• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Stage of Dying pada Pasien Guillain Barre Syndrome (GBS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Stage of Dying pada Pasien Guillain Barre Syndrome (GBS)"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

LAMPIRAN 1

(3)

PEDOMAN WAWANCARA

I. Latar belakang kehidupan responden 1. Siapa nama/inisial Anda?

2. Berapa bersaudara dan apa saja kegiatan saudara Anda tersebut? 3. Apa kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh orang tua Anda? 4. Kegiatan apa saja yang Anda lakukan sebelum terkena GBS?

II. Riwayat penyakit GBS (Guillain Barre Syndrome)

1. Kapan pertama sekali Anda didiagnosa penyakit GBS (Guillain Barre Syndrome)?

2. Bisa Anda ceritakan bagaimana awalnya Anda didiagnosa penyakit GBS (Guillain Barre Syndrome)?

3. Bagaimana reaksi Anda ketika mengetahui hasil diagnosa tersebut?

4. Perubahan-perubahan apa sajakah yang Anda dialami setelah terkena penyakit GBS (Guillain Barre Syndrome)?

5. Bisa Anda ceritakan pengobatan apa saja yang pernah Anda lakukan?

III. Sikap terhadap kematian A. Sikap terhadap kematian

1. Sebelum Anda terkena penyakit GBS, pernahkah Anda memikirkan kematian? Pikiran seperti apakah itu?

(4)

3. Bagaimana pemikiran Anda mengenai kematian diri sendiri dan apa makna kematian bagi Anda?

4. Bagaimana Anda menyikapi kematian jika hari ini atau besok atau dalam waktu dekat Anda akan menghadap kematian?

5. Bagaimana sikap terhadap kematian Anda tersebut mempengaruhi masa depan (cita-cita), pengobatan yang Anda jalani, pandangan terhadap diri sendiri dan orang lain?

6. Bagaimana pemikiran Anda mengenai kematian mempengaruhi perasaan Anda dalam menjalani hari-hari?

7. Bagaimana pemikiran Anda mengenai kematian mempengaruhi tindakan Anda sehari-hari?

8. Bisakah Anda ceritakan apakah Anda pernah melakukan hal khusus ketika Anda berpikir akan menghadap kematian?

9. Apakah keluarga Anda pernah berfikir bahwa Anda akan mati?

10.Bagiamana respon Anda ketika mendengar bahwa ada orang yang menghadap kematian atau orang dengan penyakit yang sama dengan Anda telah menghadap kematian?

B. Faktor yang mempengaruhi sikap terhadap kematian

11.Apa sajakah yang mempengaruhi sikap Anda terhadap kematian?

(5)

13.Apakah usia mempengaruhi sikap Anda terhadap kematian? (masih muda dan usia produktif)

14.Bagaimana agama yang Anda yakini mempengaruhi sikap Anda terhadap kematian?

(6)

LAMPIRAN 2

LEMBAR PERSETUJUAN

(7)

INFORMED CONSENT

Kepada Yth Calon Respoden Penelitian ___________________________________

Dengan hormat, saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : Mona Sriukur Sembiring

NIM : 101301047

Adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, Medan yang sedang melakukan penelitian dengan judul “Gambaran Stage of Dying pada Pasien Guillain Barre Syndrome (GBS)”.

Penelitian ini tidak menimbulkan akibat yang merugikan bagi saudara/saudari sebagai responden, kerahasiaan semua informasi yang diberikan akan dijaga dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Jika saudara/saudari tidak bersedia menjadi responden, maka tidak ada ancaman bagi saudara/saudari serta memungkinkan untuk mengundurkan diri dari mengikuti penelitian ini.

Apabila saudara/saudari bersetuju, maka saya mohon kesediaannya untuk menandatangani persetujuan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya telah buat.

Atas perhatian dan kesediaan saudara/saudari menjadi responden, saya mengucapkan terima kasih.

Medan, September 2014 Peneliti,

(8)

Universitas Sumatera Utara

PERSETUJUAN PENELITIAN

Saya yang bertandatangan dibawah ini, menyatakan bersedia untuk menjadi responden penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara bernama MONA SRIUKUR SEMBIRING. NIM 101301047 dengan judul penelitian “Gambaran Stage of Dying Pasien Guillain Barre Syndrome (GBS)”.

Saya mengerti bahwa penelitian ini tidak akan berakibat buruk terhadap saya dan keluarga saya. Kerahasiaan semua informasi yang diberikan akan dijaga oleh peneliti dan hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian.

Medan, September 2014 Responden

(9)

LAMPIRAN 3

(10)

LEMBAR OBSERVASI

Responden :

Hari/Tanggal wawancara :

Tempat wawancara :

Wawancara ke :

No. Hal-hal yang diobservasi Keterangan

1. Penampilan fisik

2. Setting wawancara

3. Sikap responden selama wawancara

4. Hal-hal yang dilakukan selama wawancara

(11)

LAMPIRAN 4

(12)

LAMPIRAN 5

(13)

LAMPIRAN 6

(14)

80

DAFTAR PUSTAKA

Josua, Bringle. R. (2007). Psychosocial Processes At The End Of Life: The Relationship. 7-8.

Carr, Dylan. (2012). Death and Dying in the Contemporary United States:. Social and Personality Psychology Compass 6/2 (2012): 184–195, 10.1111/j.1751-9004.2011.00416.x , 184-195.

Coor, Charles. A. C. M. (2009). Death & Dying, Live & Living. USA: Wadsworth, Cengage Learning.

Despelder, Lynne Ann and Strickland, Albert Lee. (2005). The Last Dance and Encuntering Death and Dying: 7th edition. New York: McGraw-Hill.. Kastenbaum, Robert. (2000). The Psychological of Death 3rd Edition. New York:

Springer Publishing Company, Inc.

Livneh, E. M. (2007). Coping with Chronic and Disability. USA: Springer Science+Business Media, LLC.

Moleong, Lexy J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda karya.

Neimeyer, R. A. (1994). Death Anxiety Handbook : Research,Instrumentation. and Application. United State: Taylor & Francic Ltd.

Poerwandari. (2009) Pendekatan Kualitataif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).

Ross, Kubler. (2009). On Death and Dying 40th Edition. New York: Taylor & Francis e-Library.

Sarafino, E. P. (2011). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. 7th ed. New York : John Wiley & Sons, Inc.

Steinberg, G. J. (2007). Guillain Barre Syndrome. New York: AAN Enterprises, Inc.

Patricia, Purer. J. R. (2007). Treating Health Anxiety and Fear of Death. New York: Springer.

Watts, D. J. (2009). Death Dying adn Bereavement Issue for Practise. London:

(15)

Dea Densor, 2015. Aku dan Hepatitis. Diakses pada 27 September 2016. http://deaedensor.blogspot.co.id/2015/02/aku-dan-hepatitis-b.html

Didiet, 2008. Suka Duka menjadi Seorang Penderita. Diakses pada 27 September 2016.

http://didiet-itsmylife.blogspot.co.id/2008/12/suka-duka-menjadi-seorang-penderita.html

Frans Irapanusa, 2012. Guillain Barre Syndrome. Diakses pada 17 Oktober 2016. http://irapanussa.blogspot.co.id/2012/06/guillain-barre-syndrome.html Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, 2015.

http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php Medicinus edisi Agustus 2012.

http://www.dexa-medica.com/sites/default/files/MEDICINUS-AGUSTUS%20Small.pdf

Penyakit Kronis : Pembunuh Paling Tinggi di Masyarakat.

(www.voaindonesia.com, diakses pada tanggal 14 januari 2014). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007.

(www.depkes.go.id, diakses pada tanggal 6 Januari 2014). Undang-undang RI No.29 tahun 2004.

Wikipedia, diakses pada 25 November 2013.

(16)

27 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang lebih luas serta mendalam yang berkaitan dengan stage of dying pada pasien yang sakit kronis, Guillain Barre Syndrome (GBS). Alasan peneliti menggunakan pendekatan kualitatif adalah karena adanya keunikan dari kasus penelitian ini, dimana sangat jarang sekali ditemukan adanya pasien dengan penyakit Guillain Barre Syndrome (GBS), yang hingga kurang lebih empat tahun menderita penyakit tersebut. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Poerwandari (2009), dimana melalui penelitian kualitatif, diharapkan peneliti dapat memperoleh pemahaman menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti sehingga dapat melihat permasalahan dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan dinamika, perspektif, alasan, dan faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi responden penelitian.

(17)

peninggalan atau artefak perilaku, setting, serta peristiwa atau insiden tertentu (Punch dalam Poerwandari, 2009).

Pendekatan studi kasus dapat dibedakan dalam beberapa tipe, yaitu:

1. Studi kasus intrinsik

Penelitian yang dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian terhadap suatu kasus khusus. Penelitian ini dilakukan untuk memahami kasus secara utuh, tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep/teori dan tidak ada upaya untuk menggeneralisasi.

