• Tidak ada hasil yang ditemukan

Densitas Kamba

Densitas kamba mengindikasikan porositas suatu bahan yaitu jumlah rongga yang terdapat diantara partikel bahan (Limonu 2008) Semakin besar porositas

Gambar 21 Kurva densitas kamba pati suweg modifikasi suhu 110 dan 120 oC

y = 0,0014x + 0,4164 R² = 0,9487 y = 0,0011x + 0,4399 R² = 0,6181 0 1 12 16 20 24 28 32 36 Densi ta s k a m ba ( g /m L ) Waktu (jam)

pati suweg alami 110 120

Gambar 20 Kurva derajat putih pati suweg modifikasi suhu 110 dan 120 oC y = 0,0625x + 48,567 R² = 0,9967 y = -0,0781x + 53,542 R² = 0,3827 45 47 49 51 53 55 57 59 12 16 20 24 28 32 36 Der a ja t pu tih ( % ) Waktu (jam)

33 bahan maka semakin kecil densitas kambanya. Densitas kamba menunjukkan bahwa pati suweg memerlukan ruang atau wadah yang lebih kecil sehingga dapat menghemat ruang baik dalam pengemasan, penyimpanan maupun dalam distribusi. Nilai densitas berbagai produk tepung-tepungan umumnya berkisar antara 0.2-0.8 g/mL (Wirakartakusumah et al. 1992).

Dari hasil pengamatan seperti Gambar 21 diperoleh nilai densitas kamba pati suweg antara 0.4400 – 0.4734 g/mL. Dari hasil pengukuran densitas kamba diperoleh bahwa kombinasi suhu dan waktu pemanasan pada perlakuan HMT 110

oC selama 24 jam memberikan nilai yang tidak berbeda nyata terhadap kontrol pati suweg alami dan berbeda nyata pada perlakuan HMT lainnya (110 oC, 16 dan 32 jam) serta pada suhu 120 oC untuk waktu HMT 16, 24, dan 32 jam.

Tipe kristalin dan kristalinitas granula pati

Tipe kristalin dan kristalinitas granula pati merupakan salah satu uji untuk mengetahui struktur kristalit suatu bahan apakah bahan tersebut memiliki kristalinitas yang tinggi. Derajat kristalinitas dihitung dengan cara membandingkan bagian kristalin dengan jumlah bagian kristal dan bagian amorf pada bahan.

Gambar 22 menunjukkan tipe kristalin dan kristalinitas granula pati yang memiliki tiga puncak utama (strongest peaks) yaitu pada sudut 2Ɵ yaitu 7 92o, 17.04o, dan 22.91o. Terbentuknya puncak utama pada sudut tersebut menandakan pati suweg yang diamati memiliki kristal dengan tipe A. Pola kristal tipe A ditandai dengan adanya dua puncak yang sama pada sudut difraksi 2Ɵ sudut 7o

dan satu puncak pada 23 oC (Charoenkul et al. 2011).

Pada Gambar 22 menunjukkan difraktogram sinar X dan kristalinitas relatif

Gambar 22 Pola difraksi sinar X kristalin pati suweg dan pati suweg termodifikasi HMT 110oC dan 120oC dengan waktu HMT 32 jam.

34

(Xc) dari pati suweg alami dan pati suweg termodifikasi HMT 110 oC dan 120 oC selama 32 jam. Proses HMT menyebabkan menurunnya intensitas pada berbagai puncak. Penurunan puncak ini akibat proses pemanasan yang dapat menyebabkan terbukanya struktur double helix pada daerah kristalin amilopektin dengan hilangnya sifat birefringence. Fenomena birefringence dapat diamati dengan mikroskop polarisasi.

Tipe kristal pati suweg setelah proses HMT sama seperti pati alaminya, pati suweg modifikasi HMT memiliki kristalit tipe A. Terjadi penguatan puncak setelah proses HMT, pada sudut 2Ɵ sekitar 19.8º.

