• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL ANALISA DAN INTERPRETASI

D. Pembahasan

Menjalani kehidupan dengan kondisi sakit memang bagi sebagian pasien tidaklah mudah, ada yang akhirnya menyerah ada juga bertahan hingga sembuh. Demikian juga yang dialami oleh Vivi sebagai seorang pasien dengan penyakit yang tidak biasa dan jarang ditemui. Selama empat tahun, kurang-lebih, Vivi menderita penyakit Guillain Barre Syndrome (GBS) dan GBS merupakan salah satu penyakit kronis . Penelitian yang dilakukan oleh Kubler Ross terhadap pasien dengan penyakit yang dekat dengan kematian menunjukkan bahwa ketika pasien pertama kali dihadapkan dengan penyakit yang dekat dengan kematian atau penyakit kronis, maka reaksi pertama yang dilakukan oleh pasien adalah denial. Pasien akan mengatakan bahwa tidak mungkin mereka menderita penyakit kronis (Ross, 2009). Tidak terkecuali Vivi sebagai salah satu pasien penyakit kronis. Pertama sekali terkena penyakit ini Vivi menolak bahwa benar penyakit GBS merupakan penyakit yang diderita olehnya. Banyak alternatif pengobatan yang dicoba untuk membuktikan bahwa Vivi tidak menderita penyakit GBS.

Menurut Vivi pola hidup akan mempengaruhi kesehatan manusia. Sebelum dia terkena penyakit ini, Vivi menjalani hidup dengan pola yang sehat. Hal tersebut membuat Vivi tidak menerima bahwa dia yang terkena penyakit GBS ini ditambah lagi penyakit ini mengakibatkan kematian pada penderitanya. Vivi mengatakan banyak orang hidup dengan pola yang tidak sehat, mengapa dia yang hidup sehat justru yang terkena penyakit ini. Ditambah lagi bahwa penyakit yang diderita oleh Vivi adalah penyakit yang tidak biasa diderita orang pada umumnya. GBS merupakan penyakit yang jarang dan langka, rentang terjadi pada manusia

sekitar 1-2 kasus dari 100.000 orang. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit autoimune dimana virus menyerang sistem saraf periphal sehingga membuat kesalahan komunikasi terhadap sistem imun. Sistem imun bekerja menjaga tubuh dari serangan penyakit-penyakit namun akibat dari penyakit ini sistem imun menyerang balik tubuh si penderita (Parry & Steinberg, 2007). Lima hari setelah sadar dari kondisi koma, Vivi mengalami kejadian yang tidak menyenangkan. Setiap malam selama sebulan Vivi seperti diberikan tugas untuk memisahkan benang yang sangat kusut. Vivi mencoba untuk memisahkan benang-benang kusut tersebut hingga mengalami stress, panik, bahkan ketakutan, hal ini mengakibatkan detak jantung Vivi berdetak sangat cepat sehingga membunyikan fentilator. Untuk mengantisipasi keadaan tersebut Vivi diberikan obat tidur.

Pengetahuan akan penyakit GBS yang sangat terbatas baik oleh Vivi dan keluarga juga membuat Vivi menolak menerima keadaannya saat itu. Banyak penyakit lain seperti demam, flu, hipertensi, dsb yang sering didengar oleh Vivi dan keluarga, namun penyakit GBS yang baru diketahui oleh Vivi dan keluarga justru diderita oleh Vivi. Vivi hidup dengan pola sehat namun terkena penyakit yang sama sekali tidak diketahui olehnya, membuat Vivi tidak bisa menerima kondisinya saat itu. Selain itu Vivi juga berusaha mencari kebenaran akan penyakit yang dia alami, bertanya kepada dokter, mencari di internet, sharing di grup dengan penyakit yang sama, untuk memastikan bahwa Vivi benar menderita penyakit GBS.

Meskipun kondisi Vivi rentan dengan kematian namun selama Vivi sakit banyak orang datang berkunjung untuk memberikan dia semangat, orang tua,

67

keluarga, saudara, teman, bahkan orang yang tidak dia kenal juga datang berkunjung untuk memberikan dukungan kepadanya. Penyakit Vivi memang menjadi perbincangan hangat baik keluarga maupun di gereja Vivi karena penyakit ini jarang dan langka (Parry & Steinberg, 2007). Suster dan Pastor secara khusus datang memberikan Vivi semangat serta mendoakan kesembuhannya. Dukungan yang diperoleh Vivi membuat dia tetap bertahan walaupun dalam kondisi sakit. Namun, Vivi tetap tidak ingin menjadi orang sakit.