2. Studi kasus instrumental

Penelitian yang dilakukan pada suatu kasus unik tertentu, dilakukan untuk memahami suatu isu dengan lebih baik, juga untuk mengembangkan, memperluas teori.

3. Studi kasus kolektif

Merupakan studi kasus instrumental yang diperluas sehingga mencakup beberapa kasus. Tujuan studi kasus kolektif adalah untuk mempelajari fenomena/pupulasi/kondisi umum dengan lebih mendalam. Studi kasus kolektif sering disebut sebagai studi kasus majemuk atau studi kasus komparatif karena menyangkut beberapa kasus dengan fokus dalam setiap maupun antar kasus.

(18)

29

beserta konteksnya mengenai gambaran stage of dying pasien dengan penyakit Guillain Barre Syndrome (GBS).

B. Responden Penelitian

1. Karakteristik Responden

Pemilihan responden penelitian didasarkan pada karakteristik tertentu. Adapun karakteristik responden dalam penelitian ini adalah seorang wanita berusia 27 tahun yang adalah seorang pasien penderita penyakit Guillain Barre Syndrome (GBS), yang telah mengalami penyakit GBS selama kurang lebih empat tahun.

2. Jumlah Responden

Penelitian ini mengambil jumlah responden hanya 1 orang, dimana responden tersebut merupakan pasien yang menderita penyakit Guillain Barre Syndrome (GBS).

3. Prosedur Pengambilan Responden

Prosedur pengambilan responden yang digunakan adalah pengambilan sampel berdasarkan pengambilan sampel ekstrim atau menyimpang. Hal ini dikarenakan peneliti menganggap kasus dalam penelitian ini tidak biasa terjadi atau meneliti kondisi-kondisi khusus, baik untuk memahami fenomena tertentu (Patton dalam Poerwandari, 2009).

4. Lokasi Penelitian

(19)

mempermudah peneliti untuk mengumpulkan data selama penelitian berlangsung. Pengambilan data dilakukan di rumah sakit dimana responden dirawat.

C. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara dan observasi. Menurut Poerwandari (2009), wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif kemudian dilakukan untuk dapat memperoleh pengetahuan mengenai makna-makna subjektif yang dipahami individu berkaitan dengan topik yang diteliti dan untuk melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut (Banister dkk dalam Poerwandari, 2009).

Patton (dalam Poerwandari, 2009) menjelaskan tiga variasi dalam wawancara kualitatif yaitu wawancara informal, wawancara dengan pedoman umum dan wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka. Adapun penelitian ini menggunakan variasi wawancara kualitatif yang kedua yaitu wawancara dengan pedoman umum, wawancara mendalam (in depth interview) dan berbentuk open-ended question.

(20)

31

Selama wawancara berlangsung akan dilakukan observasi terhadap situasi dan kondisi serta perilaku yang muncul pada responden. Hasil observasi akan digunakan sebagai data pelengkap dari hasil wawancara. Adapun hal-hal yang akan diobservasi adalah lingkungan fisik tempat dilakukannya wawancara, penampilan fisik responden, sikap responden selama wawancara, hal-hal yang menganggu selama wawancara dan hal-hal yang sering dilakukan responden selama wawancara. Menurut Poerwandari (2009) observasi bertujuan untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut.

D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Pencatatan data selama penelitian penting sekali karena data dasar yang akan dianalisis berdasarkan atas “kutipan” hasil wawancara. Oleh karena itu,

pencatatan data harus dilakukan sebaik dan setepat mungkin. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif sangatlah penting dan cukup rumit, untuk itu diperlukan suatu instrumen atau alat penelitian agar dapat membantu peneliti dalam pengumpulan data (Moleong, 2005). Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Alat perekam

(21)

kembali kepada responden. Penggunaan alat perekam ini dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari responden. Selain itu penggunaan alat perekam memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang akan dikatakan responden.

2. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara, memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian. Pertanyaan akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung tanpa melupakan aspek-aspek yang harus ditanyakan. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas atau dinyatakan (Poerwandari, 2009). Pedoman wawancara digunakan tidak secara kaku sehingga memungkinkan peneliti untuk menanyakan hal-hal di luar pedoman wawancara demi mendapatkan data yang lebih lengkap dan akurat.

3. Alat tulis dan kertas untuk mencatat

Pencatatan dilakukan untuk menunjang data yang terekam melalui perekam dan kertas untuk mencatat berfungsi sebagai data kontrol dan jalannya wawancara dan observasi.

E. Kredibilitas Penelitian

(22)

33

mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2009).

Kredibilitas penelitian ini nantinya terletak pada keberhasilan penelitian dalam mengungkapkan permasalahan-permasalahan mengenai gambaran stage of dying pasien Guillain Barre Syndrome (GBS). Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas penelitian ini, antara lain dengan :

1. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang akurat. Pernyataan responden yang ambigu atau kurang jelas akan ditanyakan kembali (probing) di saat wawancara atau pada pertemuan selanjutnya, hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang akurat.

2. Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan objektif terhadap setting, responden ataupun hal lain yang terkait.

3. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses pengumpulan data maupun strategi analisanya.

4. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (checking and rechecking) data, dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda.

(23)

F. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian, yaitu sebagai berikut:

a. Mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori-teori yang berhubungan dengan stage of dying, teori mengenai pasien maupun yang berhubungan dengan penyakit GBS (Guillain Barre Syndrome).

b. Menyusun pedoman wawancara

Penyusunan pedoman wawancara dimulai terlebih dahulu dengan menyusun landasan teori yang digunakan. Berdasarkan landasan teori tersebut disusunlah sejumlah pertanyaan yang menjadi pedoman wawancara.

c. Mempersiapkan alat-alat penelitian

Alat-alat yang dipersiapkan agar mendukung proses pengumpulan data seperti handphone (Hp), alat pencatat (kertas dan alat tulis) serta pedoman wawancara yang telah tersusun.

d. Persiapan untuk mengumpulkan data

Peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian.

(24)

35

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, peneliti kemudian bertemu dengan responden untuk membangun rapport. Setelah itu, peneliti dan responden penelitian menentukan dan menyepakati waktu dan lokasi bertemu selanjutnya untuk melakukan wawancara penelitian. 2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki beberapa tahap pelaksanaan penelitian, antara lain:

a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan beberapa hari sebelum wawancara dilakukan.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

Sebelum melakukan wawancara terlebih dahulu peneliti menanyakan kesediaan responden diwawancarai.

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim.

(25)

secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2009).

d. Melakukan analisa data

Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai dibuat kemudian dibuatkan salinannya. Peneliti kemudian menyusun dan menganalisa data dari hasil transkrip wawancara yang telah di koding menjadi sebuah narasi yang baik dan menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat wawancara. Peneliti membagi penjabaran analisa data responden ke dalam sikap dan faktor yang mempengaruhi sikap responden terhadap kematian.

e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran

Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab rumusan permasalahan. Setelah itu, peneliti memberikan saran-saran sesuai dengan kesimpulan dan data hasil penelitian.

3. Tahap Pencatatan Data

(26)

37

4. Prosedur Analisa Data

Data yang diperoleh dari pendekatan kualitatif adalah berupa kata-kata. Untuk itu perlu melakukan analisis data. Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2009), yaitu :

a. Koding

Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari. Semua peneliti kualitatif menganggap tahap koding sebagai tahap yang penting, meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain memberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Pada akhirnya, penelitilah yang berhak dan bertanggung jawab memilih cara koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang diperolehnya (Poerwandari, 2009).

b. Organisasi Data

Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2009) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk :

1. Memperoleh data yang baik

2. Mendokumentasikan analisis yang dilakukan

(27)

Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan dan hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagiannya (transkrip wawancara), data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

c. Analisis Tematik

Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan “pola”

yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena.

d. Tahapan Interpretasi (Analisis)

(28)

39

Interpretasi tidak dilihat dari sudut pandang peneliti, melainkan dikembalikan pada pemahaman diri subjek penelitian, dilihat dari sudut pandang dan pengertian subjek penelitian tersebut. Kedua, konteks interpretasi pemahaman biasa yang kritis (criticial common sense understanding) terjadi bila peneliti berpijak lebih jauh dari pemahaman diri subjek penelitiannya. Peneliti mungkin akan menggunakan kerangka pemahaman yang lebih luas daripada kerangka pemahaman subjek, bersifat kritis terhadap apa yang dikatakan subjek, baik dengan memfokuskan pada isi pernyataan maupun pada subyek yang membuat pernyataan. Meski demikian semua itu tetap dapat ditempatkan dalam konteks penalaran umum, peneliti mencoba mengambil posisi sebagai masyarakat umum dalam mana subjek penelitian berada. Ketiga, konteks interpretasi pemahaman teoritis adalah konteks paling konseptual. Pada tingkat ketiga ini, kerangka teoritis tertentu digunakan untuk memahami pernyataan-pernyataan yang ada, sehingga dapat mengatasi konteks pemahaman diri subjek ataupun penalaran umum.

e. Pengujian Terhadap Dugaan

(29)

data yang memberikan gambaran berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan upaya mencari penjelasan yang berbeda-beda mengenai data yang sama. Berbagai perspektif harus disesuaikan untuk memungkinkan keluasan analisis serta mengecek

(30)

41 BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada bab ini, hasil wawancara yang telah dianalisa peneliti akan diuraikan dalam bentuk narasi. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pembaca dalam memahami bagaimana gambaran Stage of Dying pada pasien Guillain Barre Syindrome (GBS). Data yang telah dikoding diberi kode B/Wn/bn/h.n. “W” merupakan wawancara yang telah dilakukan, “B” mewakili responden, “b”

merupakan baris dari verbatim wawancara,” h” merupakan halaman dari verbatim

wawancara, dan “n” merupakan jumlah.

