Page 46 of 5 REVIEW ARTICLE Putri GHG et al., JPHV 2023;4 DOI: 10.21776/ub.jphv.2023.004.02.4
GUILLAIN-BARRÉ SYNDROME
Gyang Hanandita Gusti Putri1, Nectarine Natasya Regitta Yasmin1, Shahdevi Nandar Kurniawan2
1Department of Neurology, Faculty of Medicine, Brawijaya University, Indonesia
2Neurology Specialist Study Program, Faculty of Medicine, Brawijaya University, Indonesia Correspondence: [email protected]
Abstract
Guillain-Barré Syndrome (GBS) is an infection-preceded autoimmune disease attacking myelin sheath of neurons through molecular mimicry, causing neuron demyelination and conduction disruption. GBS is classified into four subtypes: Acute Inflammatory Demyelinating (AIDP), Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN), Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN), and Miller Fisher Syndrome. It affects spinal radix which resulted in polyneuropathy, showing mainly symptoms of ascending paresis of the extremity and areflexia. Cerebrospinal fluid evaluation is essential to distinguish GBS from its vast differential diagnosis, with main finding of albuminocytologic dissociation. GBS needs to be managed as fast as possible with intravenous immunoglobulin administration or fresh frozen plasma exchange due to its fast progression.
Keyword : Guillain-Barré Syndrome, central nervous system, vestibulo-ocular reflex, VOR.
PENDAHULUAN
Guillain-Barré Syndrome merupakan penyebab paling umum dari kelumpuhan akut di seluruh dunia. Beberapa mikroorganisme menunjukkan adanya hubungan dengan onset penyakit GBS, antara lain Campylobacter jejuni, Zika Virus, Mycoplasma pneumonia, dan Haemophilus influenzae (1). Sekitar seperempat pasien dengan Guillain-Barré Syndrome teridentifikasi mengalami infeksi Campylobacter jejuni, dan bentuk penyakit aksonal merupakan subtipe yang sangat umum terjadi (2). Lipo-oligosakarida dari dinding bakteri C jejuni mengandung struktur yang menyerupai gangliosida dari saraf tepi manusia. Sehingga respons imun yang dipicu untuk melawan infeksi dapat menyebabkan cross-reaction dan menginduksi reaksi autoimun (3,4).
Sindrom Guillain-Barré terdiri dari setidaknya empat subtipe neuropati perifer akut, diantaranya adalah Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP), Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN), Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN), dan Miller Fisher Syndrome (MFS) (4,5).
DEFINISI
Guillain-Barre Syndrome (GBS) merupakan polineuropati perifer yang dimediasi inflamasi demielinasi akut(2). Adanya destruksi sistem saraf tepi akibat reaksi autoimun menyebabkan gejala seperti mati rasa, kesemutan, dan kelemahan otot bertahap yang dapat berkembang menjadi
kelumpuhan, serta pada intensitas berat dapat meningkatkan bahaya asfiksia (3,6).
ETIOLOGI
Guillain-Barré Syndrome dianggap sebagai neuropati yang dimediasi kekebalan pasca infeksi. Sebagian besar penderita GBS memiliki gejala infeksi saluran cerna atau sistem pernapasan dalam waktu 1-6 minggu sebelum timbul GBS.
Campylobacter jejuni merupakan infeksi predominan yang ditemukan pada 30-40% kasus. Agen lain yang dilaporkan sebagai agen penginfeksi diantaranya seperti Mycoplasma pneumonia, Haemophilus influenzae, Helicobacter pylori, Epstein-Barr virus, dan Zika virus(2,3,8,9). Beberapa vaksin seperti rabies, polio oral, difteri, tetanus toxoid, hepatitis B, conjugated meningococcal, dan influenza A juga berperan dalam perkembangan penyakit GBS.
Dalam sebuah studi yang menilai hubungan antara vaksinasi influenza A dengan perkembangan penyakit GBS menyimpulkan bahwa setiap 100.000 dosis yang diberikan terdapat kasus GBS. Penelitian lain menunjukkan bahwa tertular infeksi meningkatkan risiko GBS 7 kali lipat daripada setelah vaksinasi influenza. Laporan kasus menunjukkan banyak kemungkinan etiologi lain yang terkait dengan GBS, termasuk bahan kimia(10), obat-obatan (11,12) dan operasi.