Kubler Ross mengatakan bahwa sangat sedikit pasien yang mampu mengontrol keyakinan bahwa sampai mati mereka tetap dalam kondisi baik dan sehat. Ketika pasien tidak mampu menerima keadaannya akan muncul perasaan marah, iri, bahkan mungkin benci. Pertanyaan yang biasa didengar dari pasien adalah “mengapa saya?”. Hal ini disebut dengan anger (Ross, 2009).

Sebulan setelah Vivi mengalami gangguan tidur Vivi mencoba untuk menanyakan kondisinya kepada dokter, namun saat itu Vivi belum bisa berbicara dan sangat sulit menggerakkan tubuhnya. Vivi sering menangis karena tidak bisa manyuarakan pertanyaannya juga stress karena tubuhnya sama sekali tidak mampu digerakkan. Keadaan Vivi saat itu juga membuat Vivi ketakutan dan panik berlebih sehingga dia brontak terhadap diri sendiri mengapa keadaaan tersebut terjadi pada dirinya.

Menerima kondisi yang sedang dialami oleh Vivi tidaklah mudah baik bagi Vivi sendiri ataupun keluarga. Penyakit yang tidak pernah didengar, obat yang tepat belum ditemukan, bahkan penyakit ini membuat aktivitas Vivi

terhambat. Jika Vivi ingin makan harus dibantu, buang air kecil ataupun buang air besar juga harus dibantu, demikian juga dengan aktivitas lainnya. Bahkan, Vivi hanya bisa berbaring ditempat tidur dalam waktu yang lama. Vivi membandingkan dirinya dengan orang yang hidupnya tidak sehat dan mengapa harus Vivi yang menderita penyakit ini, sedangkan banyak orang diluar sana mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak sehat namun mereka tidak menderita penyakit yang dialami oleh Vivi.

Kemarahan yang terjadi bukan hanya pada diri Vivi sendiri namun juga kepada orang disekitarnya. Ketidakmampuan Vivi bergerak melakukan sesuatu yang dia inginkan seperti saat dia sembuh membuatnya kesal. Hal tersebut juga terjadi saat berada diruang ICU, kondisi Vivi saat itu belum bisa berbicara dan menggerakan tubuhnya, yang dirasakan oleh Vivi ketika itu adalah kedinginan kemudian perawat yang menjaga menutup Vivi dengan selimut. Beberapa saat kemudian Vivi kepanasan dan perawat membuka selimut yang menutupi Vivi. Demikianlah terjadi berulang kali, hal tersebut membuat perawat kesal dengan apa yang dialami Vivi begitu juga dengan Vivi kesal dengan apa yang dikatakan oleh perawat tersebut. Vivi mengatakan bahwa dia tidak akan membuat perawat kesal jika dia tidak dalam kondisi sakit, jika bisa sehat dia tidak akan membutuhkan perawat untuk membantunya. Sekiranya Vivi tidak sakit atau kejadian ini tidak terjadi pada dirinya, banyak hal yang seharusnya bisa dia kerjakan, bekerja untuk membantu orang tua dan melanjutkan sekolah, setidaknya tidak memjadi beban bagi orang lain. Hal demikian membuat Vivi sedih dengan yang terjadi pada dirinya.