Tabel 1.

Deskripsi Data Responden

Identitas Responden Responden

Nama M (Vivi)

Usia 28 Tahun

Pendidikan S1 Akuntansi

Urutan kelahiran Anak ke-enam dari tujuh bersaudara

(31)

Tabel 2.

Jadwal Pelaksa naan Wawancara Responden

No Tanggal Waktu Tempat

1 17 September 2014 16.00-16.05

Rumah sakit KS

2 07 Oktober 2014 16.30-16.53

3 21 Oktober 2014 16.00-16.43

4 17 November 2014 16.15-16.47

5 18 November 2014 16.05-16.39

6 04 Desember 2014 16.30-17.19

7 05 Desember 2014 19.00-19.39

8 18 Mei 2015 15.23-15.37

9 24 Oktober 2015 15.10-15.58

A. Gambaran umum responden

(32)

43

di Medan. Vivi merupakan sarjana strata satu akuntansi di salah satu universitas swasta di Medan yang lulus pada tahun 2011. Orang tua Vivi bekerja sebagai petani.

Selama kuliah, Vivi juga aktif dalam organisasi kerohanian Katolik atau sering disebut dengan OMK, mengikuti les piano, dan berjualan produk-produk SM. Jika ada yang memesan prosuk SM, Vivi akan mengambil pesanan ke kantor SM dan mengantar pesanan ke rumah si pemesan. Vivi juga aktif dalam kegiatan yang dilakukan dalam gerejanya, misalnya mengikuti koor yang latihannya diadakan hari sabtu dan nantinya koor tersebut akan ditampilkan pada selingan diantara sesi bacaan dalam ibadah gereja, menjadi petugas liturgi, pembawa doa, pembaca bacaan pertama dan kedua, juga bermazmur.

B. Riwayat Penyakit Guillain Barre Syndrome (GBS)

Vivi terkena penyakit Guillain Barre Syndrome (GBS) tiga hari setelah ia wisuda, tepatnya pada tanggal 03 Mei 2011. Ketika itu Vivi sedang di kamar mandi dan Vivi merasa seperti ada yang memukul punggungnya dengan keras dan dia merasa kesakitan. Setelah itu Vivi mencari cermin untuk melihat punggung yang terasa sakit tersebut, setelah melihat ternyata pada punggung Vivi terdapat luka yang membiru. Vivi mencoba mengurangi rasa sakit yang dirasakannya dengan berjalan-jalan di sekitar kamar kosnya, rasa sakit yang dirasakan Vivi tidak berkurang namun semakin sakit.

(33)

mengambil pakaian yang dijemur, untuk menuju tempat menjemur pakaian tersebut ibu kos Vivi melewati kamar Vivi yang berada di lantai tiga. Namun, saat ibu kos Vivi naik ke lantai tiga ibu kos Vivi melihat Vivi menjerit kesakitan. Ibu kos Vivi bertanya mengapa Vivi menjerit kesakitan. Vivi menceritakan kepada ibu kosnya bahwa dia merasa seperti ada yang memukul punggungnya ketika sedang di kamar mandi, sehingga terdapat luka yang membiru pada punggung Vivi. Ibu kos Vivi membaringkan Vivi di tempat tidur serta menekan bagian punggung Vivi yang biru. Namun, Vivi semakin merasa sakit dan berteriak karena kesakitan.

Ibu kos Vivi menghubungi keluarga Vivi dan keluarga menyarankan untuk mengalungkan Rosario dan menyirami Vivi dengan air suci dengan harapan sakit yang dirasakan Vivi berkurang. Namun, Vivi tetap kesakitan. Rasa sakit yang dirasakan oleh Vivi saat itu belum pernah dia rasakan sebelumnya, hal tersebut membuat ibu kos Vivi panik dan takut.

(34)

45

menggunakan jasa tiga orang karena jika satu atau dua orang tidak akan mampu mengangkat Vivi.

Orang tua Vivi telah menghubungi rumah sakit E agar ketika Vivi dan adiknya tiba di rumah sakit, dokter dan perawat telah siap sedia. Kemudian adik Vivi membawa Vivi ke rumah sakit E. Vivi tiba di rumah sakit E sekitar pukul 13.30 WIB, Vivi tidak mampu lagi berbicara namun masih mendengar suara yang samar-samar, saat itu dokter umum di rumah sakit tersebut bertanya kepada Vivi mengapa dia merasa kesakitan, namun dia tidak tidak mampu menjawab karena rasa sakit yang dia rasakan saat itu. Dokter tersebut memutuskan bahwa dengan kondisi Vivi yang seperti itu tidak memungkinkan untuk masuk ruangan biasa dan kemudian Vivi dianjurkan masuk ke ruang ICU. Masuk ruang ICU Vivi langsung dipasangkan oksigen pembantu pernapasan, biasa disebut oksigen sungkup, saat itu Vivi seperti melihat orang yang berlalu lalang di sekitarnya kemudian orang-orang tersebut hilang. Setelah itu Vivi tidak mengingat apapun, dia koma selama enam hari dan dirawat di ICU selama enam setengah bulan.

Pada umumnya pasien seperti Vivi yang datang ke rumah rumah sakit E tidak mampu bertahan lama, tiga minggu dirawat di rumah sakit setelah itu meninggal. Dokter mengatakan bahwa hal ini terjadi dikarenakan serangan penyakit ini sangat cepat reaksinya pada tubuh yang terkena penyakit ini. Dokter juga mengatakan bahwa jika Vivi datang lewat dari lima belas menit setelah ia sampai di rumah sakit, kemungkinan untuk bisa ditolong sangat kecil.

(35)

orang, mugkin di dalam reaksi sarafnya ya. Terus, rasanya kayak dipukul.”

(B/W.2/b.136-171/h.6-7)

Vivi di rawat di ICU kurang lebih selama enam bulan, pada bulan pertama ketika dia di ICU kesadaran Vivi belum pulih total, Vivi masih belum tahu kenapa dia ada di rumah sakit dan apa yang terjadi dengan dirinya. Ketika ada orang yang datang menjenguk Vivi, dia hanya melihat orang tersebut dengan pikiran yang kosong. Saat orang yang menjenguk datang dan senyum terhadap Vivi, ataupun menangis, dia hanya heran mengapa orang yang menjenguk tersebut senyum atau menangis, Vivi tidak tahu apa alasan mereka melakukan hal tersebut. Dia juga belum mengetahui mengapa banyak alat dipasang pada tubuhnya, misalnya alat pendeteksi detak jantung, alat penjepit yang dijepitkan pada kuku, selang untuk bernapas juga untuk makan, dan mengapa ketika dia buang air kecil harus menggunakan kateter.

Memasuki bulan kedua ketika Vivi masih di ICU, Vivi mulai bertanya-tanya mengapa dia ada di rumah sakit, mengapa ketika dia meminta mandi harus dimandikan di tempat tidur dimana dia berbaring, mengapa dia tidak mampu menggerakkan dan mengangkat kakinya.

(36)

47

paru-paru sendiri, Vivi harus menggunakan alat bantu pernapasan untuk bisa bernapas. Ditambah lagi penyakit yang menyerang Vivi membuat seluruh otot Vivi melemah, dia tidak mampu lagi menggerakkan kaki mapun tangannya. Dari gejala tersebut dokter memprediksi bahwa penyakit yang dialami Vivi adalah GBS. Setelah enam bulan di ICU, setelah dilakukan MRI, barulah diketahui dengan jelas bahwa Vivi terkena penyakit GBS.

(37)

sakit tersebut. Setelah itu Vivi kembali dirawat di rumah sakit E, di rumah sakit tersebutlah kemudian dia melepaskan prepastoaming tersebut.

