• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.1 Densitas dan Porositas

4.1.1.2 Densitas dan porositas pasca sintering

Dari hasil perhitungan, maka dapat dibuat table pengukuran nilai densitas dan porositas pasca sintering sebagai berikut:

Tabel 4.3 Pengukuran densitas dan porositas pasca sintering pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp

Suhu Sampel mo mU mA mK Densitas Porositas (oC) (g) (g) (g) (g) (g/cm3) (%)

450 I 8.22 8.28 4.75 0.52 2.79 2.12

II 8.13 8.19 4.69 0.52 2.78 2.09

8.17 8.23 4.72 0.52 2.78 2.11

500 I 8.09 8.14 4.69 0.52 2.81 1.83

II 7.96 8.01 4.61 0.52 2.81 1.71

8.03 8.08 4.65 0.52 2.81 1.77

550 I 8.53 8.56 5.13 0.52 2.97 1.10

II 8.37 8.40 4.99 0.52 2.92 1.01

8.45 8.48 5.06 0.52 2.94 1.05

600 I 8.05 8.07 4.90 0.52 3.06 0.99

II 7.73 7.75 4.65 0.52 3.02 0.97

7.89 7.91 4.78 0.52 3.04 0.98

Tabel 4.4 Pengukuran densitas dan porositas pasca sintering pada komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp

Suhu Sampel mo mU mA mK Densitas Porositas Dari tabel 4.3 dan 4.4, maka dapat dibuat grafik hubungan antara nilai densitas dan porositas terhadap perubahan suhu sinering seperti gambar dibawah ini

Gambar 4.2 Grafik hubungan antara densitas terhadap perubahan suhu sintering pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp dan 70 : 30 %wt Al/SiCp

Gambar 4.3 Grafik hubungan antara porositas terhadap perubahan suhu sintering pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp dan 70 : 30 %wt Al/SiCp

Secara umum, mekanisme proses sintering mengalami tiga tahapan yaitu:

pembentukan leher (necking), pertumbuhan butir baru (seperti diperlihatkan pada gambar 2.11), dan yang terakhir adalah proses penyusutan atau shringkage (seperti diperlihatkan pada gambar 2.12). Pada proses awal sintering terjadi difusi atom pada bagian titik kontak permukaan partikel. Pada saat pemberian energi panas di dalam furnace sama artinya dengan memberikan energi aktivasi pada atom penyusun bahan tersebut, sehingga dengan adanya energi aktivasi menyebabkan atom penyusun bahan akan bervibrasi kemudian melepaskan ikatannya dan bergerak ke posisi baru atau berpindah ke kisi yang lain, proses tersebut sering disebut dengan proses difusi.

Karena difusi yang terjadi pada proses tersebut hanya berada pada daerah permukaan kontak partikel, maka difusi tersebut disebut dengan solid sintering. Dari proses difusi, maka akan terbentuk solid solution yang berada pada daerah kontak antar partikel yang disebut dengan liquid bridge. Dengan liquid bridge tersebut, maka bahan akan mengalami kompaktibilitas (densitas semakin meningkat).

Sintering pada proses pembuatan komposit dengan menggunakan metode metalurgi serbuk merupakan fenomena yang menarik untuk diperhatikan lebih seksama, karena proses ikatan akhir antar penguat SiCp dengan matrik Al Alloy sangat menentukan sifat mekanis dan sifat fisis dari bahan komposit yang akan dibuat. Proses sintering merupakan fenomena difusi antar permukaan partikel dalam skala atomik yang sangat bergantung kepada kereaktifan permukaan antar partikel yang berinteraksi, dalam proses pembuatan komposit matrik logam Al/SiCp sangat diharapkan pada material matrik Al Alloy dan penguat SiCp berinteraksi dengan sempurna. Oleh sebab itu, dengan pelapisan partikel SiCp dengan oksida logam Al(NO3)3 diharapkan dapat meningkatkan interaksi penguat SiCp dengan matrik Al Alloy.

Dari gambar 4.2, dapat dilihat bahwa nilai densitas untuk masing-masing komposisi meningkat secara linear dengan meningkatnya suhu sintering dan dari gambar 4.3, nilai porositas untuk masing-masing komposisi semakin kecil dengan meningkatnya suhu sintering. Hal ini terjadi karena semakin tinggi suhu sintering maka densitas material akan semakin meningkat dan pori-pori yang dihasilkan juga akan semakin berkurang.