69

Kurang lebih selama empat tahun Vivi menjalani hidup dengan kondisi sakit. Pengobatan yang dilakukanpun bervariasi, mulai dari pengobatan medis, pengobatan herbal, hingga pengobatan tradisional. Saat pertama kali terkena penyakit ini, Vivi sama sekali tidak mampu menggerakkan tubuhnya bahkan jarinya, Vivi tidak bisa berbicara dan menggunakan alat-alat medis untuk membantunya makan, minum, buang air besar dan kecil, dan sebagainya. Namun, kesabaran baik Vivi maupun keluarga dalam menjalani pengobatan serta dukungan semangat yang terus diberikan membuahkan hasil. Vivi mulai bisa berbicara walaupun Vivi sesak jika berbicara terlalu lama, Vivi juga mulai bisa mengerakkan kaki dan tangannya. Hal ini memunculkan harapan bagi Vivi bahwa suatu saat Vivi akan sembuh dari penyakitnya. Bagi Vivi penyakit yang dideritanya merupakan ujian dari Tuhan, kesempatan yang diberikan Tuhan agar Vivi bisa berubah menjadi lebih baik lagi. Seperti yang dijelaskan oleh Kubler Ross (2009), banyak pasien penyakit terminal illnes melakukan negoisasi dengan Tuhan jika Tuhan mengijinkan pasien hidup lebih lama maka pasien akan bertobat dan melakukan hal-hal yang baik di hidupnya. Hal ini merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh pasien untuk menunda hal yang buruk yang mungkin akan terjadi dalam hidupnya (bargaining).

Vivi juga berjanji ketika Tuhan ijinkan dia sembuh dia akan melakukan hal yang positif dalam hidupnya. Melakukan pengobatan dengan semangat, mengunjungi orang yang sakit bahkan orang sakit yang tidak dia kenal merupakan salah satu hal yanga akan dilakukan Vivi jika dia sembuh. Manfaat yang didapatkan Vivi dari salah satu grup facebook yang diikutinya mendorong Vivi

untuk membuat grup dengan penyakit yang sama atau menyerupai khusus untuk orang di Indonesia. Melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan bekerja agar dapat membantu orang tua juga merupakan hal yang ingin dikerjakan Vivi kelak.

Tahun ketiga Vivi dalam kondisi sakit, terjadi perubahan terhadap kesehatannya. Vivi mampu mengangkat tubuhnya dan hal tersebut membuat baik Vivi, keluarga, teman, bahkan care giver, sangat senang hingga meneteskan air mata. Hal tersebutlah yang selama ini ditunggu-tunggu dan sudah terjadi. Adanya perkembangan kesehatan yang dialami Vivi membuat dia semakin semangat menjalani pengobatan, bahkan pengobatan yang selama ini tidak direkomendasi oleh terapisnya pun dilakukan oleh Vivi. Kekhawatiran yang ditakutkan oleh orang tua Vivi kalau nanti setelah terapi baru dilakukan kesehatan Vivi turun tidak terjadi justru Vivi bergairah mengikutinya. Hingga tahun keempat Vivi mampu berjalan dengan menggunakan alat bantu. Hal tersebut merupakan suatu kemajuan bagi Vivi.

Vivi sudah mampu berjalan dengan menggunakan alat bantu, dia sudah bisa makan dengan tangannya sendiri meskipun ada aktivitas lain yang belum bisa dikerjakan Vivi. Pekembangan kesehatan yang dialami Vivi membuat keluarga senang namun kesehatan Vivi belum pulih secara keseluruhan. Adakalanya Vivi drop dan untuk waktu tertentu Vivi hanya bisa berbaring di tempat tidur. Hal ini membuat Vivi bertanya mengapa lama sekali dia harus menderita penyakit ini. jika Tuhan memang mengkehendaki Vivi sembuh mengapa tidak ada tanda bahwa dalam segera Vivi akan sembuh. Penantian yang panjang membuat Vivi banyak

71

berdiam diri menantikan Tuhan akan melakukan apa dalam hidupnya. Menurut Ross (2009), masa penantian yang panjang dapat membawa pasien terminall illnes ke tahap depression, dimana pasien akan banyak berdiam diri, menghindar dari orang-orang yang mau berkunjung, dan menghabiskan waktu untuk menangis dan berduka sebelum akhirnya dia benar-benar menerima kematian dirinya sendiri.

Vivi berusaha untuk menyambut siapa saja yang datang berkunjung namun adakalanya Vivi menolak untuk membuka pintu bagi mereka yang datang berkunjung. Baginya, ada saat dimana dia ingin sendiri tanpa banyak orang yang mengganggu. Kondisi Vivi tidak membuat dia menjadi pribadi yang menangisi penyakitnya bahkan menangisi hidupnya. Vivi banyak bersyukur dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, banyak berdoa, dan melakukan hal yang menyenangkan baginya. Karena menurut Vivi menangisi hidup adalah sesuatu yang sia-sia dan hanya akan membuatnya semakin terpuruk dan hal tersebut akan mempengaruhi kesehatannya. Mampu menerima keadaannya saat ini merupakan suatu hal yang sangat disyukuri oleh Vivi.