“[…] Sama menyerang ini juga pernafasan. Jadi, Gullain Barre itu menyerang sistem saraf.”

(B/W.2/b.240-246/h.10)

Dia juga pernah dirawat di klinik yang berada di kampung halamannya, dan sempat tidak mendapat perawatan secara medis. Vivi dirawat di rumahnya sendiri dengan bantuan obat-obat tradisional. Namun, semua pengobatan medis yang dijalani oleh Vivi selama ini tidak banyak membantu perkembangan kesehatan Vivi. Kemudian dia kembali dirawat di rumah sakit E sekaligus juga di rumah sakit KK, selama di rumah sakit ini, secara bergantian, Vivi melakukan fisioterapi. Rumah sakit KK dengan menggunakan alat bantu fisioterapi sedangkan di rumah sakit E terapi secara manual, dengan panduan yang diberikan oleh dokter terapinya Vivi menjalani terapi disana.

“Ia, katanya gitu karena virus. Guillain Barre Syndrome kan syndrome yang ditemukan oleh Barre, sejenis virus, yang menyerang saraf.”

(B/W.2/b.240-246/h.10)

“Itulah, ini kan sebenarnya penyakit ini sampai sekarang belum ada didapatkan apa penyebab utama dan solusi utama dan enggak tahu apa obatnya yang bisa langsung menyembuhkan.”

(B/W.4/b.1314-1319/h.49)

(38)

49

mengenai penyakit tersebut dari internet juga dari grup facebook yang diikutinya, dimana grup tersebut merupakan grup tertutup khusus untuk orang-orang yang dengan penyakit kronis, seperti GBS dan yang menyerupai GBS. Banyak informasi yang berbeda yang ditemukan Vivi mengenai penyakit ini, ada yang mengatakan penyakit ini terjadi karena disebabkan oleh penyakit lupus. Ada juga yang mengatakan bahwa GBS merupakan gejala awal dari penyakit ENEMO, penyakit yang lebih parah dibandingkan dengan GBS yang dapat mengakibatkan lumpuh total, mengalami kebutaan dan juga kematian.

” Ia, jadi itu ada tiga penyakit yang di satu grup itu. Yang kayak aku, ADEM, entah apa itu penyakitnya aku enggak tahu juga, ADEM, terus ENEMO. ENEMO ini katanya gini, sakitku ini, ini masih gejala.” (B/W.4/b.1276-1279/h.47)

Penyakit Guillain Barre Syndrome (GBS) yang diderita Vivi berdampak secara fisik maupun psikologis bagi Vivi. Secara fisik penyakit ini membuat Vivi lumpuh, Vivi tidak dapat menggerakkkan tubuhnya sendiri, tidak mampu melakukan apapun tanpa bantuan orang lain. Untuk makan dan minum Vivi dibantu oleh orang lain, begitu juga ketika Vivi ingin ke kamar mandi (mandi, buang air kecil, buang air besar), Vivi tidak mampu melakukan sendiri tanpa bantuan orang lain.

“Kalo fisik ini lah, kalo dari awal kan dulu, tiba-tiba sakit semua enggak bisa gerak, enggak bisa nafas harus bantu fentilator, makan juga harus pake selang bantu buat makan, terus pipis pun pake bantuan dek. […] Makan sendiri pun susah, mandi sendiri pun susah, semua enggak bisa, nulis pun susah kemarin itu kan, enggak bisa lah apa-apa.”

(39)

Penyakit GBS ini membuat daya tahan tubuh Vivi menjadi lemah sehingga membuat Vivi demam hampir setiap bulan, bahkan muncul bintik-bintik merah pada tubuh Vivi, bintik-bintik merah tersebut akan pecah dan mengeluarkan darah. Membutuhkan waktu beberapa hari agar kondisi tersebut pulih dan Vivi harus kembali ke rumah sakit E untuk mengobati luka akibat bintik-bintik merah yang muncul pada tubuhnya. Vivi juga sempat kehilangan suara ketika dia dirawat di ICU, hal ini membuat Vivi sulit untuk melakukan komunikasi baik dengan keluarga maupun perawat yang ada di rumah sakit, Vivi juga mengalami kejang dan demam tinggi. Kondisi ini terjadi jika cuaca kurang baik bisa juga terjadi ketika ada orang yang datang berkunjung dengan kondisi tubuh yang kurang fit, Vivi akan mudah tertular oleh pengunjung tersebut bahkan sering kali akibatnya lebih parah. Misalnya, orang yang berkunjung sedang flu, kemudian dia melakukan kontak dengan Vivi, maka Vivi akan terkena flu dalam kondisi yang lebih parah dari si pengunjung.

Selain itu terdapat bekas luka pada leher Vivi dikarenakan Vivi menggunakan selang sebagai alat bantu makan, melalui selang tersebutlah makan yang halus dimasukkan dan akan dicerna oleh Vivi, juga terdapat bekas luka sebesar telur ayam pada bagian tubuh bawah Vivi dikarenakan Vivi terlalu sering berbaring, kurang pergerakan, dan ketika tidur dengan posisi miring Vivi bisa muntah, sehingga posisi tidur Vivi harus terus menengadah, dan untuk beberapa saat Vivi menggunakan pampers, hal inilah yang membuat luka pada bagian tubuh bawah Vivi.

(40)

51

lagi bintik-bintik, sampai enggak bisa berdiri, berdarah-darah, bernanah, terus belum lagi kayak dikubitis itu, belum lagi demam terus-terusan seminggu atau beberapa hari, gitu […].”

(B/W.4/b.1244-1263/h.46-47)

“[...] Jadinya luka pantatku, kayak telor ayamlah bolong.” (B/W.2/b.357-361/h.14)

Secara psikologis, Vivi sedih dengan keadaan yang dialaminya. Ada saat Vivi mengalami stress, panik, mudah menangis dan tersinggung. Bahkan, Vivi juga takut ketika mendengar suara sirene. Ketika Vivi dalam ruang ICU hampir setiap malam selama satu bulan dia mengalami panik dan ketakutan. Ketika tidur dia seperti diberi benang yang sangat kusut dan ditugaskan untuk memisahkan benang tersebut agar akhirnya menjadi benang yang tidak kusut. Vivi terus berusaha, dia mencoba untuk memanjangkan benang tersebut, memisahkannya namun tetap saja benang itu kusut. Sampai akhirnya Vivi merasa stres karena tidak mampu memisahkan benang kusut itu. Jika hal itu terjadi maka detak jantung Vivi akan berdetak kencang sehingga fentilator yang dipasangkan pada tubuh Vivi berbunyi. Untuk menenangkan Vivi, biasanya dia diberikan obat penenang, setelah diberikan obat Vivi bisa tidur.

(41)

berbicara, mengapa dia tidak bisa menggerakkan tangan atau kakinya, bahkan tidak bisa menggerakkan jarinya, dan hal itu membuat dia panik dan ketakutan.

“Aku waktu setelah lima hari itu kan, kalau malam dia, aku kayak di, kan tutup mata kalau mau tidur kan, aku kayak di apa benang-benang kusut, kusut kali, dipanjangin memang tapi kusut. Aku disuruh misahin sampai aduh stress kali. Ia kek gitu, tapi aku harus berusaha misahin, pisahin, pisahin. Itulah jadinya panik, ketakutan, terus detak jantungnya jadi cepat-cepat, bunyilah fentilator-nya, jadi dikasilah obat tidur. Baru tidur lah.”

(B/W.2/b.286-292/h.11-12)

Pengobatan yang dilakukan oleh Vivi berupa plasma exchange, pengobatan ini dilakukan oleh Vivi sebanyak tiga kali, setelah melakukan plasma exchange sebanyak tiga kali, Vivi dapat menggerakkan kaki kanannya. Vivi juga mengkonsumsi obat-obat medis selama dua tahun, juga obat tradisional dan obat herbal, serta rutin menjalani fisioterapi. Hingga saat ini Vivi masih menjalani fisioterapi, fisioterapi dilakukan dua kali dalam sehari. Jadwal terapi Vivi setiap hari dimulai dari jam delapan pagi hingga jam sebelas kemudian setelah terapi dia istirahat sebentar dan makan siang, setelah itu dia akan melanjutkan lagi terapinya mulai dari jam setengah dua siang hingga jam tiga sore. Begitulah Vivi menjalani kesehariannya.

“Pengobatan yang pertama itulah, eee, plasma exchange itu, cuci plasma darah. Terus, obat-obatnya kan, enggak ingat dek kalo tentang obat, waktu itu […]”.

(B/W.3/b.449-454/h.18)

“ […] Banyak juga yang bilang pokoknya enggak ada dapat obatnya gitulah, terus fisioterapi saja. Itulah satu-satunya.”