Dari hasil penelitian memperlihatkan bahwa nilai densitas tertinggi untuk masing-masing komposisi sampel adalah pada suhu pembakaran 600 oC. Untuk komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp dengan nilai densitas yang diperoleh adalah 3,04 g/cm3, serta nilai porositas yang diperoleh adalah 0,98%. Untuk komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp, nilai densitas yang diperoleh adalah 3,10 g/cm3 dan nilai porositas yang diperoleh adalah 0,87%.

Dari hasil yang diperoleh, perbedaan nilai densitas untuk masing-masing komposisi disebabkan oleh densitas masing-masing material penyusun komposit itu sendiri. Dimana nilai densitas untuk partikel SiC adalah 3,22 g/cm3 dan nilai densitas

matrik Al adalah 2,78 g/cm3. Dengan demikian nilai densitas untuk komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp lebih besar dibandingkan dengan komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp. Dan dari nilai yang diperoleh pada penelitian ini telah mendekati dengan nilai literatur dan penelitian yang dilakukan oleh Oliver Beffort (2002) bahwa nilai densitas untuk komposit matrik logam aluminium dengan penguat SiCp adalah antara 2,60 g/cm3 sampai dengan 3,10 g/cm3.

4.1.2 Koefisien Ekspansi Termal

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka nilai koefisien ekspansi termal dapat dicari dengan meggunakan persamaan 2.10 dengan menyesuaikan persamaan yang dihasilkan oleh plotter alat Dilatometer Harrop yang mengacu pada standart pengujian ASTM E 228 – 95.

C = A lo

2,54 Y = 254

A lo

Dimana: C = Faktor koreksi.

A = Faktor penguat alat (Gain).

lo = Panjang awal sampel.

Y = Perubahan panjang dinyatakan dengan Δl/lo (% per inchi).

Sehingga grafik fungsi perubahan panjang (Δl) terhadap suhu (T) dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:

∆l = 254 A lo

Karena Y sama dengan Δl dan plotter alat Dilatometer memberikan fungsi perubahan panjang adalah Δl sedangkan secara teori perubahan panjang dinyatakan dengan Δl/lo, maka perubahan panjang dari plotter alat sama-sama dibagi dengan lo, maka didapat persamaan sebagai berikut:

∆l

2,54 diperoleh dari nilai Y, karena Δl/lo (% per inchi).

1 inchi = 2,54 cm 1 inchi = 25,4 mm

Salah satu contoh perhitungan untuk menentukan nilai koefisien ekspansi termal untuk sampel uji Al/SiCp 80 : 20 %wt dengan suhu sintering 450 oC adalah

Dari table hasil pengujian nilai koefisien ekspansi termal (Lampiran A), maka dapat dibuat grafik hubungan antara perubahan panjang sampel terhadap kenaikan temperature pengujian.

Gambar 4.4 Grafik hubungan antara koefisien ekspasi termal dengan suhu pengukuran pada suhu sintering 450 oC pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp

Gambar 4. 5 Grafik hubungan antara koefisien ekspasi termal dengan suhu pengukuran pada suhu sintering 500 oC pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp

Gambar 4.6 Grafik hubungan antara koefisien ekspasi termal dengan suhu pengukuran pada suhu sintering 550 oC pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp

0,0

Gambar 4.7 Grafik hubungan antara koefisien ekspasi termal dengan suhu pengukuran pada suhu sintering 600 oC pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp

Gambar 4.8 Grafik hubungan antara koefisien ekspasi termal dengan suhu pengukuran pada suhu sintering 450 oC pada komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp

Gambar 4. 9 Grafik hubunguan antara koefisien ekspasi termal dengan suhu pengukuran pada suhu sintering 500 oC pada komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp

0,0

Gambar 4. 10 Grafik hubunguan antara koefisien ekspasi termal dengan suhu pengukuran pada suhu sintering 550 oC pada komposisi 70 : 30%wt Al/SiCp

Gambar 4. 11 Grafik hubunguan antara koefisien ekspasi termal dengan suhu pengukuran pada suhu sintering 600 oC pada komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp

Pengujian sifat ekspansi termal suatu bahan material komposit sangat penting dilakukan karena ada kaitannya dengan aplikasi komposit tersebut. Tujuan dari pengujian koefisien ekspansi termal adalah untuk mengetahui perubahan panjang relatif terhadap panjang awal sampel yang berhubungan dengan suhu (T) .Pengukuran koefisien ekpansi termal (CTE) dilakukan dengan menggunakan alat ukur Dilatometer Harrop T-70. Koefisien ekspansi termal diukur mulai dari suhu 30 oC sampai dengan 300 oC. Dari gambar 4.4, 4.5, 4.6, 4.7, 4.8, 4.9, 4.10, dan 4.11, nilai-nilai koefisien ekspansi termal tersebut ditentukan berdasarkan nilai kemiringan (slope) grafik hubungan antara kenaikan suhu terhadap pertambahan panjang sampel. Slope koefisien ekspansi termal dapat dicari dengan persamaan 4.1 dibawah ini.