Perubahan profil pasting pati suweg HMT

Perubahan profil pasting pati suweg sebelum dan setelah modifikasi pati dapat dilihat pada Gambar 23a-23d (suhu awal pasting, viskositas puncak, viskositas pasta panas dan viskositas breakdown selama pemanasan) dan Gambar 24a-24b (viskositas akhir/pasta dingin, viskositas setback) selama fase pendinginan. Perubahan profil pasta pati suweg tersebut dijelaskan sebagai berikut:

Suhu awal pasting (SAP)

Gambar 23a memperlihatkan pengaruh suhu dan waktu proses modifikasi HMT terhadap perubahan suhu pasting dari pasta pati suweg. Suhu pasting meningkat cukup tinggi dari pati suweg alami yaitu dari 82.95 oC menjadi 87-88

oC setelah proses HMT, baik yang dipanaskan pada suhu 110 oC maupun 120 oC. Penundaan proses pasting menunjukkan granula pati hasil modifikasi HMT lebih stabil dan tahan terhadap proses pemanasan. Peningkatan suhu pasting ini diduga karena granula yang semakin rigid akibat perubahan daerah kristalin pati. Kombinasi suhu dan waktu pemanasan yang digunakan memberikan perubahan suhu pasting yang tidak jauh berbeda pada perlakuan suhu 110 oC dan 120 oC. Hasil penelitian serupa dilaporkan oleh Murdiati (2012) pada pati walur dimana suhu awal pasting setelah modifikasi HMT meningkat dari 82.13 oC menjadi 86.54-88.56 oC. Kecenderungan yang sama dilaporkan pada pati ubi jalar (Shin et al. 2005), pati sagu (Pukkahuta dan Varavinit 2007), pati jagung, pea, dan lentil (Chung et al. 2009).

35 Tabel 3 Data hasil analisis profil pasting pati suweg

Perlakuan

Parameter profil pasting pati

SAP (oC) VP (cP) VPP (cP) VB (cP) VPD (cP) VS (cP) viskositas pada Perubahan 50 oC Pati suweg alami

Pati suweg HMT: 82.95±0.07a 3958.50± 45.96a 2799.00± 38.18a 1159.5±7.78a 4617.0±53.74a 1818.00±15.56a 220.5±37.48a 110oC-16 jam 88.00±0.28b,c 2110.00±128.69b 1499.50± 118.09b 610.50±10.61b 2163.00±145.66b 656.50±40.31b 82.0±0.0b,c 110oC-24 jam 88.20±0.57c,d 1782.00±52.33c 1240.00±49.50c 542.00±2.83c 1754.50±78.49c 521.00±19.80c 53.5±3.54c,d 110oC-32 jam 88.18±0.53c,d 1507.50±12.02d 1113.50±20.51d 394.00±8.49d,e 1444.50±26.16c,d 331.00±5.56d 38.0±0.0d 120oC-16 jam 87.18±0.25b 1180.50±16.26e 733.00± 45.25d 447.50±61.52d 1299.00±339.41d 330.50±84.15d 101.5±0.71b 120oC-24 jam 87.58±0.25b,c 1054.00±97.58e 690.00± 84.85d 364.00±12.73e 852.50±9.19e 242.50±19.09d,e 82.5±0.71b,c 120oC-32 jam 88.58±0.04d 729.00±9.90f 453.50±6.36e 275.50±3.54f 622.50±7.78e 168.50±0.71e 63.5±0.71c,d aSAP (suhu awal pasting), VP (viskositas puncak), VPP (viskositas pasta panas), VB (viskositas breakdown), VPD (viskositas pasta dingin) dan VS (viskositas

36

Viskositas puncak

Viskositas puncak merupakan kemampuan granula pati untuk mengembang secara maksimal ketika pasta pati dipanaskan. Pati suweg yang mengalami modifikasi HMT, baik pada suhu 110 oC dan 120 oC mengalami penurunan nilai viskositas puncak dibandingkan dengan pati suweg alaminya. Semakin meningkat suhu dan waktu proses modifikasi, viskositas puncak semakin menurun. Penurunan nilai viskositas puncak yang paling besar terjadi pada pati suweg yang dimodifikasi pada suhu 120 oC selama 32 jam yaitu 729 cP dimana menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap berbagai perlakuan kombinasi suhu dan waktu HMT. Pengaruh kombinasi suhu dan waktu proses modifikasi HMT terhadap viskositas puncak pati suweg ditunjukkan pada Gambar 23b. Penurunan viskositas puncak ini mengindikasikan bahwa granula pati HMT memiliki daya mengembang dan daya penyerapan air yang lebih rendah (Lestari 2009; Hormdok dan Noomhorm 2007). Hal ini dipengaruhi oleh struktur granula pati yang makin rigid akibat dari interaksi inter dan intramolekul granula yang semakin kuat dan rapat yang akan menghambat penetrasi air sehingga pembengkakan menjadi terbatas.