(B/W.4/b.1360-1372/h.50-51)

(42)

53

terapi memiliki fungsi yang berbeda-beda. Misalnya, terapi e-power berfungsi untuk membuang racun dalam tubuh. E-power merupakan terapi berupa sabuk pinggang yang nantinya akan diikatkan pada pinggang dan alat ini dialiri oleh listrik kemudian pengguna akan memakai alat ini selama 30 menit. Fir berfungsi untuk memperlancar peredaran darah. terapi ini merupakan jenis terapi yang berat dan jarang digunakan oleh Vivi. Vivi pernah menggunakan alat ini dalam kondisi sistem pencernaannya yang belum pulih dengan baik, sebelum menggunakan terapi ini terlebih dahulu diberikan gingseng untuk diminum, setelah itu barulah terapi ini digunakan. Namun, setelah Vivi menggunkan terapi ini, ia mengalami muntah-muntah dan demam tinggi hingga Vivi harus diinfus akibat terapi ini. Akhirnya, ibu Vivi menyarankan untuk sementara waktu untuk tidak menggunakan terapi ini. Sedangkan chi-mesin berfungsi untuk melatih gerak tubuh secara alami. Terapi ini berupa alat dimana orang yang menggunakannya akan meletakkan kedua kakinya pada alat tersebut, kemudian alat ini dialiri oleh listrik dan terapi ini kan bergerak sendiri. Terapi ini bisa digunakan sebagai penganti olah raga, dan sering disebut dengan istilah berenang di darat, karena terapi ini melatih gerak tubuh yang menggunakannya. Terapi ini tidak hanya untuk orang yang sakit, terapi ini juga dapat digunakan bagi orang yang sehat. Ketiga terapi tersebut disebut dengan terapi soqi.

“Ia baru kebetulan disini apa, ada terapi disini, yaudah aku ikut terapi disini e-power sama chi-mesin. […] Terus ada juga yang melengkapi semua itu itulah namanya terapi fir, jadi kumpulan dari ketiga ini namanya soqi.”

(43)

Selain terapi soqi, Vivi juga mengikuti terapi di rumah sakit E. Namun, terapi di rumah sakit E berbeda dengan terapi yang dijalani Vivi di rumah sakit KK. Terapi di rumah sakit E merupakan terapi yang dipandu langsung oleh terapis, berbeda dengan di rumah sakit KK yang menggunakan alat untuk terapi. Vivi akan dipandu oleh dokter terapi dari rumah sakit E. Misalnya, ketika dokter mengatakan dorong maka Vivi akan mendorong tangannya kedepan dengan sekuat tenaganya. Ketika dokter terapi mengatakan tarik, Vivi akan menarik kebelakang tangannya dengan sekuat tenaga. Begitu juga dengan kaki. Ketika dokter terapi mengatakan tendang maka Vivi akan menendangkan kakinya kedepan dengan sekuat tenaga dan begitu seterusnya.

“Kalau yang di rumah sakit E kita kayak bertinju.” (B/W.6/b.1962/h.73)

“Kan “tarik!” tarik kan, kan kita kayak berantam (sambil memperagakan dengan tangan), “dorong!” katanya, ku dorong kayak gini (sambil memperagakan dengan tangan). Gimana supaya melatih kekuatan lah supaya lebih kuat kan […].”

(44)

55

“[…] Kalau disana minimal tensinya itu 100/80 gitu baru bisa terapi, di bawah itu mereka nggak berani megang, nanti kecapean, drop jadi susah. Terus disuruh naikin, sudah dua bulan nggak naik dek.”

(B/W.6/b.1821-1825/h.68)

Daya tahan tubuh Vivi masih lemah dan ketika kondisi cuaca tidak baik dapat membuat Vivi mudah terkena penyakit, misalnya demam, flu, tensi yang rendah. Dalam hal ini Vivi memilih untuk tidak mengkonsumsi obat medis, cukup dengan minum air putih yang hangat dan istirahat yang cukup dapat memulihkan kondisi Vivi. Alasannya adalah selama mendapat perawatan di rumah sakit, Vivi sudah terlalu banyak mengkonsumsi obat dan saat ini Vivi berusaha untuk menguranginya bahkan jika kondisi Vivi sedang sakit tapi tidak terlalu mengkhawatirkan, dia tidak akan mengkonsumsi obat. Namun, jika Vivi deman tinggi diatas 40 derajat C, dia akan mengkonsumsi obat medis.

“Kalo demam sama flu aku enggak minum obat, cuma minum air hangat saja. […] Tapi kalo demamnya di atas empat puluh baru minum obat, baru diinjeksi.”

(B/W.3/b.405-408/h.16)

Saat ini Vivi tinggal di salah satu rumah sakit swasta di Medan dan menggunakan jasa seseorang untuk merawat Vivi. Selama tinggal di rumah sakit tersebut A merawat Vivi dan membantunya dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Ketika Vivi akan menjalani terapi A akan membantu Vivi turun ke ruang fisoterapi dan membantunya menjalani terapi. Ketika Vivi makan atau minum juga melakukan rutinitas lainnya A akan membantunya.

“Sudah hampir satu tahunlah dijagain, jadi diapun tahu dikit-dikit perkembangannya.”

(B/W.4/b.990-991/h.37)

(45)

C. Hasil Analisa Data Responden

1. Denial

Vivi menjelaskan bahwa pola hidupnya selama ini baik dan sehat. Makanan yang dia makan sehari-harinya bukan dibeli dari sembarang tempat melainkan disediakan oleh ibu kosnya. Lingkungan dimana Vivi tinggalpun bersih dan bukan daerah yang dekat dekat aliran sungai yang banyak sampahnya. Selain itu lingkungan di dalam kos Vivi juga bersih. Air yang Vivi gunakan berasal dari sumber yang bersih juga. Disamping itu Vivi juga rutin olahraga, berlari maupun berenang. Vivi juga tidak minum minuman yang bersoda, dia selalu membawa minum kemanapun dia pergi. Terkadang Vivi heran, ada teman-teman Vivi yang sangat jarang olahraga, makan makanan yang sembarangan, tapi tidak terkena penyakit ini. Pola hidup yang dijalani oleh Vivi selama ini membuat Vivi menyakini bahwa dia tidak mungkin terkena penyakit GBS ini.

“Kok masak gitu ya? Aku saja dulu makan dari makanan yang enggak dibeli, dari ibu kos kok, enggak mungkin ditaroknya apa-apakan. Kalo tempat bersihnya, bukan ditempat kumuh atau yang dekat sungai. Air juga air dari PAM, rajin olahraga. Aku pagi-pagi sudah bangun dan olahraga

(46)

57

tersebut. Vivi merasa panas dan dalam waktu lima menit merasa dingin. Vivi juga kesulitan bagaimana mengkomunikasikan perasaaannya kepada health giver yang saat itu sedang menjaganya karena Vivi belum mampu berbicara. Keadaan tersebut terkadang membuat health giver bingung bagaimana memperlakukan Vivi sesuai dengan yang dirasakan oleh Vivi.

Penyakit ini juga membuat Vivi lebih sensitif dan mudah tersinggung. Mendengar percakapan yang mengatakan bahwa kita sakit dikarenakan oleh pola hidup yang tidak sehat membuat Vivi tersinggung. Hal ini dikarenakan Vivi sakit bukan karena pola hidup yang tidak sehat melainkan oleh virus yang menyerang tubuhnya dan Vivi kurang setuju dengan pernyataan tersebut.

“Paling kek yang kemarin yang kubilang, eee, gampang tersinggung, sensitif, paling itu”

(B/W.4/b.1078-1079/h.40)

3. Bargaining

(47)

Semua orang pada akhirnya akan mati, namun bagi Vivi kematian itu masih jauh dari kehidupannya. Tuhan masih mengijinkan Vivi bertobat melalui penyakit yang dialaminya saat ini.

Vivi mengatakan sekiranya dia tidak sakit banyak hal yang bisa dia lakukan. Vivi punya mimpi untuk melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi dan ingin bekerja membantu orang tuanya juga membantu kuliah adiknya yang bungsu. Setidaknya, Vivi tidak menjadi beban bagi keluarganya.

“Kalo sekiranya enggak sakit sudah bisa bantu orang tua, gitu. Sekiranya kemarin enggak ada kejadian kayak gini kan sudah bisa sekolah lagi sambil kerja bantu orang tua, gitu, bantuin adek atau setidaknya enggak menambah beban orang itulah sekarang.”

(B/W.3/b.778-804/h.29-30)

(48)

59

yang langka banyak orang yang tidak mengetahui penyakit ini. Melalui grup yang diikuti oleh Vivi di United Kingdom, dimana anggotanya adalah orang dengan penyakit yang sama atau mirip, Vivi belajar banyak hal mengenai penyakit yang dia alami bahkan penyakit yang lebih parah atau lebih ringan darinya. Vivi juga mendapat banyak dukungan dari grup tersebut. Hal tersebut mendorong Vivi untuk membuat grup yang sama namun di Indonesia, agar banyak orang yang mengetahui penyakit ini dan dapat dengan cepat tanggap mengantisipasi orang yang terserang penyakit ini. Juga, orang-orang dengan penyakit yang sama dapat berbagi dan saling mendukung di grup tersebut.