0,0

αm1= Y1 − Y0

T1 − T0 = Slope (4.1) αm1= 13,5 − 0

181 − 30

= 0,111111 / Co

Dilihat dari grafik diatas, maka dengan persamaan 4.1 maka nilai slope untuk memperoleh nilai koefisien ekspansi termal dapat dihitung dengan memanfaatkan nilai slope yang telah dipartisi menjadi tiga nilai slope, yaitu: T0 - T1, T1 – T2, T2 -T3

kemudian dari ketiga nilai tersebut dirata-ratakan. Dari hasil nilai slope rata-rata maka diperoleh data seperti tabel 4.5 dan 4.6.

Tabel 4.5 Slope grafik hubungan antara perubahan temperatur terhadap perubahan panjang sampel pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp

Suhu Sintering αm1 αm2 αm3 αmrata-rata

Tabel 4.6 Slope grafik hubungan antara perubahan temperatur terhadap perubahan panjang sampel pada komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp

Suhu Sintering αm1 αm2 αm3 αmrata-rata

Dari tabel 4.5 dan 4.6, dapat dilihat bahwa perubahan panjang (dilatasi) yang terjadi pada saat pengujian menunjukkan nilai yang sesuai dengan nilai koefisien ekspansi termal secara teoretis. Secara teoretis nilai koefisien ekspansi termal dalam pembuatan komposit matrik logam dengan menggunakan partikel penguat SiC adalah 7 x 10-6/oC sampai dengan 20 x 10-6/oC (Olivier Beffort, 2002), sedangkan dari tabel perhitungan untuk nilai slope rata-rata pada sampel uji bahwa nilai koefisien ekspansi termal tertinggi adalah 14 x 10-6/oC yaitu pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp.

Faktor utama yang mempengaruhi nilai koefisien ekspansi termal dalam proses pembuatan komposit matrik logam adalah material penyusun komposit itu sendiri.

Secara teori nilai koefisien termal ekspansi matrik aluminium adalah 22,9 x 10-6/oC sedangkan nilai koefisien ekspansi termal partikel SiC adalah 4,51 – 4,73 x 10-6/oC.

Jadi, dengan penggabungan meterial aluminium dan partikel SiC, diharapkan diperoleh nilai koefisien ekspansi termal di antara nilai koefisien ekspansi termal material penyusun (konstituen) pada komposit matrik aluminium berpenguat partikel penguat SiCp secara teoretis.

Sedangkan pengaruh lain dari proses pembuatan komposit matrik logam dengan menggunakan metode metalurgi serbuk yang biasanya menggunakan rekayasa pelapisan partikel penguat SiC dengan menggunakan ion logam (dalam penelitian ini digunakan Al(NO3)3) yang akan berpengaruh terhadap nilai koefisien ekspansi termal sampel uji. Proses pelapisan wettability bertujuan untuk meningkatkan kebasahan antara partikel penguat SiC dengan matrik aluminium. Menurut penelitian Pay Yih (1995) dalam Journal of Powder Metallurgy, pembuatan komposit matrik logam dengan menggunakan metode metalurgi serbuk secar umum dilakukam proses pelapisan partikel penguat untuk meningkatkan kebasahan (wettability) partikel penguat dan meningkatkan ikatan antar muka partikel penguat dengan matrik. Apabila ikatan antar muka matrik dengan penguat saling berikatan secara sempurna, kemungkinan material terkontaminasi oleh pengotor (seperti oksida) dapat dihindari pada saat proses sintering berlangsung. Dengan demikian, apabila proses pelapisan dan ikatan terjadi secara sempurna, maka dapat menurunkan nilai koefisien ekspansi termal pada material komposit matrik logam tersebut.

Disamping itu, nilai koefisien ekspansi termal yang diperoleh juga dipengaruhi oleh komposisi partikel penguat SiC. Menurut Al-Haidary (2007) dalam jurnal Material Scince-Poland, dalam pembuatan komposit matrik logam berpenguat partikel keramik SiC, dengan penambahan komposisi partikel penguat SiC maka dapat menurunkan nilai koefisien ekspansi termala material komposit tersebut. Dan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, nilai koefisien ekspansi termal untuk komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp lebih rendah dibandingkan dengan komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp seperti yang diperlihatkan dalam tabel 4.5 dan 4.6.

Dokumen terkait