Beberapa kasus menunjukkan bahwa keterlibatan komponen genetik juga dapat mempengaruhi predisposisi GBS (2,3,13).
GBS yang didahului oleh infeksi virus atau bakteri pada saluran pernapasan atau pencernaan,
Article History:
Received: August 29, 2023; Accepted: October 9, 2023; Published: October 9, 2023 Cite As:
Putri GHG, Kurniawan SN. Guillain-barré syndrome. Journal of Pain, Headache and Vertigo; 2023.4:46-50.
DOI: 10.21776/ub.jphv.2023.004.02.4
Tabel 1. Subtipe Guillain-Barre Syndrome (4,5) Subtipe Karakteristik Gambaran Klinis
Utama Elektrodiagnosis Patologi
Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP)
Orang dewasa lebih terpengaruh daripada anak-anak; Pemulihan cepat; 90% kasus di daerah Barat
GBS sensorimotor;
Sering dikombinasikan dengan defisit saraf kranial dan disfungsi otonom
Demielinasi polineuropati
Gangguan pertama pada permukaan sel Schwann; Kerusakan mielin luas, aktivasi makrofag; dan infiltrasi limfositik; Kerusakan aksonal sekunder variabel
Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)
Anak-anak dan dewasa muda;
Prevalensi di China dan Meksiko;
Pemulihan cepat
GBS motorik; Saraf kranial jarang terkena
Axonal polineuropati, potensial aksi sensorik normal
Gangguan pertama pada nodus motorik Ranvier; Aktivasi makrofag, sedikit limfosit. sering makrofag periaxonal;
Tingkat kerusakan axonal sangat bervariasi
Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Kebanyakan orang dewasa; Pemulihan lambat, seringkali tidak lengkap
Serupa dengan AMAN berat, namun fiber sensorik terkena, menyebabkan defisit sensorik
Axonal polineuropati, potensial aksi sensorik berkurang / tidak ada
Sama seperti AMAN, tetapi juga mempengaruhi saraf dan akar sensorik;
kerusakan aksonal biasanya parah
Miller Fisher Syndrome (MFS)
Orang dewasa dan anak-anak
Ataksia; Oftalmoplegia;
Arefleksia
Axonal / Demielinasi polineuropati
Beberapa kasus diperiksa, menyerupai AIDP
PATOFISIOLOGI
Gambar 1. Patofisiologi Guillain-Barré Syndrome (4) menimbulkan respon menyimpang yang menyebabkan pembentukan autoantibodi dan komplemen serta aktivasi sitokin(2). Infeksi patogen, seperti Campylobacter jejuni, dapat memicu respons imun humoral dan autoimun yang menyebabkan disfungsi saraf. Lipo-oligosakarida pada membran luar bakteri mirip dengan gangliosida (seperti GM1 dan GD1a) yang merupakan komponen dari saraf perifer.
Sehingga respons imun yang dipicu untuk melawan infeksi
dapat menyebabkan cross-reaction pada saraf host atau disebut juga dengan molecular mimicry (3,4).
Antibodi anti-GM1 dan anti-GD1a berikatan dengan nodal axolemma, menyebabkan aktivasi komplemen diikuti oleh pembentukan MAC dan menghilangnya voltage-gated sodium channels. Kerusakan ini dapat menyebabkan kerusakan myelin paranodal (demielinasi) dan kegagalan konduksi saraf. Kemudian makrofag akan menginvasi dari nodus menuju ke dalam periaxonal space untuk membongkar akson yang rusak (4).
KLASIFIKASI
Terdapat beberapa subtipe GBS yang ditentukan terutama oleh perbedaan elektrodiagnostik dan patologis. Varian yang paling umum adalah Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP). AIDP merupakan bentuk klasik GBS yang terjadi 90% kasus di Eropa dan Amerika Utara dan ditandai dengan kelemahan otot progresif, gejala sensorik, dan disautonomia. Selain itu, ada dua varian aksonal yang seringkali parah secara klinis, yakni Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) dan Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN). Acute Motor Axonal Neuropathy paling umum terjadi di Asia, Amerika Tengah dan Selatan.