“[...], kalau misalnya Tuhan berkehendak, sudah bisa lebih kuat, sudah bisa bekerja selayaknya orang sehat, pengen juga apa, bentuk, bikin grup yang sakitnya yang langka. Yah, saling berbagilah disitu ya kan”

(B/W.4/b.1244-1263/h.46-47)

4. Depression

Menjalani kehidupan selama kurang lebih empat tahun dengan penyakit kronis yang sampai saat ini belum diketahui kapan sembuh dan obat yang tepat untuk pasien penyakit ini, membuat Vivi bertanya kapan dia bisa sembuh.

(49)

hanya bisa pasrah dan terus berjuang untuk sembuh selagi masih diberikan Tuhan kesempatan untuk hidup.

“[...], cuma di saat kita benar-benar lemah kali kan, aku nggak bisa ngapa-ngapain lagi loh, kalau dibiarkan aku di sini sampai besok aku akan tetap disini, nggak bisa aku bangkit sendiri ya kan, ya gimana tadi ya, pastilah kita memikirkan kematian tapi apa yang bisa kita lakukan kan dek selain berjuang dan berpasrah kan”

(B/W.6/b.2311-2339/h.86-87)

Beberapa pasien dengan penyakit yang sama atau mirip dengan yang dialami Vivi telah menghadap kematian terlebih dahulu, padahal jika dibandingkan dengan tingkat keparahan penyakit, penyakit Vivilah yang lebih parah dibandingkan mereka. Hal ini juga membuat Vivi bertanya kepada Tuhan mengapa dia sangat lama dipanggil Tuhan dan merasa iri dengan mereka yang terlebih dahulu menghadap kematian karena menurut Vivi Tuhan lebih sayang kepada mereka yang lebih dahulu menghadap kematin.

“[...], bertanya juga Tuhan maunya apa sih kalau memang, kadang iri juga sih dek sama teman-temanku yang sama sakitnya bahkan ada yang lebih parah dari aku yang di rumah sakit E terus ada juga katanya kan yang meninggal di rumah sakit AM yang terakhir ini, kadang iri juga, is Tuhan sayang kali rupanya sama orang itu ya atau Tuhan apanya maksudnya kenapa aku yang lebih parah dari mereka masih aku yang bertahan hidup” (B/W.9/b.3135-3151/h.111-112)

5. Acceptance

(50)

61

disekitarnya membuat Vivi meyakini bahwa tidak selamanya Vivi akan terus berada dalam kondisi sakit.

“Seiring jalan sih, terus banyak orang yang besuk banyak orang yang ngasi semangat.”

(B/W.9/b.3096-3101/h.110)

Vivi mengatakan bahwa kematian adalah suatu kejadian dalam kehidupan yang kita semua pasti alami. Bagi Vivi kematian merupakan bagian dari kehidupannya, ketika Tuhan memanggilnya saat ini dia sudah siap. Kondisi kesehatan Vivi memang tidak bisa diprediksi kadang stabil kadang tidak, namun hal itu tidak membuat Vivi menyerah dengan kondisinya. Vivi lebih banyak berserah diri kepada Tuhan, dia menerima apapun yang menjadi rencana Tuhan dalam hidupnya. Vivi bersyukur sampai saat ini Tuhan masih mengijinkannya menjalani kehidupan dan memanfaatkan waktu yang Tuhan beri untuk kegiatan yang bisa membuatnya lebih baik. Jika tahun-tahun pertama Vivi tidak siap dengan kematian saat ini Vivi siap kapanpun dipanggil Tuhan.

“Lebih karena siap sih dek, lebih banyak berdoa dari yang dulu. [...], terus lebih banyak membaca bagaimana Tuhan itu sebenarnya.”

(B/W.9/b.3108-3116/h.110-111)

(51)

Gambar 2. Gambaran Stage of Dying pasien

*stage of dying Kubler Ross berdinamika, tidak semua pasien mengalami semua tahapan secara berurutan.

 Bagi responden kematian adalah suatu hal yang menyeramkan  Responden tidak siap mati, bagi responden hidupnya belum bisa

menjadi teladan dalam kebaikan dan masih banyak melakukan dosa Pada fase ini responden mengalami takut akan kematian, sedih, dan

pernah down dengan kondisinya

 Responden mendapat mimpi yang dimaknai sebagai pertanda belum waktunya dia mati.

 Responden bertanya mengapa hal ini terjadi pada dia dan keluarganya.

 Bertanya kepada Tuhan mengapa dia yang mengalami penyakit ini. Responden tidak terima jika dia yang hidup sehat mengalami penyakit ini

 GBS merupakan penyakit yang baru diketahui baik bagi keluarga maupun responden sendiri dan responden bertanya mengapa bukan penyakit lain yang mereka ketahui yang diderita responden

Stage of Dying

 Terkena GBS tiga hari setelah wisuda, koma selama 5 hari dan dirawat di ICU selama 6 bulan

 Seluruh ubuh Vivi mengalami kelumpuhan, sistem pencernaan, sistem pernapasan tidak berfungsi dengan baik dan belum mampu bicara Pernah dirawat di rumah

 Setelah sebulan kesadarannya pulih, responden mengalami stress, ketakutan dan panik yang berlebihan karena menyadari bahwa dia mengalami sakit parah yang bisa mengakibatkan kematian dan dia tidak mampu

menggerakkan tubuhnya sedikitpun

 Responden sering menangis karena tidak mampu berbicara, sulit melakukan komunikasi dengan orang disekitarnya hal ini terkadang membuat orang disekitarnya marah kepadanya

 Sedih ketika responden melakukan sesuatu harus dengan bantuan orang lain Kondisi Vivi dengan penyakit GBS

 Mengalami sesak dan belum mampu menggerakkan angota tubuhnya  Melakukan aktivitas di tempat tidur

(52)

63 Gambar 2. Gambaran Stage of Dying pasien

*stage of dying Kubler Ross berdinamika, tidak semua pasien mengalami semua tahapan secara berurutan.

Stage of Dying

 Responden bertanya kepada Tuhan mengapa lama sekali ia dipanggil olehNya

Jika Tuhan memang menginginkan responden sembuh mengapa hingga saat ini belum sembuh juga

 Teman responden lebih dulu dipanggiil Tuhan padahal penyakitnya lebih ringan dibandingkan dengan responden, hal ini membuat responden berpikir bahwa Tuhan tidak sayang kepadanya

Depression

Oktober 2014

 Hingga tahun empat perkembangan kesehatan responden masih seperti tahun ke-tiga diasakit hal ini membuatnya sedih. Banyak pengobatan yang telah dilakukan olehnya dan dengan biaya yang tidak sedikit membuat dia ingin segera dipanggil Tuhan.

 Dukungan semangat yang terus diberikan oleh orang disekitar responden terkadang tidak mampu membangkitkan semangatnya untuk terus berusaha sembuh

 Walalupun sudah mengikuti saran dokter, tetap melakukan pengobatan namun tidak ada perubahan signifikan terhadap kesehatan responden hingga tahun ke-empat responden sakit

 Setelah tiga tahun sakit responden dapat mengangkat tubuhnya  Mulai dapat berjalan dengan tongkat  Makan dengan tangan sendiri  Sesak jika terlalu banyak bicara

Kondisi Vivi dengan penyakit GBS

 Kondisi fisik ke arah yang lebih baik membuat responden menyadari bahwa ada kesempatan baginya untuk bisa sembuh

 Responden berjanji jika kelak sembuh akan melakukan kebaikan, seperti kegiatan sosial, mengunjungi orang sakit, berdoa untuk orang sakit  Jika sembuh responden ingin membuat grup untuk orang dengan penyakit

yang sama dengan dia

 Melakukan pelayanan dan lebih mendekatkan diri dengan Tuhan  Melanjutkan sekolahnya

Orang disekitar responden meyakinkan kepadanya bahwa dia pasti sembuh  Setelah tiga tahun dengan kondisi sakit akhirnya responden mampu

menggerakkan tubuhnya, dapat berjalan, makan sendiri walaupun masih dengan bantuan orang lain, hal ini membuat responden sangat bersukacita

 Semangat responden semakin bertambah setelah adanya perkembangan kesehatan yang dialaminya

 Fisik melemah dan melakukan aktivitas di tempat tidur

 Sementara waktu tidak melakukan fisioterapi

(53)

Gambar 2. Gambaran Stage of Dying pasien

*stage of dying Kubler Ross berdinamika, tidak semua pasien mengalami semua tahapan secara berurutan.