Sakit yang dialami Vivi memberikan dia banyak hikmah dan pelajaran, menerima kematian yang kapan saja bisa datang kepadanya adalah salah satu pelajaran yang berharga bagi Vivi. Menerima kematian sendiri merupakan perjuangan yang panjang bagi Vivi. Pertama sekali terkena penyakit ini Vivi mengalami kejadian yang membuat dia sangat takut mati. Saat itu dokter mencoba untuk melepas alat bantu pernapasan yang digunakan Vivi, hal ini bertujuan melatih paru-paru Vivi agar Vivi bernapas tanpa alat bantu lagi. Saat dilepas Vivi

benar-benar tidak bisa menghirup udara dan yang ada dipikiran Vivi saat itu adalah dia akan segera mati. Melihat bahwa sistem pernapasan Vivi belum pulih dokter kembali memasang alat tersebut.

Sakit yang diderita Vivi bukan penyakit biasa yang obatnya mudah ditemukan, penyakit GBS merupakan sakit yang membuat tubuhnya lumpuh bahkan membuat sistem pernapasan, pencernaan, sistem kekebalan tubuhnya menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya (Parry & Steinberg, 2007).

Perjalanan selama kurang lebih empat tahun dalam kondisi sakit, suka duka yang dialami Vivi selama pengobatan, dukungan-dukungan yang banyak didapatkan Vivi, penyertaan Tuhan yang menguatkan Vivi untuk mampu bertahan, membuat Vivi meyakini bahwa kematian bukanlah sesuatu yang harus disesali. Bagi Vivi kematian merupakan bagian dari kehidupan dan semua orang pasti akan menuju ke kematian. Tidak ada hal yang bisa membuat umur kita diperpanjang oleh Tuhan, jika Tuhan katakan saat ini maka saat ini juga seseorang itu dipanggil Tuhan. Begitu juga dengan Vivi, dia siap kapanpun Tuhan panggil meskipun hingga saat ini Vivi tidak tahu kapan hal itu akan terjadi. Selagi Tuhan masih mengijinkan Vivi hidup, dia akan terus berjuang melakukan yang terbaik dan tidak menyia-nyiakan kesempatan yang Tuhan berikan kepadanya.

Menerima kematian merupakan akhir dari pergumulan individu sebelum akhirnya mati . Tidak jarang ditemui pasien terminal illnes yang menyerah dengan keadaannya, yang masih mau bertahan meskipun kondisi tidak baik, hingga akhirnya pasien mampu menerima kematiannya sendiri (Ross, 2009). Bagi Vivi

73

semua yang terjadi dalam hidupnya adalah rancangan Tuhan, saat ini Vivi bahagia meskipun dalam kondisi sakit. Sekalipun nanti tiba saatnya Tuhan memanggil Vivi, Vivi justru bersukacita karena Vivi telah memberikan yang terbaik dalam hidupnya untuk tetap semangat dan teguh ditengah ujian yang dihadapinya. Bahkan, ketikapun Tuhan masih memberikan kesempatan hidup, Vivi akan memanfaatkan waktu yang Tuhan berikan dengan baik dengan terus berjuang sembuh dari penyakitnya.

Spiritualitas Vivi juga mempengaruhi penerimaan kematian dirinya sendiri. Melihat latar belakang kegiatan yang dilakukan Vivi, salah satunya adalah kerohanian dan Vivi aktif dalam kegiatan tersebut. Setiap kesempatan yang ada Vivi diberikan dukungan dan motivasi bahkan orang-orang disekitar Vivi menekankan kepadanya bahwa dia akan sembuh dan tidak akan menghadapi kematian.