Menurut Gunaratne dan Corke (2007) adanya interaksi rantai amilosa-amilosa, dengan rantai amilosa-amilopektin yang terjadi selama proses HMT menyebabkan ikatan antar molekul menjadi semakin rapat dan air semakin sulit untuk berpenetrasi ke dalam granula. Sementara itu, Elliason (2004) menjelaskan bahwa penurunan viskositas puncak dipengaruhi oleh adanya ikatan amilosa

a b

c d

Gambar 23 Kurva perubahan suhu awal pasting (a), viskositas puncak (b), viskositas pasta panas (c), dan viskositas breakdown (d) selama fase pemanasan

37 lemak selama proses HMT yang dapat membatasi interaksi molekul pati dengan molekul lain di luar granula. Hal ini diduga terjadi karena pati suweg masih mengandung lemak dalam jumlah kecil.

Viskositas pasta panas dan viskositas breakdown

Pengukuran viskositas pasta panas dan viskositas breakdown bertujuan mengetahui pengaruh perlakuan proses HMT terhadap kestabilan pasta pati selama proses pemanasan. Perubahan viskositas pasta panas dan viskositas breakdown dari pati suweg HMT dapat dilihat pada Gambar 23c dan 23d. Viskositas pasta panas pati suweg HMT untuk semua perlakuan lebih rendah dibanding pasta pati suweg alaminya. Viskositas breakdown pati suweg HMT pada semua perlakuan mengalami penurunan. Penurunan viskositas breakdown menunjukkan kestabilan panas pati suweg HMT lebih baik dibandingkan pati suweg alami. Hasil uji Duncan untuk kombinasi suhu dan waktu HMT 120 oC dengan waktu HMT 32 jam berbeda nyata terhadap berbagai perlakuan. Laju penurunan pada suhu tersebut adalah 10.75 cP/jam. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pati suweg

HMT pada perlakuan tersebut memiliki stabilitas panas yang lebih baik dibandingkan pati termodifikasi pada perlakuan yang lain. Nilai viskositas breakdown semakin rendah dengan semakin lamanya waktu pemanasan yaitu berkisar antara 610 cP (HMT 16 jam, 110 oC) sampai 275 cP (HMT 32 jam, 120

oC), hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Olayinka et al. (2008) dimana pengaruh HMT pada tepung sorgum putih memiliki nilai breakdown yang mengalami penurunan secara signifikan. Viskositas breakdown merupakan salah satu faktor penting ketika pati diaplikasikan pada produk yang menunjukkan kestabilan pasta pati terhadap pemanasan. Semakin kecil nilai viskositas breakdown maka pati akan semakin stabil pada kondisi pemanasan. Yadav et al. (2013) melaporkan bahwa semua parameter pada karakterisasi pasta pada komoditas pati Indian water chesnut yaitu peak viskosity, viskositas pasta panas, viskositas breakdown, dan viskositas setback menunjukkan penurunan sesuai dengan HMT pada pati suweg. Penurunan nilai breakdown dan setback dari perlakuan HMT mengindikasikan kestabilan pada pengadukan pada pasta pati termodifikasi.

Viskositas pasta dingin dan viskositas setback

Perbedaan kurva viskositas pasta dingin (VPD) dan viskositas setback (VS) dapat dilihat pada Gambar 24. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai viskositas pasta dingin yang tertinggi yaitu pada perlakuan HMT 110 oC (2163±145.66). Nilai VPD terendah pada perlakuan HMT 120 oC dengan waktu HMT 32 jam dengan nilai VPD 622.50±7.78 cP. Laju penurunan yang lebih cepat terjadi pada suhu 110 oC yang ditandai dengan gradien kemiringan yang lebih besar dibandingkan suhu HMT 120 oC. Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Ahmad (2009) pada pati jagung yang menunjukkan penurunan nilai VPD setelah proses modifikasi HMT, sedangkan sebaliknya modifikasi HMT pada pati sagu (Purwani et al. 2006; Herawati 2009) menunjukkan kenaikan VPD akibat modifikasi HMT. Dari Gambar 24a diperoleh keterangan bahwa nilai VPD semakin menurun dengan semakin lamanya waktu modifikasi HMT baik pada suhu 110 oC maupun 120 oC.