Penderita AMAN jarang memiliki refleks normal. Subtipe ini didahului oleh infeksi Campylobacter jejuni. Subtipe lain adalah Miller-Fisher Syndrome yang ditandai dengan trias diantaranya ophthalmoplegia, ataksia, dan arefleksia ekstremitas (2,3,5).
Selain presentasi subtipe GBS di atas, banyak varian GBS lain yang telah dijelaskan. Ada varian regional lain dari GBS meliputi: (1) Bentuk sensorik murni; (2) GBS paraparesis; (3) Ophthalmoplegia dengan antibodi anti-GQ1b sebagai bagian dari GBS sensorik motorik berat; (4) GBS dengan kelumpuhan bulbar dan wajah yang parah, kadang-kadang dikaitkan dengan infeksi sitomegalovirus (CMV) sebelumnya dan antibodi anti-GM2; (5) Pandysautonomia akut; (6) Pharyngeal-Cervical-Brachial Weakness merupakan varian regional yang terutama melibatkan otot faring, leher, dan ekstremitas atas; (7) Bickerstaff Encephalitis yakni varian yang melibatkan sistem saraf pusat (3,5).
MANIFESTASI KLINIS
Guillain-Barré Syndrome ditandai dengan kelemahan otot simetris yang progresif cepat, umumnya asendens, disertai dengan penurunan atau tidak adanya refleks osteotendinous (hiporeflexia/ areflexia)(14). Kelemahan biasanya dimulai di ekstremitas bawah distal, tetapi dapat mulai lebih proksimal di tungkai atau lengan dan berkembang selama berjam-jam hingga beberapa hari, sering disertai dengan disestesia kesemutan di ekstremitas. Kaki biasanya lebih terpengaruh daripada lengan. Adanya keterlibatan saraf kranial yang mengakibatkan kelemahan (diplegia/ diparesis) wajah, okulomotor, atau bulbar. Selain itu, keterlibatan saraf kranial bawah (saraf glosofaringeal, vagus, dan hipoglosal) menyebabkan timbulnya gejala disfagia. Dapat terjadi kelemahan fleksi leher atau keterlibatan saraf pada otot pernapasan, menandakan perlunya intubasi atau ventilasi buatan (3,7).
Pasien dapat mengalami disestesia di tangan diikuti oleh kaki sebagai manifestasi dari keterlibatan serabut saraf sensorik.
Nyeri ini sembuh sendiri dan sering berespons terhadap analgesik. Selain kelemahan, pasien awalnya dapat mengalami tanda-tanda sensorik, ataksia, dan gambaran disfungsi otonom. Selama fase akut, fase stabil, atau bahkan selama pemulihan, pasien mungkin memiliki tanda atau gejala disfungsi otonom seperti aritmia jantung, keringat berlebih, ileus. Hilangnya kontrol vasomotor menyebabkan ketidakstabilan tekanan darah dan hipotensi postural.
Disautonomia adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh GBS. Nyeri otot atau nyeri radikuler, sering terjadi di daerah tulang belakang, merupakan tanda awal lain yang dapat memperumit diagnosis karena nyeri dapat mendahului kelemahan pada sekitar sepertiga pasien. Defisit sensorik kutaneus (hilangnya rasa nyeri dan sensasi suhu) biasanya relatif ringan. Disfungsi kandung kemih dapat terjadi pada kasus yang parah tetapi biasanya bersifat sementara. Pasien dapat mencapai keadaan stabil dalam 4 minggu setelah onset (3,5,7). Pada pasien GBS dengan Hepatitis E, dimungkinkan adanya gejala ageusia (15). Kelemahan sensoris tanpa kelemahan motoric ekstremitas dilaporkan pada beberapa kasus GBS sensoris murni, namun kasus ini masih tergolong langka (16).
Temuan pemeriksaan fisik yang dapat muncul pada GBS, antara lain:
- kelemahan saraf kranial (III, IV, VI, VII, IX, X),
- kelemahan anggota gerak yang cenderung simetris dan asendens,
- hiporefleksia atau arefleksia, dan
- tidak ada klonus atau refleks patologis(17) PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang sangat diperlukan dalam proses diagnosis GBS. Berikut adalah pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GBS:
Pemeriksaan cairan serebrospinal
Pemeriksaan cairan serebrospinal merupakan pemeriksaan penunjang terpenting dalam penegakan diagnosis GBS, dengan temuan utama disosiasi albuminositologis, yaitu peningkatan protein cairan serebrospinal secara signifikan (100-1000 g/dL; normal = 15-60 g/dL) dan total leukosit <50
μL(18). Protein cairan serebrospinal dapat tampak normal pada satu minggu pertama munculnya gejala lalu meningkat setelahnya. Peningkatan leukosit ringan pada cairan serebrospinal (10-100/μL) dapat ditemukan juga pada GBS atipikal.