Hal lain yang menarik adalah Vivi merupakan seorang pasien dengan penyakit kronis yang jarang ditemui, yaitu Guillain Barre Syndrome (GBS). Guillain Barre Syndrome (GBS) merupakan penyakit dimana virus menyerang myelin yang dapat mengakibatkan kelumpuhan pada seseorang yang diserang oleh virus ini. Penyakit ini merupakan penyakit langka dan pada pemeriksaan awal sering terjadi kesalahan diagnosa karena kasus ini jarang ditemui (Parry & Steinberg, 2007). Pengobatan utama terhadap penyakit ini belum ditemukan dan penyebab utama penyakit ini belum diketahui secara pasti. Penyakit ini dapat mengakibatkan kematian secara langsung jika seseorang yang menderita penyakit ini tidak diantisipasi secara dini. Penyakit ini melemahkan otot tubuh baik otot

leher juga otot kepala. Selain itu, otot kepala dan otot leher yang melemah berdampak pada otot wajah. Dampak melemahnya otot wajah ini membuat setengah dari pasien GBS sulit untuk tersenyum dan lebih sering menutup matanya. Pada kasus yang parah, seorang pasein GBS dapat kehilangan seluruh otot pergerakannya sehingga mengakibatkan pasien tidak bisa berkomunikasi. Pada kasus yang parah, pasien GBS akan lumpuh total dan tidak mampu berkomunikasi (Parry&Steinberg, 2007).

Penyakit GBS yang diderita oleh Vivi termasuk dalam kategori parah, dimana penyakit ini menyerang empat tungkai tubuhnya, kaki kanan dan kaki kiri, tangan kanan dan tangan kiri. Hal ini menyebabkan Vivi mengalami kelumpuhan seluruh tubuh. Bahkan penyakit ini menyerang sistem pernapasan, pencernaan Vivi yang mengakibatkan Vivi tidak dapat bernapas tanpa alat bantu pernapasan, makan dengan menggunakan selang, dan melakukan aktivitas hanya di tempat tidur saja, Vivi juga kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Keterbatasan fungsi fisik secara keseluruhan atau keterbatasan dalam merawat diri merupakan salah satu alasan untuk seseorang mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup. Namun, bagi Vivi keterbatasan fisik yang dialaminya tidak menyurutkan semangatnya untuk segera sembuh, sehingga dia mampu melakukan aktivitasnya tanpa bantuan orang lain.

Penyakit ini termasuk salah satu penyakit autoimun dimana sistem imun responden bekerja berlawanan dengan fungsi imun tubuh. Sistem imun berfungsi untuk menjaga tubuh dari serangan kuman penyakit, namun dalam kasus ini sistem imun menyerang tubuh Vivi sendiri. Akibat dari sistem imun Vivi yang

75

lemah, ketika cuaca ataupun lingkungan kurang baik, Vivi akan mudah jatuh sakit, mengalami demam tinggi, munculnya bintik-bintik merah pada tubuhnya dimana bintik merah tersebut akan pecah dan mengeluarkan darah, juga mengakibatkan tensi Vivi menjadi rendah.

Pengobatan yang dilakukan oleh Vivi adalah fisioterapi. Vivi melakukan fisioterapi dua kali dalam sehari pada waktu-waktu tertentu. Vivi berusaha untuk mengurangi ketergantungan terhadap obat. Ketika tubuh responden sedang lemah, dia hanya akan minum air hangat makan makanan yang sehat hingga tubuhnya kembali fit. Namun, ketika tubuh Vivi sedang dalam kondisi buruk maka dia akan mengkonsumsi obat. Seiring dengan berjalannya waktu, Vivi mengalami perkembangan kesehatan yang baik meskipun tidak signifikan. Selama kurang lebih empat tahun dalam kondisi sakit, Vivi menemukan bahwa dia tetap

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan jawaban atas permasalahan penelitian. Pada akhir bab ini akan diuraikan juga saran-saran praktis maupun saran-saran untuk penelitian lanjutan yang berkaitan dengan tema sikap terhadap kematian pada pasien dengan penyakit kronis.

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisa dari penelitian ini maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Responden mengalami fase denial setelah responden sadar dari koma selama enam bulan. Menyadari bahwa dia terkena penyakit kronis yang belum diketahui obat dan waktu kesembuhan membuat responden tidak menerima dia menderita penyakit ini. Responden mengalami kesedihan, stress, panik yang berlebih diakibatkan oleh penyakit ini mengakibatkan kematian bagi penderitanya.