 Mampu berjalan dengan

 Responden menerima kematiannya sendiri dan siap dipanggil Tuhan kapanpun

 Bagi responden kematian bukanlah suatu hal yang menyeramkan  Responden akan terus berjuang untuk sembuh hingga saatnya Tuhan

memanggillnya

 Mensyukuri hidup yang masih diberikan Tuhan kepada responden membuat dia masih bertahan hingga saat ini  Spiritualitas yang semakin berkualitas membantu responden

memahami bahwa kematian bukan dari akhir kehidupan

 Menanamkan dalam hati dan pikiran bahwa suatu saat responden pasti sembuh dan

 Menyemangati diri sendiri bahwa responden kuat dan sanggup menjalani kehidupannya saat ini

(54)

65

D. PEMBAHASAN

Menjalani kehidupan dengan kondisi sakit memang bagi sebagian pasien tidaklah mudah, ada yang akhirnya menyerah ada juga bertahan hingga sembuh. Demikian juga yang dialami oleh Vivi sebagai seorang pasien dengan penyakit yang tidak biasa dan jarang ditemui. Selama empat tahun, kurang-lebih, Vivi menderita penyakit Guillain Barre Syndrome (GBS) dan GBS merupakan salah satu penyakit kronis . Penelitian yang dilakukan oleh Kubler Ross terhadap pasien dengan penyakit yang dekat dengan kematian menunjukkan bahwa ketika pasien pertama kali dihadapkan dengan penyakit yang dekat dengan kematian atau penyakit kronis, maka reaksi pertama yang dilakukan oleh pasien adalah denial. Pasien akan mengatakan bahwa tidak mungkin mereka menderita penyakit kronis (Ross, 2009). Tidak terkecuali Vivi sebagai salah satu pasien penyakit kronis. Pertama sekali terkena penyakit ini Vivi menolak bahwa benar penyakit GBS merupakan penyakit yang diderita olehnya. Banyak alternatif pengobatan yang dicoba untuk membuktikan bahwa Vivi tidak menderita penyakit GBS.

(55)

sekitar 1-2 kasus dari 100.000 orang. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit autoimune dimana virus menyerang sistem saraf periphal sehingga membuat kesalahan komunikasi terhadap sistem imun. Sistem imun bekerja menjaga tubuh dari serangan penyakit-penyakit namun akibat dari penyakit ini sistem imun menyerang balik tubuh si penderita (Parry & Steinberg, 2007). Lima hari setelah sadar dari kondisi koma, Vivi mengalami kejadian yang tidak menyenangkan. Setiap malam selama sebulan Vivi seperti diberikan tugas untuk memisahkan benang yang sangat kusut. Vivi mencoba untuk memisahkan benang-benang kusut tersebut hingga mengalami stress, panik, bahkan ketakutan, hal ini mengakibatkan detak jantung Vivi berdetak sangat cepat sehingga membunyikan fentilator. Untuk mengantisipasi keadaan tersebut Vivi diberikan obat tidur.

Pengetahuan akan penyakit GBS yang sangat terbatas baik oleh Vivi dan keluarga juga membuat Vivi menolak menerima keadaannya saat itu. Banyak penyakit lain seperti demam, flu, hipertensi, dsb yang sering didengar oleh Vivi dan keluarga, namun penyakit GBS yang baru diketahui oleh Vivi dan keluarga justru diderita oleh Vivi. Vivi hidup dengan pola sehat namun terkena penyakit yang sama sekali tidak diketahui olehnya, membuat Vivi tidak bisa menerima kondisinya saat itu. Selain itu Vivi juga berusaha mencari kebenaran akan penyakit yang dia alami, bertanya kepada dokter, mencari di internet, sharing di grup dengan penyakit yang sama, untuk memastikan bahwa Vivi benar menderita penyakit GBS.

(56)

67

keluarga, saudara, teman, bahkan orang yang tidak dia kenal juga datang berkunjung untuk memberikan dukungan kepadanya. Penyakit Vivi memang menjadi perbincangan hangat baik keluarga maupun di gereja Vivi karena penyakit ini jarang dan langka (Parry & Steinberg, 2007). Suster dan Pastor secara khusus datang memberikan Vivi semangat serta mendoakan kesembuhannya. Dukungan yang diperoleh Vivi membuat dia tetap bertahan walaupun dalam kondisi sakit. Namun, Vivi tetap tidak ingin menjadi orang sakit.

Kubler Ross mengatakan bahwa sangat sedikit pasien yang mampu mengontrol keyakinan bahwa sampai mati mereka tetap dalam kondisi baik dan sehat. Ketika pasien tidak mampu menerima keadaannya akan muncul perasaan marah, iri, bahkan mungkin benci. Pertanyaan yang biasa didengar dari pasien adalah “mengapa saya?”. Hal ini disebut dengan anger (Ross, 2009).

Sebulan setelah Vivi mengalami gangguan tidur Vivi mencoba untuk menanyakan kondisinya kepada dokter, namun saat itu Vivi belum bisa berbicara dan sangat sulit menggerakkan tubuhnya. Vivi sering menangis karena tidak bisa manyuarakan pertanyaannya juga stress karena tubuhnya sama sekali tidak mampu digerakkan. Keadaan Vivi saat itu juga membuat Vivi ketakutan dan panik berlebih sehingga dia brontak terhadap diri sendiri mengapa keadaaan tersebut terjadi pada dirinya.

(57)

terhambat. Jika Vivi ingin makan harus dibantu, buang air kecil ataupun buang air besar juga harus dibantu, demikian juga dengan aktivitas lainnya. Bahkan, Vivi hanya bisa berbaring ditempat tidur dalam waktu yang lama. Vivi membandingkan dirinya dengan orang yang hidupnya tidak sehat dan mengapa harus Vivi yang menderita penyakit ini, sedangkan banyak orang diluar sana mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak sehat namun mereka tidak menderita penyakit yang dialami oleh Vivi.

(58)

69

Kurang lebih selama empat tahun Vivi menjalani hidup dengan kondisi sakit. Pengobatan yang dilakukanpun bervariasi, mulai dari pengobatan medis, pengobatan herbal, hingga pengobatan tradisional. Saat pertama kali terkena penyakit ini, Vivi sama sekali tidak mampu menggerakkan tubuhnya bahkan jarinya, Vivi tidak bisa berbicara dan menggunakan alat-alat medis untuk membantunya makan, minum, buang air besar dan kecil, dan sebagainya. Namun, kesabaran baik Vivi maupun keluarga dalam menjalani pengobatan serta dukungan semangat yang terus diberikan membuahkan hasil. Vivi mulai bisa berbicara walaupun Vivi sesak jika berbicara terlalu lama, Vivi juga mulai bisa mengerakkan kaki dan tangannya. Hal ini memunculkan harapan bagi Vivi bahwa suatu saat Vivi akan sembuh dari penyakitnya. Bagi Vivi penyakit yang dideritanya merupakan ujian dari Tuhan, kesempatan yang diberikan Tuhan agar Vivi bisa berubah menjadi lebih baik lagi. Seperti yang dijelaskan oleh Kubler Ross (2009), banyak pasien penyakit terminal illnes melakukan negoisasi dengan Tuhan jika Tuhan mengijinkan pasien hidup lebih lama maka pasien akan bertobat dan melakukan hal-hal yang baik di hidupnya. Hal ini merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh pasien untuk menunda hal yang buruk yang mungkin akan terjadi dalam hidupnya (bargaining).

(59)

untuk membuat grup dengan penyakit yang sama atau menyerupai khusus untuk orang di Indonesia. Melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan bekerja agar dapat membantu orang tua juga merupakan hal yang ingin dikerjakan Vivi kelak.

Tahun ketiga Vivi dalam kondisi sakit, terjadi perubahan terhadap kesehatannya. Vivi mampu mengangkat tubuhnya dan hal tersebut membuat baik Vivi, keluarga, teman, bahkan care giver, sangat senang hingga meneteskan air mata. Hal tersebutlah yang selama ini ditunggu-tunggu dan sudah terjadi. Adanya perkembangan kesehatan yang dialami Vivi membuat dia semakin semangat menjalani pengobatan, bahkan pengobatan yang selama ini tidak direkomendasi oleh terapisnya pun dilakukan oleh Vivi. Kekhawatiran yang ditakutkan oleh orang tua Vivi kalau nanti setelah terapi baru dilakukan kesehatan Vivi turun tidak terjadi justru Vivi bergairah mengikutinya. Hingga tahun keempat Vivi mampu berjalan dengan menggunakan alat bantu. Hal tersebut merupakan suatu kemajuan bagi Vivi.

(60)

71

berdiam diri menantikan Tuhan akan melakukan apa dalam hidupnya. Menurut Ross (2009), masa penantian yang panjang dapat membawa pasien terminall illnes ke tahap depression, dimana pasien akan banyak berdiam diri, menghindar dari orang-orang yang mau berkunjung, dan menghabiskan waktu untuk menangis dan berduka sebelum akhirnya dia benar-benar menerima kematian dirinya sendiri.