Elektrodiagnosis
Elektrodiagnosis dilakukan untuk mendeteksi keberadaan demielinisasi multifokal yang merupakan penanda AIDP.
Temuan awal yang mungkin muncul adalah pemanjangan latensi gelombang F, pemanjangan latensi distal, dan penurunan amplitudo compound muscle action potentials (CMAPs), kemungkinan akibat keterlibatan radiks dan motor nerve terminal distal. Pada pemeriksaan lanjutan, dapat ditemukan perlambatan kecepatan konduksi, penghambatan konduksi, dan dispersi temporal (5,7,19).
Pemeriksaan laboratorium dan pencitraan
Pemeriksaan laboratorium dan pencitraan digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding lain atau untuk memantau efektivitas pengobatan. Kedua pemeriksaan ini dilakukan sesuai indikasi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, ureum/kreatinin, SGOT/SGPT, elektrolit, kreatinin kinase, serologi Campylobacter jejuni/cytomegalovirus (CMV)/ Epstein-Barr Virus (EBV)/
Mycoplasma, antibodi glikolipid, dan antibodi anti- ganglioside (GM1). Sedangkan untuk pencitraan, yang dapat dilakukan adalah MRI spine minimal potongan sagital (17).
DIAGNOSIS
Diagnosis GBS ditegakkan dari temuan klinis yang didukung dengan temuan elektrofisiologis dan serebrospinal. Kriteria diagnosis GBS adalah sebagai berikut:
1. Kriteria Wajib
a. Kelemahan progresif pada ekstremitas, baik atas maupun bawah
b. Arefleksia 2. Kriteria Suportif
a. Progresi lebih dari empat minggu b. Simetris
c. Tanda dan gejala defisit sensoris ringan d. Kelumpuhan fasialis bilateral (bifacial palsy) e. Disfungsi otonom
f. Onset yang tidak disertai demam
g. Perbaikan mulai terlihat 2-4 minggu pasca progresi 3. Temuan Laboratorium
a. Disosiasi albuminositologis pada pemeriksaan cairan serebrospinal dan sel mononuclear atau polimorfonuklear <50 sel/μL
b. Konduksi saraf pada elektrodiagnosis melambat atau terhambat (7,19)
Pada Miller Fisher Syndrome biasanya tidak didapatkan adanya kelemahan pada ekstremitas, namun muncul trias Miller Fisher Syndrome: bilateral oftalmoparesis, arefleksia, dan ataksia(5).
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding GBS meliputi penyakit-penyakit dengan manifestasi kelemahan motorik subakut, yang meliputi:
1. Polineuropati akut
a. Critical illness polyneuropathy b. Difteri
c. Vasculitis 2. Poliradikulopati
a. Lyme radiculitis
b. Cytomegalovirus lumbosacral radiculomyelopathy 3. Gangguan pada neuromuscular junction
a. Botulism b. Myasthenic crisis 4. Miopati
a. Hipokalemia b. Hipofosfatemia c. Rabdomiolisis d. Polimiositis
e. Critical care myopathy 5. Gangguan pada anterior horn cell
a. Poliomielitis
b. West Nile dan enterovirus poliomielitis 6. Gangguan pada sistem saraf pusat
a. Transverse mielitis b. Trombosis arteri basilar c. Rabies
Dikarenakan luasnya kemungkinan diagnosis banding, pemeriksaan penunjang utama yaitu pemeriksaan cairan serebrospinal sangat diperlukan untuk mengeliminasi diagnosis banding lainnya (19).