2. Pertanyaan “mengapa saya yang mengalami?”, yang ditemukan dalam fase anger, juga menjadi pertanyaan responden. Banyak penyakit lain yang dikenal oleh responden maupun keluarga, namun GBS yang baru dikenal oleh responden yang justru diderita olehnya. Ketidakmampuan melakukan aktivitas sendiri, terbaring dalam waktu yang lama membawa kesedihan bagi responden.

3. Adanya perkembangan kesehatan yang terjadi pada responden dan atas dukungan semangat dan doa yang terus diberikan oleh orang disekitarnya

77

membuat responden yakin suatu saat nanti akan sembuh. Responden mencoba melakukan negoisasi (bargaining) dengan Tuhan, jika Tuhan memberikan kesembuhan baginya responden akan melakukan kebaikan dalam hidupnya. Berubah menjadi lebih baik dari kehidupan sebelumnya, melakukan pelayanan sosial dengan mengunjungi orang yang sakit, sebagaimana yang dialami responden, juga bekerja membantu orang tuanya.

4. Fase depression dialami responden di tahun ke-empat responden sakit. Kurang lebih empat tahun responden dalam keadaan sakit, perubahan kesehatan yang dialami responden terjadi tidak secara signifikan hingga tahun ke-empat responden sakit. Bagi responden sudah terlalu lama dia dengan kondisi yang sama, dia melakukan pengobatan dengan baik, terus berdoa akan kesembuhannya namun tidak ada perubahan yang dialami oleh responden, hingga dia menginginkan Tuhan memanggilnya.

5. Mampu bersyukur atas kondisinya serta ukungan doa yang terus diberikan oleh keluarga, saudara, teman, biarawati maupun biarawan, juga orang yang tidak mengenal responden mampu menguatkan responden untuk tetap bertahan hingga saat ini.

6. Perjalanan kehidupan dengan kondisi sakit selama ini membuat responden mendapatkan banyak pelajaran. Menerima kematian diri sendiri (acceptance) merupakan suatu pelajaran berharga bagi responden. Responden bersyukur Tuhan masih memberikan responden kehidupan,

responden akan memanfaatkan waktu yang Tuhan berikan untuk terus berjuang menjadi lebih baik.

B. SARAN

B.1. Saran praktis

a. Untuk pasien dengan penyakit kronis

Untuk pasien dengan penyakit kronis, walaupun persentase kemungkinan untuk sembuh sedikit ataupun belum ditemukan alternatif pengobatan yang tepat untuk penyakit kronis tersebut, tetaplah bersikap positif terhadap penyakit tersebut. Karena, ketika kita mampu menyikapi penyakit dengan positif maka semangat untuk melakukan pengobatan meningkat, sehingga harapan hidup juga meningkat, bahkan cara pandang kita terhadap kematian bukan lagi sebagai akhir dari kehidupan (kegagalan) namun sebagai bagian dari kehidupan.

b. Untuk keluarga, saudara (significant other)

Tetap berikan dukungan kepada saudara, anak yang terkena penyakit kronis, karena dukungan yang diberikan mampu membuat pasien dengan sakit kronis merasa diperhatikan, dihargai, dan hal ini akan memupuk harapan untuk mampu bertahan hidup bagi pasien penyakit kronis.

c. Untuk health giver

Rawatlah pasien, baik dengan sakit yang ringan maupun pasien sakit yang parah dengan sepenuh hati dan setulus hati. Merawat pasien dengan tulus akan membantu pasien merasakan bahwa ia dipedulikan, dihargai, diberi dukungan.

79

B.2. Saran metodologis

a. Penelitian ini menggunakan responden dengan penyakit kronis GBS, untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti stage of dying pada pasien dengan penyakit kronis yang berbeda.

b. Penelitian ini fokus meneliti bagaimana stage of dying pasien dengan sakit kronis, untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti tema psikososial pada pasien penyakit kronis.

c. Penelitian ini hanya menggali informasi dari responden, untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat juga menggali informasi dari keluarga pasien untuk melihat bagaimana sikap keluarga pasien terhadap pasien sendiri maupun terhadap kematian yang mungkin dialami oleh pasien.

d. Untuk bidang kedokteran agar memperdalam ilmu mengenai penyakit kronis khusus penyakit yang langka dan jarang ditemui di Indonesia, agar

Dokumen terkait