagikan kecepatan tersebut secara mendatar atau vertikal (Sastrawijaya, 1991).

Kelembaban Udara

Kelembaban udara dapat mempengaruhi jumlah emisi gas yang dihasilkan dari sumber emisi kotoran ayam broiler. Semakin tinggi kelembaban udara di suatu tempat maka semakin baik bagi mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembangbiak serta semakin banyak proses perombakan yang terjadi. Menurut Ryak (1992), kelembaban udara memegang peranan dalam proses metabolisme mikroorganisme yang secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen. Apabila kelembaban udara lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya

Dokumen terkait