TERAPI
Terapi GBS perlu dilakukan secepat mungkin setelah diagnosis tegak untuk mencegah keterlambatan terapi. Dalam kurang lebih dua minggu setelah gejala defisit motorik pertama, pasien akan memasuki fase plateau di mana defisit yang terjadi setelah fase progresif akan menetap. Pada fase ini, pengobatan sudah tidak lagi diindikasikan, kecuali pada kondisi di mana pasien memiliki kelemahan motorik yang parah dan masih ada kemungkinan terjadinya serangan imunologis. Lini pertama terapi GBS antara lain:
- imunoglobulin intravena (IVIg) 0,4 gram/kgBB/hari selama 5 (lima) hari, atau
- fresh frozen plasma exchange.
Pada GBS dengan perburukan dan keterlibatan organ vital, sebaiknya segera dirawat di ICU dan diberikan bantuan ventilator bila diperlukan (5).
Pasien GBS juga memerlukan terapi fisik untuk memulihkan defisit motorik dan sensoris. Terapi diawali dengan melakukan gerakan aktif dengan repetisi rendah dan istirahat yang banyak untuk menghindari kelelahan otot yang dapat memperparah disuse atrophy dan komplikasi lainnya. Setelah gerakan aktif dapat dilakukan oleh pasien, terapi dapat dilanjutkan dengan latihan untuk melakukan aktivitas sehari- hari dan terapi lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) untuk mengembalikan sensasi sensoris (20).
PROGNOSIS
Prognosis 85% pasien GBS baik, dengan kemungkinan pulih total secara fungsional dalam waktu beberapa bulan hingga satu tahun pada pasien dengan GBS subtipe AIDP. Pada
pasien dengan kerusakan akson seperti pada pasien dengan GBS subtipe AMAN dan AMSAN, tidak dapat pulih total.
Pada 5-10% pasien mungkin terjadi kekambuhan, yang kemudian diklasifikasikan sebagai chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (CIDP) (5).
Mortalitas pada pasien GBS biasanya rendah, yaitu <5% pada setting optimal. Kematian biasanya terjadi apabila didapatkan komplikasi sekunder seperti keterlibatan paru (5).
KESIMPULAN
Guillain-Barre Syndrome adalah poliradikulopati akut yang dimediasi inflamasi demielinasi saraf perifer. Angka kejadian GBS meningkat seiring bertambahnya usia. Sebagian besar penderita memiliki gejala infeksi gastrointestinal atau respiratori sebelum onset GBS (1,4). Penegakan diagnosis GBS dilakukan dari temuan klinis yang didukung dengan temuan elektrofisiologis dan serebrospinal. Kriteria wajib dalam melakukan diagnosis GBS yakni adanya kelemahan otot yang progresif dan umumnya asendens, disertai hiporeflexia/ areflexia, dan adanya riwayat infeksi 1-6 minggu sebelum munculnya gejala GBS (1,13). Tatalaksana GBS perlu dilakukan secepat mungkin setelah diagnosis tegak. Terapi lini pertama dapat diberikan imunoglobulin intravena (IVIg) atau fresh frozen plasma exchange. Terapi fisik juga dapat dilakukan untuk memulihkan defisit motorik dan sensorik (19).
DAFTAR PUSTAKA
1. Shahrizaila N, Lehmann HC, Kuwabara S. Guillain- Barré syndrome. The Lancet; 2021.
Mar;397(10280):1214–28. DOI: 10.1016/S0140- 6736(21)00517-1
2. Wobeto WP, Zani BB, Beatriz Da A, Esteves S, Vitoria Da M, Marangoni S, et al. Guillain-Barre Syndrome:
Case Study and Literature Review; 2019. Available from: https://www.longdom.org/open- access/guillainbarre-syndrome-case-study-and-
literature-review-44679.html
3. Nguyen TP, Taylor RS. Guillain Barre Syndrome; 2023.
Available form:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532254/
4. van den Berg B, Walgaard C, Drenthen J, Fokke C, Jacobs BC, van Doorn PA. Guillain–Barré syndrome:
Pathogenesis, diagnosis, treatment and prognosis. Nat Rev Neurol; 2014. Aug 15;10(8):469–82.