38

Menurut Charles et al. (2006) viskositas setback adalah derajat reasosiasi atau pembentukan kembali ikatan-ikatan hidrogen yang telah terputus antara molekul pati yakni molekul amilosa dan amilopektin ketika mengalami pendinginan. Pendinginan lebih lanjut dapat menyebabkan pati membentuk gel dengan ikatan amilosa dan amilopektin yang semakin kuat dan kompak. Nilai viskositas setback pati suweg HMT tertinggi terdapat pada suhu pemanasan 110

oC dengan waktu HMT 16 jam yaitu 656.50±40.31 dan terendah pada suhu pemanasan 120 oC dengan waktu HMT 32 jam yaitu 168.50 cP±0.71. Sementara itu laju penurunan viskositas setback yang lebih cepat terjadi pada perlakuan suhu HMT 110 oC dibandingkan dengan suhu HMT 120 oC. Nilai viskositas setback dari berbagai perlakuan HMT cenderung menurun dengan semakin meningkatnya waktu pemanasan dan tingginya suhu pemanasan dibandingkan pati suweg alami. Hal ini menunjukkan pati suweg HMT memiliki kemampuan membentuk gel yang lebih rendah dari pati alaminya sehingga memiliki kemampuan retrogradasi yang tinggi. Menurut Hoover dan Manuel (1996), kemampuan membentuk gel yang tinggi ini menunjukkan kestabilan pasta pati terhadap proses pengadukan. Charles et al. (2006) menerangkan bahwa viskositas setback terkait dengan fenomena retrogradasi selama pendinginan yang diikuti peningkatan nilai viskositas dimana semakin tinggi kadar amilosa maka viskositas setback semakin tinggi. Nilai viskositas setback yang rendah dapat dimanfaatkan pada industri pangan beku dan pangan dalam kaleng (Yadav et al. 2013).

Perubahan viskositas tahan pada 50 oC

Viskositas tahan pada 50 oC mengindikasikan ketahanan terhadap pengadukan. Nilai viskositas diperoleh berdasarkan selisih awal dan akhir dari viskositas pada saat fase pendinginan suhu 50 oC. Gambar 25 menerangkan bahwa proses modifikasi pati suweg pada suhu 120 oC memiliki laju penurunan yang lebih cepat dibandingkan dengan proses HMT pada suhu 110 oC sehingga proses HMT pada suhu 120 oC memiliki karakteristik yang lebih tahan terhadap pengadukkan dibandingkan dengan proses HMT pada suhu 110 oC. Kombinasi suhu dan waktu menunjukkan bahwa nilai viskositas menurun dengan bertambahnya waktu HMT. Penurunan nilai viskositas terjadi dengan

a b

Gambar 24 Kurva perubahan viskositas akhir/pasta dingin (a) dan viskositas setback selama fase pendinginan (b)

39 bertambahnya suhu proses HMT. Hasil uji lanjut duncan menunjukkan bahwa perlakuan HMT berbagai perlakuan kombinasi suhu dan waktu berbeda nyata terhadap nilai viskositas pati suweg alami.

Perubahan kekuatan gel pati suweg HMT

Perubahan kekuatan gel dari pati suweg HMT dibandingkan pati alaminya dapat dilihat pada Gambar 26. Pati suweg termodifikasi secara umum memiliki nilai kekuatan gel yang lebih rendah (440.60-968.1 gf) dibandingkan pati alami (978.25 gf), akan tetapi terdapat kecenderungan peningkatan kekuatan gel selama proses HMT pada kombinasi suhu dan waktu pada proses HMT 110 oC dan 120

oC. Jika dibandingkan dengan nilai kekuatan gel pada pati suweg alami maka kekuatan gel mengalami penurunan paling besar pada proses HMT dengan waktu proses yang pendek yaitu 16 jam. Dengan meningkatnya waktu proses HMT maka kekuatan gel mendekati nilai kekuatan gel pati suweg alami. Nilai kekuatan gel selama proses HMT meningkat dengan bertambahnya suhu pemanasan dan lama waktu proses HMT. Laju peningkatan kekuatan gel terbesar terdapat pada proses HMT pada kombinasi suhu dan waktu 120 oC selama 32 jam. Karakteristik tekstur gel bergantung pada unsur utama pati dan amilosa, volume dan deformasi granula dan interaksi antara fase kontinyu dan fase dispersi. Hasil uji lanjut duncan kekuatan gel menunjukkan pati suweg alami berbeda nyata terhadap berbagai perlakuan HMT dimana selama proses HMT baik pada suhu 110 oC maupun 120