Vivi berusaha untuk menyambut siapa saja yang datang berkunjung namun adakalanya Vivi menolak untuk membuka pintu bagi mereka yang datang berkunjung. Baginya, ada saat dimana dia ingin sendiri tanpa banyak orang yang mengganggu. Kondisi Vivi tidak membuat dia menjadi pribadi yang menangisi penyakitnya bahkan menangisi hidupnya. Vivi banyak bersyukur dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, banyak berdoa, dan melakukan hal yang menyenangkan baginya. Karena menurut Vivi menangisi hidup adalah sesuatu yang sia-sia dan hanya akan membuatnya semakin terpuruk dan hal tersebut akan mempengaruhi kesehatannya. Mampu menerima keadaannya saat ini merupakan suatu hal yang sangat disyukuri oleh Vivi.

(61)

benar-benar tidak bisa menghirup udara dan yang ada dipikiran Vivi saat itu adalah dia akan segera mati. Melihat bahwa sistem pernapasan Vivi belum pulih dokter kembali memasang alat tersebut.

Sakit yang diderita Vivi bukan penyakit biasa yang obatnya mudah ditemukan, penyakit GBS merupakan sakit yang membuat tubuhnya lumpuh bahkan membuat sistem pernapasan, pencernaan, sistem kekebalan tubuhnya menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya (Parry & Steinberg, 2007).

Perjalanan selama kurang lebih empat tahun dalam kondisi sakit, suka duka yang dialami Vivi selama pengobatan, dukungan-dukungan yang banyak didapatkan Vivi, penyertaan Tuhan yang menguatkan Vivi untuk mampu bertahan, membuat Vivi meyakini bahwa kematian bukanlah sesuatu yang harus disesali. Bagi Vivi kematian merupakan bagian dari kehidupan dan semua orang pasti akan menuju ke kematian. Tidak ada hal yang bisa membuat umur kita diperpanjang oleh Tuhan, jika Tuhan katakan saat ini maka saat ini juga seseorang itu dipanggil Tuhan. Begitu juga dengan Vivi, dia siap kapanpun Tuhan panggil meskipun hingga saat ini Vivi tidak tahu kapan hal itu akan terjadi. Selagi Tuhan masih mengijinkan Vivi hidup, dia akan terus berjuang melakukan yang terbaik dan tidak menyia-nyiakan kesempatan yang Tuhan berikan kepadanya.

(62)

73

semua yang terjadi dalam hidupnya adalah rancangan Tuhan, saat ini Vivi bahagia meskipun dalam kondisi sakit. Sekalipun nanti tiba saatnya Tuhan memanggil Vivi, Vivi justru bersukacita karena Vivi telah memberikan yang terbaik dalam hidupnya untuk tetap semangat dan teguh ditengah ujian yang dihadapinya. Bahkan, ketikapun Tuhan masih memberikan kesempatan hidup, Vivi akan memanfaatkan waktu yang Tuhan berikan dengan baik dengan terus berjuang sembuh dari penyakitnya.

Spiritualitas Vivi juga mempengaruhi penerimaan kematian dirinya sendiri. Melihat latar belakang kegiatan yang dilakukan Vivi, salah satunya adalah kerohanian dan Vivi aktif dalam kegiatan tersebut. Setiap kesempatan yang ada Vivi diberikan dukungan dan motivasi bahkan orang-orang disekitar Vivi menekankan kepadanya bahwa dia akan sembuh dan tidak akan menghadapi kematian.

(63)

leher juga otot kepala. Selain itu, otot kepala dan otot leher yang melemah berdampak pada otot wajah. Dampak melemahnya otot wajah ini membuat setengah dari pasien GBS sulit untuk tersenyum dan lebih sering menutup matanya. Pada kasus yang parah, seorang pasein GBS dapat kehilangan seluruh otot pergerakannya sehingga mengakibatkan pasien tidak bisa berkomunikasi. Pada kasus yang parah, pasien GBS akan lumpuh total dan tidak mampu berkomunikasi (Parry&Steinberg, 2007).

Penyakit GBS yang diderita oleh Vivi termasuk dalam kategori parah, dimana penyakit ini menyerang empat tungkai tubuhnya, kaki kanan dan kaki kiri, tangan kanan dan tangan kiri. Hal ini menyebabkan Vivi mengalami kelumpuhan seluruh tubuh. Bahkan penyakit ini menyerang sistem pernapasan, pencernaan Vivi yang mengakibatkan Vivi tidak dapat bernapas tanpa alat bantu pernapasan, makan dengan menggunakan selang, dan melakukan aktivitas hanya di tempat tidur saja, Vivi juga kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Keterbatasan fungsi fisik secara keseluruhan atau keterbatasan dalam merawat diri merupakan salah satu alasan untuk seseorang mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup. Namun, bagi Vivi keterbatasan fisik yang dialaminya tidak menyurutkan semangatnya untuk segera sembuh, sehingga dia mampu melakukan aktivitasnya tanpa bantuan orang lain.

(64)

75

lemah, ketika cuaca ataupun lingkungan kurang baik, Vivi akan mudah jatuh sakit, mengalami demam tinggi, munculnya bintik-bintik merah pada tubuhnya dimana bintik merah tersebut akan pecah dan mengeluarkan darah, juga mengakibatkan tensi Vivi menjadi rendah.

Pengobatan yang dilakukan oleh Vivi adalah fisioterapi. Vivi melakukan fisioterapi dua kali dalam sehari pada waktu-waktu tertentu. Vivi berusaha untuk mengurangi ketergantungan terhadap obat. Ketika tubuh responden sedang lemah, dia hanya akan minum air hangat makan makanan yang sehat hingga tubuhnya kembali fit. Namun, ketika tubuh Vivi sedang dalam kondisi buruk maka dia akan mengkonsumsi obat. Seiring dengan berjalannya waktu, Vivi mengalami perkembangan kesehatan yang baik meskipun tidak signifikan. Selama kurang lebih empat tahun dalam kondisi sakit, Vivi menemukan bahwa dia tetap

(65)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan jawaban atas permasalahan penelitian. Pada akhir bab ini akan diuraikan juga saran-saran praktis maupun saran-saran untuk penelitian lanjutan yang berkaitan dengan tema sikap terhadap kematian pada pasien dengan penyakit kronis.

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisa dari penelitian ini maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Responden mengalami fase denial setelah responden sadar dari koma selama enam bulan. Menyadari bahwa dia terkena penyakit kronis yang belum diketahui obat dan waktu kesembuhan membuat responden tidak menerima dia menderita penyakit ini. Responden mengalami kesedihan, stress, panik yang berlebih diakibatkan oleh penyakit ini mengakibatkan kematian bagi penderitanya.

2. Pertanyaan “mengapa saya yang mengalami?”, yang ditemukan dalam fase anger, juga menjadi pertanyaan responden. Banyak penyakit lain yang dikenal oleh responden maupun keluarga, namun GBS yang baru dikenal oleh responden yang justru diderita olehnya. Ketidakmampuan melakukan aktivitas sendiri, terbaring dalam waktu yang lama membawa kesedihan bagi responden.

Gambar

Tabel 1.
Tabel 2.
Gambar 2. Gambaran Stage of Dying pasien
Gambar 2. Gambaran Stage of Dying pasien
+2

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui kondisi atau masalah yang dijumpai pada guillain barre syndrome yang ditandai dengan parese (kelemahan) pada AGA dan AGB, penurunan aktifitas fungsional

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan secara mendalam pengalaman fisik, psikologis, spiritual dan sosial pasien Sindrom Guillain-Barre pada saat kondisi

Oleh sebab itu, diperlukan adanya penelitian mengenai pola penggunaan imunoglobulin intravena pada pasien Guillain-Barré Syndrome melalui studi penggunaan obat / Drug

Dan hanya dengan segala ridho dari Allah SWT penulis mampu menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini yang berjudul “PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI TERAPI LATIHAN PADA KONDISI GUILLAIN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah pola penggunaan antibiotika pada pasien GBS dengan infeksi yang paling banyak digunakan adalah pola antibiotika tunggal sebanyak 19

kasus penerapan tehnik memandikan dengan Chlorhexidine gluconate (CHG) 4% pada pasien Gullain-Bare Syndrome (GBS) di ruang observasi intensive IRD lantai 3 RSUD

Keratitis filamentosa sering kali berhubungan dengan keratokonjungtivitis sika dengan atau tanpa sjogren’s syndrome.1–3 Sjogren’s syndrome adalah penyakit autoimun kronis dengan

Subtipe Guillain-Barre Syndrome 4,5 Subtipe Karakteristik Gambaran Klinis Utama Elektrodiagnosis Patologi Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy AIDP Orang