DOI: 10.1038/nrneurol.2014.121
5. Hauser S, Josephson SA. Harrison’s neurology in clinical medicine. 4th ed. San Fransisco: McGraw-Hill Education; 2017. Available from:
https://neurology.mhmedical.com/content.aspx?bookid=
2207§ionid=169222561
6. Goodfellow JA, Willison HJ. Guillain–Barré syndrome:
A century of progress. Nat Rev Neurol; 2016. Dec 18;12(12):723–31. DOI: 10.1038/nrneurol.2016.172 7. Willison HJ, Jacobs BC, van Doorn PA. Guillain-Barré
syndrome. The Lancet. Lancet Publishing Group; 2016.
388:717–27. DOI: 10.1016/S0140-6736(16)00339-1 8. Counotte MJ, Egli-Gany D, Riesen M, Abraha M, Porgo
TV, Wang J, et al. Zika virus infection as a cause of congenital brain abnormalities and Guillain-Barré
syndrome: From systematic review to living systematic review [version 1; referees: 2 approved, 1 approved with reservations]. F1000Research. F1000 Research Ltd; 2018. Vol 7.
DOI: 10.12688/f1000research.13704.1
9. Uncini A, Shahrizaila N, Kuwabara S. Zika virus infection and Guillain-Barré syndrome: A review focused on clinical and electrophysiological subtypes.
Journal of Neurology, Neurosurgery and Psychiatry.
BMJ Publishing Group; 2017. 88:266–71.
DOI: 10.1136/jnnp-2016-314310
10. Kaya Özçora GD, Çirakli S, Canpolat M, Doğanay S, Kumandaş S. Pepper spray inhalation-induced acute polyneuropathy mimicking Guillain-Barre syndrome.
Turk Pediatri Ars; 2019. 54(1):53–6.
DOI: 10.14744/TurkPediatriArs.2019.52533
11. Alvarez-Lario B, Prieto-Tejedo R, Colazo-Burlato M, Macarrón-Vicente J. Severe Guillain-Barré syndrome in a patient receiving anti-TNF therapy. Consequence or coincidence. A case-based review. Clinical Rheumatology. Springer London; 2013. 32:1407–12.
DOI: 10.1007/s10067-013-2272-9
12. Gravbrot N, Scherer K, Sundararajan S. Safe Transition to Pembrolizumab following Ipilimumab-Induced Guillain-Barré Syndrome: A case report and review of the literature. Case Rep Oncol Med; 2019. Nov 22;2019:1–5. DOI: 10.1155/2019/5490707
13. Jin PP, Sun LL, Ding BJ, Qin N, Zhou B, Xia F, et al.
Human leukocyte antigen DQB1 (HLA-DQB1) polymorphisms and the risk for guillain-barré syndrome: A systematic review and meta-analysis.
PLoS One; 2015. Jul 23;10(7):e0131374.
DOI:10.1371/journal.pone.0131374
14. Expósito J, Carrera L, Natera D, Nolasco G, Nascimiento A, Ortez C. [Guillain-Barré syndrome and other autoimmune neurophaties: current therapy].
Medicina (B Aires); 2022. Aug 30;82 Suppl 3:82–8.
Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/36054864/
15. Higuchi MA, Fukae J, Tsugawa J, Ouma S, Takahashi K, Mishiro S, et al. Dysgeusia in a patient with Guillain- Barré syndrome associated with acute hepatitis E: A case report and literature review. Internal Medicine;
2015. 54(12):1543–6.
DOI: 10.2169/internalmedicine.54.3506
16. Yang J, Huan M, Jiang H, Song C, Zhong L, Liang Z.
Pure sensory Guillain Barré syndrome: A case report and review of the literature. Exp Ther Med; 2014. Nov 1;8(5):1397–401. DOI: 10.3892/etm.2014.1955 17. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan
Praktik Klinis Neurologi; 2016.
18. WHO. Assessment and management of Guillain-Barré syndrome in the context of Zika virus infection; 2016.
DOI: https://www.who.int/publications/i/item/WHO- ZIKV-MOC-16.4-Rev.1
19. Daroff R, Jankovic J, Mazziota J, Pomeroy S. Bradley’s Neurology in Clinical Practice. 7th ed. Vol. 1. Elsevier;
2016. Available from:
https://www.worldcat.org/title/Bradley's-neurology-in- clinical-practice/oclc/932031625
20. GBS/CIDP Foundation Internationa. Guillain-barré syndrome, CIDP and variants guidelines for physical and occupational therapy; 2014.