oC memiliki kecenderungan peningkatan nilai kekuatan gel dengan bertambahnya waktu HMT. Peningkatan nilai kekuatan gel ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Ahmad (2009) yang menyatakan bahwa peningkatan kekuatan gel dikarenakan teraturnya kembali molekul-molekul dalam granula pati yang akan berikatan semakin kuat selama proses modifikasi. Collado dan Corke (1999) menyatakan bahwa dengan adanya ikatan antara amilosa dan komponen pati lainnya menyebabkan kekuatan gel lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Hormdok dan Noomhorm (2007) yang mempelajari pengaruh HMT pada pati beras dengan kandungan amilosa sekitar 27% yang mengalami peningkatan nilai kekuatan gel pada kadar air HMT 15% dan 20% dimana kekuatan gel semakin meningkat dengan bertambahnya suhu dan lama

Gambar 25 Kurva perubahan viskositas pada 50 ºC modifikasi suhu 110 dan 120 ºC y = -2,75x + 123,83 R² = 0,9717 y = -2,375x + 139,5 R² = 1 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 12 16 20 24 28 32 36 Per u b a h a n v isk o sita s p a d a 5 0 oC (cP) Waktu (jam)

40

modifikasi HMT. Menurut Hormdok dan Noomhorn (2007) kekerasan gel semakin meningkat dengan semakin meningkatnya suhu dan lama modifikasi. Peningkatan nilai kekuatan gel pada proses HMT dilaporkan oleh Ahmad (2009) dan Herawati (2009). Selama HMT peningkatan kekuatan gel ini dihubungkan dengan peningkatan ikatan silang antara rantai pati dalam bagian partikel amilosa dimana suspensi pati yang digelatinisasi akan mengalami leaching pada amilosa. Dengan semakin meningkatnya nilai leaching maka tekstur gel akan semakin keras setelah proses HMT.

Pemanasan yang tinggi pada proses modifikasi HMT tidak menyebabkan granula menjadi rusak, hal ini dikarenakan jumlah air yang terbatas sehingga pati tidak tergelatinisasi sebagian (parsial). Selain itu sifat birefringence yang sedikit masih memperlihatkan warna biru dan kuning. Ukuran dan bentuk granula yang telah dimodifikasi HMT masih dapat dipertahankan.

Proses HMT tidak mengubah bentuk dan ukuran granula pati tapioka, namun sebagian pati kehilangan sifat birefringence di bagian tengah granulanya (Syamsir 2012).

Gambar 26 Kekuatan gel pati suweg modifikasi HMT 110 oC dan 120 oC

y = 26,316x + 11,825 R² = 0,996 y = 28,159x + 75,658 R² = 0,9956 200 400 600 800 1000 1200 12 16 20 24 28 32 36 K e ku atan G e l Waktu

41

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pati suweg alami memiliki profil pasta yang tidak stabil selama proses pemanasan dan pengadukan. Modifikasi pati suweg dengan HMT pada suhu 120

oC selama 32 jam menyebabkan perubahan yang nyata terhadap perubahan pasta pati, dimana pasta pati cenderung lebih tahan terhadap proses pemanasan dan pengadukan. Kestabilan terhadap pemanasan dapat dilihat dari semakin menurunnya nilai viskositas breakdown sedangkan kestabilan terhadap proses pengadukan (shearing) dilihat dari semakin menurunnya nilai perubahan viskositas pada suhu 50 oC. Modifikasi HMT meningkatkan suhu pasting, menurunkan viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas setback dan viskositas akhir/pasta dingin.

Saran

Saran yang diberikan penelitian selanjutnya adalah :

1 Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk meningkatkan jumlah rendemen pati suweg

2 Perlu penangan lebih lanjut pada saat proses pencucian pati suweg sehingga pengotor yang ikut dalam pati dapat diminimalkan.

42

Dokumen terkait